OPINI

Impeachment: Mengukur Kekuatan Jokowi

Denny Indrayana menyerukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sementara pimpinan Parpol masih sibuk mempersiapkan pengganti presiden pada 2024.  Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Apes menimpa Ibu Negara Iriana Jokowi. Ia terjatuh saat turun di tangga pesawat Kepresidenan RI 1 pada 14 November 2022. Untung ada sang suami yang menggenggam erat tangannya.  Peristiwa ini terekam saat Iriana bersama Presiden Jokowi turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, Bali jelang gelaran KTT G20. Jatuhnya Iriana jelas tidak serius. Ini jika dibandingkan, misalnya, jika Presiden Jokowi yang jatuh. Bukan dari tangga pesawat, melainkan dari jabatannya sebagai presiden.  Hal itu bukan hal yang musykil. Prof H Denny Indrayana, SH, LLM, PhD telah menyerukan pemakzulan atas Presiden Jokowi. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014) ini memandang Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional. “DPR RI harus memulai proses impeachment,” ujar Denny dalam surat terbuka yang ditujukan kepada DPR RI. Surat terbuka itu diunggah Denny di akun Twitternya. Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi Negara. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai. Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Rasyid Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024. \"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,\" tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul \'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!\' Persoalannya, proses pemakzulan bukan hal yang murah dan mudah untuk saat ini. Apalagi jika seruan itu dilakukan ketika partai politik tengah gencar-gencarnya memanaskan mesin partainya. Kasat mata sudah tampak, bahwa mayorias partai politik kini berhubungan mesra dengan Presiden Jokowi. Mereka sudah sekendang sepenarian dengan Presiden Jokowi. Nah, itu sebabnya perlu kiranya mengukur kekuatan Jokowi saat ini.  Kasus Sukarno Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, impeachment atau pemakzulan yang berujung pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, telah terjadi dalam dua rezim pemerintahan yakni pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi sebelum perubahan UUD 1945. Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Hal tersebut dilakukan MPRS setelah Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul Nawaksara yang oleh Sukarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela, karena faktanya pertanggungjawaban tersebut diberikan bukan atas permintaan MPRS. Setelah pidato pertanggungjawaban tersebut disampaikan, MPRS meminta agar Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang kemudian dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Adapun hal-hal yang diinginkan oleh MPRS untuk meminta Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya adalah agar Presiden menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya G-30-S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi serta akhlak.  “Pertanggungjawaban yang menyangkut  tindakan moral yang dilakukan oleh rakyat seharusnya bukan merupakan bagian yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden,” tulis Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Dalam pemberhentian Presiden Sukarno tidak dikenal adanya penyampaian memorandum oleh DPR. Karena pada waktu itu belum ada ketentuan yang dibuat secara jelas dan tegas mengenai proses pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya karena dianggap telah melanggar haluan negara.  Adapun yang dijadikan dasar pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu hanyalah Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden melanggar haluan negara, maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk mengadakan persidangan istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila dicermati proses penyampaian pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu terungkaplah bahwa MPRS sejatinya tidak pernah meminta pertanggungjawaban Presiden. Itulah yang kemudian membuat pertanggungjawaban tersebut disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela. Namun setelah penyampaian pidato sukarela tersebut, MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Atas permintaan tersebut Sukarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Pidato ini kemudian juga mendapat penolakan dari MPRS yang pada akhirnya memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden. Kasus Gus Dur Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pemberhentian ini dilakukan ketika proses Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 dilakukan. Akibatnya, proses pemberhentiannya tetap berpedoman kepada Penjelasan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Saatnya Sidang Istimewa MPR” yang dilansir Harian Republika, Kamis 1 Februari 2001, menjelaskan dalam kasus Abdurrahman Wahid, setidaknya terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Pertama, Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dicabut. Padahal apabila ditinjau dari sisi ketatanegaraan usulan ini tidak tepat, karena Presiden terikat untuk menjalankan haluan negara termasuk ketetapan MPRS tersebut. Hal ini juga bertentangan dengan sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan MPR sebelum ia dilantik menjadi Presiden.  Dalam negara demokrasi modern pelanggaran seperti ini merupakan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam penyelenggaraan negara.  Kedua, pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya. Bahkan sebelumnya Presiden juga pernah menilai bahwa DPR seperti taman kanak-kanak.  Ketiga, penggantian Kapolri dari Jenderal S. Bimantoro kepada Komjen. (Pol). Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR. Tindakan jelas melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh MPR.  Keempat, adanya pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal ini terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan bruneigate.  Kelima, penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung (MA) yang diusulkan DPR. Tindakan ini membuat Presiden tidak menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang menyatakan bahwa Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan DPR.  Hal ini juga mengindikasikan bahwa Presiden mencoba mengintervensi MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang bersifat ekstra yudisial. Hanya saja, yang jadi alasan di luar itu semua. Gus Dur dijerat dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei kepada Aceh yang ngetop disebut Buloggae dan Bruneigate. Mengontrol Kekuasaan Sidang Istimewa menjadi salah satu instrumen untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan Presiden. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas mengenai prosedur hingga Sidang Istimewa dilaksanakan oleh MPR.  Hanya saja, untuk kasus Abdurrahman Wahid agak sedikit berbeda, karena pada era ini telah terdapat ketentuan yang memberikan pengaturan mengenai penyelenggaraan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.  Ketentuan tersebut lahir pada masa pemerintahan Orde Baru yang berbentuk ketetapan MPR. Meskipun kehadiran ketetapan ini terkesan mempersulit dilaksanakannya Sidang Istimewa, tetapi di sisi lain ada upaya untuk memperjelas mekanisme pelaksanaan Sidang Istimewa.  Mekanisme Sidang Istimewa tersebut tercantum di dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Ketentuan tersebut menghendaki bahwa sebelum Sidang Istimewa dilakukan harus melalui proses penyampaian memorandum pertama dan memorandum kedua oleh DPR kepada Presiden. Dalam kasus Abdurrahman Wahid, proses penyampaian memorandum tersebut juga telah dilakukan. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Presiden. Bahkan ia mengeluarkan maklumat pada dini hari tanggal 23 Juli 2001, hal ini menjadi puncak kepanikan Presiden dalam menghadapi tekanan politik yang menginginkan dirinya untuk turun dari tampuk kekuasaannya.  Salah satu isi dari maklumat tersebut adalah membekukan lembaga MPR. “Pembekuan MPR sebagai lembaga yang posisi konstitusionalnya berada di atas Presiden, jelas lebih mencerminkan kepanikan ketimbang rasionalitas melembagakan demokrasi,” tulis Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul “Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia” (Grafiti, Jakarta 2007).  “Hal ini juga cukup menjadi alasan bagi MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa,” tambah Saldi Isra.  Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR akhirnya menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia tidak hadir dan juga tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara tertulis. Akhirnya MPR mengeluarkan ketetapan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden karena ketidakhadiran dan penolakan memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta tindakan penerbitan maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.  Tindakan ini dipandang oleh MPR sebagai pelanggaran terhadap haluan negara.  Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menjadi kewenangan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada masa itu. Kekuasaan yang sangat besar ini secara hukum telah tercantum dalam UUD 1945 yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sistem kekuasaan di Indonesia menganut supremacy of parliament atau supremasi MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang tak terbatas. Seluruh kekuasaan dan tanggungjawab penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada MPR.  Pertanggungjawaban ini tidak terkecuali bagi seorang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. “MPR berwenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkatnya itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu,” tulis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983). Majelis dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan rakyat berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara.  “Jadi tidak hanya ditujukan kepada Presiden saja, tetapi ini ditujukan bagi semua lembaga negara agar tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya,” Sri Soemantri dalam “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” (Alumni, Bandung) menambahkan. Aturan Saat Ini Hanya saja, UUD 1945 yang berlaku dalam tiga periode yakni periode 1945- 1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998 dipandang telah terbukti tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis.  Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali telah membawa perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan tersebut salah satu kesepakatan dasar yang menjadi agenda adalah mempertegas system pemerintahan presidensial.  Hal tersebut dapat dicermati dari semakin kuatnya kedudukan Presiden dalam pemerintahan. Ia tidak mudah diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR kecuali ia terbukti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur secara eksplisit di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945).  Dalam Pasal 7A dinyatakan bahwa Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir hanya mungkin dilakukan apabila Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjelaskan mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya tersebut.  Perubahan ini telah menggeser dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan. Proses pemberhentian Presiden inipun tidak hanya melalui forum politik di MPR, tetapi juga harus melalui proses peradilan di Mahkamah konstitusi. Dalam masa periode pasca-perubahan ketiga UUD 1945 memang belum ada praktik ketatanegaraan dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya (pemakzulan). Namun setidaknya terdapat beberapa peristiwa yang berpotensi terjadinya pemakzulan Presiden.  Seperti bergulirnya hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terakhir kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Penahanan yang dilakukan Kepolisian terhadap kedua tokoh ini memancing simpati tidak hanya dari kalangan masyarakat umum tetapi juga dari para tokoh nasional untuk menjamin pembebasan keduanya.  Kala itu, Prof Dr Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengingatkan bahwa gerakan ini bisa berujung kepada ancaman bagi kedudukan presiden melalui proses pemakzulan.  Presiden memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi pelemahan terhadap lembaga KPK bisa diartikan terlibat korupsi. Keterlibatan Presiden juga dapat dipandang dari segi pembiaran yang dilakukan oleh Presiden atas penahanan terhadap kedua Pimpinan non-aktif KPK ini oleh kepolisian. Jadi tergantung bagaimana memformulasikan hukumnya. Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra. “Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh Presiden, gerbang pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka atas klausul Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945,” tulis Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Gerbang Menuju Pemakzulan” (Media Indonesia, Rabu 04 November 2009). Lalu, apakah yang dilakukan Jokowi sudah layak untuk dimakzulkan? “Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024,” jelas Denny Indrayana yakin. Kini, semua pimpinan partai politik sudah tunduk pada Presiden Jokowi. Dan menurut Denny justru inilah yang bisa dijadikan dalih mengapa Jokowi harus dimakzulkan. “Ada dugaan Presiden Jokowi memanfaatkan kekuasaan dan sistem hukum untuk mencengkram para pimpinan parpol untuk maksud tertentu terkait Pilpres 2024,” ujarnya. Tetap saja, hal ini tergantung apakah DPR yang didominasi oleh partai pendukung pemerintah akan melakukan pemakzulan atau tidak.

Membegal Anies, Itu Membegal Demokrasi (Pernak-pernik dan Jalan Terjal Menuju Pilpres 2024)

Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Oleh: Ady Amar - Kolumnis KOALISI Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dalam ujian. Muncul riak-riak kecil godaan, yang sebenarnya bisa disebut sekadar gimmick. Boleh juga jika itu cukup disikapi sewajarnya, ketika Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama beberapa nama lain masuk dalam radar bidikan PDIP untuk disandingkan dengan Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Padahal Demokrat telah mengikat Nota Kesepakatan bersama dua partai lainnya, NasDem dan PKS dalam KPP, yang resmi mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. PDIP seakan cermat melihat Demokrat tengah galau di internalnya. Muncul suara menyuarakan kehendak agar secepatnya KPP mengumumkan siapa Cawapres yang mendampingi Anies. Demokrat tentu menghendaki AHY yang diusung sebagai Cawapres. Tapi NasDem lewat elitenya jelas-jelas menolak dengan mengatakan, kalau mau menang pada Pilpres 2024 bukan AHY yang mendampingi Anies. Setidaknya suara itu disuarakan Effendy Choirie, akrab dipanggil Gus Choi. Mukernas III PDIP, 6-8 Juni, memasukkan nama AHY di antara nama-nama lain sebagai kandidat yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Memasukkan nama AHY dalam bursa cawapres PDIP, itu sekadar manuver main-main yang semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa membuyarkan KPP. Boleh jika ditafsir PDIP tengah menguji kesolidan KPP sebagai sebuah koalisi. Di samping itu PDIP perlu tampil tampak sebagai partai inklusif di tengah kekakuannya selama ini, yang seolah mampu berjalan sendiri tanpa partai pendamping sekalipun. Karenanya, penyikapan atas manuver PDIP itu pun mesti disikapi sewajarnya. Tidak perlu berlebihan. AHY akan menghadiri undangan Puan Maharani. Sekjen kedua partai, Hasto Kristiyanto (PDIP), dan Teuku Riefky Harsya (Demokrat) sudah mengadakan pertemuan awal guna mempersiapkan pertemuan petinggi partainya. Keduanya tampak begitu semringah, dan akrab. Seperti melupakan hubungan buruk di masa lalu. Semua tampil bak aktor berperan sesuai tuntutan skenario. Hasto yang terbiasa bicara jumawa seakan lupa pada omongannya beberapa bulan lalu, bahwa ia \"mengharamkan\" Demokrat, yang katanya tak mungkin PDIP bisa berkoalisi dengan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Politik terkadang diperagakan bak \"tai kucing rasa coklat\", menjijikkan bagi mereka yang biasa meletakkan moral jadi segala-galanya. Pertemuan Puan-AHY itu tak akan sampai berdampak bisa mengempiskan KPP, menggoyang pun rasanya tak mungkin. Demokrat tentu berhitung, dan tahu menempatkan posisinya ada di mana. Menerima undangan Puan dan hadir, itu lebih pada bentuk kesantunan politik. Jadi tak perlulah menyikapi pertemuan itu dengan syakwasangka seolah Puan mampu menyihir AHY. KPP itu koalisi yang sudah digarap matang, sulit untuk digoyang apalagi sampai rontok. Setidaknya sikap awal sudah ditunjukkan NasDem, PKS dan juga Demokrat, yang mengalami tekanan persoalan dalam berbagai hal, dan itu tidak menyurutkan langkah menghadirkan perubahan di 2024. Sedang partai di luar KPP justru masih mencari-cari bentuk, dan boleh disebut lebih sebagai koalisi-koalisian. Sengaja disebut koalisi-koalisian, karena belum bisa disebut koalisi sebenarnya, sifatnya baru penjajakan. Langkah penjajakan yang _dicomblangi_ atau di-cawe-cawei Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, pantas jika disebut baru tahap kumpul-kumpul, yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. KPP jelas sebagai koalisi sesungguhnya. Memenuhi syarat untuk disebut demikian. Parameter untuk disebut sebagai koalisi sudah memenuhi syarat, baik persyaratan konstitusi (parliament threshold) maupun kelayakan bersekutu dengan menghadirkan antitesa perubahan versus keberlanjutan pembangunan. Tidak sekadar kumpul-kumpul dan secepat kilat meninggalkan satu dengan yang lain tanpa kesantunan politik. Itu bisa dilihat dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--PAN, Partai Golkar, dan PPP--yang kelahirannya seperti bayi tak diinginkan, langsung mbrojol. Mengagetkan karena dengan satu pertemuan para ketua umumnya, sudah cukup untuk mengumumkan kelahirannya. Soal siapa capres yang akan dipilih dan diperjuangkan, belum dibicarakan. KIB lebih dipercaya sebagai kumpul-kumpul dalam arahan Presiden Jokowi. Lebih dipersiapkan untuk tiket Ganjar Pranowo, jika ia tidak dicalonkan PDIP. KIB diibaratkan ban serep untuk memastikan keikutsertaan Ganjar dalam Pilpres 2024. Tiga partai itu seolah diombang-ambingkan, bukan oleh kepentingannya, tapi lebih pada penghambaan pada Jokowi.  Karena dibentuk dengan serba mendadak, maka perpisahan pun tak perlu saling pamit. Nyelonong saja. Itu tampak pada sikap PPP, yang dengan gampangnya meninggalkan KIB dan memilih dalam dekapan PDIP. Begitu pula PAN yang seolah dalam sekap tak menentu untuk memilih antara Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Dan, itu lagi-lagi menunggu arahan Jokowi. Langkah penjajakan pun dilakukan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan rombongan mengunjungi markas PDIP. Pertemuan itu belum sampai menghasilkan keputusan, bahwa PAN akan bergabung dengan PDIP. Ada syarat PAN gabung jika \"presiden\" partainya, Erick Thohir, diusung jadi Cawapres-nya Ganjar. Karenanya, PAN belum memutuskan akan berlabuh ke mana. Tetap setia menunggu arahan Presiden Jokowi, yang sepertinya juga masih bimbang antara memilih Ganjar atau Prabowo. PAN dan PPP tampak seperti partai yang sudah tidak lagi punya kedaulatannya sendiri untuk menentukan di mana mesti berlabuh dalam koalisi, yang mestinya sesuai kehendak konstituennya. Sedang Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), gabungan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di mana hubungan keduanya acap panas-dingin. PKB berharap ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, bisa disandingkan sebagai Cawapres-nya Prabowo Subianto. Tapi Gerindra masih mengulur-ulur waktu dalam memenuhi permintaan PKB. Berharap Golkar mau bergabung dalam KKIR, dan karenanya PKB tidak akan lagi memaksakan ketua umumnya sebagai Cawapres. Jika kondisi masih tidak menentu, bisa jadi PKB akan hengkang dari KKIR, meninggalkan Gerindra sendirian. Sedang Golkar pun belum menentukan ke mana akan berlabuh. PKB dan Golkar sepertinya juga tengah menunggu arahan Presiden Jokowi. Maka, menjadi wajar jika sikap Prabowo mesti berbaik-baik sampai tingkat berlebihan pada Jokowi agar PKB yang ada dalam kendali Jokowi tidak meninggalkan Gerindra. Syukur-syukur jika Golkar pun bisa diarahkan bergabung dengan Gerindra dan PKB. Hanya KPP dengan Capres Anies Baswedan, dan PDIP plus PPP dengan Capres Ganjar Pranowo, yang sudah  punya Capres beneran yang bisa berkontestasi pada Pilpres 2024. Sedang Prabowo Subianto dengan KKIR-nya mesti terlebih dulu mau menyamakan pandangan dengan kawan koalisinya (PKB) untuk mengakhiri spekulasi ketidakikutsertaannya dalam Pilpres. Namun memang hanya KPP-lah yang sudah punya Cawapres, sudah ada di kantong Anies, dan tinggal tunggu sedikit hari lagi untuk diumumkan pada khalayak. Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Persoalan KPP bukan persoalan pada internalnya, yang akan menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, sebagaimana yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD sekenanya. Justru oleh faktor eksternal, dan itu rezim yang ingin terus berkuasa dengan hanya mengganti baju Jokowi dengan Ganjar Pranowo. Bisa lewat jalan apa saja. Bisa lewat copet atau begal Partai Demokrat yang tengah diupayakan oleh orang dekat Jokowi, Moeldoko dengan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Bisa pula dengan cara nekat KPK menersangkakan Anies pada kasus Formula E, atau dengan cara semau-maunya kekuasaan membegal demokrasi. Semua kemungkinan memang bisa terjadi, tapi semua juga tergantung rakyat menyikapinya.**

Demokrat dalam Jebakan PDIP?

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Selama 19 tahun hubungan Mega-SBY renggang. Mega \"merasa dikhianati\" ketika SBY nyapres 2004. Entah ada pembicaraan atau perjanjian apa di antara mereka berdua. Luka Megawati seperti begitu dalam. Kalau hanya nyapres, tentu itu hak SBY. Setiap warga negara, termasuk SBY, berhak untuk nyapres. Megawati tidak ada hak melarang, apalagi menghalang-halangi. Saat itu, Magawati meskipun sebagai penguasa, tidak tampak sedikitpun menghalang-halangi SBY. Megawati tidak menekan ketum-ketum parpol untuk menghalangi SBY nyapres. Megawati juga tidak menggunakan aparat untuk kriminalisasi SBY. Megawati pun tidak menggunakan instrumen kekuasaannya untuk mencurangi SBY. Dan akhirnya, Megawati kalah dari SBY dan menerima kekalahannya itu. Tapi, kenapa hubungan keduanya tampak begitu buruk, bahkan selama 19 tahun? Tanyakan kepada mereka berdua. Ada pembicaraan khusus apa atau perjanjian apa diantara mereka berdua. Atau biarkan saja keduanya menyimpan rahasianya. Suasana batin inilah yang kemudian dinarasikan oleh Hasto Kristianto: PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan Demokrat. Hasto paling tahu dan merasakan suasana batin Megawati. Namanya juga Sekjen. Kali ini, luka sejarah itu mencoba diobati. Ah, emang benar begitu? Mega-SBY mau islah? Lupakan semua peristiwa yang pernah terjadi di pilpres 2004? Tidak sesederhana itu!  Ada agenda yang diprakarsai \"entah oleh siapa\" untuk mempertemukan Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tujuannya? Bujuk Demokrat gabung koalisi dengan PDIP. Apa kompensasinya? AHY jadi cawapres Ganjar. Ah, masak? Pertama, apa untungnya Ganjar ambil AHY sebagai cawapres? Masuknya AHY tidak memberi tambahan elektabilitas secara signifikan bagi Ganjar. Kedua, apakah Megawati setuju AHY jadi cawapres? Kabarnya, Megawati menginginkan cawapres Ganjar dari kalangan ulama. Ketiga, masuknya AHY ke kubu Ganjar akan semakin mendorong Jokowi untuk memperkuat barisan Prabowo, dan hengkang dari Ganjar. Ini akan menjadi kerugian besar bagi PDIP. Kritik pedas SBY dan AHY terhadap Jokowi dalam beberapa kasus telah menjadi catatan serius bagi Jokowi. Jokowi lahir dan dibesarkan di Jawa. Sebagaimana unumnya orang Jawa, memori tentang siapa kawan dan siapa lawan sangat kuat di kepala. Di kepala Jokowi, siapa SBY dan AHY telah tercatat begitu jelas. Apalagi jika mengingat kembali pilpres 2019 lalu. Apa itu? Tanyakan kepada aktornya. Dari pertimbangan banyak sudut, hampir tidak mungkin AHY dipinang jadi cawapres Ganjar. Banyak rugi dan risikonya dari pada untungnya. Lalu, apa tujuan dimunculkannya ide AHY cawapres Ganjar? Publik membaca, ini boleh jadi adalah jebakan. Demokrat dijebak agar keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).  Kalau perangkap jebakan ini masuk dan Demokrat keluar dari KPP, maka ada dua keuntungan. Pertama, KPP kehilangan satu partai. Ini akan menyulitkan bagi KPP untuk mencari pengganti Demokrat. Meski tidak secara otomatis menjadi ancaman bagi Anies Baswedan untuk maju sebagai capres. Karena, politik itu dinamis. Masih empat bulan lebih waktu menentukan koalisi. Peluang untuk melengkapi 20% Presidential Threshold akan selalu terbuka. Kedua, bisa membuat Demokrat jadi gelandangan politik. Masuk koalisi sana sini, mungkin bisa juga diterima. Tapi bergaining powernya akan sangat lemah. Tawaran PDIP ke Demokrat juga bisa menjadi alat tekan Demokrat ke KPP agar AHY ngotot jadi cawapres Anies. Mungkin PDIP memiliki kalkulasi bahwa pasangan Anies-AHY lemah, sehingga perlu didorong untuk maju berpasangan dan lebih mudah dikalahkan. Kita lihat, apakah Demokrat akan masuk jebakan PDIP? Jakarta, 14 Juni 2023

Ubed Cabut Pengaduan KPK Kasus Gibran-Kaesang?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERTANYAAN dari judul diatas berhubungan dengan pandangan atau upaya yang dilakukan Adhie Massardi untuk melobbi rekannya Ubedilah Badrun agar mencabut pengaduan ke KPK atas dugaan korupsi Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.  Alasannya adalah bahwa gonjang-ganjing politik Jokowi selama ini berpotensi membahayakan  demokrasi. Menurutnya episentrum dari gonjang-ganjing itu adalah pengaduan anak Presiden oleh aktivis pergerakan kampus ke KPK. Adhi berharap bila pencabutan dilakukan maka Jokowi bisa legowo meninggalkan Istana dan kembali ke Solo. Pemilu 2024 dapat berlangsung bebas, jujur dan adil.  Pandangan Adhie Massardi ini dinilai terlalu menyederhanakan masalah dan kurang tepat, karena : Pertama, pengaduan Ubedilah Badrun bukan bersifat pribadi apalagi sentimen atau berdasarkan kebencian, akan tetapi berangkat dari kepentingan  publik. Dugaan korupsi Gibran-Kaesang menurut  Adhi sendiri \"data, fakta dan dokumen hasil penelitian Ubed atas kasus KKN anak-anak Presiden adalah tepat dan akurat\". Kedua, pengaduan Ubedilah Badrun bukan kasus perdata atau delik aduan (klacht delict) yang selesai dengan pencabutan. KPK yang telah menerima laporan berdasarkan \"data, fakta dan dokumen tepat dan akurat\" harus memprosesnya. Jika KPK menghentikan kasus, maka harus beralasan hukum apakah kasusnya bukan pidana atau memang kurang bukti. Bukan berdasar pencabutan dari  pengadu atau pelapor.  Ketiga, bila Ubed mencabut pengaduan kepada KPK maka akan berpengaruh terhadap integritas  Ubedilah Badrun. Asumsi pengaduan adalah episentrum dari sikap membahayakan demokrasi Jokowi itu belum tentu benar. Demikian juga dampak pencabutan bagi langkah \"adil, jujur dan legowo\" Jokowi tidak memiliki jaminan dan kepastian. Yang pasti adalah rusaknya integritas seorang Ubedilah Badrun.  Keempat, biarlah Gibran dan Kaesang ditunggu prosesnya di KPK hingga mendapat kepastian hukum. Bila ganjalannya adalah status ayah yang sebagai Presiden, maka pasca lengser nanti baik melalui Pemilu atau sebelumnya proses dugaan korupsi Gibran-Kaesang dilanjutkan.  Kelima, jika episentrum sikap \"ngawur\" Jokowi adalah pengaduan Ubed, tentu menjadi tergambar karakter buruk Jokowi yang \"nepotism\" dan lemah menghadapi persoalan anak atau keluarga. Lebih mementingkan keluarga ketimbang negara. Tidak layak untuk menjabat sebagai Presiden, apalagi hingga selesai di tahun 2024.  Jokowi bersama Gibran dan Kaesang telah terbaca oleh publik sebagai profil yang inkonsisten atau \"mencla-mencle\". Berita di bawah ini menjadi saksi.  Media Indonesia September 2018 menulis \"Gibran Tak Tertarik Masuk Politik Maupun Timses\". Pada tahun yang sama Kumparan News  mengutip ucapan Gibran \"Kasihan Rakyat Kalau Ada Dinasti Politik\". Tribun news : \"Jokowi : Anak Saya Tak Ada yang Tertarik Politik\". Dan Rmol.Id  membuat judul \"Kaesang Mending Jadi Pengusaha Pekerjakan Banyak Orang  Ketimbang Masuk Politik\".  Biarlah anak-anak Jokowi menerima sendiri risiko dari pilihan kariernya di bidang politik termasuk menghadapi pengaduan dari Ubedilah Badrun ke KPK. Jika tuduhan tersebut hendak dibantah, mudah saja tinggal membuktikan. Begitu juga sebagai orang tua Jokowi mesti memberi contoh kepada putera-puteranya agar selalu bersikap jujur, adil, amanah dan tidak korup.  Bandung, 14 Juni 2023

Negara Kembalilah ke UUD 1945

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KAJIAN Politik Merah Putih merespons sinyal akhir akhir ini ada sayup-sayup makin jelas Ketua Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, bangkit kembali semangatnya untuk perjuangan negara harus kembali ke UUD 45. Semangat untuk kembali ke UUD 45 adalah rintihan dan tangisan rakyat Indonesia, setelah sekian dekade di berlakukannya UUD 2002, negara makin mendekat ke jurang kehancurannya. Kajian Politik Merah Putih meyakini bahwa fakta sejarah setelah UUD tahun 1945 yang pertama kali ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 telah diubah dengan munculnya UUD 2002, otomatis telah mengubah jalannya sistem ketatanegaraan dan mengubah praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Muatan dalam UUD 2002 secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum serta pertahanan dan keamanan telah bergeser menjauh dari tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45. Fakta menunjukkan berdasarkan kajian hukum normatif UUD 45, hasil amandemen 2002 itu sendiri tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila dan tertib hukum Indonesia (Prof. Dr. H. Kaelan, M. S. - 2022). UUD 2002, merupakan hasil amandemen  tidak ada hubungannya dengan revolusi perjuangan bangsa 17 Agustus 1945, melainkan mengganti (renew) UUD 45. merupakan kebohongan pada seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila serta asas-asas \"staatsfundamentalnorm\" telah dimarjinalkan dan digantikan dengan \"filosofi liberalisme, individualisme dan pragmatisme\". Penggantian filosofi sampai penggilas dan mengabaikan tujuan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah dan seluruh rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam proses amandemen UUD 2002, pasal pasal UUD 45 yang diubah/diganti hampir 95 %, terutama menyangkut substansi pasal pasalnya. Maka sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia hal ini bukanlah amandemen melainkan mengganti konstitusi  (Prof. Dr. H. Kaelan, M. S. - 2022). Pemberlakuan UUD 2002 merupakan  penggantian norma fundamental negara, sama halnya dengan pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Upaya  Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang muncul kembali menggelorakan kembali ke UUD 45, layak kita apresiasi.  Kajian Politik Merah Putih mendesak tanpa tawar menawar, lembaga negara Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, harus menyadari kewajiban mutlak negara  kembali ke UUD 45. Bersamaan dengan semangat seluruh kekuatan rakyat Indonesia,  bergerak bersama, negara harus segera dan secepatnya kembali ke UUD 45. Dengan tidak boleh  ada intervensi Presiden Jokowi dan kekuasan lainnya  yang mencoba ingin  menggangu dengan perpanjangan masa jabatan dan bargaining licik lainnya. Politik licik semacam itu harus di hancurkan dan dimusnahkan. *****

PK Moeldoko: Merobek Rasa Keadilan, Memasung Kehendak Rakyat

Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik Pasca Partai Demokrat mendeklarasi Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden, bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP, Moeldoko Jenderal TNI Purnawirawan Kepala KSP mengajukan PK ke MA. Permohonan PK Moeldoko Senin, 15 Mei 2023 adalah upaya hukum  ke 17 terkait upaya untuk mengambil alih Partai Demokrat. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh Moeldoko atas upaya hukumnya terhadap Partai Demokrat? Sebenarnya semudah membalik telapak tangan bagi Jenderal TNI Purn. Moeldoko untuk menjadi ketua partai, tidak sulit baginya membuat atau menggagas partai baru seperti yang dilakukan seniornya yaitu SBY dengan Partai Demokrat dan Wiranto dengan Partai Hanura serta Prabowo dengan Partai Gerindra. Bahkan si tua Amien Rais membuat 2 kali partai baru yaitu PAN dan Partai Ummat.  Mengingat hal tersebut kemungkinanya ada tujuan lain yang lebih besar bagi Moeldoko Cs. Memiliki partai atau menjadi ketua umum partai bukanlah jalan satu satunya dapat dicalonkan sebagai Presiden. Anies tidak berpartai kenyataanya dicalonkan sebagai presiden oleh tiga partai, diperlukan ketokohan yang kuat dan track record atau rekam jejak yang baik untuk mendapatkan itu semua. Perlakuan Moeldoko terhadap Partai Demokrat justru dapat merusak nama baik karier militer dan politikinya selama ini, cukup banyak  yang mengatakan sebagai copet atau begal partai. Banyak orang tahu bahwa karier  militer Moeldoko dibesarkan SBY. Jabatan Kasad dan Panglima TNI disematkan pada Moeldoko oleh SBY. Namun kini 17 kali Moeldoko berupaya merontokan eksistensi SBY dan anaknya AHY, ada etika atau moral yang diabaikannya,  bisa diibarat pagar makan tanaman. Upaya Moeldoko ini memang hak konstitusinya, tidak ada yang salah dengan upaya hukumnya, tapi penegakan hukum tidak sekadar menerapkan pasal pasal, tapi juga rasa keadilan. Mengingat hubungan Moeldoko dengan SBY di masa lalu dan mempertimbangkan  PK Moeldoko kali ini adalah upaya hukum ke 17, upaya sebelumnya 16 kali kalah semua maka memenangkan PK Moeldoko kali ini sama saja dengan merobek rasa keadilan masyarakat. Tentu Moeldoko sudah memperkirakan pandangan masyarakat atas tindakanya pada Partai Demokrat dalam hal ini terhadap AHY dan SBY, tapi dia tetap mengambil langkah itu. Moeldoko sekarang orang dekat istana, tentu dekat pula dengan Presiden Jokowi. Dapat dikatakan semua yang dilakukan Moeldoko termasuk terhadap Partai Demokrat diketahui Jokowi. Hal ini dapat diartikan ada restu dari Jokowi yang berimplikasi pada pencapresan Anies Rasyid Baswedan. Pernyataan Presiden Jokowi tidak akan netral dan cawe cawe serta tidakan Jokowi mengendorse calon-calon Presiden selain Anies menunjukan upaya Moeldoko merupakan upaya menghambat atau memasung pencapresan Anies Rasyid Baswedan. Kedudukan dan soliditas Demokrat menjadi goyah, KPP pecah, maka Anies Rasyid Baswedan tidak akan dapat diusulkan menjadi calon presiden pada pilpres 2024  karena koalisinya tidak memcapai ambang batas atau Threshold. Keinginan rakyat untuk Anies jadi capres pada pilpres 2024 gagal, dijegal oleh segelintir orang yang saat berkuasa di negeri ini.  Sebenarnya bila hak demokrasi rakyat Indonesia dihormati, biarkan Anies menjadi capres bersama capres-capres lainnya termasuk yang diendorse oleh Jokowi dan biarkan rakyat menentukan pilihanya tanpa dibatasi dengan All Jokowi Men. Mengapa pula takut kalah pada pilpres 2024 dengan pencapresan Anies yang selalu urut paling akhir dibanding Ganjar dan Prabowo pada setiap hasil survei? Sesungguhnya rakyatlah yang berkehendak sehingga ada yang mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan. (*)

Rezim Jokowi Akan Berakhir Tragis

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  REKAYASA sosial politik licik nyaris sempurna telah menampakan wajahnya dalam pengaturan politik bersifat horor dan teror. Para surveyor bersenyawa dengan buzer, menjadi tontonan harian sebagai boneka kecil, nampak berbaris rapi bertugas membutakan rakyat dengan memuntahkan data bohong dan bodong. Tekhnologi pun digunakan dan dimaksimalkan sebagai alat untuk melakukan manipulasi kebohongan  yang bertujuan mengendalikan dan membelokan pikiran masyarakat harus sesuai  misi rezim  sesuai titah para Taipan Oligarki  Rekayasa  kegaduhan akan diciptakan membesar, merupakan teror pada masyarakat sebagai perangkap dalam sebuah rekayasa yang nyaris sempurna.  Jokowi makin nanar  alam pikirannya yang sudah terkondisi dengan berbagai bentuk politik licik terus berkelindan, kecenderungan meraih kekuasaan dengan mengoperasikan sarana pemaksaan dan ancaman kebencian (hate crime ). Komponen - komponen masyarakat diadu domba melalui berbagai macam fitnah dan isu, agar tidak pernah bisa  menjadi kekuatan besar dan solid yang mampu meruntuhkan kekuasaan. Jokowi akibat bergerak dan bertindak hanya atas remote dari komando para Taipan Oligarki, Ia akan jatuh menjadi pemimpin gagap dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Tidak menyadari keadaan dan proses politik yang hanya bersandar pada kekuatan di luar kapasitas dan kemampuan diri sendiri akan membahayakan diri dan kekuasaannya. Akan tiba saat dan waktunya koalisi Presiden lengkap dengan para menteri (pembantunya) dan semua lembaga lembaga negara yang selama ini dalam koptasi dan kendalinya akan  terperangkap dalam  permainan kekuasaan dipastikan akan  sampai pada jalan buntu. Bersamaan dengan gelombang perlawanan rakyat  makin membesar, menjadi gelombang tsunami,  saat itulah para penguasa hanya ada dua pilihan bertahan dengan resiko diambil rakyat sebagai tawanan atau melarikan diri menjadi buron rakyat. Ahir dari akrobat politik ancaman kebencian (hate crime) akan berbalik arah menghantam dirinya ketika rakyat terpaksa harus mengambil alih kekuasaan dan kekuasaan Jokowi akan berahir  tragis. Rakyat sudah bulat tekadnya bahwa kondisi politik saat ini sudah tidak ada pilihan untuk menormalkan kembali keadaan hanya ada satu pilihan \"PEOPLE POWER ATAU REVOLUSI\"

Komunikasi Yes, Koalisi No

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa DEMOKRAT mau dicaplok melalui Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Hingga hari ini, ada keraguan, Demokrat jadi dicaplok atau tidak. Kalkulasi ledakan tentu jadi pertimbangan. Ini soal politik. Hukum yang ditunggangi politik, itu hal biasa di negara ini. Dicaplok, lalu meledak, ini akan berpengaruh pada nasib bangsa. Juga nasib para penguasa. Plan A, sepertinya gagal. Plan B mulai dimainkan. Ada yang tawari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi cawapres Ganjar. Bujuk AHY agar keluar dari koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Ini surga, tapi bisa jadi neraka. Surga, kalau tawaran itu benar-benar sampai pendaftaran. Lalu, Ganjar menang di pilpres 2024.  Jika tawaran itu tidak sampai pendaftaran pilpres, ini akan jadi neraka. Seperti mengulang kasus pilpres 2019. Itulah PHP-politik. Akan selalu memakan korban di setiap pemilu. Anda pasti bertanya-tanya, siapa korban PHP di pilpres 2019. Silahkan cari informasinya. Jika AHY akhirnya daftar di pilpres 2024 sebagai cawapres Ganjar, tapi kalah, maka, dunia akan terasa jadi kiamat. Terlanjur distigma \"pengkhianat\", kalah lagi. Maju dua kali, kalah terus. Kalah di pilgub DKI 2017, lalu kalah di pilpres 2024.  Sebelumnya, Hasto Kristianto, sekjen PDIP tegas mengatakan tidak akan mungkin PDIP berkoalisi dengan Demokrat, Nasdem dan PKS. Sekali lagi, tidak mungkin berkoalisi dengan tiga partai itu, termasuk Demokrat. Kalimat Hasto jelas dan tegas. Beritanya viral dan publik membacanya. Mendadak, AHY ditawari jadi cawapres Ganjar. Lalu, Puan Maharani ajukan proposal untuk ketemu AHY. Terus, apa makna dari kalimat Hasto Kristianto yang secara tegas mengatakan \"tidak mungkin PDIP berkoalisi dengan Demokrat?\" Beda kata, beda keputusan. Narasi Hasto masuk akal mengingat ada masalah psikologi yang cukup serius antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Megawati merasa dikhianati dengan pencapresan SBY di 2004. 19 tahun lalu. Dan selama 19 tahun hubungan Mega-SBY belum pernah membaik. Apakah tawaran ke AHY untuk menjadi cawapres Ganjar adalah manuver balasan PDIP kepada SBY? Demokrat masuk perangkap, lalu ditinggalkan begitu saja. Ini yang menjadi pertanyaan publik. Publik membaca bahwa tawaran agar AHY jadi cawapres Ganjar semata-mata adalah upaya menjegal Anies Baswedan nyapres. Itu saja. Demokrat tahu itu. SBY dan AHY juga sangat paham. Tawaran kepada AHY jadi cawapres rupanya dimanfaatkan oleh salah satu kader Demokrat untuk bermanuver. Tekan KPP untuk segera umumkan pasangan capres-cawapres. Apakah ini artinya Demokrat sedang menekan Anies umumkan AHY jadi cawapresnya? Kalau ternyata yang diumumkan jadi cawapres bukan AHY, lalu Demokrat keluar dari koalisi KPP?  Bukankah ketum tiga partai sudah sepakat menyerahkan cawapres kepada Anies Baswedan selaku capres? Kenapa harus ada tekan menekan? Kenapa harus terus menerus ada manuver? Itulah politik. Jika komitmen menjadi dasar dalam bersikap, iman politik akan semakin kuat. Ini juga sekaligus akan memperkokoh koalisi dan lebih mudah untuk menggunakan energi menuju arena pertarungan. Satu kata: soliditas.  Apapun godaan yang datang, dan akan bertubi-tubi disodorkan, idealnya koalisi akan tetap solid. Apalagi jika itu dipahami dan disadari sebagai sebuah jebakan, maka harusnya melahirkan tingkat kesolidan koalisi yang semakin tinggi. Setiap partai anggota koalisi punya ruang untuk melakukan komunikasi politik dengan partai dan tokoh manapun. Ini bagian dari dinamika yang tetap harus mendapatkan kesempatan dalam berdemokrasi. Satu hal yang harus menjadi prinsip jika koalisi ingin tetap utuh, bahwa komunikasi dengan partai dan tokoh manapun mestinya membuat koalisi semakin solid dan menambah kekuatan bagi koalisi. Ini bagian dari etika dalam menjaga komitmen koalisi, jika sungguh-sungguh ingin meraih kemenangan. Jadi, komunikasi Yes. Dengan siapapun. Tapi koalisi mesti tetap konsisten dengan apa yang telah ditandatangani. Ini berlaku bagi partai dan koalisi manapun. Di sini, para elit punya tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat.  \"Satunya kata dengan perbuatan.\" Ini sikap yang ideal untuk dijadikan referensi oleh rakyat. Sampai di sini, keteladanan elit menjadi sangat penting. Sekali lagi, \"keteladanan\" bukan \"pengkhianatan\". Jakarta, 13 Juni 2023

Mengibliskan Islam

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) SALAH satu variabel yang mendorong rezim Jokowi berupaya keras menjegal Anies Baswedan nyapres adalah Islam. Ia dipersepsikan sebagai lokomotif yang akan menarik gerbong Islam, khususnya Islam konservatif, yang mengancam establishment. Bisa saja benar karena ia didukung kubu Islam. Yang tidak benar adalah asumsi bahwa ia akan menerapkan agenda Islam kalau nanti menjadi presiden. Hal itu bisa dilihat dari rekam jejaknya ketika memimpin DKI Jakarta. Ketika itu ia juga didukung kubu Islam tersebut. Melihat corak Islam Indonesia yang moderat, pudarnya daya tarik Islamis yang dapat dilihat dari kecilnya perolehan suara parpol-parpol berbasis Islam, dan pandangan serta sikap Anies selama ini, maka mustahil ia akan menerapkan syariah atau mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum sekuler. Karena hal itu berarti bunuh diri politik. Semua pihak yang waras tentu saja menyadari setuju dengan pendapat ini. Kendati melanggar konstitusi dan etika, cawe-cawe Jokowi didukung Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri, oligarki, dan sangat mungkin Cina. Bahkan juga Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang membenarkan cawe-cawe Jokowi. Gus Yahya dikenal dekat dengan Israel, Cina, dan menganggap Al-Qur\'an hanyalah dokumen sejarah. Islam diibliskan (demonisasi) bukan lantaran kaum Muslim hendak menegakkan hukum syariah dengan membuang Pancasila, melainkan mereka dipersepsikan akan menghadirkan ancaman bagi status quo. Bagaimanapun, kekuatan-kekuatan anti-Islam  mengingkari peran sejarah kaum Muslim dalam memerdekakan bangsa ini. Megawati memberi kesan kaum nasionalis pimpinan ayahnya-lah yang merupakan pemegang saham terbesar ketika mendirikan RI dan karena itu paling berhak menentukan arah perjalanan bangsa ini. Padahal, jauh sebelum nasionalisme memasuki kancah pergerakan nasional, Islam sudah menjadi kekuatan yang hidup, yang menggerakkan dan menyatukan berbagai kelompok Islam dalam mengejar cita-cita kebangsaan bersama. Dan kekuatan itu masih hidup sampai sekarang. Bahkan kemudian faktor Islam juga yang mendorong negara-negara Timur Tengah menjadi yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini sangat strategis dan instrumental dalam kampanye Indonesia meraih pengakuan internasional. Memang pengalaman bersama sebagai bangsa terjajah memungkinkan munculnya ideologi kebangsaan yang diimpor dari Barat. Tapi Islamisasi atas nasionalisme yang dilakukan para pemuka Islam dan solidaritas antarumat Islam berbeda suku dan etnis di seluruh Nusantara-lah yg menjadi perekat esensiil bagi terbangunnya NKRI. Pancasila adalah dokumen simbol akomodasi Islam terhadap nasionalisme sekuler dan aspirasi kelompok-kelompok minoritas. Dengan kata lain, Pancasila adalah konsensus nasional, common platform, untuk mengejar tujuan berbangsa dan bernegara demi menghadirkan keadilan bagi semua komponen bangsa. Namun, hari ini pemerintah, parpol, ormas, dan elemen lain menempatkan Islam sebagai iblis yang mengancam eksistensi NKRI berlandaskan Pancasila. Bagaimana mungkin mereka yang ikut mendirikan negara ini  hendak merobohkannya? Anies dipersepsikan ssebagai simbol kekuatan Islam itu, yang akan menggusur mereka yang sedanhg berkuasa. Demi menghempaskan Anies, Mega menyingkirkan dendam kesumatnya kepada Sby -- Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat -- dengan membujuk partai itu membangun koalisi bersama PDI-P yang telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal capresnya. Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ditawarkan posisi menggiurkan sebagai bakal cawapres Ganjar. Sangat mungkin kesediaan AHY membicarakan bakal capres-cawapres dengan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani hanya bertujuan menekan Nasdem untuk menerima AHY sebagai pendamping Anies. Manuver PDI-P mendekati Demokrat merupakan kejutan karena belum lama ini Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyatakan haram bagi partainya berkoalisi dengan Demokrat, Nasdem, dan PKS, yang tergabung dalam Koalisi Persatuan untuk Perubahan yang mengsung Anies. Ketidaksukaan Mega pada Islam dapat dilacak pada sejumlah pernyataan kontroversialnya terkait doktrin dan aktivitas sosial-politik Islam. Misalnya, ia pernah mempertanyakan adanya Akhirat. Ia juga secara gegabah menghubungkan stunting di kalangan anak-anak Indonesia dengan kegiatan pengajian ibu-ibu. Pernyataan seperti ini hanya mungkin datang dari orang yang merasa paling \"cantik\", \"kharismatik\", \"pintar\", dan perempuan \"terkuat\" yang masih tersisa di dunia. Lalu, Badan Pembina Ideologi Pancasila di mana Mega adalah Ketua Dewan Pengarah secara mengejutkan menyatakan agama adalah musuh Pancasila. Tentu yang dimaksud adalah Islam. Lebih jauh, PDI-P menginisiasi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan tdk memasukkan TAP MPRS XXV/Tanun 1966 tentang larangan ajaran Komunisme-Leninisme di seluruh wilayah RI sebagai konsideran. Ketika didesak agar TAP MPRS tersebut dijadikan konsideran, Hasto menyatakan setuju dengan syarat khilafah juga dilarang. Dus, jelas baik BPIP maupun HIP bertujuan mengendalikan kekuatan Islam sekaligus mengakomodasi tuntutan para keturunan eks anggota PKI yang dukungannya berperan besar dlm menjadikan PDI-P sbg partai besar. Jokowi juga berbagi keprihatinan dengan Mega. PA 212 pimpinan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang menghadirkan jutaan orang di Monas dalam protes trerhad pernyataan pejoratif Ahok terkait Surah al-Maidah menyadarkan Jokowi tentang bahaya Islam bagi pemerintahannya. Sejak itu, Jokowi mengambil sejumlah langkah untuk menggembosi suara kelompok Islam konservatif. Atas saran Mega, Jokowi merekrut KH Ma\'ruf Amin, Ketum MUI yang berperan besar bagi keluarnya fatwa MUI terkait isu itu, sebagai wapresnya. Langkah lain, Rizieq dipenjarakan terkait pelanggaran protokol covid-19 dan FPI dibubarkan bersama HTI. Sebelmya terjadi insiden pembunuhan enam laskar FPI. Semua ini bertujuan menggembosi dan mengintimidasi kelompok Islam tsb. Ketakutan Jokowi trhdp kubu Islam ini sampai2 ia memperalat KPK, KPS Moeldoko, dan MA. MA dijadikan sandera KPK untuk mengabulkan PK Moeldoko. Selain itu, ia memerintahkan para pembantunya merayu, menekan, dan mengancam partai-partai yg mengusung Anies. Bahkan, setelah menjerat Menteri Kominfo Johnny G Plate asal Nasdem dalam kasus korupsi BTS, ia juga menghancurkan kerajaan bisnis Ketum Nasdem Surya Paloh. Tak sampai di situ. Ia berterus terang tak akan netral dalam pilpres. Dalam hal ini, ia hanya menyetujui dua pasang yang berkompetisi dalm pilpres:  Ganjar dan Prabowo dengan pasangan masing-masing. Bagaimana pun, upaya penyingkiran Anies juga tak dapat dilepaskan dari legacy yang akan ditinggalkan Jokowi. Yang terpenting di antaranya adalah dinasti politik dan bisnis keluarganya. Ganjar atau Prabowo dibayangkan tak akan mengutak-atik KKN anak2 dan menantunya krn PDI-P dan Gerindra adalah pendukung Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution meraih kekuasaan di Solo dan Medan. Kemudian, Jokowi berasumsi IKN akan dilanjutkan salah satu dari dua bakal capres itu krn PDI-P mendukungnya. Toh,  ide awal pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan berasal dari Soekarno. Bila Anies menang pilpres, dikhawatirkan sejumlah legacy Jokowi yang bermasalah secara konstitusional atau berbahaya bagi eksistensi negara akan diungkit pemerintahan mendatang. Krn Jokowi menerabas konstitusi demi mencapai target politik, tentu saja ia menganggap penggantinya akan melakukan hal yang sama. Mungkin Mega juga khawatir kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kadernya -- termasuk kemungkinan Puan, Hasto, dan Ganjar -- yang untuk sementara dipetieskan pemerintah diusut kembali. Lebih penting dari semua itu, pengaruh PDI-P di pemerintahan ditakutkan akan lenyap bila kelompok Islam berkuasa. Untuk menggembosi pendukung Anies, rezim Jokowi memelihara buzzerRp untuk menggonggong ttng bahaya radikalisme, intoleransi, dan politik identitas. Secara bodoh dan curang mereka menyatakan Indonesia bisa menjadi seperti Suriah bila kadrun berkuasa. Karena para buzzer adalah orang-orang. terdidik, tuduhan itu merupakan pelacuran intelektual. Tetapi oligarki dan Cina juga ikut bermain dengan menjadikan rezim Jokowi sebagai proksi. Ketakutan oligarki terhadap Anies didasarkan pada fakta bahwa ia menghentikan proyek reklamasi milik oligarki. Dan dia kekeuh  pada keputusannya meski ditekan dan dibujuk dengan uang ratusan miliar rupiah. Orang seperti ini tentu saja berbahaya bagi kepentingan mereka meskipun sesungguhnya Anies tidak antipemodal. Yang mnejd sikapnya adalah soal keadilan sosial krn reklamasi merugikan lingkungan dan nelayan kecil. Melihat begitu strategisnya Indonesia dari sisi geopolitik, ekonomi, dan keamanan, tdk memungkinkan kita untuk mengira Cina hanya akan jadi penonton pilpres Indonesia. Pihak- pihak yang yang mengatakan Cina masuk ke Indonesia hanya membawa duit, bukan seperti AS yang suka mengobok-obok negara lain, merupakan propaganda menyesatkan yang dapat  melemahkan ketahanan negara. Cina adalah negara raksasa yg berambisi menjadi adidaya tunggal menggantikan AS. Ia butuh pasar dan sumber daya alam kita untuk mendukung industri dalam negerinya. Juga ia butuh akses ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dalam konteks pengamanan jalur perdagangan dan persaingan dgn AS. Karena itu, mengendalikan Indonesia merupakan keniscayaan. Tetapi hal ini hanya mungkin kalau status quo di Indonesia bertahan. Dalam konteks ini, Anies dilihat sebagai tokoh yang berpotensi mengancam kepentingan Cina karena pendukungnya kritis terhadap perilaku Beijing di negeri ini maupun di Laut Cina Selatan. Dus, pengiblisan Islam dan mendelegitimasi Anies sebagai capres dimainkan oleh banyak pihak yang kepentingannya beririsan. Bisa saja Anies berhasil disingkirkan dari arena kontestasi pilpres. Tetapi yang untung bukan rakyat Indonesia, melainkan kekuatan-leluatan anti-Islam itu. Tangsel, 13 Juni 2023

Jokowi Pikiran Tesla atau Tela

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Tesla (Bahasa Inggris) artinya  Bersemangat, Bangkit kembali.  (\"Kata ini menjadi nama penemu, fisikawan, teknisi mekanika dan teknisi listrik asal Amerika Serikat, yaitu Nikola Tesla\"). Pikiran seorang ilmuwan bisa saja akhirnya mewarnai lingkungannya bahkan bisa merambah pada level bangsa, negara dan mendunia menjadi semacam teori nempel dengan  namanya. Apa yang ada dalam pikiran Tesla adalah cara melihat dan memahami alam dengan memakai level kuantum, bukan lagi dengan perspektif mekanika Newton.  Sebuah cara membaca dan memahami realitas alam dengan perspektif yang lebih mendalam tentunya. Seperti yang disebut Tesla: Ada energi, frekuensi, vibrasi, maka substansi realitas bukan hanya materi seperti anggapan kaum materialis. Sebab di alam semesta materi berpasangan dengan energi (non-materi) dalam membentuk realitas alam. Dan itu (energi bervibrasi) bukan saja terjadi dulu saat bigbang, saat awal semesta tercipta, dan sekarang pun dibalik materi semesta komposisinya adalah tetap energi, frekuensi dan vibrasi yang membentuk mekanisme dilevel kuantum. Jadi eksistensi energi tersebut  bersifat aktual. Ahirnya menggiring orang  keluar dari ranah sains dan menuju wilayah metafisik, sesuatu di balik fisik, sebab bila bicara di balik itu semua maka yang ada dibalik semua adalah pikiran.  Ya, pikiran adalah yang diamati dan didalami di ranah metafisika.  Pikiran adalah sesuatu yang ada di balik fisik, bukan lagi suatu yang mekanismenya bersifat fisik.  Kesadaran metafisik selalu saja terjadi pada para ilmuwan, seperti kisah Maurice Bucaille adalah salah satu ahli bedah terkemuka Prancis yang memutuskan masuk Islam setelah meneliti mumi Firaun. Dia terkejut dengan penemuan - penemuan selama meneliti penguasa Mesir kuno tersebut.  Sekadar melayang membayangkan tidak bisa disandingkan atau disamakan dengan Tesla atau  Maurice Bucaille dan para ilmuwan dunia, hanya sekelas Jokowi yang telah sampai pada puncak kekuasaan, apa yang dipikirkan semestinya memiliki pikiran yang minimal standar. Standar pikiran cukup bagaimana bisa mengatur negara. Ketika sebuah pikiran di bawah standar bahkan minus, jangankan bisa sebagai magnit perubahan dan kemajuan teknologi di Indonesia. Apalagi sampai masuk pada kecerdasan masuk pada metafisika, menjadi energinya kearifan diri memancar pada ranah kehidupan masyarakat Indonesia yang meyakini adanya Tuhan YME, yang terjadi justru angkara murka.  Yang muncul justru kekacauan akibat pikiran yang diduga minus. Negara lain sibuk membuat rekayasa senjata nuklir - kita rekayasa menjual pasir. Pikirannya memang beda \"Potensi pikiran Tesla dan potensi pikiran Tela Jokowi.\" *****