Thinking The Unthinkable
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
PADA 21 April 2023 lalu, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan kader partainya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sebagai bakal capresnya. Ganjar adalah salah satu dari tiga aspiran capres dengan. elektabilitas tinggi.
Karena itu, wajar bila Mega berpikir Ganjar akan menjadi magnet bagi parpol lain untuk bergabung demun PDI-P. Dalam konteks Indonesia di mana semua parpol bersikap pragmatis dan oportunistik, pemikiran Mega menemukan rasionalitas dan pembenarannya.
Tapi bagaimana bila sekonyong-konyong parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Gerindra dan PKB) berubah idealis dan menemukan platform baru untuk mnjwb tantangan-tantangan bangsa pasca pemerintahan Jokowi?p
Platform baru artinya parpol-parpol ini melepaskan diri dari rancang bangun kebijakan dan program pembangunan Jokowi. Pada saat bersamaan, mereka menemuka landasan berpikir baru yg visioner untuk mnjwb tantangan-tantangan yang akan ditinggalkan rezim Jokowi.
Tentu saja hal ini tak terbayangkan karena kita mengenal para ketum parpol ini miskin ide, tak berintegritas, dan telah lapuk dimakan zaman. Dan karena bermasalah secara hukum (terlibat korupsi), sbagian dari mereka tidak berbuat banyak kecuali tunduk pada kemauan penguasa -- bagai kerbau dicokok hidungnya -- untuk terhindar dari kemungkinan dipenjarakan.
Dus, kalau rezim menekan mereka untuk bergabung dengan PDI-P di atas kertas mereka akan patuh. Apalagi KPK, Mahkamah Konstitusi, dan kepolisian berada dalam genggaman Jokowi. Sedangkan Mahkamah Agung dikontrol PDI-P. Mungkin hanya Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang bebas dari korupsi.
Kalau sekarang mereka belum bergabung dngan PDI-P, tampaknya karena mereka diminta menunggu hasil upaya rezim menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi pilpres. Saat ini KPK masih bekerja mencari-cari kesalahan Anies yang dapat dipersangkakan telibat korupsi. Di jalur lain, Peninjauan Kembali di MA yang diajukan KSP Moeldoko masih dalam proses. Baik upaya KPK maupun Moeldoko tetap punya peluang untuk berhasil.
Dus, kalau upaya ini berhasil -- misalnya, Anies dituduh terlibat korupsi atau Moeldoko diakui Kemenkumham yg dikuasai PDI-P sebagai pemimpin sah Demokrat sesuai KLB Deli Serdang -- maka Anies akan tersingkir dari arena kontestasi pilpres. Saat itulah rezim mendorong terbentuknya koalisi baru. Sebagian parpol dari KIB, KKIR, parpol-parpol yang tergabung Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Nasdem, Demokrat, PKS) akan bergabung dengan PDI-P dan sebagian lain bergabung dengan Gerindra.
Dengan demikian, pilpres mendatang hanya akan terdiri dari dua pasangan bakal capres-cawapres, yaitu pasangan yang didukung koalisi pimpinan PDI-P dengan Ganjar sebagai bakal capres dan koalisi pimpinan Gerindra dengan bakal capres Prabowo Subianto. Hal ini sesuai dgn rencana awal rezim yang telah menjadi rahasia umum. Tetapi rezim akan mengatur konfigurasi koalisi sedemikian rupa sehingga koalisi yang mendukung Ganjar punya peluang menang lebih besar. Dengan kata lain, koalisi pendukung Prabowo hanya jadi penggembira demi tercapainya amanat konstitusi yangg menghrskan pilpres diikuti minimal dua pasang capres-cawapres.
Tetapi andaikan upaya rezim menyingkirkan Anies gagal dan KIB dan KKIR bertahan di koalisi besar dengann mengusung Prabowo, maka Ganjar hanya didukung PDI-P akan langsung tereliminasi di putaran pertama konstestasi elektoral. Dus, dalam konteks ini, sesungguhnya Mega mengambil resiko besar ketika mencapreskan Ganjar tanpa terlbh dahulu membangun koalisi dngan parpol lain. Nampaknya, ia sangat percaya diri bahwa pencapresan Ganjar akan menarik sbagian besar parpol bergabung dgn PDI-P.
Kendati hal ini nyaris mustahil akan terjadi dalam politik tidak ada yang tdk mungkin. Politik adalah membuat hal tidak mungkin menjadi mungkin. Siapa tahu diam-diam Jokowi mendorong koalisi besar (KIB +KKIR) yang diinisiasinya meresmikan koalisi mereka dengan Prabowo sebagai bakal capres. Ini sebagai bentuk balas dendam Jokowi kepada PDI-P yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan merendahkan dirinya serta sikap Ganjar yang menolak timnas Israel sehingg ajang Piala Dunia U-20 gagal dilaksanakan di Indonesia.
Atau, menurut hasil survei internal parpol-parpol di KIB dan KKIR menunjukkan sesungguhnya elektabilitas Ganjar tak setinggi sebagaimana dilaporkan lembaga-lembaga survey selama ini. Elektabilitas Prabowo dan Anies jauh lebih tinggi daripda Ganjar. Menurut Rocky Gerung, sblm Ganjar dicapreskan, para oligarki, lembaga survey, dan menteri utama rutin melakukan rapat di Istana, di sebuah ruang yg disebut war room, setiap pukul 4.20 pg. Katanya, ini merupakan kegiatan fabrikasi untuk menekan Mega agar segera mencapreskan Ganjar yg dilihat para oligarki sbg proksi mereka.
Atau ada tekanan dari luar agar menjauhi Ganjar yg pro-Cina, tak punya gagasan ttng Indonesia ke depan dlm konteks persaingan Cina-AS di kawasan, pandangan ekonominya yg ekstraktif atau copy paste dari paradigma pembangunan Orde Baru, tak punya komitmen pada perlindungan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari komitmen pada perubahan iklim, nirprestasi yg terlihat dari kegagalannya meningkatkan taraf hidup rakyat Jateng (Jateng merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa), integritasnya yg meragukan terkait dengan tuduhan keterlibatannya dlm kasus mega korupsi e-KTP, dangdut jg keraguan atas komitmennya pada penegakan hukum serta sistem demokrasi sbgm terlihat dari kasus kekerasan atas penduduk Desa Wadas di mana Ganjar mengirim aparat untuk mengintimidasi warga desa itu yg menolak menjual tanahnya untuk dijadikan tambang batu andesit milik oligarki.
Atau sekonyong-konyong Gerindra bergabung dgn KPP dgn kesediaan Prabowo untuk tdk menjadi apa2 atau menjdi bakal cawapres Anies setelah menyadari PKB akan bergabung dgn PDI-P. Kl ini trjdi, KIB akan goyah krn dua hal. Pertama, elite tiga parpol ini akan ditekan konstituen mereka untuk bergabung dgn KPP. Kedua, peluang Anies memenangkan pilpres kian membesar. Toh, mereka tahu bhw, sesuai hasil survey, mayoritas pemilih PAN dan PPP akan mencoblos untuk Anies. Sementara paling tdk setengah dari pemilih Golkar merupakan pendukung Anies.
Pembicaraan koalisi msh dinamis. Ini menunjukkan parpol2 di KIB dan KKIR blm dpt diyakinkan bhw Ganjar merupakan penjamin kemenangan. Ini, setelah Ganjar dideklarasikan sbg bakal capres PDI-P, timbul pro-kontra di medsos. Kendati banyak yg mendukung, tak sedikit jg yg menentangnya sambil mengungkap sisi2 negatifnya. Lalu, publik mulai membanding-bandingkan Ganjar dgn Anies di mana terlihat Anies jauh lbh unggul di semua aspek. Sblm Ganjar dipastikan sbg kompetitor Anies, publik hanya berimiginasi ttng kualitas masing2 secara terpisah. Begitu mereka dihadap-hadapkan, terlihat Anies punya kepemimpinan konseptual yg operasional, berintegritas, punya rekam jejak yg kinclong, dan capaian2 gemilang ketika memimpin Jakarta yg tak sebanding dgn capaian2 Ganjar.
Dus, Ganjar kini terlihat tdk sehebat dari yg dibayangkan sebelumnya. Tp PDI-P sdh berada di point of no returun, titik yg tdk memungkinkannya lagi untuk mundur. Dgn demikian, tindakan Mega memungut kembali Ganjar dari tmpt sampah -- sebelumnya, atas perintah Mega, pengurus teras PDI-P mendiskreditkan Ganjar sbg tokoh pencitraan tanpa prestasi -- sangat bersifat spekulatif, pragmatis, dan oportunistik menghadapi realitas politik yg tdk menguntungkannya.
Kini Mega bergantung pd belas kasih Jokowi dan Prabowo, yg apabila mereka berniat menyingkirkan Ganjar dari arena pilpres, yg jg berarti menyingkirkan PDI-P dari pemerintahan mndtg, hal itu mudah saja dilakukan dgn cara menghalangi KIB dan KKIR bergabung dgn PDI-P. Kl itu terjadi, PDI-P tak akan pernah lg mnjdi partai terbesar klpun ia msh eksis pasca pilpres krn dua hal. Pertama, terjadi perpecahan di internal partai di mana wibawa Mega sbg pemimpin partai akan runtuh. Kedua, kemungkinan trah Soekarno tak lg berperan pd pilpres 2029 ketika saat itu usia Mega sdh sgt uzur (82 thn).
Kendati yg dipaparkan ini merupakan "the unthinkable", sejarah mengajarkan kpd kita bhw hal2 yg tadinya tdk terbayangkan akan terjadi, ternyata terjadi dgn mudah. Sblm tragedi G30S, tdk ada org Indonesia yg berpikir Soekarno, tokoh besar yg disegani, dpt dijatuhkan. Sblm krisis moneter 1997, jg tdk ada org Indonesia yg berpikir strong man Soeharto bisa dilengserkan. Dus, pencapresan Ganjar yg dianggap aset politik PDI-P untuk menghegemoni parpol lain, mungkin sj merupakan langkah yg keliru. Artinya, bisa jd PDI-P telah msk perangkap yg diciptakan sendiri akibat tindakan kedaruratan yg didorong pragmatisme, oportunisme, dan tekanan oligarki, yg biasanya bekerja di luar keniscayaan sosial dan politik. Hrs diingat bhw pd akhirnya penentu akhir dari permainan yg diciptakan elite penguasa ini adalah rakyat, yg belakangan makin kritis dan militan dlm menyikapi aksi2 elite yg jauh dari aspirasi mereka. Kita tunggu saja apakah the unthinkable bisa diwujudkan.
Tangsel, 25 April 2023