Keculasan Jokowi dan People Power

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

KETIDAKPASTIAN pilpres masih menggantung. Koalisi-koalisi parpol dengan bakal capres-cawapres definitif belum terbentuk. Sementara, Jokowi masih nekat menjegal Anies Baswedan. Kita seperti dalam suasana perang, tidak ada yang tahu apa yg akan terjadi besok.

Sumber masalah terletak pada keculasan Jokowi bahwa pilpres adalah soal keberlanjutan legacy-nya. Padahal, hajat nasional itu harus dimaknai sebagai upaya mengejar tujuan bernegara. Juga untuk membuka kesempatan bagi pemerintahan baru menilai program pembangunan pendahulunya.

Yang bagus dilanjutkan, yang salah dikoreksi, dan ide baru dimunculkan. Itu yang berlaku di banyak negara. Kalau presiden baru hanya meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya, pilpres yang mahal akan kehilangan makna dan kesalahan yang mungkin dibuat pemerintahan lama mendapat pembenaran.

Kendati telah diperingatkan tentang hal ini, Jokowi mengabaikannya. Ini karena ia memposisikan diri sebagai proksi oligarki dan Cina, yang ia bayangkan kelak dapat melindungi dinasti politik dan bisnis keluarganya. Dalam konteks perlindungan KKN keluarganya ini pula ia menegaskan tak akan netral dalam pilpres.

Cawe-cawe akan ia lanjutkan. Kalau upaya menjegal Anies gagal, pesaing mantan Gubernur DKI Jakarta itu -- mungkin Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto -- harus keluar sebagai pemenang. Ini menimbulkan kekhawatiran pilpres tidak akan jurdil.

Dus, bangsa besar ini dipermainkan Jokowi, orang yang seharusnya tak dikenal bangsa ini. Ia mengaku tak suka baca dan berdusta membuat mobil Esemka. Ia hanya tukang mebel yang tdk penting bagi sejarah. Kemenangannya dalam pilpres dulu bukan karena ia bersedia melanjutkan legacy SBY, melainkan  mengiming-imingnya kepada rakyat dengan puluhan janji kosong.

Dan kendati melakukan pelanggaran kenegaraan yang serius, untuk sementara tak ada kekuatan yang bisa melengserkannya sebagaimana yang dilakukan terhadap Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Jokowi layak berbangga diri karena dengan kapasitas intelektual yang terbatas ia mampu tampil di titik pusat negara.

Ambisinya membangun IKN, yang bagi para pengamat terlihat dungu dan mubazir, bagi Jokowi hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan bila kita memasukkan unsur nekat dan  primbon dalam mengambil keputusan.

Banyak yang menentang wacana ini. Tapi penentangan mereka belum berguna karena lebih banyak orang yang percaya bahwa apapun yang diputuskan Jokowi pasti benar. Ia telah menjadi kultus: keyakinan, gagasan, dan sikap kekinian yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Orang setuju saja dengan semua pendapatnya. Tak peduli banyak proyek mercusuarnya yang tidak penting dan boros menguras sumber daya negara. Mereka juga memaafkan kebohongan publik yang dilakukan Jokowi berulang kali. Padahal, Soeharto yang sangat kuat pun tidak melakukannya.

Jangan-jangan Jokowi menderita mythomania atau kebohongan patologis yang membuatnya melakukan kebohongan terus-menerus dalam waktu lama. Pengidap mythomania biasanya berbohong tanpa tujuan yang jelas untuk menutupi kesalahan, memutarbalikkan fakta atau penyebab lainnya.

Misalnya, ia berjanji proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung tak akan menggunakan APBN. Yang terjadi justru sebaliknya. Demikian juga proyek IKN. Masih banyak kebohongan yang dilakukannya tanpa rasa bersalah. Padahal, pentingnya kejujuran kepala negara tersurat dalam konstitusi bahwa presiden dapat dimakzulkan bila melakukan perbuatan tercela.

Ada pakar hukum tatanegara yang berpendapat kebohongan sebagai perbuatan tercela. Namun, Jokowi merasa aman. Mungkin karena ia yakin dukungan rakyat kepadanya tetap kuat. Citranya sebagai pemimpin kerakyatan yang dermawan -- karena sering membagi sembako -- tetap terpelihara.

Sikap tidak kritis dan permisif pendukungnya terhadap semua yang dilakukan tukang mebel dari Solo itulah yg membuat ia terdorong untuk terus memproduksi pelanggaran. Misalnya, ia merendahkan marwah konstitusi ketika  mematahkan keputusan MK dengan cara mengeluarkan Perppu.

Ini terkait dengan RUU Cipta Kerja. MK menyatakan RUU itu inkonstitusional bersyarat karena pembuatannya tak mengikuti prosedur standar. Pemerintah diminta memperbaikinya dalam waktu dua tahun. Bukannya mengikuti perintah MK, ia malah mengeluarkan Perppu.

Pakar hukum taranegara Prof. Jimmly Asshiddiqie melihat pelanggaran ini sudah dapat dijadikan dasar bagi pemakzulan presiden. Memang keputusan MK tak dapat dibatalkan oleh Perppu. Jokowi bukan hanya merasa memiliki  previlise untuk boleh berbuat curang, tapi ia juga telah menjadi hantu yang ditakuti elite politik.

Sekonyong-konyong sebagian ketum parpol berubah menjadi kancil pilek. Tak tersisa lagi kelincahan dan kecerdasan mereka. Mereka mau saja disorong ke sana ke mari oleh Jokowi tanpa mereka tahu apa maksud dan tujuannya. Hari ini mereka diperintahkan bergabung ke koalisi sana, besok mereka diminta mengubah posisi.

Sampai kapan ketololan ini berlangsung? Sampai Jokowi meraih tujuannya. Tapi tujuan mengarahkan koalisi dan bakal capres yang didukungnya yang berubah-ubah sulit dipahami ketum parpol yang menjadi objek pengaturannya. Anehnya, taktik cetek Jokowi ini dianggap sebagai kehebatannya.

Keanehan-keanehan ini bisa terjadi karena sebagian ketum parpol merupakan pasien rawat jalan. Ada lagi parpol yang ingin mndptkan efek ekor jas Jokowi sehingga manut pada apapun yang diperintahkannya. Yang tak patuh dikenai hukuman sangat berat. Nasdem yang mengusung Anies sudah merasakannya.

Yang aman adalah mereka yang menyesuaikan diri dengan pikiran Jokowi. Dus, kita sedang bertransformasi menjadi bangsa kerdil. Rasionalitas dan moralitas menghilang diam-diam. Orang-orang pandai bersembunyi di kampus sambil menasihati mahasiswa untuk bertawakal pada Tuhan atas nasib bangsa.

Kampus-kampus bukan lagi rumah juang untuk menyuarakan kebenaran. Mereka telah dipisahkan dari masyarakat untuk menjadi pertapa di hutan belantara, membiarkan rakyat tersekap dalam labirin ketidakwarasan. Proses deformasi sedang berlangsung untuk mengembalikan negara ke tatanan lama yang korup.

Spirit mahasiswa 1998 untuk melahirkan tatanan baru yang beradab hari ini dikuburkan. Rakyat dibentur-benturkan menggunakan metode primitif para tiran untuk menguras tuntas energi mereka agar mudah dikendalikan. Rakyat yang bingung tak akan tahu sumber permasalahan mereka.

Bagaimanapun, belakangan ini makin banyak orang yang marah menyaksikan kemerosotan indek demokrasi, korupsi, dan pembangunan manusia. Harga bahan pokok melambung tinggi dan utang luar negeri telah menyentuh Rp 7.900 triliun, belum termasuk utang BUMN yang juga fantastis.

Baru-baru ini seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan kalau mau utang negara dihentikan, maka rakyat harus siap berbagai subsidi dicabut. Dengan kata lain, bantuan sosial, subsidi pendidikan, kesehatan, dan energi menjustifikasi penumpukan utang pemerintah.

Menkeu Sri Mulyani menyatakan utang penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Setuju. Namun, utang harus produktif. Menurut ekonom senior Rizal Ramli, pertumbuhan utang kita lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi.

Kini, menurut Rocky Gerung, tiap bayi Indonesia  yang lahir hari ini telah terbebani utang hingga Rp 40 jt per tahun. Seandainya pemerintah konsisten pada amanah konstitusi yang memerintahkan penegakan keadilan bagi seluruh rakyat, ada cara lain untuk menghindari utang yang tidak produktif. 

Rizal Ramli berpendapat seharusnya utang direnegosiasi dengan kreditor karena bunganya terlalu tinggi dibandingkan dengan bunga yang didapat negara-negara ASEAN lain. Kemudian, pemerintah harus menaikkan pajak terhadap oligarki yg mendapat durian runtuh (windfall profit) disebabkan melejitnya harga komoditas energi dan pangan dunia, bukan malah meluaskan wajib pajak hingga ke rakyat kecil untuk menambal APBN yang jebol.

Keculasan-keculasan inilah yang mendorong para pemikir  yang kritis meminta Jokowi dimakzulkan. Prof. Hukum Tatanegara Denny Indrayana bahkan sampai menulis surat ke DPR agar menggunakan hak angketnya untuk memulai proses politik yang diharapkan berujung pada pemakzulan (impeachment) Jokowi.

Denny merinci pelanggaran berat yang dilakukan presiden. Di antaranya, korupsi yang terkait dengan KKN anak-anaknya, obstruction of justice karena membuka hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang sedang bermasalah, dan pelanggaran etika karena membiarkan anak buahnya, yakni KSP Moeldoko, mencopet Partai Demokrat.

Namun, kecil kemungkinan pemakzulan melalui DPR bisa terjadi mengingat 82% anggotanya berasal dari parpol-parpol pendukung pemerintah. Dan kelangsungan jabatan mereka bergantung pada ketum parpol. Instrumen recall memberi hak kepada mereka untuk mencopot anggotanya yang tidak sejalan dengan kebijakan partai.

Kondisi ini membuat DPR mandul. Karena itulah people power dilihat sebagai alternatif. Konstitusi kita memang tak mengenal terminologi people power (kekuatan rakyat) sebagai sarana yang sah untuk meng-impeach presiden. Tetapi, de facto people power telah dipraktikkan rakyat untuk memakzulkan tiga presiden sebelumnya. Dalam hal ini people power adalah tekanan sosial kepada parlemen.

People power yang kini menggema di mana-mana bisa menjadi kenyataan -- yakni gerakan massa besar untuk menekan DPR -- bila distrust rakyat terhadap pemerintah meluas atau legitimasi pemilu diragukan atau Jokowi tak berhenti menjegal Anies atau ia menerabas konstitusi maupun keculasan lainnya.

Tangsel, 18 Juni 2023

1571

Related Post