Momentum Perjuangan Nyaris Kandas dan Tenggelam di Media Sosial
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih
"Seberapa pun terpojok nya , jangan putus asa. Ketika segalanya perlu ditaklukkan, jangan takut. Ketika di kepung oleh bahaya jangan takut bahaya . Ketika tidak mempunyai sumber daya, andalkan akal. Ketika terkejut, kejutkan musuh itu sendiri" (Sun-tzu).
Kita saat ini di kepung orang licik, agresif bertekad mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukan hanya sumber daya alam telah mereka kuasai kekuasaan pun total ingin mereka kendalikan dan kuasai.
Kekuasaan dan kekuatan Taipan dan Oligargi terasa makin kokoh dan mematikan. Makin banyak penjilat, budak budak dan boneka yang menjijikkan, dengan bermacam macam dalih dan tingkahnya tidak peduli bahwa ini akan hancur, mencari dan mengiba sebagai budak mengais mencari makan kepada penjajah gaya baru saat ini.
Tidak mungkin bisa mengendalikan mereka dengan memberi yang mereka ingin kuasai, menyenangkan atau menenangkan mereka itu "bencana".
Sudah berkali kali di coba menyerang mereka secara frontal, penguasa dan alat keamanan yang telah menjadi boneka dengan brutal balik menyerang kita.
Keadaan tiba tiba berubah : "Dengan menjadikan sesuatu lebih penting dari pada yang sesungguhnya dan melewatkan kesempatan, suatu urusan menjadi tidak tuntas dan tidak ada penyelesaian sama sekal". (Tsunetomo, 1659-1720).
Perlawanan melalui sarana media sosial bukan tidak penting, mutlak harusnya sejalan dengan perjuangan fisik tetapi momentum perlawanan sering justru kandas di media sosial. Bahkan sesuatu yang tidak penting mengandaskan kesempatan yang seharusnya menjadi titik momentum perlawanan.
Ini sama saja menunjukkan dan mempertontonkan kelemahan, kondisi seperti ini akan mengundang banyak bencana . Sepenuhnya mengalah, menyerah, tanpa perlawanan fisik sama saja dengan menyerahkan diri dan bunuh diri.
Mereka akan terus menguasai mengintimidasi, mereka tahu sisi kelemahan dan kerentanan kita, mereka terus mengenali tanda tanda yang sadar atau tidak kita pertontonkan kepada mereka. Kita hanya cuap cuap marah dan mengancam tanpa perlawanan yang memadai. Mereka dengan mudah akan memangsa yang rentan dan lemah.
Prof Rizal Ramli dalam berbagai kesempatan sangat sering mengingatkan para pejuang perubahan "hentikan omdo", berjuanglah dengan arah dan sasaran yang jelas.
Menghadapi kondisi seperti ini , sesungguhnya diperlukan sikap berani, harus ada perlawanan sekalipun tidak seberapa bahwa kita serius, siap melakukan perlawanan dengan segala resikonya. "Tindakan riik lebih layak dipercaya dari pada perkataan hanya berkoar koar akan mengancam"
Rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan atas negara ini, harus bisa membangun reputasi sebagai pejuang yang tangguh, layak di hormati dan disegani.
Ketika mereka mengira kita tentan, kita harus berani manuver menyerang tanpa mengenal takut dan penuh keyakinan. Membalikan ancaman dengan kemampuan menimpakan kepedihan, dengan pesan ancaman bahwa kita sanggup mendatangkan kepedihan yang lebih parah, adalah mutlak harus kita ciptakan.
Berpenampilan lebih sulit diduga dan tidak rasional, menciptakan reputasi menakutkan , siap berkonfrontasi sampai mati bahkan dalam situasi ekstrim apapun , semangat jihad harus dihidupkan.
Kalau mereka meyakini kita kuat, sulit diduga dan riil ada perlawanan secara fisik dengan semangat jihad, memiliki sumber daya tersembunyi mereka akan melemah dan bisa dihancurkan.
Fenomena yang berbahaya dalam kondisi tidak menentu saat ini di bawah kendali Taipan dan Oligargi yang sudah menerkam kita, nyaris tidak ada perlawanan fisik . Sebagian para oposisi sudah merasa sebagai pahlawan ketika sudah bisa cuap-cuap di media sosial tanpa perlawanan fisik yang di perlukan. Perjuangan nyaris kandas dan tenggelam media sosial.
Kalau kita tidak pernah melawan, gerak gerik mengancam sekeras apapun yang dilakukan tidak akan digubris dan sia sia . Kita harus sanggup membuang sikap ramah, menjadi keras dan kejam membela dan menegakkan keadilan untuk menghancurkan kezaliman dan penjajahan gaya baru saat ini.
"Adalah lebih bermakna dan lebih mulia kita ditakuti dari pada dikasihani dan menjadi budak Oligarki" (*)