Mengibliskan Islam
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
SALAH satu variabel yang mendorong rezim Jokowi berupaya keras menjegal Anies Baswedan nyapres adalah Islam. Ia dipersepsikan sebagai lokomotif yang akan menarik gerbong Islam, khususnya Islam konservatif, yang mengancam establishment.
Bisa saja benar karena ia didukung kubu Islam. Yang tidak benar adalah asumsi bahwa ia akan menerapkan agenda Islam kalau nanti menjadi presiden. Hal itu bisa dilihat dari rekam jejaknya ketika memimpin DKI Jakarta. Ketika itu ia juga didukung kubu Islam tersebut.
Melihat corak Islam Indonesia yang moderat, pudarnya daya tarik Islamis yang dapat dilihat dari kecilnya perolehan suara parpol-parpol berbasis Islam, dan pandangan serta sikap Anies selama ini, maka mustahil ia akan menerapkan syariah atau mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum sekuler. Karena hal itu berarti bunuh diri politik. Semua pihak yang waras tentu saja menyadari setuju dengan pendapat ini.
Kendati melanggar konstitusi dan etika, cawe-cawe Jokowi didukung Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri, oligarki, dan sangat mungkin Cina. Bahkan juga Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang membenarkan cawe-cawe Jokowi. Gus Yahya dikenal dekat dengan Israel, Cina, dan menganggap Al-Qur'an hanyalah dokumen sejarah.
Islam diibliskan (demonisasi) bukan lantaran kaum Muslim hendak menegakkan hukum syariah dengan membuang Pancasila, melainkan mereka dipersepsikan akan menghadirkan ancaman bagi status quo.
Bagaimanapun, kekuatan-kekuatan anti-Islam mengingkari peran sejarah kaum Muslim dalam memerdekakan bangsa ini. Megawati memberi kesan kaum nasionalis pimpinan ayahnya-lah yang merupakan pemegang saham terbesar ketika mendirikan RI dan karena itu paling berhak menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Padahal, jauh sebelum nasionalisme memasuki kancah pergerakan nasional, Islam sudah menjadi kekuatan yang hidup, yang menggerakkan dan menyatukan berbagai kelompok Islam dalam mengejar cita-cita kebangsaan bersama. Dan kekuatan itu masih hidup sampai sekarang.
Bahkan kemudian faktor Islam juga yang mendorong negara-negara Timur Tengah menjadi yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini sangat strategis dan instrumental dalam kampanye Indonesia meraih pengakuan internasional.
Memang pengalaman bersama sebagai bangsa terjajah memungkinkan munculnya ideologi kebangsaan yang diimpor dari Barat. Tapi Islamisasi atas nasionalisme yang dilakukan para pemuka Islam dan solidaritas antarumat Islam berbeda suku dan etnis di seluruh Nusantara-lah yg menjadi perekat esensiil bagi terbangunnya NKRI.
Pancasila adalah dokumen simbol akomodasi Islam terhadap nasionalisme sekuler dan aspirasi kelompok-kelompok minoritas. Dengan kata lain, Pancasila adalah konsensus nasional, common platform, untuk mengejar tujuan berbangsa dan bernegara demi menghadirkan keadilan bagi semua komponen bangsa.
Namun, hari ini pemerintah, parpol, ormas, dan elemen lain menempatkan Islam sebagai iblis yang mengancam eksistensi NKRI berlandaskan Pancasila. Bagaimana mungkin mereka yang ikut mendirikan negara ini hendak merobohkannya? Anies dipersepsikan ssebagai simbol kekuatan Islam itu, yang akan menggusur mereka yang sedanhg berkuasa.
Demi menghempaskan Anies, Mega menyingkirkan dendam kesumatnya kepada Sby -- Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat -- dengan membujuk partai itu membangun koalisi bersama PDI-P yang telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal capresnya.
Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ditawarkan posisi menggiurkan sebagai bakal cawapres Ganjar. Sangat mungkin kesediaan AHY membicarakan bakal capres-cawapres dengan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani hanya bertujuan menekan Nasdem untuk menerima AHY sebagai pendamping Anies.
Manuver PDI-P mendekati Demokrat merupakan kejutan karena belum lama ini Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyatakan haram bagi partainya berkoalisi dengan Demokrat, Nasdem, dan PKS, yang tergabung dalam Koalisi Persatuan untuk Perubahan yang mengsung Anies.
Ketidaksukaan Mega pada Islam dapat dilacak pada sejumlah pernyataan kontroversialnya terkait doktrin dan aktivitas sosial-politik Islam. Misalnya, ia pernah mempertanyakan adanya Akhirat. Ia juga secara gegabah menghubungkan stunting di kalangan anak-anak Indonesia dengan kegiatan pengajian ibu-ibu. Pernyataan seperti ini hanya mungkin datang dari orang yang merasa paling "cantik", "kharismatik", "pintar", dan perempuan "terkuat" yang masih tersisa di dunia.
Lalu, Badan Pembina Ideologi Pancasila di mana Mega adalah Ketua Dewan Pengarah secara mengejutkan menyatakan agama adalah musuh Pancasila. Tentu yang dimaksud adalah Islam. Lebih jauh, PDI-P menginisiasi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan tdk memasukkan TAP MPRS XXV/Tanun 1966 tentang larangan ajaran Komunisme-Leninisme di seluruh wilayah RI sebagai konsideran.
Ketika didesak agar TAP MPRS tersebut dijadikan konsideran, Hasto menyatakan setuju dengan syarat khilafah juga dilarang. Dus, jelas baik BPIP maupun HIP bertujuan mengendalikan kekuatan Islam sekaligus mengakomodasi tuntutan para keturunan eks anggota PKI yang dukungannya berperan besar dlm menjadikan PDI-P sbg partai besar.
Jokowi juga berbagi keprihatinan dengan Mega. PA 212 pimpinan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang menghadirkan jutaan orang di Monas dalam protes trerhad pernyataan pejoratif Ahok terkait Surah al-Maidah menyadarkan Jokowi tentang bahaya Islam bagi pemerintahannya.
Sejak itu, Jokowi mengambil sejumlah langkah untuk menggembosi suara kelompok Islam konservatif. Atas saran Mega, Jokowi merekrut KH Ma'ruf Amin, Ketum MUI yang berperan besar bagi keluarnya fatwa MUI terkait isu itu, sebagai wapresnya.
Langkah lain, Rizieq dipenjarakan terkait pelanggaran protokol covid-19 dan FPI dibubarkan bersama HTI. Sebelmya terjadi insiden pembunuhan enam laskar FPI. Semua ini bertujuan menggembosi dan mengintimidasi kelompok Islam tsb.
Ketakutan Jokowi trhdp kubu Islam ini sampai2 ia memperalat KPK, KPS Moeldoko, dan MA. MA dijadikan sandera KPK untuk mengabulkan PK Moeldoko.
Selain itu, ia memerintahkan para pembantunya merayu, menekan, dan mengancam partai-partai yg mengusung Anies. Bahkan, setelah menjerat Menteri Kominfo Johnny G Plate asal Nasdem dalam kasus korupsi BTS, ia juga menghancurkan kerajaan bisnis Ketum Nasdem Surya Paloh.
Tak sampai di situ. Ia berterus terang tak akan netral dalam pilpres. Dalam hal ini, ia hanya menyetujui dua pasang yang berkompetisi dalm pilpres: Ganjar dan Prabowo dengan pasangan masing-masing.
Bagaimana pun, upaya penyingkiran Anies juga tak dapat dilepaskan dari legacy yang akan ditinggalkan Jokowi. Yang terpenting di antaranya adalah dinasti politik dan bisnis keluarganya. Ganjar atau Prabowo dibayangkan tak akan mengutak-atik KKN anak2 dan menantunya krn PDI-P dan Gerindra adalah pendukung Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution meraih kekuasaan di Solo dan Medan.
Kemudian, Jokowi berasumsi IKN akan dilanjutkan salah satu dari dua bakal capres itu krn PDI-P mendukungnya. Toh, ide awal pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan berasal dari Soekarno. Bila Anies menang pilpres, dikhawatirkan sejumlah legacy Jokowi yang bermasalah secara konstitusional atau berbahaya bagi eksistensi negara akan diungkit pemerintahan mendatang. Krn Jokowi menerabas konstitusi demi mencapai target politik, tentu saja ia menganggap penggantinya akan melakukan hal yang sama.
Mungkin Mega juga khawatir kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kadernya -- termasuk kemungkinan Puan, Hasto, dan Ganjar -- yang untuk sementara dipetieskan pemerintah diusut kembali. Lebih penting dari semua itu, pengaruh PDI-P di pemerintahan ditakutkan akan lenyap bila kelompok Islam berkuasa.
Untuk menggembosi pendukung Anies, rezim Jokowi memelihara buzzerRp untuk menggonggong ttng bahaya radikalisme, intoleransi, dan politik identitas. Secara bodoh dan curang mereka menyatakan Indonesia bisa menjadi seperti Suriah bila kadrun berkuasa. Karena para buzzer adalah orang-orang. terdidik, tuduhan itu merupakan pelacuran intelektual.
Tetapi oligarki dan Cina juga ikut bermain dengan menjadikan rezim Jokowi sebagai proksi. Ketakutan oligarki terhadap Anies didasarkan pada fakta bahwa ia menghentikan proyek reklamasi milik oligarki. Dan dia kekeuh pada keputusannya meski ditekan dan dibujuk dengan uang ratusan miliar rupiah. Orang seperti ini tentu saja berbahaya bagi kepentingan mereka meskipun sesungguhnya Anies tidak antipemodal. Yang mnejd sikapnya adalah soal keadilan sosial krn reklamasi merugikan lingkungan dan nelayan kecil.
Melihat begitu strategisnya Indonesia dari sisi geopolitik, ekonomi, dan keamanan, tdk memungkinkan kita untuk mengira Cina hanya akan jadi penonton pilpres Indonesia. Pihak- pihak yang yang mengatakan Cina masuk ke Indonesia hanya membawa duit, bukan seperti AS yang suka mengobok-obok negara lain, merupakan propaganda menyesatkan yang dapat melemahkan ketahanan negara.
Cina adalah negara raksasa yg berambisi menjadi adidaya tunggal menggantikan AS. Ia butuh pasar dan sumber daya alam kita untuk mendukung industri dalam negerinya. Juga ia butuh akses ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dalam konteks pengamanan jalur perdagangan dan persaingan dgn AS.
Karena itu, mengendalikan Indonesia merupakan keniscayaan. Tetapi hal ini hanya mungkin kalau status quo di Indonesia bertahan. Dalam konteks ini, Anies dilihat sebagai tokoh yang berpotensi mengancam kepentingan Cina karena pendukungnya kritis terhadap perilaku Beijing di negeri ini maupun di Laut Cina Selatan.
Dus, pengiblisan Islam dan mendelegitimasi Anies sebagai capres dimainkan oleh banyak pihak yang kepentingannya beririsan. Bisa saja Anies berhasil disingkirkan dari arena kontestasi pilpres. Tetapi yang untung bukan rakyat Indonesia, melainkan kekuatan-leluatan anti-Islam itu.
Tangsel, 13 Juni 2023