Ojek Online dan Pertaruhan Nasib Bersama Anies Baswedan
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle
SERIBUAN pengemudi Ojek Online (Ojol) se Jabodetabek lintas organ OJOL, menyatakan deklarasi mendukung Anies Baswedan sebagai harga mati. Mereka mengutarakan itu di pinggiran Banjir Kali Timur (BKT) Jakarta. Dalam deklarasi kemarin, 2/7/23, yang mencantumkan 3 poin, mereka yang menyatakan diri sebagai DOA (Driver Ojol for Anies), mengatakan kesamaan mereka dalam visi perubahan, sebuah visi yang diusung Anies Baswedan ke depan. Alasan mereka adalah sepuluh tahun terakhir ini mereka hidup susah tanpa perubahan dan negara tidak berpihak pada mereka. (Dari catatan media, pimpinan DOA ini pernah melakukan aksi jahit mulut di depan Kemenhub RI beberapa waktu lalu).
Ojek Online adalah fenomena baru di Indonesia setelah Nadiem Makarim, menteri pendidikan, membuat aplikasi GO-JEK untuk memudahkan transportasi di kota-kota besar. Awalnya GO-JEK tumbuh karena adanya kontribusi dan partisipasi pengojek, tenaga dan motornya. Dari sekedar puluhan motor, sekarang tercatat mitra kerja GO-JEK jutaan motor dan mobil. Jika menambahkan perusahaan lainnya seperti Grab, dan sebagainya, jumlah mitra pengemudi ini mencapai 4 juta jiwa.
Dari sandaran utama pada pengemudi dan IT, GO-JEK terus berkembang menjadi perusahaan berbagai jasa pengiriman, termasuk pengiriman uang, pembayaran berbagai tagihan, pengumpulan uang dan transfer (fintech) dll yang disebut Unicorn (Decacorn). Nilai perusahaan raksasa ini pada tahun 2019 ditaksir sebesar 150 triliun rupiah. Dengan kekuatan itu, perusahaan ini berkembang lagi, merger dengan Tokopedia, menjadi GoTo, dengan market Cap sebesar 400 Triliun Rupiah.
Ironisnya, ketika pendiri GO-JEK, Nadiem, mencatat kenaikan kekayaan sebesar Rp. 3,6 Triliun, pengemudi GO-JEK menjerit dalam kehidupan yang semakin meringis, kurus kering dan pucat. Selain GO-JEK tentu nasibnya semua sama.
Pada laporan Katadata.co.id, 31/3/23, dengan judul "Riset: Pendapatan Ojol Kini Pas-pasan, Ingin Jadi Pekerja Kantoran", dari dua hasil riset, yakni oleh kementerian perhubungan dan mahasiswa London School of Economics, pada tahun 2021-2022, ditemukan hasil bahwa mayoritas pengemudi ojek merasa terjebak dalam pekerjaan ini. Namun, mereka tidak mampu keluar dari pekerjaan itu karena ketiadaan pilihan. Di luar OJOL lapangan kerja semakin sulit. Kehidupan mereka pas-pasan.
Mayoritas mendapatkan penghasilan Rp 50.000-Rp. 100.000 dan pengeluaran mereka sebesar itu pula. Mereka mayoritas anak-anak usia muda. Bekerja dalam waktu yang lebih lama serta fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang minim. Selanjutnya, menurut laporan CNBC News, 30/3/23 dalam judul "Potongan Aplikasi Kian Mencekik, Penghasilan Ojol Sisa Segini", dilaporkan bahwa aplikasi atau pemilik sering sekali secara sepihak mengatur penghasilan yang boleh diterima pengemudi.
Pemerintah dalam hal ini mengatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan perlindungan pada pekerja ojek ini karena hubungan kerja antara pemilik dan pengemudi adalah mitra, bukan Majikan versus Buruh. Ini, sebabnya, tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan kita.
Kemiskinan Ojol dan Historical Materialisme
Deklarasi Ojol mendukung Anies mempunyai tantangan besar yang harus dilakukan Anies jika menang. Dalam perspektif pasar bebas dan rakusnya kapitalisme, Anies tidak berhak menyeimbangkan kesejahteraan Nadiem Makarim dan kaum kapitalis pemilik GO-JEK dan OJOL lainnya terhadap kesejahteraan 4 juta buruh GO-JEK dan jutaan keluarga mereka.
Semua atau hampir semua orang-orang kaya di Indonesia menterjemahkan Pancasila sebagai pelindung tumbuhnya kekayaan mereka secara ekponensial. Menurut mereka Pancasila adalah kebebasan mereka untuk membangun hubungan kerja yang membebaskan mereka pada sifat-sifat kebinatangan kapitalisme.
Dalam perspektif Historical Materialisme, sebagaimana sejarah GO-JEK yang saya bahas di atas, pada dasarnya pertarungan melihat sejarah dapat dipertentangkan antara Nadiem yang hebat membangun aplikasi (atau meniru aplikasi UBER dan sejenisnya di negara maju), yang juga dibangga-banggakan Jokowi pada pembahasan Unicorn dalam debat kampanye 2019 lalu, di satu sisi, dan di sisi lain tentang bagaimana hebatnya investasi ribuan dan lalu jutaan buruh Ojol sebagai bagian stake holder fundamental bagi pembentukan entitas GO-JEK dan OJOL lainnya. Saat ini tentu saja cara pandang kaum kapitalis dan rezim Jokowi adalah sebagai fakta yang ada bahwa Nadiem hebat, karena mampu membuat sistem transportasi yang berfungi banyak, menciptakan FINTECH, menciptakan entitas bisnis dan mampu memberikan makan bagi jutaan manusia Indonesia.
Sebaliknya, jika kita melihat dalam perspektif sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakya,t dan fungsi negara untuk membangun keadilan itu, maka sejarah membuktikan bahwa jutaan pengemudi ojek adalah orang-orang yang diterlantarkan entitas bisnis dan kaum kapitalis pemiliknya, setelah unit bisnis tersebut tumbuh berkembang menciptakan nilai 400 triliun rupiah.
Fenomena GO-JEK ini hanyalah fenomena satu dekade, di mana negara republik ini gagal mendorong adanya korporasi-korporasi yang tumbuh untuk kepentingan kemakmuran bersama, bukan segelintir orang. Atas nama "bussiness like" negara pura-pura tidak berfungsi memberikan intervensi bagi keadilan. Sebaliknya, jika melihat adanya aliran dana Telkom/Telkomsel triliunan rupiah dalam transaksi merger GO-JEK dan Tokopedia, negara membiarkan intervensi bagi kepentingan kapitalis tersebut.
Anies Baswedan yang dituntut oleh kaum buruh miskin perkotaan OJOL ini harus melihat perspektif pertumbuhan bisnis di Indonesia dalam perspektif alternatif atau anti tesa terhadap rezim Jokowi ini. Pertama, perspektif historical harus dimasukkan dalam urusan bernegara. Negara harus mereset ulang semua dinamika ekonomi yang ada dari bertumpu pada kerakusan kaum kapitalis ke arah kemakmuran rakyat miskin. Indikator utamanya adalah pada peningkatan share "return to labor" maupun "economic growth for the poor". Semua orang boleh kaya di Indonesia, tapi gerakan afirmasi (affirmative action) yang dilakukan negara harus sebesar-besarnya untuk memperkuat power dan inkom kaum miskin. Kedua, seperti kasus GO-JEK dan OJOL lainnya, entitas bisnis ini harus meng-adjust hak-hak awal buruh pengemudi OJOL dalam porsi kepemilikan saham, sebagai bagian jaminan batas bawah kesejahteraan pengojek. Ketiga, hubungan kerja antara pemilik GO-JEK dan Ojol lainnya, terhadap pengemudi, harus diatur dalam Perjanjian Kerja yang disetujui pemerintah.
Penutup
Tuntutan seribuan pengemudi OJOL pada Anies untuk tema perubahan tercantum dalam poin pertama deklarasi dukungan mereka pada Anies, yakni negara harus hadir membela mereka. Dalam hubungan kapitalis dan kaum pekerja, sepuluh tahun belakang ini pemerintah memanjakan kapitalis dan menindas buruh dan pekerja miskin lainnya. Pengemudi Ojol sudah dalam batas ambang kematian, sebagaimana berbagai riset yang menunjukkan kehidupan mereka yang tambal sulam serta kesehatan yang terus memburuk.
Tentu saja tuntutan pengemudi Ojek ini membutuhkan kesadaran baru tentang pengertian "stakeholders" dalam berbisnis dan dalam membangun pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sudah 78 tahun Indonesia merdeka dan hasilnya memperkaya segelintir orang sebagai tujuan utama. Kepemimpinan Anies ke depan harus mampu membalikkan visi rezim Jokowi yang pro kapitalis menjadi rezim Anies yang pro rakyat jelata.
Persoalannya bagaimana rakyat pendukung Anies menjadi rakyat yang mempunyai kesadaran revolusioner? Sebuah kesadaran untuk menuntut hak-haknya sebagai pemilik sah negeri ini. Juga bagaimana kesadaran Anies dan elit pendukung mereka merajut kerja-kerja revolusioner untuk kemenangan. Tanpa itu jutaan pengemudi Ojek Online akan merasa sia-sia dalam mendukung Anies.
(Tulisan ini didedikasikan untuk sahabat pengemudi OJOL. Salam, Wanayasa, Purwakarta, 3/7/2023)