OPINI

Tunda Pemilu dan PJ Presiden

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dab Pemerhati Bangsa JABATAN kepala daerah itu lima tahun. Ketika pemilu ditunda 2024, maka ada 271 kepala daerah harus berhenti dan diganti dengan PJ. Orang suka salah sebut jadi Plt. Yang benar, sesuai istilah undang-undang, itu PJ. Tahun 2022, ada 101 kepala daerah yang habis masa periodenya. Termasuk Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Tahun 2023, ada 170 kepala daerah yang selesai masa tugasnya. Total 271. Mereka diberhentikan oleh undang-undang dan digantikan oleh PJ. PJ ditunjuk oleh Kemendagri Tito Karnavian. Untuk PJ Gubernur harus eselon 1, setingkat dirjen. Untuk bupati dan walikota bisa eselon 2 setingkat direktur. Gratis tidak untuk jadi PJ kepala daerah? Sesuai aturan, ya gratis. Prakteknya, ya kita gak tahu. Di belakang layar, seringkali ada layar. Itulah yang disebut dramaturgi. KPK harus awasi nih. Bagaimana dengan nasib kepala negara jika pemilu diundur? Ini berandai-andai saja. Karena ada yang ngebet, kebelet dan sangat ngotot supaya  pemilu diundur. Banyak drama, banyak aktor, banyak modus. Negara gaduh terus, gak berhenti. Apa presiden harus dihentikan setelah masa tugas lima tahun selesai, lalu ada PJ? Demi asas keadilan, ya harus berhenti. Masa tugas selesai, waktunya lima tahun sudah habis. Ini undang-undang dasar. Siapa yang akan menggantikan kekosongan posisi presiden? Ya PJ Presiden. Seperti para kepala daerah. Kalau ada PJ bupati, PJ Gubernur, maka ada PJ presiden. Dengan catatan, kalau oknum yang berupaya keras untuk tunda pemilu itu berhasil. Itu juga kalau tidak terjadi chaos, dan jadual pemilu justru malah bisa dimajukan tahun 2023. Siapa yang menunjuk dan ditunjuk jadi PJ presiden? Nah, ini yang repot. Jangan sampai MPR ambil alih. Itu namanya sidang MPR. Repot lagi kalau anggota MPR-nya juga PJ. Bagaimana juga dengan anggota DPR, DPRD dan DPD? Ya harus PJ juga. Masa bakti habis, ganti dengan PJ. Jadi, kalau sukses tunda pemilu, maka presiden dan semua anggota DPR, DPRD dan DPD harus PJ. Mereka pejabat sementara, sampai terpilih presiden baru, juga anggota DPR, DPRD dan DPD yang baru. Kita bisa bayangkan jika ada PJ presiden, PJ anggota DPR, DPRD dan DPD, ini seru. Negera ini menjadi negara PJ. Apalagi kalau ditunda pemilunya seumur hidup?  Makin seru lagi. PJ presiden harus beda dengan presiden pilihan rakyat. PJ presiden tidak boleh membuat UU, tidak boleh mengeluarkan kepres, perpu, dan sejenisnya. PJ presiden tidak boleh juga mengeluarkan instruksi perang, dan seteruanya. Kira-kira kacau gak negara ini? Undang-undang telah membatasi PJ kepala daerah melakukan mutasi terhadap anak buahnya, kecuali atas ijin mendagri. Eh, ijin mendagri sejak awal sudah dikeluarin. Diijinkan!lalu, apa gunanya batasan undang-undang itu ya? Kata \"kecuali\" mestinya dimaknai \"dharurat\". Bukan diobral. Tapi, ya sudahlah. Situasinya memang lagi seperti itu.  Para aktor yang menginginkan tunda pemilu, baik aktor intelektual yang selalu bersembunyi dan pura-pura menentang, dan aktor lapangannya yang lebih jujur dan vulgar, mereka gak paham risiko sosial-politik dan potensi chaos. Yang mereka tahu bagaimana cara melanggengkan kekuasaan dan jabatan. Mengabadikan akses untuk menikmati kekayaan negara. Itu saja yang ada di kepala mereka. Bodo amat dengan semua yang akan terjadi. Hancur hancur deh negara ini. Jakarta, 8 Maret 2023

Menteri Keuangan Tanggung Jawab Atas Korupsi Kolektif Pajak: Perusahaan Penyuap Tidak Tersentuh Hukum

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP), PT Bank Pan Indonesia Tbk (Bank Panin) harus bayar pajak tahun 2016 sebesar Rp926,26 miliar. Tetapi, Bank Panin sepertinya “keberatan”, tidak mau bayar semua kewajibannya. Bank Panin mengutus seseorang bernama Veronika, pihak ketiga, untuk negosiasi dengan petugas pajak. Veronika minta kewajiban pajak Bank Panin diturunkan menjadi sekitar Rp300 miliar, dan berjanji akan memberikan fee kepada tim pajak sebesar Rp25 miliar. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ketika itu, Angin Prayitno Aji, menyetujui negosiasi tersebut. Angin Prayitno juga membuat “kebijakan” untuk bagi-bagi hasil korupsi dari pemeriksaan pajak, minta kepada para supervisor tim pemeriksa pajak agar pada saat melaporkan hasil pemeriksaan sekaligus juga melaporkan fee untuk pejabat struktural (direktur dan kasubdit) serta untuk jatah tim pemeriksa pajak. Pembagiannya, 50 persen untuk pejabat struktural yang terdiri atas direktur dan kepala subdirektorat, sedangkan 50 persen untuk jatah tim pemeriksa. Artinya, korupsi pajak tidak dilakukan oleh satu tim pemeriksa saja, tetapi dilakukan bersama-sama, secara institusi. Hasil korupsi pajak kemudian dibagi-bagi kepada banyak pihak di internal DJP: korupsi berjamaah? Tidak heran banyak pegawai pajak yang mempunyai gaya hidup mewah, hasil dari korupsi pajak kolektif yang melibatkan semua tim pemeriksa dan kepala subdirektorat, di bawah naungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, atau bahkan DJP? Setelah uang korupsi dibagi-bagi, apakah tidak ada yang mengalir ke atas? Atau yang di atas pura-pura tidak tahu ada bagi-bagi uang korupsi? Angin Prayitno dan dua pegawai pajak lainnya tertangkap KPK, bersama penyuap Veronika. Kerugian negara mencapai Rp600 miliar hanya untuk satu kasus, PT Bank Panin. Angin Prayitno juga terlibat kasus suap pajak lainnya, yaitu PT Jhonlin Baratama dan PT Gunung Madu Plantations. Penyuap Veronika hanya dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta (subsider 3 bulan kurungan). Hukuman ini relatif sangat ringan. Tidak akan menimbulkan efek jera. Sedangkan pihak perusahaan penyuap yang bertanggung jawab, misalnya direksi Bank Panin, tidak tersentuh hukum. Korupsi pajak kolektif juga dapat dibuktikan pada kasus Gayus Tambunan sekitar 2010-2011. Tak kurang ada 27 nama yang terseret kasus Gayus dan menegaskan banyaknya pegawai pajak di DJP yang terlibat korupsi pajak. Kasus Rafael Alun hanya puncak gunung es. Rafael Alun tidak bisa bekerja sendiri atau hanya dengan beberapa pegawai pajak saja. Seluruh Tim pemeriksa dan kasubdit wajib diselidiki. Termasuk sampai ke atasannya yang tertinggi, yaitu Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan. Bukan saja di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga wajib diselidiki. Menurut info yang beredar di media sosial, kepala Bea Cukai Jogja juga mempunyai kekayaan fantastis, sampai ada pesawat pribadi. Apakah benar? Wajib diusut! (*)  

Rakyat Dukung Megawati Melawan Putusan Tunda Pemilu PN Jakpus

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MEGAWATI, Ketua Umum PDI Perjuangan, secara konsisten menolak keras putusan tunda pemilu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Banyak alasan kenapa harus menolak putusan PN Jakpus tersebut. Salah satunya, dan fatal, karena putusan PN Jakpus melanggar konstitusi, sehingga otomatis harus batal demi hukum. Karena tidak ada undang-undang atau putusan pengadilan yang lebih tinggi dari konstitusi. Tidak ada putusan pengadilan yang bisa mengubah konstitusi yang menyatakan pemilu wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu yang akan datang wajib dilaksanakan pada 2024. Pengadilan tidak bisa mengubah perintah konstitusi ini. Sikap Megawati, yang secara tegas menyatakan taat dan menghormati konstitusi, patut dipuji. Bahkan Megawati instruksikan kader PDIP mengawal jadwal pemilu 2024, dan tidak beri ruang untuk tunda pemilu (dan pilpres) 2024. Sikap tegas menolak penundaan pemilu mencerminkan sikap ksatria dari Megawati dan PDIP, yang siap bertarung dalam kontestasi pemilu dan pilpres lima tahunan, meskipun sampai saat ini PDIP belum mempunyai calon presiden. Rakyat sangat menghargai sikap ksatria ini. Sebaliknya rakyat mengecam sikap pengecut para pengkhianat yang mau menunda pemilu, para pengkhianat bangsa dan negara yang mau melanggengkan kekuasaan dengan merampok kedaulatan rakyat, merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap PDI-P yang menolak putusan tunda pemilu PN Jakpus yang melanggar konstitusi mendapat dukungan banyak pihak, termasuk dari partai pendukung pemerintah lainnya, Nasdem dan Gerindra. Usai pertemuan Nasdem dan Gerindra di Hambalang, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menyatakan menolak penundaan pemilu.  Partai “oposisi”, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebelumnya juga sudah menyatakan menolak putusan tunda pemilu PN Jakpus. Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat mencium aroma tidak sedap atas putusan PN Jakpus yang di luar akal sehat. PKS yang belum lama mendapat kunjungan dari Dubes AS untuk Indonesia sangat konsisten membela konstitusi dan demokrasi untuk kepentingan bangsa dan negara. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sudah berkoalisi dengan Gerindra, nampaknya juga siap menghadapi pemilu. Kalau PKB ikut gerbong lima partai yang menolak penundaan pemilu, dan siap mengikuti kontestasi pemilu 2024 sesuai jadwal, maka total jumlah kursi yang menolak penundaan pemilu menjadi 427 kursi, atau 74,26 persen dari total kursi DPR yang berjumlah 575. Di mana posisi Golkar, PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang belum bersuara terhadap putusan tunda pemilu PN Jakpus pelanggar konstitusi? Sebelumnya, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sempat menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi. Di lain sisi, komentar presiden Jokowi terkait putusan tunda pemilu PN Jakpus yang melanggar konstitusi dinilai tidak tegas dan mengecewakan. Ekspektasi masyarakat, Jokowi seharusnya mengecam segala upaya yang tidak konstitusional, seperti yang disampaikan oleh Megawati. Apakah putusan tunda pemilu PN Jakpus konstitusional? Apakah dengan mendukung KPU banding atas putusan PN Jakpus tersebut berarti sama saja mengakui bahwa putusan tunda pemilu adalah sah?  Kalau pengadilan boleh memutuskan perkara dengan melanggar konstitusi, negara ini dalam bahaya, dan tinggal menunggu kehancuran. Jokowi hanya menyampaikan, putusan PN Jakpus kontroversial, timbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya, siapa yang pro melanggar konstitusi? Kebanyakan rakyat Indonesia juga menolak putusan tunda pemilu, yang kali ini menggunakan tangan PN Jakpus yang melanggar konstitusi.  Rakyat bersama partai politik memastikan pemilu 2024 wajib dilaksanakan. (*)

Baguslah Prabowo Siap Bertarung Lawan Anies

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SETELAH Surya Paloh berkunjung ke kediaman Prabowo dan mendiskusikan soal Capres 2024, keduanya sepakat untuk bertarung dengan Calon Presiden masing-masing. Ajakan agar Prabowo dapat bergabung meski tidak berhasil. akan tetapi kewajiban moral Surya Paloh kepada sejawat Partai Koalisi pendukung Pemerintahan Jokowi telah dilakukan.  Prabowo yakin akan kekuatannya, mungkin masih terbuai hasil \"survey-survey\". Ia berniat untuk maju terus meski belum terlihat dukungan nyata di akar rumput. Berbeda dengan Anies Baswedan yang secara signifikan mendapat dukungan luas, termasuk juga dari mantan pendukung Prabowo dahulu.  Jika nanti hanya ada dua pasang Capres Prabowo melawan Anies Baswedan maka diprediksi Prabowo akan kalah. Jika ada tiga pasangan yang bertarung, maka sangat mungkin Prabowo akan tersingkir dini. Apabila masih berharap ditarik jadi Menteri lagi, maka itu tanda bahwa urat malu telah hilang.  Taruhlah Istana, baca Jokowi, saat ini pro pada Prabowo dan Anies harus dibabat habis. Lalu disain 2019 dipasang kembali, dengan operasi khusus untuk mengubah wajah kalut kalah menjadi sumringah karena Tim IT sukses mengotak-atik angka. Prabowo yang saat itu berstatus sebagai korban berubah menjadi pelaku.  Hanya saja ada hal penting yang bakal menjadi persoalan serius yaitu bahwa Surya Paloh yang dahulu turut sumringah oleh otak atik angka itu tentu telah sangat faham akan \"ramuan dapur\" permainan. Artinya tidak mudah untuk bermain dengan modus serupa.  Prabowo tidak menyodorkan Sandiaga Uno,  karenanya tidak ada pasangan Anies-Sandi. Sebagaimana publik ketahui bahwa di samping Prabowo sudah \"tanggung\" mau maju sendiri sebagai Capres, juga Sandiaga Uno semakin luntur warnanya. Ambisi politiknya membawa Uno merapat ke PPP. Meskipun demikian menurut Pabowo, Sandi masih akan patuh pada kebijakan Partai Gerindra.  Peta pasangan Capres/Cawapres yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024 tetap belum jelas. Penjajagan yang terus menerus dilakukan antar partai politik juga menggambarkan adanya kegalauan. Hal ini sekaligus menunjukkan buruknya sistem Pilpres kita saat ini. Rakyat hanya menonton dan diajak untuk menebak-nebak. Sementara partai politik sibuk mengubah-ubah kotak puzzle. PT 20 % menjadi sumber dari penyakit.  Surya Paloh tetap berbaik-baik dengan Prabowo. Meski akhirnya masing-masing membawa agenda sendiri. Paloh untuk Anies sedangkan Prabowo untuk dirinya sendiri. Paloh menjadi \"king maker\" sedang Prabowo \"to make King himself\". Sebenarnya dukungan penuh Jokowi kepada Prabowo diragukan, bisa saja Jokowi sedang mengadu Prabowo dengan Anies untuk yang ia perkirakan akan berebut konstituen yang sama. Jokowi sendiri menyiapkan pasangan ketiga yang akan diperjuangkannya entah Ganjar-Erick atau lainnya.  Jika kompetisi berjalan fair maka Anies Baswedan akan memenangkan pertarungan dan menjadi Presiden pengganti Jokowi. Siapapun lawannya dalam Pilpres. Kalkulasi sedang berpihak padanya. Rakyat sendiri sudah ingin adanya perubahan dan ini artinya era Jokowi tamat. The End.  Bandung, 8 Maret  2023

Panggung Politik Karya Luhut

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) MENKO Marves Luhut Binsar Panjaitan adalah tokoh \"luar biasa\". Panggung politik nasional yang tersaji di depan kita hari ini adalah karyanya. Peran Jokowi pun diatur oleh jenderal purnawirawan orde baru ini. Kebetulan Jokowi menikmatinya meskipun harus merelakan kekuasaannya pada Luhut. Toh, menurut anggapannya, semua yang dilakukan Luhut akan bermuara pada kepentingan dan kemuliaannya. Sebagai sutradara, setiap aktor di atas panggung hanya berakting sesuai arahan Luhut. Kasarnya mereka adalah aktor-aktor ciptaannya. Prabowo, Ganjar, Muhaimin, Zulhas, dan Airlangga Hartarto, tak punya daya untuk berimprovisasi. Mengapa demikian? Jawaban sederhana adalah Luhut ingin menguasai panggung selama mungkin, kalau bisa seumur hidup. Kekuasaan adalah kenikmatan tiada tara yang sudah lama diimpikan Luhut  dan kini sudah ada dalam genggamannya. Sejatinya panggung ini milik rakyat, yang dipercayakan kepada Jokowi untuk mengelolanya. Sayang, rakyat memberikan wewenang kepada orang yang salah. Panggung ini terlalu besar dan megah untuk dikelola seorang Jokowi yang tak punya kapasitas ilmu, moral dan intelektual untuk itu. Tapi karena pengelola panggung adalah orang yang mendapat penghormatan tinggi dari rakyat -- yang mengira mereka akan hidup adil dan lebih sejahtera dituntun Jokowi -- ia terima mandat itu. Toh, nantinya ia akan delegasikan kepada pembantunya yang banyak akal. Juga banyak niat. Dialah Luhut, pensiunan perwira tinggi yang dilatih untuk membunuh musuh. Kecuali PDI-P, Nasdem, Demokrat, dan PKS, sisa lima lagi parpol parlemen (Gerindra, PKB, PAN, PPP, dan Golkar) berada dalam genggaman Luhut. Dia, meskipun yang tak punya partai, terbukti mampu mengendalikan  pemimpin parpol-parpol ini. Bahkan, Nasdem dan PKS pun -- kendati mandiri -- tak bisa sebebas-bebasnya bermanuver karena harus memperhitungkan kemungkinan respons Luhut. Toh, Nasdem khususnya adalah parpol koalisi pendukung \"pemerintahan Luhut.\" Terbata-batanya Nasdem, Demokrat, dan PKS membangun koalisi -- yang hingga hari ini belum mantap -- tak bisa lepas dari pengaruh Luhut. Sepanjang yang kita ketahui, Nasdem dan PKS dirayu, ditekan, bahkan mendapat ancaman dari Luhut untuk tidak mencapreskan Anies Baswedan. Beruntung Paloh gigih menolak masuk dalam permainan Luhut. Hubungan Paloh-Luhut memang tak harmonis. Bahkan sejak awal dia meminta Jokowi tidak memasukkan Luhut ke dalam kabinet. Kesulitan PDI-P, yang hingga hari ini belum juga menetapkan capres yang diusung, tak juga bisa dipisahkan dari realitas panggung politik nasional ciptaan Luhut. Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra-PKB) yang mestinya menjadi habitat politik yang nyaman bagi PDI-P karena kesamaan visi dan misi tak dapat didekati PDI-P karena ada tangan Luhut di sana. Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar adalah orang-orang Luhut. Kalau Prabowo harus patuh pada Luhut untuk memungkinkannya bertahan di kabinet dan berharap mendapatkan dukungan Jokowi bagi pencapresannya, Cak Imin adalah pasien rawat jalan karena tersandera kasus korupsi. Sementara Luhut adalah musuh besar Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri sejak lama. Sebagaimana Paloh, Mega pun menentang keinginan Jokowi merekrut Luhut ke dalam kabinetnya sejak awal pembentukan kabinet pada 2014. Luhut adalah sahabat bisnis Jokowi sejak Jokowi masih menjabat Walikota Solo. Penentangan Mega dan Paloh terhadap Luhut mengisyaratkan dua hal. Pertama, mereka sangat mengenal watak Luhut yang sangat ambisius. Kedua, mereka tak percaya Jokowi yang lemah dapat mengendalikannya. Di kemudian hari, apa yang ditakutkan keduanya jadi kenyataan. Karena sangat bergantung pada visi dan otaknya, Luhut menjadi penguasa sesungguhnya di pemerintahan Jokowi. Menteri-menteri PDI-P dan Nasdem pun tak berkutik di hadapannya. Kebencian Mega terhadap Luhut kian mengkristal karena Jokowi ternyara lebih patuh pada Luhut ketimbang dirinya. Lebih sial lagi, teater politik nasional hari ini tak berpihak pada PDI-P. Kalau saja partai ini punya aspiran capres sendiri dengan elektabilitas tinggi, mungkin saja ia mencapreskan kadernya tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain yang, di luar Nasdem, Demokrat, dan PKS, telah dicemari tangan Luhut. Sementara faktanya, elektabilitas Puan Maharani, yang sudah lama dipersiapkan Mega untuk kelak menduduki jabatan RI1 atau RI2, hingga kini masih jeblok. Padahal, waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya tinggal sedikit. Sebenarnya PDI-P punya kader populer dan konsisten berada di tiga besar sebagai aspiran capres bersama Prabowo dan Anies. Namun, lagi-lagi Ganjar adalah orang Jokowi (baca: Luhut). Karena merupakan pasien tersandera rawat jalan sebagaimana Cak Imin, Hartarto, dan Zulhas, Ganjar semua  berada di bawah ketiak Luhut. Sekiranya ia jadi presiden, di mata PDI-P akan terjadi deja vu: pengalaman dengan pemerintahan Jokowi yang dikendalikan Luhut akan terulang kembali.  Ganjar akan juga merekrut Luhut ke dalam kabinetnya sebagai jasa balas budi. Inilah yang menjelaskan mengapa PDI-P bukan saja menjauhi Ganjar, tapi juga membunuh karakternya. Bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga tak memungkinkan karena koalisi ini milik Luhut. Dialah yang membentuknya. KIB yang digadang-gadang akan mencapreskan Ganjar, sehingga diharapkan akan memaksa PDI-P bergabung ke dalamnya, gagal total. Tanpa dukungan PDI-P, nilai jual KIB bersama Ganjar tidak signifikan. Kalau PDI-P bersedia bergabung dengan KIB asalkan kader partai itu --  di luar Ganjar -- menjadi capresya (misalnya, Puan), syarat ini tidak akan diterima karena di luar Ganjar PDI-P tak punya kader potensial untuk memenangkan pilpres. Sepintas tampak Luhut di mana-mana. Namun, terbukti kemudian, Luhut tak sepenuhnya menguasai panggung karena ia tak mengendalikan Paloh. Luhut tak berpikir pentingnya mengendalikan Paloh mungkin karena dia sudah merasa aman, selain tak mudah menundukkan tokoh ini tentunya. Ia tak membayangkan suatu hari Paloh akan berpaling ke Anies, yang pada pilgub DKI Jakarta 2017 Nasdem mendukung Ahok, bukan Anies. Terlebih, sebelumnya Nasdem yang memiliki media arus utama ikut mengamplifikasi Anies sebagai pengusung politik identitas. Nasdem tak punya pilihan lain karena Anies satu-satunya aspiran capres potensial yang berada di luar orbit Luhut. Pada saat yang sama, setelah lima tahun memimpin Jakarta, tuduhan politik identitas tidak terbukti sama sekali. Kinerja Anies di Jakarta malah sangat mengesankan. Dia pun menjadi pemimpin yang masyhur di seluruh Indonesia dan disambut komunitas internasional. Duet Luhut-Jokowi dalam menekan Paloh untuk membuang Anies hingga hari ini tidak berhasil. Tidak seperti Nasdem, ruang manuver PDI-P tak banyak karena kesalahannya sendiri, yakni  mengharamkan berkoalisi dengan Demokrat dan PKS berdasarkan pada alasan yang sumir dan trivial. Tak heran, Mega menentang Demokat dan PKS masuk ke dalam parpol koalisi pendukung pemerintahan Jokowi. Bagaimanapun, kesalahan Mega ini kini terbukti secara tidak sengaja membuat skenario  Luhut tidak bisa berjalan sempurna. Dengan menjadi oposisi, Demokrat dan PKS tidak dikendalikan Luhut. Panggung politik settingan Luhut  yang cacat, kesalahan sendiri yang dibuat Mega, dan kepiawaian Paloh memainkan jurusnya, menghadirkan drama politik nasional yang menegangkan, yang berpotensi menjadi bumerang bagi Luhut. Ketidaksempurnaan settingan Luhut inilah yang kini kita lihat bagaimana ia berusaha memperpanjang masa jabatan presiden, yang diikuti berbagai usaha menjegal Anies. Lagi-lagi Luhut belum atau mungkin tak akan pernah berhasil karena upaya pertama dihadang Mega, sementara usaha kedua dimentahkan Paloh. Bagaimana akhir kesudahan drama ini? Tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan Luhut, Mega, dan Paloh pun tak tahu. Penyebabnya, karena ada faktor penentu yang tidak mereka kuasai:  rakyat. Aspirasi rakyatlah yang berperan mengendalikan batas-batas ruang manuver mereka. Politik nasional masih dinamis. Tapi ruang manuver Mega menjadi lebih sempit dengan ketiadaan aspiran capres yang menjanjikan. Peluang Luhut sebagai bidan yang akan melahirkan pemerintahan mendatang dengan bayi yang diharapkannya juga menyempit. Sebaliknya, situasi dan kondisi ini rupa-rupanya menguntungkan Anies. Kalau nanti Koalisi Perubahan tetap mantap pada komitmen mengusung Anies hingga hari pendaftaran capres-cawapres, sedangkan koalisi parpol lain muncul dengan aspiran capres yang kini digadang-gadang, kemenangan Anies berada di depan mata. Tetapi harus tetap diingat bahwa Luhut adalah politisi yang banyak akal, powerful, dan nekat. Dua adalah orang yang tak siap menghadapi kekalahan karena itu akan dilihat sebagai pukulan pada harga dirinya. Artinya, penundaan pemilu dan penyingkiran Anies bisa saja terjadi. Turbulensi sosial-politik yang mungkin tercipta sebagai akibatnya justru bisa merupakan hal yang diinginkan Luhut untuk menjustifikasi pembatalan pemilu. Tangsel, 5 Maret 2023

Ada 39 Pejabat Kemenkeu Rangkap Jabatan BUMN

Ada pejabat yang rangkap jabatan dalam 2 tahun penghasilannya Rp 64,300.000.000,- (Rp 64,3 M), gaji per bulan Rp 680,6 juta, dan tantiem Rp 17, 9 Milyar (data 2022). Oleh Agustinus Edy Kristianto Beberapa hari lalu—selepas status saya meluncur—ada yang usul supaya saya membuat daftar pejabat Kemenkeu yang rangkap jabatan komisaris BUMN/anak perusahaan BUMN. Syukurlah, Seknas FITRA telah membuatnya. Tercatat ada 39 pejabat eselon I dan II Kemenkeu merangkap jabatan komisaris BUMN/anak perusahaan BUMN.  Rangkap jabatan berarti rangkap penghasilan dan itu juga terjadi di kementerian/instansi lain. Banyak, apalagi bagi para pemandu sorak di sekeliling Menteri BUMN.  Masalah yang awalnya dari soal Rafael Alun dan bocah kejinya itu kini merembet jauh. Ada soal kesenjangan sosial, dugaan KKN, buruknya tata kelola pemerintahan, degradasi moral-pendidikan anak, absennya integritas dan teladan pemimpin—meski beberapa orang masih begitu pandir berpikir itu hanyalah semata iri atas rezeki orang dan tetap mengelu-elukan pejabat! Presiden Jokowi saja cuma bicara jangan pamer. Dia tidak bicara nilai, teladan, jangan korupsi dst. Dia tak perintahkan perubahan sistemik supaya pejabat korup sulit bergerak bebas. Dia tak beri sinyal akan adanya perubahan regulasi supaya birokrasi lebih bersih. Dia tak bicara ikan busuk mulai dari kepala, oleh sebab itu pimpinan harus bersih terlebih dahulu sebelum menghajar bawahan—bukan berarti kita toleran terhadap ikan sedang macam Rafael dkk, ini juga perlu dihajar soal kekayaannya. Saya mau fokus di kepala ikan. Jangan sampai kepala yang busuk tiba-tiba seolah pahlawan reformasi birokrasi. Kita masuk dari soal rangkap jabatan yang telah dibuka oleh FITRA itu. Dalam wawancara eksklusifnya dengan Tempo, Menkeu sudah berkomentar tentang rangkap jabatan itu. Saya lihat dia juga bingung sendiri mau bilang apa. Satu sisi dia bilang alasan pejabat Kemenkeu rangkap komisaris BUMN adalah karena pemerintah sebagai pemegang saham utama BUMN, tapi di sisi lain dia juga mempertanyakan alasan itu.  Ya, mau bagaimana lagi, presidennya saja tidak peduli soal rangkap jabatan begitu apalagi berinisiatif melarangnya demi tata kelola pemerintahan dan BUMN yang lebih baik. Apalagi pembantunya—padahal kalau mau dirunut, dulu Menkeu ini begitu kondang antikorupsi sampai dibuat profilnya di BBC karena sikapnya menentang rangkap jabatan. Bahkan KPK saja cuma memberikan ‘permakluman’ bahwa pejabat yang kaya itu bukan berarti pasti korupsi melainkan mereka juga ada penghasilan tambahan seperti menjadi komisaris BUMN.  Padahal, JUSTRU itu masalahnya, hadeuh! Jika masyarakat mempersoalkan, paling dianggap sebatas keberisikan. Banyak dalih untuk berkelit: aturan tidak melarang, yang penting kinerjanya bukan rangkapannya, bahkan jika kita persoalkan daftar hadir rapat-rapat dekom pun, bisa jadi tanggal dibuat mundur supaya yang tidak hadir bisa dibuat seolah hadir.  Aturan bisa dibuat. Administrasi bisa direkayasa. Congor di media bisa dibeli. Iklan yang bagus-bagus bisa disebar.  Tampilan religius bisa dibuat. Tapi ingat rasa ketidakadilan itu tumbuh di masyarakat. Kesenjangan sosial itu ada. Ketidakpuasan itu nyata.  Para pejuang kemerdekaan Indonesia tidak mati demi negara yang pada akhirnya cuma menyejahterakan segelintir pejabat kayak sekarang. Saya kasih ilustrasi bagaimana caranya menyejahterakan pejabat dengan rangkap jabatan itu, termasuk pada saat pandemi, ketika banyak dari kita kesusahan! Saya pilih acak sebagai contoh Dirjen Kekayaan Negara RS. Ia diangkat sebagai Komisaris Bank Mandiri lewat RUPS-LB 12 Agustus 2019 dan efektif sejak 12 Februari 2020. Pada 2017-2019, ia Komisaris PLN. Di Mandiri, ia menggantikan pejabat Kemenkeu juga yang pindah jadi Komisaris BNI. Selama periode 2020-2022 (3 tahun),  jumlah komisaris Bank Mandiri 10 orang. Banyak pula yang merangkap jabatan sebagai staf khusus presiden/wapres, deputi Setkab, Deputi Kementerian BUMN, Kepala BPKP dst.  Kalau baca berita, alasannya sedap betul. Intelektual banget. Misalnya, mengapa RS diangkat sebagai komisaris adalah untuk mengantisipasi adanya gejolak ekonomi global terhadap bisnis Bank Mandiri.  Mules banget baca alasannya itu. Orang juga tahu jabatan itu basah. Banyak lho orang ditawari jadi dubes tidak mau dan lebih menyasar komisaris BUMN.  Apa sebabnya? Duit! Seorang komisaris punya tiga jenis pendapatan: gaji dan tunjangan, bonus dan tantiem, serta imbalan kerja jangka panjang. Porsi terbesar adalah bonus dan tantiem itu (bisa lebih dari 80%), apalagi di BUMN sekelas Bank Mandiri. Saya sudah cek laporan keuangan BMRI 2020-2022 (selama RS merangkap jabatan) dan menemukan total penghasilan RS dari jabatan komisaris itu sebesar Rp64,3 miliar. (Per 2021, LHKPN RS tercatat sebesar Rp53,3 miliar. Tahun 2022 batas akhir pelaporan pada 31 Maret 2023).  Tahun 2020, gaji dia di BMRI sebesar Rp538,5 juta/bulan, bonus dan tantiemnya Rp11,6  miliar. Tahun 2021, gaji dia Rp612 juta, bonus dan tantiemnya Rp11,08 miliar. Tahun 2022, gaji dia Rp680,6 juta, bonus dan tantiemnya Rp17,9 miliar. Dengan penghasilan sebesar RS di BMRI itu, dia bisa pegang rata-rata Rp21 miliar/tahun atau sekitar Rp1,7 miliar/bulan. Pamer sampai mampus pun bisa—tentunya setelah dipotong proposal-proposal permintaan dana dari patron politiknya yang membantunya meraih jabatan itu. Artinya, dari bonus dan tantiem doang, dia dapat Rp40,65 miliar selama tiga tahun. Lantas, sebagai eselon I, dia masih dapat tunjangan kinerja (tukin) Rp90 jutaan/bulan.  Kalau segini dapatnya, gaji sebagai PNS tak perlu dihitung. Buat beli lato-lato saja, ibaratnya.  Bahkan RS itu masih punya harta juga berupa 553.200 lembar saham BMRI. Saat ini saham BMRI Rp10.050/lembar. Berarti total nilai saham yang dia punya Rp5,5 miliar. Sudah rangkap jabatan, jadi investor pula (artinya dapat dividen dan untung dari kenaikan nilai saham). Dari mana asalnya bonus dan tantiem? Darimana bank dapat laba? Dari bunga yang dibebankan ke nasabah/debitur—masyarakat! Mengapa selama pandemi, bank makin untung? “Ternyata perbankan memainkan spread (selisih) suku bunga kredit dan suku bunga dana sehingga NIM (Net Interest Margin) menjadi stabil. Saat volume penyaluran kredit menurun, perbankan cenderung memperbesar spread antara suku bunga kredit dan suku bunga dana untuk mempertahankan level NIM.” (Kompas, 15 Februari 2023). (Anda baca sendiri saja beritanya supaya memahami kenapa bank selalu untung jumbo, bahkan tanpa perlu sentuhan pejabat Kemenkeu sebagai komisaris) Terbukti, kan, pandemi tidak berpengaruh terhadap penghasilan pejabat. Mereka makin kaya: gaji jalan, tantiem jalan, imbalan lain jalan, tukim jalan, investasi saham jalan.  Masalahnya apa untungnya buat masyarakat umum dengan adanya PNS eselon I merangkap komisaris di BMRI itu? Tidak ada! Minimal tidak pantas dihargai penghasilan miliaran rupiah. Halo, Presiden Jokowi. Laranglah rangkap-rangkap jabatan seperti di atas dalam segala bentuknya. Itu soal SEPELE, cuma soal harta dan tahta, bukan masalah luhur seperti perintah kitab suci, keyakinan ilahi, kehidupan kekal setelah mati, kebahagiaan rohani di surga.  Katanya situ orang baik.  Lihat itu di Lampung ada anak SD menangis di makam bapaknya karena sedih dagangan kuenya belum ada yang laku. Sementara pejabat tidak malu makan duit miliaran karena rangkap jabatan di negara pedih begini. Salam Lato-Lato. Sumber: Facebook Agustinus Edy Kristianto 

Jokowi Terjerat dan Terjepit

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SETIAP hari, peta politik disuguhi dagelan dan fantasi teror psikologis diruang hiper  pejabat negara seperti badut politik. Politik di  Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan,  ( shows no signs of recovery ), apalagi bergerak maju sesuai tuntunan geo strategi dan politik global yang sedang bergerak dan berkompetisi sangat cepat  Tidak mampu bangkit dari serangan serangan kejumudan, kebodohan, keterbelakangan  dan bertekad bisa keluar dari pikiran dan prilakunya primitifnya, yang membuat negara terus mundur kebelakang. Dengan terus menerus sibuk dibuat sendiri menciptakan fragmen \"musuh negara\" dan \"masalah negara\" sebagai alat distraksi fokus pikirannya. Rezim Jokowi mengadopsi  inefektivitas cara lama  (inefektivitas old ways), pikiran primitif. Bisa kita ketahui dengan jelas negara hanya bangun infrastruktur dengan uang hutang. Kebutuhan pokok rakyat dengan cara impor  juga dengan uang hutang. Panik genjot naikan pajak. Sementara mereka bersuka ria berebut uang fee, larut dalam bisnis para Taipan dan Oligarki Visi politik yang visioner dan pembangunan ekonomi yang mandiri untuk kesejahteraan rakyat macet total, memperlihatkan rezim ini tersekat oleh dirinya karena kapasitas kapabilitas dan integritasnya minim, terlihat loyo, lunglai,  kewalahan, keletihan dan kelelahan. Ini cara lama yang masih dipraktekkan oleh pemimpin atau penguasa semi-primitif  menggunakan kartu agama dan ras sebagai solusi distraksi.  Dalam rangka mengkanalisasi  kerusuhan publik dan kekacauan sipil. (public unrest dan civil disorder) tidak di benahi malah terus diperbesar. Tidak mampu menyatukan  tetapi terus menciptakan keterbelahan dan kegaduhan masyarakat, dengan diksi radikal, intoleran ditimpakan pada mereka yang dianggap melawan atau memusuhi rezim bahkan terahir merekayasa politik belah bambu dengan diksi politik identitas. Bahkan sangat tragis saat ini sedang merekayasa untuk menunda bahwa ingin membatalkan Pemilu yang sudah diatur siklusnya dengan UU. Rekayasa politik Jokowi selalu memaksakan  subjektivitas sebagai narasi solipsisme nasional (seseorang tidak memiliki landasan untuk percaya akan hal lain kecuali dirinya sendiri). Celaka kalau suara taipan lebih dominan dari suara rakyat. Tidak mau mendengar dan belajar dalam kondisi keterbatasan dirinya. Ini jelas bersumber dari P. Jokowi sendiri yang memang kapasitas, kapabilitas dan integritasnya minim,  menjadi mainan politik baik kawan lawan politiknya.  Pola generalisasi buta ini merupakan tanda rezim Jokowi adalah rezim lemah dan terjerat dan terjepit oleh dirinya sendiri. Dampaknya pada ketidak aturan dalam mengelola negara dan negara terkena imbasnya menjadi carut marut dan terus meluncur pada kekacauan dan kehancurannya. ****

MPR Tidak Paham Amandemen, Adendum atau Mengubah UUD 45

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  DALAM berbagai kesempatan Prof. Kaelan ( guru besar UGM ) yang telah melakukan penelitian 10 tahun terus menerus tentang perkembangan konstitusi di Indonesia,  mengingatkan kita semua bahwa  UUD 2002 , adalah produk dari 95 % telah mengubah pasal UUD 45 . Jadi dalam proses penyusunan UUD 2002 itu bukanlah amandemen melainkan mengganti UUD 45. Amandemen berasal dari kata bahasa latin \"emendere\" yang berarti membetulkan (to correct) atau memodifikasi (to modify) - (K.C. Wheare : 23). Jadi amandemen konstitusi adalah modifikasi dari ketentuan yang berlaku (Charlos Bernal : 493). Dari konteks tekstual dari amandemen menyiratkan penambahan atau perubahan yang masih mencakup konstitusi asalnya atau konstitusi aslinya (Walter Murphy , 1992). Dalam kajian hukum konstitusi ada dua prosedur perubahan UUD : Pertama, perubahan yang telah diatur dalam suatu UUD itu sendiri atau dikenal dengan istilah \"verfassung anderung\". Kedua, perubahan melalui prosedur di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UUD tersebut dikenal dengan istilah \"verfassung wandelung\". Terkait dengan teknik perubahan konstitusi ada dua teknik: Pertama, mengganti secara keseluruhan ( renew ). Kedua perubahan dengan melakukan penambahan atau yang dikenal dengan istilah \"AMANDEMEN\". Jadi amandemen dalam suatu konstitusi lazimnya dilakukan perubahan atau penambahan suatu pasal atau beberapa pasal, kemudian dicantumkan pada UUD aslinya, kemudian sama sama diundangkan. Itulah yang kita kenal dengan \"ADENDUM\" (Corad Smith,1966. 14 ). Kalau ada kejadian amandemen UUD 45 sampai 95 pasal diganti atau diubah menyangkut substansi pasal pasalnya, jelas itu bukan amandemen tetapi \"mengganti atau mengubah\". Hal ini fakta yang bisa ditemukan pada dokumen MPR yang dikeluarkan Sekretariat Jendral MPR RI. tahun 2015.  Semua telah terjadi bahwa UUD 45 bukan di amandemen atau ADENDUM tetapi diganti dengan UUD 2002, otomatis Pancasila juga menghilang dari UUD tersebut.  Dampaknya negara berubah menjadi negara kapitalis dan terjadinya guncangan dalam tata kelola negara tanpa arah dan tujuan bahkan sedang menuju ke tepi jurang kehancurannya.***

Tolak Doktor Hadiah untuk Erick Thohir

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TERIAKAN \"Tolak HC Erick Thohir !\" ramai disuarakan mahasiswa Universitas Brawijaya saat kedatangan Menteri BUMN ini ke kampus Universitas Brawijaya Malang untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas yang dipimpin Prof Widodo S. Si, M.Si Phd sebagai Rektor. Pemberian sendiri dilakukan oleh Ketua Senat Universitas.  Aksi yang sempat dihalangi aparat tersebut dilakukan sebagai protes mahasiswa agar Universitas Brawijaya tidak ikut terlibat dalam politik praktis dengan memberi gelar HC kepada Menteri yang aktif \"berkampanye\" Capres tersebut. Erick Thohir sendiri dianggap oleh mahasiswa tidak pantas mendapat gelar HC dari Universitas Brawijaya.  Pemberian gelar Honoris Causa kepada pejabat dan politisi menjadi budaya akademik baru. Dari Doktor hingga Professor. Kampus menjadi institusi yang dapat diperjual belikan dengan deal-deal tertentu. Ujungnya proyek proposal. Pejabat dan politisi itu sebenarnya tidak berkualitas dan tidak memenuhi syarat untuk menyandang gelar Doktor atau Professor Honoris Causa.  Meskipun begitu ternyata bisa atau mudah dibuat narasi kampus untuk alasan pembenarnya. Erick Thohir saja disebut Menteri Terbaik oleh Ketua Pelaksana pemberian gelar. Padahal, sejumlah BUMN yang menjadi institusi binaan dari Kementriannya justru jebol dan ambrol. Bangkrut dan terlilit hutang. Sulit menyebut BUMN yang sehat dan berprestasi di bawah Kementrian Erick Thohir. Erick itu Menteri buruk dan gagal.  Erick Thohir juga Menteri yang melanggar Undang-Undang akibat merangkap sebagai Ketum PSSI. UU No 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara khususnya mengenai larangan perangkapan jabatan telah diinjak-injak dan disepaknya.  Kanjuruhan dijadikan tuntutan dan dasar penolakan mahasiswa. Erick Ketum PSSI dinilai tidak memiliki agenda penanganan kasus Kanjuruhan Malang. Padahal  banyak pihak berkeyakinan ada pelanggaran HAM berat disana.  Pada tahun 2021 Erick Thohir bersama KH Ma\'ruf Amin diusulkan untuk mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tetapi gagal karena ditolak oleh Aliansi Dosen UNJ. Erick Thohir dinilai tidak memenuhi syarat. Di samping pemberian gelar bagi pejabat dinilai sarat dengan nuansa politis dan berpengaruh terhadap wibawa institusi akademik. UNJ bertekad menjaga marwah. Tahun 2020 Erick gagal mendapatkan gelar DR HC dari UNJ.  Pada pokoknya adalah bahwa Erick Thohir tidak memiliki jasa dan karya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Menurut Presidium Aliansi Dosen UNJ baik Erick Thohir maupun KH Ma\'ruf Amin tidak layak diberi penghargaan.  Nah, ketika Senat Universitas Brawijaya menyerah pada kultur pragmatik dengan memberi gelar DR HC kepada Erick Thohir maka teriakan para mahasiswa adalah suara kejujuran dan hati nurani.  Sejarah akan merekam dan mencatat suara itu : \"Tolak HC Erick Thohir, Tolak HC Erick Thohir..! \" Bandung, 6 Maret  2023.

Jokowi Wajib Sikapi Putusan PN Jakpus: Siapa Bermain Api?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BANYAK pihak menduga, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tidak murni masalah hukum. Tetapi, ada kekuatan besar yang ikut menentukan putusan PN Jakpus, yang intinya menunda pemilu. Selama ini, pusat kekuatan besar tersebut ada di sekitar kekuasaan. Hal ini sulit dibantah, rekam jejak untuk itu sangat jelas. Banyak pejabat negara secara sistematis menyuarakan penundaan pemilu. Ada Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, Ketua DPD La Nyalla Matalitti, Ketua MPR Bambang Soesatyo.  Pemilu merupakan masalah sangat serius. Masalah demokrasi. Masalah Kedaulatan Rakyat. Masalah nasib bangsa dan rakyat yang berjumlah hampir 280 juta jiwa. Karena itu tidak ada satu pihakpun yang boleh bermain-main dengan pemilu, apalagi dengan cara melanggar konstitusi.  Dua mantan presiden Indonesia, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), langsung bereaksi keras terhadap putusan PN Jakpus. Keduanya menolak keras penundaan pemilu.  Megawati yang juga Ketua Umum PDI-Perjuangan menegaskan “Atas dasar putusan MK maka berbagai upaya penundaan Pemilu adalah *inkonstitusional*. PDIP sikapnya sangat kokoh, taat konstitusi, dan mendukung KPU agar Pemilu berjalan tepat waktu. Karena itulah Ibu Megawati menegaskan agar KPU tetap melanjutkan seluruh tahapan Pemilu,\" kata Hasto dalam keterangannya, Kamis, 2 Maret 2023. Pernyataan Hasto/Megawati tersebut dapat diartikan, bahwa putusan PN Jakpus inkonstitusional sehingga batal demi hukum, dan silakan KPU lanjutkan seluruh tahapan pemilu. “… maka PDIP demi menjaga konstitusi dan mekanisme demokrasi secara periodik melalui Pemilu 5 tahunan, menolak segala bentuk penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan,” kata Hasto. Dengan demikian, konflik sedang terjadi: Putusan PN Jakpus yang menunda pemilu inkonstitusional. Tetapi, sepertinya ada yang sedang bermain api dan menabur angin, tetap mau menunda pemilu dan merusak bangsa ini, melalui PN. Untuk itu, SBY yang juga ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat mengingatkan, “jangan ada yang bermain api, terbakar nanti. Jangan ada yang menabur angin, kena badai nanti. Let’s save our constitution and our beloved country\". SBY juga mencium ada aroma tidak sedap atas putusan PN Jakpus tersebut: \"Menyimak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin (tentang Pemilu), rasanya ada yang aneh di negeri ini. Banyak pikiran dan hal yang keluar dari akal sehat. Apa yang sesungguhnya terjadi? What is really going on (apa yang sebenarnya sedang terjadi)?\" kata SBY di akun Twitter pribadinya @SBYudhoyono. Siapa yang coba-coba bermain api? Apakah nanti akan terbakar? Yang jelas, beberapa pejabat negara yang dekat dengan kekuasaan, dan yang sedang berkuasa, pernah bersuara lantang mengusulkan penundaan pemilu. Tidak heran, banyak pihak menduga mereka bagian dari api penundaan pemilu, yang sedang dimainkan di PN Jakpus ini, melalui KPU dan Partai Prima. Karena itu, Jokowi tidak bisa berdiam saja. Jokowi harus bersuara dan menunjukkan sikap tegas terhadap putusan penundaan pemilu PN Jakpus yang melanggar konstitusi, bahwa: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Semoga tidak ada yang bermain api, nanti terbakar! (*)