Jokowi Pikiran Tesla atau Tela

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih 

Tesla (Bahasa Inggris) artinya  Bersemangat, Bangkit kembali.  ("Kata ini menjadi nama penemu, fisikawan, teknisi mekanika dan teknisi listrik asal Amerika Serikat, yaitu Nikola Tesla").

Pikiran seorang ilmuwan bisa saja akhirnya mewarnai lingkungannya bahkan bisa merambah pada level bangsa, negara dan mendunia menjadi semacam teori nempel dengan  namanya.

Apa yang ada dalam pikiran Tesla adalah cara melihat dan memahami alam dengan memakai level kuantum, bukan lagi dengan perspektif mekanika Newton. 

Sebuah cara membaca dan memahami realitas alam dengan perspektif yang lebih mendalam tentunya.

Seperti yang disebut Tesla: Ada energi, frekuensi, vibrasi, maka substansi realitas bukan hanya materi seperti anggapan kaum materialis. Sebab di alam semesta materi berpasangan dengan energi (non-materi) dalam membentuk realitas alam.

Dan itu (energi bervibrasi) bukan saja terjadi dulu saat bigbang, saat awal semesta tercipta, dan sekarang pun dibalik materi semesta komposisinya adalah tetap energi, frekuensi dan vibrasi yang membentuk mekanisme dilevel kuantum. Jadi eksistensi energi tersebut  bersifat aktual.

Ahirnya menggiring orang  keluar dari ranah sains dan menuju wilayah metafisik, sesuatu di balik fisik, sebab bila bicara di balik itu semua maka yang ada dibalik semua adalah pikiran. 

Ya, pikiran adalah yang diamati dan didalami di ranah metafisika.  Pikiran adalah sesuatu yang ada di balik fisik, bukan lagi suatu yang mekanismenya bersifat fisik. 

Kesadaran metafisik selalu saja terjadi pada para ilmuwan, seperti kisah Maurice Bucaille adalah salah satu ahli bedah terkemuka Prancis yang memutuskan masuk Islam setelah meneliti mumi Firaun. Dia terkejut dengan penemuan - penemuan selama meneliti penguasa Mesir kuno tersebut. 

Sekadar melayang membayangkan tidak bisa disandingkan atau disamakan dengan Tesla atau  Maurice Bucaille dan para ilmuwan dunia, hanya sekelas Jokowi yang telah sampai pada puncak kekuasaan, apa yang dipikirkan semestinya memiliki pikiran yang minimal standar.

Standar pikiran cukup bagaimana bisa mengatur negara. Ketika sebuah pikiran di bawah standar bahkan minus, jangankan bisa sebagai magnit perubahan dan kemajuan teknologi di Indonesia.

Apalagi sampai masuk pada kecerdasan masuk pada metafisika, menjadi energinya kearifan diri memancar pada ranah kehidupan masyarakat Indonesia yang meyakini adanya Tuhan YME, yang terjadi justru angkara murka. 

Yang muncul justru kekacauan akibat pikiran yang diduga minus. Negara lain sibuk membuat rekayasa senjata nuklir - kita rekayasa menjual pasir. Pikirannya memang beda "Potensi pikiran Tesla dan potensi pikiran Tela Jokowi." *****

411

Related Post