Nampol Ketus Netizen, tapi Lucu Menghibur
Oleh: Ady Amar - Kolumnis
Di negeri yang sepertinya tidak sedang baik-baik saja ini, kita akan terus disuguhi sentilan kritis dari mereka yang memilih berdiri di tempat semestinya dengan terus menyuarakan ketidaksukaan pada kebijakan yang diucapkan pejabat atau politisi yang acap bicara sekenanya tanpa nurani, dan itu pastilah di luar kepatutan.
Netizen Indonesia memang kreatif. Celotehannya mampu buat senyum simpul, bahkan bisa buat tawa terbahak. Aktif bermain di medsos, utamanya lewat Twitter. Tidak semua orang mampu bisa secepat kilat merespons dengan menghantam balik omongan siapa saja yang layak direspons. Bisa itu pejabat, bisa pula kelompok yang berseberangan pilihan politik dengannya.
Para netizen itu tidak terbatas kelompok intelektual tertentu, atau punya batasan umur. Mereka beragam status sosial, dari aktivis biasa sampai mantan pejabat. Lebih pada mereka yang memilih diposisi oposisi, atau berseberangan dengan rezim yang tengah berkuasa. Mereka tentu bukanlah buzzer berbayar, yang cuma bermodal dusta dan fitnah. Mereka kelompok kritis yang merespons dengan data, yang disuguhkan lewat penyampaian kritis tapi menghibur.
Jawaban skakmat para netizen itu acap mematikan. Tersaji dari yang ringan sampai keras, namun disuguhkan dengan kelucuan tingkat tinggi. Meski kerap buat telinga mereka yang tersenggol memerah dan nafas jadi terengah. Tak tanggung-tanggung pejabat yang dijadikan obyek garapan. Dari mulai menterinya Jokowi, sampai Jokowi-nya menteri, semua dibuat kalang kabut jadi bahan candaan.
Jika tidak punya sense of humour yang tinggi dan pengetahuan politik dan sosial memadai, mustahil bisa hadirkan canda nampol kritis tapi menghibur. Tidak cukup di situ, juga dituntut kelincahan bertutur dengan pilihan diksi yang pas. Meski disampaikan dengan narasi tidak panjang, karena space terbatas, tapi mampu menguak sisi lain yang menempel pada pejabat yang sedang jadi bahan candaan.
Obyeknya lebih banyak publik figur pada semua lapisan yang masuk radar untuk digarap, utamanya para pejabat atau politisi. Netizen kritis itu memilih tempatnya di situ. Memilih untuk tidak merasa jengah apalagi takut menulis apa yang diyakininya itu benar. Jadi tidak asal melucu, tapi tetap menjauh dari delik hukum yang bisa menjeratnya. Karenanya, meski kritis dan nampol keras, yang bersangkutan aman-aman saja, bebas-bebas saja untuk terus bersikap kritis.
Ucapan Presiden Jokowi yang memang miskin narasi, itu pun jadi bahan candaan saban waktu sekenanya. Bagian dari kebebasan berekspresi, boleh juga jika mau disebut demikian. Tapi bukan berarti itu serta-merta bisa disebut demokrasi di negeri ini sudah ditegakkan dengan semestinya. Tidak demikian. Indeks demokrasi melorot tajam di era Jokowi. Bahkan akhir-akhir ini Jokowi memperlihatkan sikap seolah dirinya raja, yang bisa semaunya menentukan siapa yang dikehendaki untuk menggantikannya. Langkahnya itu offside seolah tak ada yang bisa menghentikan. Sepertinya baru Jokowi Presiden Indonesia yang menunjukkan sikap cemas menjelang jabatannya berakhir.
Sedang pembiaran pada para netizen kritis, yang tampak menyerang, itu lebih didasarkan pada kesulitan menentukan jika harus melototi satu persatu celotehan produktif, seperti pabrik candaan tanpa pernah jeda. Bisa pula pembiaran itu agar dilihat sebagai negara penganut demokrasi dengan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Celotehan para netizen itu memang bukanlah hal berbahaya yang sampai bisa menggerakkan massa, atau apalagi bisa menggoyang rezim hingga menumbangkannya. Para netizen itu sekadar merespons pejabat atau politisi yang berkoar sekenanya di ruang publik, terkadang tanpa nurani. Maka, para netizen itu bergerak dengan caranya.
Teranyar, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman pun tak luput jadi bahan gojegan netizen. Itu saat diwawancara majalah TEMPO, ia menyebut "KKB Papua itu hanyalah kriminal yang cari makan dengan memeras". Maka, ia diberondong netizen dengan sikap masa lalunya yang tetap nancap dibenak publik. Ramai-ramai netizen pun lalu menggeruduknya dengan celotehan beragam.
"Kalau masang baliho, barulah itu pantas disebut teroris dan gerakan separatis," sentil Mbah @UyokBack.
Baliho seolah menjadi identik dengan Dudung Abduracman, saat itu sebagai Pangdam Jaya yang masih bintang dua. Ia saat itu memerintahkan perang terhadap baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan mencabuti menurunkannya. Ia lalu populer disebut sebagai "jenderal baliho". Perang lawan baliho HRS itu justru jadi berkah buatnya. Karir militernya jadi melesat bak meteor. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai Pangkostrad, dan lalu Kastaf AD.
Ada pula netizen @Rudi58985524, yang menyentilnya demikian:
"Benar kata Almarhum Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Yang garang di kota, di hutan jadi kucing."
Jenderal Pramono Edhie Wibowo adalah mantan Kastaf AD, ia adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Netizen menyentil Dudung Abdurachman yang dianggap sebagai jenderal yang garang melawan baliho, tapi tidak dalam melawan gerakan separatis KKB Papua.
Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris BUMN (2005-2010), dianggap sebagai netizen kritis. Ia aktif di Twitter dengan sentilan-sentilan cerdasnya. Meski hanya sentilan singkat, tapi jadi favorit dipilih khususnya media online jadi berita. Terbaru sentilannya pada Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, yang menanggapi kritikan Anies Baswedan, bahwa jalan tol yang dibangun Jokowi cuma untuk orang kaya saja. Moeldoko membantahnya, "Saya orang kecil bisa menikmati tol".
Lewat Twitter-nya Muhammad Said Didu @msaid_didu, menyentil dengan sentilan berkelas.
"Indonesia memang hebat orang kecilnya pengusaha mobil listrik."
Semua lalu dibuat menjadi tahu olehnya, bahwa di balik motor dan mobil listrik itu ada Moeldoko sebagai salah satu pemilik sahamnya.
Ada pula netizen lain @Godam062, yang menyentil Moeldoko dengan sentilan menohok, "Orang kecil mana berani ambil partai orang lain?"
Mengambil partai orang lain, itu merujuk pada Moeldoko yang berupaya mengambil alih Partai Demokrat dengan cara di luar kepatutan. Muncul untuknya julukan jenderal begal. Julukan tidak mengenakkan yang melekat disandangnya sampai kapan pun.
Di negeri yang sepertinya tidak sedang baik-baik saja ini, kita akan terus disuguhi sentilan kritis dari mereka yang memilih berdiri di tempat semestinya dengan terus menyuarakan ketidaksukaan pada kebijakan yang diucapkan pejabat atau politisi yang acap bicara sekenanya tanpa nurani, dan itu pastilah diluar kepatutan.**