OPINI

Muhammadiyah tidak Sama dengan Syiah

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  UNGKAPAN Ustadz Hafzan El Hadi dari Payakumbuh yang menyamakan Muhammadiyah dengan Syi\'ah tentu mengada-ada dan menimbulkan pertanyaan kok ada ustadz yang jahil ? Ia menyatakan \"Yang masih menganut sekte Muhammadiyah biar melek, ini kesamaannya dengan Syi\'ah\". Ini kebodohan yang sangat nyata. Entah penganut faham atau sekte apa itu Hafzan.  Jauh langit dan bumi antara Muhammadiyah dan Syi\'ah. Syi\'ah itu diragukan sebagai bagian dari Islam sedangkan Muhammadiyah adalah gerakan Islam berbasis Qur\'an dan Sunnah. Syi\'ah itu meragukan Qu r\'an (tahrif) dan memasukan ke dalam Hadits ucapan, perbuatan dan ketetapan Imam.  Muhammadiyah berukun Iman enam mulai dari Iman kepada Allah hingga Iman pada Qadha dan Qadar. Syi\'ah Rukun Iman nya lima termasuk harus mengimani Imamah. Beriman akan kema\'shuman Imam. Imam kedua belas harus diyakini ghaib (menghilang) dan ditunggu untuk kembalinya (muntadhar).  Muhammadiyah itu pengikut Nabi Muhammad SAW sedangkan Syi\'ah mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Bahkan mendewakan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Muhammadiyah menghormati istri Rosulullah SAW Siti Aisyah Ra sebagai Ummahatul Mu\'minin, sedangkan Syi\'ah menistakan bahkan memfitnah Istri Rosulullah SAW.  Muhammadiyah mengharamkan nikah kontrak sedangkan Syi\'ah membolehkan bahkan menurut Syi\'ah semakin sering bernikah kontrak, maka semakin besar pahalanya. Bagi Muhammadiyah pernikahan itu abadi bukan temporer atau untuk bersenang-senang semata. Menurut Muhammadiyah nikah kontrak Syi\'ah adalah haram.  Bagi Syi\'ah menyakiti diri adalah ibadah dan  bagian dari ritual (tathbir) . Maksudnya mengenang peristiwa Karbala. Muhammadiyah tidak mengenal ritual sesat demikian. Muhammadiyah mengajarkan agar insan harus memelihara badan dan jiwa. Orang lain dan diri sendiri tidak boleh disakiti. Dalam kaitan kenegaraan dan kebangsaan ideologi Pancasila adalah kesepakatan bersama yang harus dijalankan dan dipatuhi. Menurut Muhammadiyah Negara Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah. Sudah clear.  Syi\'ah memiliki ideologi keagamaan dan kenegaraan sendiri yang disebut Imamah. Ideologi Imamah jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila. Karenanya dari sisi ini di Indonesia Syi\'ah adalah organisasi makar. Apalagi nyatanya mereka dikendalikan oleh negara Iran.  Hal diatas sebagian saja dari banyaknya perbedaan antara Muhammadiyah dan Syi\'ah. Bila ada kaum  tidak suka untuk berorganisasi itu adalah haknya, tetapi bagi Muhammadiyah organisasi adalah alat perjuangan untuk berda\'wah amar ma\'ruf nahi munkar.  Sukses perjuangan ditentukan oleh rapi dan tertatanya organisasi. Acak-acakan apalagi tanpa organisasi dipastikan gagal perjuangan apapun. Meski menamakan diri berjuang untuk agama.  Muhammadiyah berbeda dengan Syi\'ah. Muhammadiyah itu Islam sedangkan Syi\'ah bukan Islam. Sama dengan Ahmadiyah. Jika penganutnya mengaku Islam maka kategori fahamnya adalah sesat. MUI membuat buku berjudul \"Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi\'ah di Indonesia\".   Memang Syi\'ah itu menyimpang jauh dari Islam.  Bandung, 3 Mei 2023

Anies, "Oemar Bakrie" dan Pendidikan untuk Orang Miskin (Sebuah Renungan Hari Pendidikan)

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan -  Sabang Merauke Circle SATU-satunya pertarungan hidupku terberat adalah masuk kuliah di Institut Teknologi Bandung, di masa lalu. Kedua orang tuaku adalah \"Oemar Bakri\" alias guru. \"Korupsi\" terbesarnya saat itu hanyalah membawa sisa kapur tulis bekas dari sisa mengajar. Saat itu mengajar masih dengan papan tulis dan kapur tulis. Kemiskinan guru, sebagaimana dinyanyikan Iwan Fals, meski 40 tahun mengabdi, akan tetap miskin, meskipun banyak mendidik orang-orang menjadi sukses. Doktrin guru kepada anaknya selalu sama. Mereka mengatakan bahwa tiada warisan yang akan diberikan pada anak, kecuali pendidikan. Orangtua saya selalu mengatakan satu-satunya yang kami wariskan pada anak-anak adalah ilmu. Itu memang demikian karena kemiskinan keluarga guru menjerat mereka pada kehidupan \"tambal sulam\", alias hidup menghutang sebelum akhir bulan, lalu potong gaji awal bulan. Doktrin itu pulalah yang memberi spirit, meski tanpa bimbel/les dan hidup dalam kemiskinan, aku harus masuk ke Perguruan Tinggi.  Pada tahun ketika saya merantau di Belanda, istri saya bercerita bahwa teman akrabnya bermarga De Tang. Temannya itu lulus kuliah D3, lalu lanjut di Kedokteran Leiden University. De Tang tidak bisa langsung S1, karena sistem SMA nya pilihan non universitas, tapi setelah D3 bisa ke universitas dengan syarat memenuhi beberapa matakuliah terkait. Memang kemudian dia menjadi dokter.  Yang mau saya ceritakan adalah bahwa marga De Tang itu marga kaum buruh. Hidupnya sulit untuk ukuran keluarga di Belanda. Tapi, sistem pendidikan mereka mempunyai peluang yang sama untuk anak buruh maupun non buruh. Bahkan, untuk kuliah kedokteran, yang sangat mahal. Kita jangan bayangkan anak orang miskin bisa menjadi dokter di negeri ini? Bagimana sistem pendidikan menjadi monster bagi orang-orang miskin? Sistem pendidikan kita saat ini menjadi alat untuk mereproduksi orang-orang kaya menjadi elit dan orang-orang miskin tetap menjadi jongosnya. Kita mulai dari ditangkapnya Rektor Universitas Lampung dan jadi tersangkanya Rektor Udayana karena menjual kursi mahasiswa pada penerimaan mahasiswa baru. Peristiwa ini hanyalah fenomena \"gunung es\". Kita melihat gaya sadis rektor-rektor tersebut mendagangkan pendidikan. Tapi dalam dataran yang tidak terlihat,  \"perdagangan kursi\" masuk mahasiswa itu terjadi dalam dua fenomena, yakni membuat program-program khusus berbiaya mahal, baik biaya sumbangan yang mahal maupun biaya kuliah mahal. Porsentase penerimaan mahasiswa sejenis ini semakin marak dan pastinya diarahkan untuk orang-orang kaya. Fenomena kedua adalah mempertahankan tingkat kompetisi yang tinggi pada ilmu2 sainstek dan jurusan favorit lainnya dengan jumlah penerimaan mahasiswa sedikit, sedangkan jurusan sosial ataupun non favorit dengan jumlah banyak, sehingga orang-orang kaya yang mampu membayar bimbel atau kursus-kursus privat supermahal berhasil lolos seleksinya. Struktur dan hierarki pendidikan yang pada akhirnya akan menseleksi anak orang-orang kaya lolos dalam pertarungan di atas, pada akhirnya merembes ke sistem pendidikan di bawahnya. Anak-anak sekolah SD-SMP-SMA, yang orangtuanya berkeinginan anak-anaknya terseleksi di universitas, sudah mengalokasikan kekayaannya membiayai sang anak. Baik memberikan bimbel-bimbel maupun kursus privat maupun mengatur agar anaknya lolos ke sekolah favorit. Di Jakarta Selatan misalnya, SMA 8, SMA28 dan SMA 26,  yang menjadi incaran level SMA, maka untuk SMP orang tua harus bertarung memasukkan anaknya pada SMP unggul terkait, seperti SMP 115 Tebet. Anak-anak orang miskin tentu saja semakin tersingkir dari sekolah sekolah unggul (atau menjadi unggul). Karena, pertama mereka tidak melihat bahwa mereka adalah bagian pertarungan yang ada, untuk bisa masuk ke universitas unggul. Kedua, biaya pendidikan (khususnya  ekstensinya membayar bimbel/les mahal) tidak mungkin lagi dipenuhi mereka. Khusus terkait mahalnya biaya bimbel/les privat, hal ini terjadi karena guru tidak lagi menjadi jaminan bagi kualitas ilmu yang penting untuk pertarungan ujian ke Perguruan Tinggi. Di negara maju, bimbel-bimbel nyaris tidak ada, karena  guru sudah melebihi cukup dalam memberikan ilmu bagi siswa. Anies Anak \"Oemar Bakri\" Akar persoalan pendidikan kita adalah problem guru. Indonesia harus bisa mempunyai jumlah guru yang banyak dan berkualitas. Semakin banyak guru berkualitas dan semakin menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, maka tingkat kecerdasan siswa akan merata. Jika guru-guru berkualitas mengisi sekolah-sekolah mampu memberikan ilmu yang cukup, maka pendidikan tambahan seperti bimbel-bimbel yang mahal tidak diperlukan lagi. Akhirnya, setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk masuk ke perguruan tinggi. Anies Baswedan melihat persoalan ini dengan jeli. Dalam \"Indonesia Mengajar\", Wikipedia, disebutkan Anies melihat problem guru adalah problem utama itu. Sehingga Anies melancarkan gerakan guru-guru muda untuk terjun ke desa desa. Guru-guru muda ini mengabdi agar anak-anak di pelosok-pelosok nusantara bisa mengejar ketertinggalan. Dari Wikipedia tersebut disebutkan Aceh Singkil sampai Pegunungan Bintang Papua merupakan bagian dari 38 Kabupaten yang didatangi guru Gerakan Indonesia Mengajar. Ribuan guru-guru tersebut bertarung untuk memajukan pendidikan nasional. Kejelian Anies ini tentu saja berakar dari nasibnya sebagai anak guru (Oemar Bakri kata Iwan Fals). Bapaknya dosen UII dan ibunya dosen UNY. Sebagai anak guru Anies faham bahwa pendidikan hanya bisa diatasi jika guru tersedia. Tentu saja persoalan besar lainnya dalam sistem pendidikan kita banyak menanti penyelesaian, seperti, anggaran pendidikan, \"link and match\" pendidikan dengan dunia kerja, tanggung jawab orangtua murid dlsb.  Namun, dengan fokus pada persoalan guru dan penyelesaiannya, maka setengah persoalan akan selesai.  Tantangan guru ke depan memasuki fase lebih sulit lagi dalam era digital. Selain urusan gaji dan kesejahteraan lainnya, gru harus dipompa kompetensinya. Bagaimana meng kolaborasi \"Chat gpt, chat bot, Bing Microsoft\" dan semua internet of things dalam sistem pendidikan kita? Guru yang sejahtera dan melek IT akan membuat adanya kehormatan pada kehidupan guru. Dan Anies, sebagai anak guru pasti faham mengatasi hal ini. Renungan Penutup Spektrum persoalan pendidikan kita begitu besar dan dahsyat. Pendidikan sangat mahal dan hanya memproduksi orang kaya semakin unggul, karena mereka mampu membiayai keperluan pendidikan anak-anak mereka, seperti bimbel-bimbel privat dll. Ini dengan asumsi pertarungan murni, bukan membeli kursi masuk Perguruan Tinggi sebagimana kasus di Universitas Lampung dan Udayana serta lainnya. Di Belanda, misalnya, anak orang miskin bisa lulus menjadi dokter dari Leiden University. Kenapa, karena  guru di sekolah sudah cukup pintar menjadikan anak pintar, tidak perlu bimbel. Kualitas guru top. Tentu kesejahteraan guru tinggi. Pendidikan juga tidak mahal, menjangkau semua kalangan. Negara mengintervensi sehingga biaya pendidikan murah. Dalam tulisan ini kita fokus pada guru. Kita renungkan jika jutaan guru-guru di Indonesia menyebar dengan semangat pengabdian tinggi, tentu karena kesejahteraan tinggi, maka seluruh pelosok akan mempunyai pendidikan berkualitas. Sekolah sekolah menjadi pusat mobilisasi vertikal orang-orang miskin bisa sekolah tinggi. Problem ini ditemukan Anies Baswedan sebagai problem pokok. Anies mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar. Mencetak guru-guru ribuan guru dan disebarkan keseluruhan Indonesia. Merujuk pada Ki Hajar Dewantoro, Anies menegaskan sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan. Itulah gunanya Anies Baswedan, anak seorang guru. Dalam buku \"Anies Baswedan, Anak Guru yang Mengubah Guru\" Karya Sismono La Ode ditegaskan hal itu, karena Anies anak guru dia mendapatkan inspirasi memajukan pendidikan di Indonesia. Semoga ditangan Anies Baswedan, anak si \"Oemar Bakri\", jika Allah mengijinkan jadi presiden 2024, guru-guru hidup sejahtera, pendidikan maju dan untuk semua orang. Dengan begitu orang-orang miskin dapat sekolah tinggi, menjadi dokter atau lainnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Kekacauan Menjelang Pilpres 2024

Oleh Sutoyo Abadi – Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Diskusi di kajian politik Merah Putih tidak seperti biasa cukup beberapa jam. Merasa ada situasi genting berlangsung sampai menjelang subuh. Masalah menjadi makin genting harapan  agar terciptanya Pilpres pada Pemilu 2024 sesuai pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil terbaca terang benderang tidak akan terjadi. Masyarakat semua mengerti bahwa semua perangkat dan organ terkait Pilpres jauh jauh hari sudah dirancang untuk menenangkan calon penguasa saat ini. Presiden Jokowi tanpa rasa malu dan berhitung resiko politiknya akan terjerumus lebih dalam,  karena  tenggelam makin jauh melibatkan diri mengambil perannya sebagai pemain pada Pemilihan Calon Presiden di Pemilu 2024 mendatang. Tanpa rasa malu sampai berani mengambil strategi siapa yang bisa maju dan siapa yang akan di hambat, dieliminasi dan dibuang dalam kontestasi pada Pilpres 2044.  Sudah tidak rahasia lagi Presiden Jokowi mendukung dan mencalonkan Ganjar Pranowo dengan pemain bayangan ( menurut mereka ) Prabowo Subianto. Tim Presiden  sangat yakin dan percaya diri akan bisa mengatur mengendalikan untuk kepentingan politiknya  Sekuat tenaga dengan cara apapun akan menjegal Anies Baswedan yang secara matematis politik memang bisa membalikkan keadaan negara ke jalur konstitusi UUD 45 dan berpotensi akan menegakkan hukum sebagaimana fungsinya, bisa menjadi ancaman resiko hukum bagi Jokowi. Presiden Jokowi meskipun secara panggung depan itu mengatakan tidak terlibat karena itu adalah urusan ketua umum-ketua umum partai. Tapi panggung belakangnya itu sangat berbeda. Ibarat orang sembunyi lucunya sembunyi dan bermain panggung di tengah lapang terbuka, terang benderang dan tidak ada tempat untuk bersembunyi dengan apologi konyol dan sembrononya. Terus merekayasa  mengambil langkah-langkah menolak,  menjegal dan akan  menghilangkan dan mematikan kesempatan peluang Anies Baswedan di Pilpres mendatang. Presiden Jokowi sudah tidak peduli lagi dari prilakunya yang menabrak etika, moral bahkan melanggar konstitusi seperti hilang dari ingatannya.  Terus  menggunakan kewenangan dan pengaruhnya itu melanggar prinsip free and fair,  terhipnotis, terbawa bayang sukses masa lalunya dengan rekayasa   permainan  kemenangan angka, di KPU atas kendalinya. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Presiden RI melanggar konstitusi. Rekaya kotor dan dilakukan dengan terang terangan memperdaya Moeldoko tentu dengan restu Jokowi untuk kudeta partai Demokrat. Wiranto untuk bermain barter domino  capres Ganjar dan Prabowo. Meski di depan publik, keterlibatan Jokowi dalam Pilpres 2024 selalu dibantah.  Realitas panggung belakang, Jokowi tetap aktif melakukan lobi di ruang tertutup dan menjalankan kerja politik yang nyata, serius membahayakan demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Rekayasa domino aman dua pasang capres untuk Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, tetap dalam ancaman Anies Baswedan yang sulit dibendung karena emosi pendukungnya identik dengan umat Islam yang selama ini merasa dimusuhi penguasa Jokowi, dengan LBP sebagai skenarionya. Pendukung Anies Baswedan meluas melintas sentimen agama, ras, suku dan golongan karena rakyat hanya ingin negara kembali normal sesuai tujuan negara  Ancaman  Anies yang tidak terbendung, diduga kuat rezim terang terangan  akan melahirkan skenario memecah belah kekuatan umat Islam, dengan kekuatan finansial bandit politik bisa membeli suara umat Islam baik untuk Ganjar, Prabowo dan Anies. Kalau tidak ada yang bisa menyadarkan P. Jokowi ini petaka yang akan menimpanya jauh lebih mengerikan karena tidak akan ada penguasa bisa memenangkan pertarungan dengan rakyat kalau rakyat sudah marah dan muak dengan penguasa  Resiko resiko diatas masih tersisa Jokowi tetap ada peluang akan dihentikan sebelum pelaksanaan Pilpres kejar kejaran dengan tuntutan masyarakat, _\"negara kembali dulu ke UUD 45 baru dilaksanakan Pilpres\"_ . Sumber kekacauan negara tidak semata di pundak presiden tetapi juga menjadi tanggung jawab para petinggi partai yang merasa telah bisa mengambil alih kuasa rakyat.  Kita berharap semua prediksi terburuk tidak terjadi dalam Pilpres, semua terpulang pada presiden Jokowi mundur netral pada Pilpres mendatang atau tetap nekad terlibat dengan resiko terburuknya ****

Seakan GBK Dibuat Pindah Ke Semarang

Semua dibuat harus melihat Ganjar sedang jogging mengitari GBK yang bukan di Jakarta, tapi di Semarang. Itu agar Bawaslu tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran. Bahkan politisi yang berseberangan pun dibuat tidak boleh melihatnya ada pelanggaran di sana, meski sekadar pelanggaran etik. Oleh Ady Amar - Kolumnis Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta mendadak pindah ke Semarang. Muncul pertanyaan susulan, bagaimana mungkin GBK bisa pindah ke Semarang. Sulit memang bisa menjelaskannya. Jika masih belum memahami, itu hal wajar. Tapi jangan sebut itu irrasional. Soal-soal yang dianggap irrasional, itu pada waktu dan kondisi tertentu bisa diubah jadi rasional. Dan yang rasional bisa pula dirubah jadi irrasional. Semua bisa dibuat suka-sukanya, semau-maunya. Ini soal kekuasaan. Maka, nalar diminta sementara untuk memakluminya. Kepindahan GBK ke Semarang itu bukan peristiwa luar biasa. Bukan hal mustahil, jika itu dikehendaki. Jangan bicara kesulitan memindahkannya, itu amat mudah. Bahkan lebih mudah dari (kisah) saat Pangeran Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam semalam. Memindahkan GBK ke Semarang, sekali lagi, itu bukanlah peristiwa irrasional. Setidaknya Minggu kemarin (30 April 2023), GBK berpindah ke Semarang, atau setidaknya serasa ada di Semarang. Cuma nalar sehat saja yang mampu melihat kepindahannya itu. Sedang nalar gelap mustahil bisa melihat apalagi merasakan. Kepindahan GBK ke Semarang itu peristiwa biasa, meski di situ banyak hal luar bisa boleh diperdebatkan. Misal, seberapa besar dampak kerusakan yang ditimbulkan dari kepindahannya, itu perlu hitungan-hitungan tersendiri. Syukur-syukur tidak ada yang dilanggar dari kepindahannya itu. Kalau soal etika kepatutan pada mereka yang tengah berkuasa, itu mah tidak dipikirkan. Bahkan semua yang tidak patut pun boleh dianggap patut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mampu menjadikan GBK (serasa) pindah ke Semarang. Menjadi hal biasa jika pagi itu ia jogging, yang diikuti arak-arakan massa pendukungnya. Jika GBK tidak dipindahkan sementara ke Semarang, tentu ia tidak bisa leluasa sebebasnya memakai tempat itu untuk mengundang pemberitaan. Hari-hari Ganjar memang banyak dihiasi kesibukan membuat konten. Jika GBK tidak dipindahkan sementara ke Semarang, lalu apa kata dunia. Pastilah setidaknya rasan-rasan pun muncul mempertanyakan asas kepatutan, kok sempat-sempatnya _ngonten_ pun Ganjar sampai perlu ke GBK di Jakarta segala. Ditambah lagi, dengan dipindahkannya GBK ke Semarang, itu setidaknya bisa menyelamatkan \"muka\" Bawaslu di hadapan publik, yang setidaknya segan menegurnya, bahwa masa kampanye Pilpres 2024 belum dimulai. Dengan demikian, Ganjar mampu membuat kerja Bawaslu tampak jadi lebih ringan. Sedang soal Bawaslu menegur Anies Baswedan yang melakukan kewajiban menjalankan ibadah sholat Jum\'at saat ia tengah berada di suatu daerah, itu tidak dilihat sebagai suatu kewajiban lelaki muslim. Wajar jika mengundang kerumunan, tapi tetap dipersoalkan. Soal-soal begitu dianggap bukan masuk wilayah diskriminatif, tapi menegakkan aturan irrasional menjadi rasional, begitu pula sebaliknya. Suka-sukanya Bawaslu sendiri menafsir asas rasional-irrasional, dan itu tanpa perlu malu-malu. Buat Ganjar Pranowo, meski itu pelanggaran atau apalagi cuma pelanggaran etik, semua diharap memaklumi. Semua boleh dilakukannya, dan kekuatan di balik Ganjar nantinya yang akan meluruskan, bahwa itu hal biasa. Maka melihat Ganjar jogging di GBK, itu dibuat seakan ia tidak sedang meninggalkan wilayah kerjanya. Khusus untuknya GBK sudah dipindahkan ke Semarang, sebuah kota di wilayah kerjanya. Semua dikesankan  tidak ada yang dilanggarnya. Semua dibuat harus melihat Ganjar sedang jogging mengitari GBK yang bukan di Jakarta, tapi di Semarang. Itu agar Bawaslu tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran. Bahkan politisi lain yang berseberangan pun dibuat tidak boleh melihatnya ada pelanggaran di sana, meski sekadar pelanggaran etik. Pokoknya manusia Ganjar ini mesti dibuat istimewa, dirawat sebenar-benarnya. Kerja-kerjanya di Provinsi Jawa Tengah pun perlu diberi penghargaan, jika mungkin sebagai provinsi terbaik, meski senyatanya berkebalikan. Istana pun lewat Menteri Dalam Negeri lalu menetapkan Jawa Tengah sebagai Provinsi Berkinerja Terbaik. Ini lagi-lagi memang memaksa nalar publik harus bisa menerima, meski rakyat sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat melihat itu semua. Sekali lagi, Ganjar memang sedang dipoles istana sekerasnya dengan membodohi nalar publik. Maka kedepan bisa jadi kita akan temui  Ganjar melakukan hal-hal semacam \"memindahkan\" GBK ke Semarang, itu bagian dari merawat Ganjar dengan menekan nalar publik untuk bisa menerima kehendak istana. Sedang Bawaslu dan tentu nantinya Komisi Pemilihan Umum (KPU)  akan ada dalam kendali untuk terus ikut merawat Ganjar. Dibuat tidak boleh ada yang menghalangi Ganjar yang seolah sudah dipastikan sebagai pengganti Presiden Jokowi. Pantas juga kawan Bung Asyari Usman, yang lalu menulis opini miris penuh keprihatinan, \"Bagi Jokowi, Presiden Ganjar Tinggal Menunggu Tanggal Pilpres Saja\". Seolah pilpres 2024 sudah dipastikan akan melantik Ganjar Pranowo sebagai Presiden RI ke-8, karena persiapan sudah dibuat begitu matangnya. Kecemasan Asyari, itu juga kecemasan yang dirasakan banyak pihak, bahwa demokrasi memang sedang dibuat sakit, diacak-acak sesukanya. Tapi Gusti mboten sare.  Maha perencana yang memutuskan dengan sebaik-baik perencanaan-Nya. Soal ini pun di luar nalar manusia. (***)

Jokowi Itu Raja di Negara Demokrasi

Oleh M Rizal Fadillah  - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BARU kali ini seorang Presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya sibuk menyiapkan calon penggantinya. Sejak Presiden Soekarno hingga SBY tidak ada fenomena seperti ini. Jokowi lah yang nampaknya sangat peduli akan \"masa depan bangsa\". He he Kegagalan untuk menambah periode atau memperpanjang masa jabatan membawa pilihan memperpanjang kiprah melalui pejabat pilihan. Ini adalah indikasi dari pengelolaan negara yang dijalankan secara tidak sehat. Presiden Jokowi bukan pemimpin yang bagus tetapi Presiden yang banyak masalah bahkan dapat disebut sumber dari masalah. Penyebab negara menjadi karut marut. Berpidato agar pemilu dan suksesi terjadi dengan adem tapi justru dirinya sendiri yang bakal membuat panas. Akibat ikut campur secara intensif dan masif.  Negara demokrasi adalah negara berkedaulatan rakyat. Penggantian kepemimpinan diserahkan penuh kepada keinginan rakyat. Meyakini bahwa hal itu sebagai kemauan dan pilihan terbaik.  Pada negara monarkhi penggantian ditentukan oleh Raja. Raja butuh kesinambungan baik lingkungan keluarga atau orang kepercayaan.  Jokowi memerankan diri sebagai Raja di negara demokrasi. Maka yang terjadi adalah ambivalensi. Aspirasi yang dimobilisasi melalui deklarasi, musyawarah rakyat, ijtima atau konsolidasi aparat birokrasi. Semua adalah kepalsuan seolah menjalankan demokrasi.  Diakhir jabatan berjuang untuk menutupi berbagai kelemahan termasuk korupsi dan kolusi dalam penyelenggaraan negara. Pemborosan atau kebocoran besar atas uang rakyat. Pendapatan yang selalu terbuang akibat salah kelola. Kantong bolong.  Dalam cerita wayang \"Petruk Dadi Ratu\" punakawan Petruk yang berhidung panjang berubah menjadi Raja yang berperilaku jauh dari watak negarawan. Ia bertindak sewenang-wenang dan menjadikan kekuasaan sebagai segala-galanya. Menimbun kekayaan, merampas hak-hak rakyat, berfoya-foya dan memboroskan uang negara. Petruk berubah menjadi Prabu Kantong Bolong.  Semar dan Gareng ditugasi untuk menyudahi kekuasaan Prabu Kantong Bolong. Keduanya menyamar dan masuk ke Istana lalu masuk ke ruang sang Prabu yang tertidur dengan tidak melepas mahkotanya. Gareng memukul kepalanya dan mahkota terlempar. Jamus Kalimasodo yang disembunyikan di dalam mahkota turut terlempar. Maka hilang kesaktian sang Prabu. Petruk kembali ke asalnya.  Petruk sadar atas bius kekuasaan selama ini lalu minta ampun kepada Batara Kresna \"Ampun sinuhun, hamba hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi Raja, dari dahulu menjadi wong cilik.. \". Batara Kresna menjawab \"Menjadi Raja itu harus seorang negarawan\". Petruk memang tak patut menjadi Raja, ia hanya memikirkan diri dan kroni. Cari aman sendiri.  Prabu Kantong Bolong tidak perlu mendapat pengganti dan pelanjut. Dirinya tidak berguna bagi rakyat. Negara telah dirusak. Tidak perlu berfikir kesinambungan, ia bukan negarawan. Ia hanya Petruk sang punakawan. Wayang yang dimainkan dalang. Pak Jokowi pernah membeli lukisan \"Petruk Dadi Ratu\" dengan harga milyaran. Dilukis oleh seniman Lekra PKI Joko Pekik. Moga ia belajar dari cerita itu. Semar dan Gareng menyudahi sang Prabu Kantong Bolong yang ambisius dan terlena dalam kekuasaan yang didapat dengan cara curang.  Jamus Kalimasodo adalah kekuatan kalimah syahadat yang disembunyikan dan terlempar diujung masa jabatan. Agama yang dicampakkan.  Petruk tetap Petruk bukan Raja atau sang Prabu.  Kembali menjadi wong cilik itu lebih baik daripada ngotot untuk tetap berada di singgasana yang memang bukan tempat dan haknya.  Petruk bukan negarawan. Apalagi pahlawan. Ia hanya punakawan. Atau mungkin relawan. Kasihan.  Bandung, 2 Mei 2023

Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional dan UU Kamnas Demi Kedaulatan, Keutuhan, dan Keselamatan Bangsa dan Negara

Oleh Brigjen TNI Khairul Anwar. (Mahasiswa Program DIH Universitas Pasundan). INSIDEN memilukan dan juga memalukan kembali terjadi di bumi Papua. Setelah penculikan pilot Susi Air oleh para KKB atau KST atau OPM apalah namanya, hingga terbunuhnya 4 prajurit terbaik TNI di wilayah Nduga Papua. Dan ini entah deretan keberapa para putera-puteri terbaik bangsa yang gugur di Papua. Banyak ragam dan komentar baik pro maupun kontra dari permasalahan konflik Papua. Terakhir, analisis dan tanggapan tajam dari mantan KABAIS Bapak Sulaiman B. Pontoh yang sudah begitu geram melihat “Ambiguitas” kebijakan politik  di Papua. Tapi tidak sedikit juga yang sinis dan tetap pro status quo agar penanganan konflik Papua adalah ranah penegakan hukum dan bukan TNI , dengan argumentasi bahwa bila TNI turun dikhawatirkan terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang bisa mengeskalasi konflik Papua menjadi pintu masuknya intervensi asing menuju Papua merdeka. Untuk itulah perlunya tulisan ini diturunkan sebagai perimbangan mengenai apa sebenarnya yang terjadi di Papua. Dan apa solusi yang paling tepat dilaksanakan di Papua. Pertama. Kita mesti paham dahulu apa basis filosofis dan faktor utama lahirnya konflik Papua itu. Mulai dari era penjajahan kolonial Belanda, OrLa, OrBa, dan Orde Reformasi saat ini. Pendek kata atau kesimpulannya adalah tak lain dan tak bukan adalah adanya kompetisi dari para kelompok pebisnis elit global dan oligarkhi untuk menguasai raksasa sumber daya alam bumi Papua yang melimpah. Tidak ada satupun negara di dunia saat ini yang timbul konflik, kalau tidak ada sumber daya alam di tempatnya. Mulai dari Afrika, Timur Tengah, bahkan konflik Ukraina-Rusia, hingga di tempat kita bumi Nusantara sejak berabad-abad tahun lalu. Artinya, apapun konflik bersenjata, invansi militer maupun perang saudara (pemberontakan) di sebuah negara, sudahlah pasti bahwa ada faktor perebutan sumber daya alam yang menyebabkannya.  Kedua. Pergeseran strategi ilmu geopolitik dan geostrategi dunia dalam hal perang moderen dan kolonialisasi, juga telah merubah konstalasi dan taktik di bawahnya. Ada yang tetap “hard force” ada juga melalui “soft force” bahkan juga hybrida yang menggabungkan kedua model perang tersebut.  Ada yang menggunakan cara invansi militer terbuka, seperti Amerika ke Irak dan Libya, ada juga melalui adu domba perang saudara di banyak negara di Afrika, tapi ada juga cukup dengan cara asymetric war (perang ideologis, politik, dan ekonomi) seperti yang terjadi di Angola, Tibet, Srilangka, Mesir). Ketiga. Lalu bagaimana dengan Papua dan Indonesia ? Apakah negara yang kita cintai ini sudah masuk “perangkap” dari strategi neo-kolonialisasi para elit global dunia ? Jawabannya bisa beragam tergantung dari sudut pandang masing-masing. Tetapi yang jelas, konflik di Papua sudah terjadi sejak zaman Orde Lama pemerintahan Soekarno. namun Yang membedakannya adalah pasang surut eskalasi dan kebijakan politik negara yang tentu tak bisa lepas dari pengaruh geopolitik global. Di zaman Soekarno, secara tegas menggelar operasi Trikora Mandala Yudha, yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto yang ketika itu langsung menjabat sebagai Panglima Mandala, menyerbu Papua yang waktu itu di namakan IRIAN (Ingin Republik Indonesia Anti Nedherland). Dengan bantuan dan dukungan penuh pasokan alutsista dari Uni Soviet yang ketika itu menjadikan militer Indonesia boleh dikatakan terkuat di Asia setelah Jepang, cukup membuat “keder” Belanda yang notabone nya juga ada Amerika dan sekutu di belakangnya. Penilaian Secara operasi militer, banyak yang menganggap operasi Mandala tersebut gagal dengan alasan banyak hal. Namun satu hal terpenting dari gelar kekuatan operasi militer di Irian tersebut adalah, menaikkan posisi tawar Indonesia di mata dunia, sehingga ada ketakutan barat (ketika itu yang bersaing ketat dengan negara wilayah timur , Uni Soviet) apabila Irian jatuh ke tangan Indonesia maka Irian otomatis juga akan menjadi milik Indonesia yang saat itu dianggap dekat dengan Uni Soviet dan China. Lalu terjadilah perundingan sengit, yang menghasilkan kesepakatan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, hengkang dari Indonesia atas tekanan Amerika, dan Amerika mendapat kompensasi pengelolaan tambang emas raksasa di Irian yang kemudian hari kita kenal dengan berdirinya PT Tembaga Pura dan PT Freeport Indonesia. Keempat. Seiring jatuhnya pemerintahan Orde Lama Soekarno pasca tragedi berdarah G/30/S/PKI tahun 1965, dan lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.  Pada babak pemerintahan orde baru, beberapa upaya rekonsoliasi  baik jalur politik (referendum/Perpera) maupun operasi militer terbatas juga pernah dilakukan di Papua. Namun, dengan masuknya dan tercapainya keinginan elit global di bawah bendera Amerika mengeruk hasil tambang melalui jalur konsesi tambang, boleh dikatakan eskalasi konflik Papua sedikit menurun dan mulai fokus pada pembangunan. Namun, ketika kembali terjadi gangguan keamanan bersenjata, pengibaran bendera bintang kejora, dan berdirinya kelompok bersenjata bernamakan Tentara Pembebasan Papua Merdeka yang disebut Operasi Papua Merdeka, pemerintahan Orde Baru meresponnya engan operasi militer bertahap dan terbatas. Sampai pada masa berhasilnya pembebasan sandera oleh Koppasus yang waktu itu dipimpin oleh Danjen Kopassus yaitu Mayjen TNI Prabowo Subianto sehingga mengharumkan nama TNI. Maksudnya apa?  Artinya, ada ketegasan sikap dan kebijakan politik negara di sini. Ketika yang terjadi di lapangan itu adalah bukan lagi gangguan kamtibmas (kriminal), dengan eskalasi ancaman tinggi bersenjata, maka yang hadir turun adalah TNI. Begitu juga di Aceh dan Timor Timur. Cuma sayangnya, di akhir masa berakhirnya masa Orde Baru, ketika marak dan masive bergulirnya sebuah standar ganda hukum internasional bernama Hak Asasi Manusia (HAM) ciptaan elit global menjadikan Indonesia gugup dan babak belur di dunia internasional. Seolah, Indonesia telah melakukan kejahatan HAM berat, melebihi kejahatan perang Amerika yang menginvansi Irak dalam perang teluk, Israel yang menjajah Palestina, dan Genosida yang terjadi di Bosnia Herzegovina. Namun itulah fakta geopolitik saat itu. Ketika Elit global tak suka kepada suatu negara, maka bermacam alibi akan mereka lakukan untuk menjatuhkan negara terdebut. Traumatik ini juga yang masih menghantui TNI kita hari ini meskipun saat ini situasi dan kondisi politik sudah jauh berbeda. Kelima. Pasca bergulirnya Reformasi, diamandemen nya secara buta konstitusi UUD 1945,  lahirnya TAP MPR/VI/Tahun 2000 tentang pemisahan antara TNI dan Polri yang dulu tergabung dalam ABRI, terbitnya UU nomor 3 Tahun 2002 tentang pertahanan, lahirnya UU nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, dan juga lahirnya UU nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tupoksi TNI, telah banyak merubah arah dan kebijakan negara kita terhadap pertahanan dan keamanan negara.  Polri dipisahkan dari ABRI, agar Polri menjadi sipil bersenjata (non-combatan) dan cukup TNI sebagai institusi militer (Combatan). Namun di sini juga permasalahannya hari ini. Di katakan Polri sipil bersenjata non-kombatan, namun faktanya hari ini Polri justru juga mempunyai lengkap pasukan tempur ala militer, dengan persenjataan juga standar militer bahkan ada yang lebih canggih. Seperti Satuan Densus 88, Gegana, Brimob, dan Polairud yang kapalnya juga punya senjata kaliber 12,7 mm yang sangat mematikan. Hal ini jugalah yang sangat mempengaruhi cara bertindak dan kebijakan negara terhadap Papua. Seiring pergeseran perubahan geopolitik dan geostrategi global yang pasti juga berpengaruh besar terhadap Indonesia. Sangat subjective menentukan mana batasan eskalasi ancaman kamtibmas dengan dimensi Pertahanan. Yang tergantung kebijakan politik praktis penguasa, bukan Politik negara yang tunduk pada konstitusi. Singkat kata, berakhirnya rezim Orde Baru, terkuras habisnya energi Amerika (Barat dan sekutunya) dalam memerangi dan invansi militer ke Timur Tengah, sehingga Amerika sampai menghabiskan 3 Trilyun USD di sana, telah membuat Amerika terlena dan menjadi pintu bangkitnya raksasa ekonomi baru bernama China.  Namun tentu China komunis dengan wajah yang lebih baru, fresh, dan lebih cerdik. Faktanya dalam waktu cukup singkat (dua dekade), China melalui konsep “One Belt one Road” atau strategi OBOR yang kemudian berubah jadi BRI (Belt and Road Initiative) telah berhasil menjadi kekuatan adi daya baru dunia. Pertumbuhan ekonomi yang fantastis, tekonologi yang mandiri, peningkatan kamampuan militer yang cepat, menjadikan banyak negara yang memuja dan menyambut hangat kerja sama ekoomi dengan China. Meskipun akhirnya hal itu ternyata hanyalah strategi “debt trap” jebakan hutang China dalam mengembangkan pengaruh hegemoninya di dunia. Fenomena ini jugalah yang berpengaruh terhadap Indonesia. Meskipun sampai pada masa pemerintahan SBY, pengaruh China belum begitu kuat, namun pada pemerintahan Jokowi periode ke dua ini sudah tak jadi rahasia umum lagi bagaimana penetrasi kebijakan politik dan ekonomi China masuk dalam sistem bernegara kita. Begitu juga dalam hal penanganan konflik Papua. Di era SBY penamaan OPM masih disebut gerakan Saparatisme sehingga TNI masih berperan kuat di Papua meskipun dalam skala terbatas dan setengah hati karena dibayangi oleh hantu yang bernama HAM tadi. Namun di dalam pemerintahan Jokowi inilah, pasca Kapolri Tito Karnavian menciptakan konsep “Democratic Policing” penyebutan nama Saparatisme di Papua menjadi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Yang otomatis kalau berbicara kriminal tentu gelar operasinya adalah gelar operasi penegakan hukum. Yang notabonenya ada pada kewenangan Polri. Keenam. Nah kalau kita rujuk kembali ke atas dan hulu permasalahannya adalah di sini, yaitu ketika terjadi perubahan geopolitik global yang juga merubah perubahan kepemimpinan pemerintahan di Indonesia dari Orde Baru ke Reformasi. Yaitu, Orde Baru yang menggantikan rezim Orde Lama yang berafiliasi dan dekat dengan Uni Soviet dan China, kemudian Orde Baru yang cenderung dekat dengan Amerika, menjadikan ABRI sebagai instrumen stabilisator pemerintahannya. Sehingga banyak pihak yang menyatakan pemerintahan OrBa militeristik dan otoriter. Berbeda dengan era reformasi khususnya era pemerintahan Jokowi. Yaitu menjadikan Polri sebagai stabilisator pemerintahannya, sesuai konsep democratic policing yang menjadikan Polisi sebagai “the guardian of state” yaitu garda utama keamanan negara. Di sinilah, distorsi dan kebingungan itu terjadi. Di satu sisi Pemerintah menjalankan kebijakan politik negara menjadikan Polisi sebagai garda utama keamanan negara, sedangkan di satu sisi sesuai amanat UUD 1945 pasal 30 (ayat) 1, 2, 3 dan 4 nya, jelas dan tegas di nyatakan bahwa, Tentang konsep Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta) yang menjadi garda utama pertahanan dan keamanan negara itu adalah TNI. Dimana TNI untuk dimensi Pertahanan keamanan negara dan Polri untuk Kamtibmas. Ketujuh. Permasalahan tertib hukum dan distorsi kewenangan ini juga di perkuat dengan lahirnya UU nomor 34 tahun 2004 yang juga dengan jelas dan tegas, dalam Pasal 7 (ayat) 2 nya di nyatakan bahwa penanganan Saparatisme, Terorisme, gangguan kelompok bersenjata itu adalah termasuk dalam tugas OMSP (Operasi Militer Selain Perang). Meskipun hal itu dalam penjelasan pasal 5 dan juga (ayat) 3 dari pasal 7 tadi dinyatakan bahwa pelaksanaan penugasan itu harus berdasarkan kebijakan politik negara berupa UU dan  Perppu yang dibuat oleh Presiden dan DPR sehingga UU TNI no 34 tahun 2004 tersebut tidak dapat langsung dilaksanakan oleh TNI.  Permasalah ini semakin diperumit dengan lahirnya UU nomor 5 tahun 2018 tentang UU pidana terorisme ?? Tadi dalam UU nomor 34 Tahun 2004 menyatakan bahwa masalah terorisme adalah tupoksi TNI dalam OMSP. Sedangkan dalam UU baru terorisme ini dalam judulnya disebut UU pidana, yang otomatis itu adalah ranah penegakan hukum, padahal teroris itu merupakan ekstra ordinary Crime bukan kriminal biasa seperti gangguan Kamtibmas di pasar ataupun kota.  Dan perlu juga kita luruskan kembali pada tulisan ini adalah bahwa dalam UU nomor 2 Tahun 2002 tentang Tupoksi Polri hanya ada tiga yaitu ; Penegakan hukum, menjaga kamtibmas, dan mengayomi, melayani dan melindungi masyarakat. Titik tekannya di sini adalah kata-kata Kemanan dan ketertiban masyarakat di sini maksudnya itu adalah “Public Service Security” bukan “National Security” atau state security” atau Keamanan Nasional atau Keamanan Negara. Artinya, mohon dipahami pemisahan pemahaman antara National Security (Keamanan Nasional) sebagai sebuah konsep, dengan Public Security Service (Kamtibmas) sebagai sebuah fungsi Polri.  Karena kalau berbicara secara letterlijk, nomenklatur kata “Keamanan Negara dan Keamanan Nasional” itu hanya ada pada UU nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU nomor 34 Tahun 2004 tentang Tupoksi TNI.  Kedelapan. Untuk itulah ada judul tulisan di atas, pentingnya kehadiran sebuah forum negara bernama Dewan Keamanan Nasional itu. Yang dibentuk berdasarkan UU dimana RUU Kamnas ini selalu di mentahkan oleh DPR RI hasil lobby dari sebuah institusi yang berasumsi kewenangannya akan hilang dalam hal penanganan keamanan nasional. Asumsi ini yang perlu diluruskan dengan baik agar tugas TNI dan Polri bisa berjalan dan interoperabilitas nya saling menguatkan.  Maksudnya adalah ketika Dewan Keamanan Nasional (DKN ) ini dibentuk, berarti, sudah ada sebuah payung hukum yang jelas, forum atas nama negara yang jelas, melibatkan seluruh sumber daya nasional secara total, melihatkan banyak stake holders bidang keamanan dan komponen pendukung lainnya, sehingga penanganan masalah konflik Papua bisa dirumuskan, dikaji, dan ditindaklanjuti  formulasi apa yang paling tepat digunakan.  Nah hal ini yang selama ini tidak terjadi. Kebijakan politik negara yang mendegradasi status Papua hanya seolah gerakan kriminal bersenjata biasa, justru jadi bumerang memakan banyak korban nyawa yang anehnya banyak justru dari pihak militer. Ini kan sangat aneh dan penuh tanda tanya. Gerakan kriminal bersenjata , yang ditangani oleh Polisi sebagai Puskodalops (Pusat Komando Kendali Operasi) dan TNI hanya “membantu” tentu jadi bingung dan linglung. Karena TNI sesuai pernyataan mantan KABAIS Sulaiman B Pontoh didesign dan dilatih sebagai organ tempur militer bukan membantu penegakan hukum yang akhirnya TNI tidak bisa mengembangkan taktik dan strateginya.  Dan kalaupun kebijakan politik pemerintah hari ini tetap “bersikukuh” mempertahankan Polri sebagai pemegang kendali operasi, tentu harus ada jangka waktu dan target operasinya sampai kapan ? Sebagai bentuk pertanggung jawabannya kepada bangsa dan negara. Sehingga bilamana eskalasi meningkat pemerintah melibatkan TNI untuk menangani dengan waktu yang ditentukan pemerintah.  Kesembilan. Dengan adanya DKN, tentu semua permasalahan ketakutan akan HAM akan mudah dicarikan “preventive actionnya”. Karena bisa lebih luas melibatkan institusi lainnya yang lebih kompeten seperti Departemen Luar Negeri melalui Diplomasi luar negerinya. Departemen Pertahanan melalui diplomasi pertahanannya, BIN melalui komunikasi inteligent, BSSN utk masalah cyber attack, Kominfo untuk perang opini di publik, Migrasi, BNPT, Bea Cukai, dan Polri dalam hal penegakan hukum. kalau perlu seluruh Departemen tekait bekerjasama menutup, mengunci, memberikan treatmen khusus terhadap Papua dari segala arah. Sumber daya nasional pokoknya bisa digerakkan termasuk peran media, media sosial dan diaspora kita di luar negeri. Clear semuanya ? Begitu juga perlu meluruskan pemahaman pelibatan TNI dalam operasi militer yang ditakut-takuti melanggar HAM. Perlu dijelaskan bahwa TNI dalam gelar operasinya sudah mempunyai SOP yang jelas dan terukur. Opsi penindakan menggunakan senjata itu oleh TNI hanya bobot 10 persen. 60 persen itu adalah serbuan teritorial berupa penggalangan, mengambil hati rakyat, memisahkan antara masyarakat sipil dan OPM, setelah semua terpisah baru dilakukan operasi militer yang presisi dan terukur. Baru sisa bobot 30 persen operasi pemulihan. Sangat jauh berbeda dengan operasi penegakan hukum. Masak prajurit Koppasus yang terlatih untuk menggempur sasaran strategis  terpilih hanya di jadikan untuk patroli, membantu Polri, dan SOP tak boleh menembak kalau tidak ditembak duluan, ini namanya menyalahi prosedural  dalam tindakan taktis Prajurit dilapangan.  Kesepuluh. Untuk itu dalam tulisan ini tegas kita himbau, bahwa perlu evaluasi dari pemerintah dalam hal mengambil kebijakan politik negara di Papua. Dan ini bukan salah institusi Polri apalagi TNI … Ini murni perlunya dievaluasi kembali terhadap implementasi keputusan politik negara sebelum melaksanakan UU TNI, dimana kita mengusulkan segera bentuk DKN apakah melalui Perppu maupun Perpres. Agar ada kepastian hukum untuk payung bertugasnya TNI, ketegasan sikap pemerintah, terhadap penanganan apakah Papua tetap dalam status gangguan Kamtibmas ? Atau sudah masuk pada level gangguan keamanan nasional  dimana itu sudah masuk ranah dimensi Pertahanan negara yang merupakan tugas TNI.  Kalau masih dianggap gangguan Kamtibmas ? Maka tarik semua pasukan tempur TNI dari lapangan dan masukkan Polri didepan untuk menangani gangguan kamtibmas tersebut serta TNI menugaskan aparat teritorial satuan kewilayahan setempat. TNI cukup mengawasi, pos teritorial mengamati dan TNI menunggu perubahan dan adanya keputusan politik negara. Silahkan Polisi di depan, kerahkan Brimob, Densus 88, Pelopor, Sabhara untuk menegakkan hukum terhadap pelaku Disintegrasi Bangsa yang dianggap kriminal dan teroris karena kriminal itu memang ranahnya Polri dan Bukan TNI. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menggugah jiwa nurani para pemangku jabatan di pemerintahan. Termasuk juga di jajaran tubuh TNI sendiri. Jangan korbankan prajurit di medan tempur yang masih ranah penegakan hukum oleh Polri. Komandan satuan adalah Bapak dan atasan yang bertanggung jawab atas keselamatan  jiwa prajurit TNI di Dunia dan akhirat. Komandan tertinggi kita semua adalah Konstitusi. Sampaikan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Tunduk pada supremasi sipil bukan berarti  tunduk pada kebijakan politik  praktis pejabat yang berkuasa, Karena politik TNI itu adalah Politik Negara yang tunduk pada Konstitusi atau UUD 1945. Bangunlah TNI ku, Jaya lah TNI ku. Kembalikan jati dirimu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional yang manunggal bersama rakyat.  (Penulis saat ini menyiapkan Proposal Penelitian untuk Program DIH pada Universitas Pasundan. Tulisan ini merupakan bahan melengkapi Disertasi yang dibuat secara akademisi dan bukan  politik praktis). Jakarta, 01 Mei Tahun 2023

Robohnya Guru Bangsa

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) MENJELANG matahari terbenam di kala gerimis mulai turun, seorang guru bangsa yang lelah menangis sesunggukan. \"Tidak ada lagi kebaikan yang tersisa dari rezim ini.\" Memang sudah lama orang-orang pandai di negeri ini meninggalkan rakyat untuk hidup selingkuh dengan rezim. Bahkan, mereka ikut mengorkestrasi tentang kehebatan Mukidi. Tinggal sedikit orang bijak bestari yang coba menahan laju kebinasaan negara. Tapi tampaknya mereka tak bakal kuat bertahan lama. Rezim Mukidi terlalu kuat, didukung legislatif, yudikatif, tentara, polisi, intelijen, buzzerRp, dan oligarki. Terlebih, rakyat banyak yang jahil, militan, dan fanatik.  \"Ampun ya Tuhan, aku yg salah,\" kata guru bangsa dengan tubuh yang terguncang. Memang dulu ketika Mukidi muncul sebagai capres, guru bangsa adalah orang pertama yang bersyukur kepada Tuhan sambil berseru kepada rakyat: \"Tuhan telah merahmati bangsa ini melalui Mukidi yang akan membuat kita menjadi bangsa yang kuat, maju, dan makmur. Maka, tak usah pikir panjang lagi, pilihlah dia yang, melalui revolusi mentalnya, marwah kita sebagai bangsa tak diremehkan lagi.\" Tapi tak lama, setelah Mukidi berkuasa, penyelewengan mulai terjadi. Orang-orang kritis mulai bersuara. Mahasiswa mulai protes. Guru bangsa juga mulai gusar. Tapi ia masih membela kebijakan Mukidi. \"Kita tak tahu apa maksud Mukidi melemahkan KPK, tapi pasti ada niat baik di balik itu,\" kata guru bangsa coba menenangkan mereka yang marah. Para buzzerRp malah  menumpahkan sumpah serapah: \"Yang marah itu adalah kadrun picik, pendukung khilafah, yang otaknya terletak di anus.\" Bagaimana pun, diam-diam guru bangsa menelpon Mukidi menanyakan alasan rasional di balik pelemahan lembaga antirasuah itu. \"Saya terpaksa mengurangi wewenangnya agar tak disalahgunakan para Taliban di dalam KPK itu sendiri. Ini juga sudah sesuai dengan rencana saya melipatgandakan pertumbuhan ekonomi melalui investasi besar-besaran yang terganggu gara-gara kiprah KPK yang terlalu ganas.\" Guru bangsa langsung menutup telepon dengan wajah agak jengkel. Tapi dia masih bergumam, \"Bisa saja Mukidi benar. Mungkin saya saja yang terlalu sensitif terhadap korupsi,\" kata guru bangsa dalam hati coba meneguhkan kepercayaan dirinya yang mulai goyah. Sementara pertentangan kaum kritis dengan rezim makin tajam. \"Rezim Mukidi kian memperlihatkan kepongahannya. Harus dihentikan!\" Tapi suara kaum kritis tenggelam di tengah hiruk-pikuk para pendusta yang memanipulasi realitas untuk menjaga dukungan pada rezim. Khalayak banyak yang siap untuk didustai senang bukan main mendengar puji-pujian kepada Mukidi yang datang dari para menteri, intelektual palsu, dan buzzerRp. Bagaimana pun, guru bangsa mulai khawatir: kalau akal sehat publik tak dijaga, kalau pertukaran gagasan dimatikan, kegelapan akan menguasai bangsa. \"Ah, ini cuma bersifat sementara, besok pagi matahari pasti masih akan terbit,\" kata guru bangsa meyakinkan dirinya. Namun, seiring perjalanan waktu, nurani dan akal sehatnya makin sering diganggu oleh kebijakan-kebijakan rezim yang tidak pro-rakyat. Juga tidak pro-negara. Hanya elite parpol, oligarki, dan rezim komunis Cina yang diuntungkan. Kini guru bangsa lebih banyak mengunci diri dalam rumah. Makin jarang ia membaca berita yang diproduksi kubu Mukidi. Bahkan, hasil survei yang menyatakan mayoritas rakyat puas pada kinerja Mukidi tak ia percayai. \"Tak masuk akal,\" katanya. Sementara itu, korupsi makin menggurita. Di mana pun kita memandang di situ ada korupsi. Ratusan triliunan, bukan miliaran. Guru bangsa tampak kian tua dan kehilangan daya hidup. \"Jangan lagi sebut-sebut nama Mukidi di hadapanku,\" katanya kepada istrinya yang ingin tahu  pendapat suaminya tentang perkembangan situasi politik terkini. Biasanya istrinya jadi sumber berita pada acara-acara keluarga, arisan ibu-ibu, atau hajatan tingkat RT. Dan dia selalu jadi bintang manakala ia menyampaikan \"prestasi-prestasi\" Mukidi yang disimak sungguh-sungguh oleh ibu-ibu yang kurang berpendidikan sampai-sampai suaminya ketakutan.  \"Hentikan semua itu!\" kata guru bangsa suatu hari setelah parlemen yang dikendalikan oligarki melalui Mukidi dan elite parpol mengesahkan UU Covid-19, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU IKN. Guru bangsa hanya bisa menangis. Mukidi telah memblokir nomor teleponnya. \"Kita telah ditipu mentah-mentah,\" katanya kepada istrinya yang terkejut bukan kepalang.  Guru bangsa berpendapat Mukidi berwajah ganda: wajah luar dan wajah dalam. Wajah luar adalah wajah kerakyatan yang tulus-ikhlas,  yang dulu dijadikan tema kampanye. Wajah dalam adalah wajah durhaka, ambisius, dan culas. \"Dia ini penipu, rakus, dan bermental budak. Semua yang dia lakukan hanya untuk oligarki, keluarga, dan dirinya sendiri. Sembako yang dilemparkan dari jendela mobil kepada kaum papah tidak lain kecuali pencitraan. Kalaul begini terus pasti negara akan ambruk,\" kata guru bangsa terengah-engah sambil menahan dadanya yang kembang-kempis.  Sebenarnya guru bangsa telah melakukan berbagai hal untuk membangunkan rakyat dari tidur panjang. Ini ia anggap sebagai penebusan dosa yang ia lakukan ketika dulu berkampanye untuk Mukidi. Sepanjang hidupnya belum pernah ia melakukan kesalahan sefatal ini. Tapi tulisan-tulisannya yang mengkritik Mukidi tidak dimuat satu pun media mainstream. Ia coba menghubungi para akademisi dan intelektual --  yang biasanya sangat respek kepadanya -- untuk memberi tahu mereka tentang bahaya yang sedang dihadapi bangsa, tapi semua cuek bebek. Kepala polisi, panglima tentara, pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang ia hubungi pun tak menanggapi keluhannya.  Bahkan, istri dan anak-anaknya pun memandangnya dengan sinis. \"Astaghafirullah,\" ia minta ampun pada Tuhan penuh penyesalan. \"Dunia telah terjungkir balik. Bagaimana mungkin semua orang telah menjadi jahat dan bodoh seperti Mukidi? Memang aku bersalah. Tapi tak adakah jalan pulang? Mengapa begitu sulit mengembalikan akal sehat rakyat, bahkan rasionalitas orang-orang berpendidikan tinggi?\" Ia memandang ke barat, matahari kian mendekat ke ufuk dan hujan mulai turun. Di dalam kamar yang sunyi, ia memberanikan diri menghidupkan televisi dngan maksud mencari hiburan. Tapi salah kanal. Yang muncul justru berita penjegalan seorang aspiran capres melalui berbagai cara. Berita itu juga menyebut Mukidi telah meninggalkan Wowo dan mempromosikan si rambut putih. \"Bukan main orang ini. Betapa gampangnya dia mempermainkan orang. Dan berkhianat berkali-kali,\" kata guru bangsa sambil mematikan tv. Yang paling sulit dia terima adalah tindakan Mukidi menzalimi bakal capres hanya karena dia tak mau mengikuti jalan yang telah dirintis Mukidi. \"Dia ini bangsa Indonesia atau bukan sih? Demokrasi dan HAM dia campakkan begitu saja. Kerusakan besar yang telah ia timpakan atas bangsa ini malah ia hendak paksakan untuk dilanjutkan oleh penggantinya. Herannya, si rambut putih yang nirprestasi dan nirintegritas malah dengan bangga berjanji akan melanjutkan kerja-kerja Mukidi yang dia katakan sukses besar. Naudzubillah min zalik,\" katanya murung. Cepat-cepat guru bangsa bersalin busana, pakai sepatu, lalu bergegas ke Istana. Kakinya terasa sakit karena sepatunya dipakai terbalik, yang sepatu kiri dipakai kaki kanan, dan sebaliknya. Dia hendak bertemu Mukidi secara langsung. Hanya ini jalan terakhirnya untuk menyadarkan si dogol itu tentang berbahayanya niat dan rencana-rencananya. Sepanjang perjalanan, pikiran hanya terfokus pada bakal capres yang hendak disingkirkan Mukidi dari arena pilpres. Guru bangsa tak habis pikir mengapa tokoh yang hebat itu tak diberi kesempatan untuk ikut berkompetisi. \"Toh, dialah satu-satunya bakal capres yang mampu menyelamatkan bahtera Indonesia yang nyaris karam ini. Tidak ada yang lain. Seharusnya Mukidi bersyukur ada orang pintar dan bijaksana yang menyediakan diri untuk meluruskan jalan bengkok yang sedang ditempuh bangsa ini. Bukan malah menyokong pemimpin yang serupa dengan dia,\" katanya dalam hati sambil mempercepat langkahnya. Sesampai di gerbang Istana, security menghadangnya. \"Bapak tak dibolehkan masuk.\" Guru bangsa marah, \"bknkah aku sudah biasa ke sini dan kau mengenal aku.\" Security tertawa sinis, \"Itu dulu. Sekarang Pak Mukidi memerintahkan saya untuk menghentikan Bapak di sini. Pak Mukidi bilang Bapak telah berubah menjadi kadrun dan karena itu Bapak berbahaya. Tolong tinggalkan tempat ini!\". Guru bangsa tersinggung. \"Apa kau bilang? Yang jahat, jahil, dan bahlul justru pemimpinmu itu. Biarkan aku masuk menemuinya.\"  Tak banyak bicara lagi, security yang tegap itu mendorong dengan keras si guru bangsa. Orang tua itu terjungkal hingga ke anak tangga paling bawah. \"Ini tidak mungkin, tidak mungkin,\" sambil menghembuskan napas terakhir. Ternate, 1 Mei 2023

Jokowi Tidak Akan Dukung Prabowo

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa SESUAI artikel yang saya tulis sebelumnya: Tidak Ketemu Rasionalitasnya kalau Jokowi Dukung Prabowo. Kenapa? Pertama, karena mereka punya sejarah di pilpres 2014 dan 2019, dimana Prabowo yang ikut mengorbit Jokowi di pilgub DKI 2012 akhirnya dikalahkan dua kali (pilpres 2014 dan 2019) oleh Jokowi. Kedua, bagi Jokowi, mendukung Prabowo sama saja menghidupkan macan mati. Ketika Prabowo berkuasa, tak ada kesempatan lagi bagi Jokowi untuk intervensi, apalagi mengendalikan. Boleh jadi malah sebaliknya. Tidak ada MoU, apapun bentuknya, yang bisa menjinakkan para penguasa ketika mereka punya kesempatan berkuasa. Sebab, semua instrumen negara ada di tangannya. Penguasa adalah orang yang paling kuat di Indonesia. Jokowi bukan orang bodoh. Kemampuan politiknya jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Megawati, ketum PDIP, partai terbesar dan pemenang dua kali yang mengusung Jokowi nyapres saja tidak bisa banyak berbuat terhadap Jokowi. Ini tidak akan terjadi jika Jokowi bukan seorang politisi ulung dan piwai. Stigma petugas partai hanya slogan belaka dan tidak berlaku bagi Jokowi. Politik itu tidak sepenuhnya bisa ditentukan oleh karakter personal, meski ini juga punya pengaruhnya. Tapi, politik lebih ditentukan oleh posisi, peluang dan kebutuhan. Ketika Prabowo menjadi penguasa, ini misalnya saja, dia tidak butuh Jokowi lagi. Gak ada itu istilah balas budi. Yang justru muncul adalah memori kekalahan Prabowo di pilpres 2014 dan  2019. Setidaknya, memori ini masih diingat dengan kuat oleh para pendukung dan orang-orang di sekitar Prabowo. Sangat menyakitkan. Jokowi dan Prabowo punya kepentingan yang berbeda. Ini akan tampak sekali pasca 2024. Tak ada itu istilah balas budi, etika atau MoU. Ini sudah berulang di pilpres 2014 dan 2019. Kurang apa peran Prabowo untuk sukseskan Jokowi di pilgub DKI 2012. Masuk pilpres 2014 dan 2019, ketika kepentingan keduanya berhadapan, maka terjadi pertarungan yang sangat sengit dan keras. Hasilnya, semua bisa kita baca sekarang. Ini bukan salah Jokowi. Tapi, ini realitas politik yang saat itu menuntut keniscayaan untuk menghadap-hadapkan dua tokoh besar ini. Kalau anda mengungkit-ungkit soal balas budi, jasa Prabowo, dll, itu artinya anda tidak sepenuhnya paham dan mengerti soal politik. Jokowi sangat paham dan mengerti soal politik. Di pilpres 2024, Jokowi melihat Prabowo bisa dimanfaatkan sebagai instrumen untuk memecah suara Anies. Begitu juga Sandi. Maka, Prabowo ditawari jadi cawapres Ganjar. Jika tidak mau, Prabowo akan didorong maju jadi capres. Jokowi tahu, dan sangat cermat dalam kalkulasi politiknya. Jokowi tahu Prabowo lemah, dan kecil peluangnya untuk menang. Maka, Prabowo didorong untuk tetap maju. Apa tujuannya? Menggerus suara Anies untuk memenangkan Ganjar.  Kalau Prabowo kuat, 1000 persen Jokowi tidak akan dukung Prabowo. Jokowi tidak akan membiarkan kartu mati Prabowo dihidupkan kembali oleh Jokowi.  Jadi,  tak ada yang dikhawatirkan. Jokowi sudah punya Ganjar. Dalam konteks ini, Prabowo memang terkesan lugu, polos dan cenderung normatif. Inilah kelemahan Prabowo secara politik. Padahal, saat ini, Prabowo punya kesempatan untuk bergaining posisi. Caranya? Prabowo gak perlu nyapres. Kemana dia arahkan partainya, ini akan menjadi kekuatan bergaining yang sangat besar. Ada dua bakal capres, yaitu Anies dan Ganjar. Tinggal pilih kemana arah dukungannya. Prabowo tinggal menghitung diantara kedua bakal capres ini. Pertama, mana yang paling besar pengaruhnya terhadap elektabilitas Gerindra. Kedua, sebagai King Maker, lebih besar mana peran yang akan didapatkan Prabowo dari kedua kandidat tersebut. Ke Ganjar, suara Gerindra akan berebut dengan PDIP. Mungkin juga Golkar. Kalau ke Anies, akan berebut dengan Nasdem dan Demokrat. Ke Ganjar, Prabowo punya saingan Jokowi dan Megawati sebagai King Maker handal. Ke Anies, ada Surya Paloh, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Satu hal, Gerindra lebih besar suaranya dari Nasdem dan Demokrat. Lebih kecil dari PDIP. Ini soal pengaruh. Begitu juga sebagai King Maker, Jokowi dan Megawati jauh lebih kuat pengaruhnya terhadap Ganjar dari pada Surya Paloh, SBY dan JK terhadap Anies Baswedan. Prabowo punya peluang bermain dan mengambil peran di pilpres 2024 sebagai King Maker, dan tidak berada dalam bayang-bayang Jokowi dengan semua kepiawaian politiknya yang saat ini menjadi sutradara paling berpengaruh untuk pilpres 2024. Kuala Lumpur, Malaysia, 1 Mei 2023

Anies, Jumhur dan Pembebasan Alienasi Kaum Buruh

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle PEMIMPIN besar kaum buruh, yang juga ketua Serikat Buruh KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, telah menjelaskan kepada hakim pengadilan PTUN Jakarta kenapa upah buruh yang dinaikkan Anies Baswedan pada tahun 2022, sebesar 5,1% mempunyai legitimasi historis. Dalam \"Bela Anies soal UMP DKI, Jumhur Sebut Upah Buruh di 3 Provinsi Ini lebih Buruk Dari Era Kolonial\",  JPPN, 8/6/22, menurut dia upah buruh di era kolonial adalah setara dengan 6,5 kg beras perhari sementara sekarang ini upah buruh cuma  5,6 kg beras saja perhari. Legitimasi historis yang harus dicamkan adalah gugatan soal nasib kaum buruh (tani) yang miskin tidak masuk akal itu disampaikan Bung Karno dalam pledoinya \"Indonesia Menggugat\", dalam pengadilan di Bandung, 1930. Sudah jelas itu adalah masa kolonial. Sehingga kaum buruh tidak pantas mendapatkan nasib yang sama atau bahkan lebih buruk di era kemerdekaan ini.  Sesungguhnya, Anies dan Jumhur saling membela dalam urusan kaum buruh. Sebab, Jumhur datang di persidangan PTUN itu membela keputusan Anies yang digugat kaum kapitalis, karena mereka tidak bisa menerima Anies melawan UU Omnibus Law, yang turunannya PP36/2021 terkait upah hanya membolehkan kenaikan upah sebesar 1% saja. Ganjar Pranowo, misalnya, hanya menaikkan 0,87%. Artinya Anies menaikkan upah sebanyak 580 kali lebih banyak dari Ganjar Pranowo saat itu. Pengusaha marah dan menggugat Anies ke pengadilan. Jadi Anies membela kaum buruh dan Jumhur membela keputusan Anies yang membela kaum buruh. Alienasi Kaum Buruh Problem pokok perjuangan buruh adalah pembebasan diri dari alienasi. Apa itu? Alienasi adalah situasi di mana buruh tidak ikut mengontrol nilai dari produk yang dia ikut menciptakannya. Dalam dunia modern yang dikontrol kaum kapitalis, buruh hanya merupakan  skrup-skrup kecil yang disetarakan dengan alat produksi lainnya, tanah, uang dan mesin-mesin. Buruh bukanlah manusia, karena yang dihargai oleh majikan adalah jasa tenaga buruh. Jasa tenaga ini bukan human, melainkan satuan kerja yang dihasilkan oleh tenaga buruh per waktu tertentu. Dengan membayar satuan kerja tersebut, hubungan industrial antara buruh dan majikan terputus. Untuk mempertahankan dirinya dalam sistem reproduksi konstan, buruh harus membelanjakan uang upahnya untuk mengkonsumsi makanan, sehingga makanan itu kembali menghasilkan tenaga untuk dijual kembali pada majikan. Jika dia gagal menciptakan tenaga baru, maka dia akan tersingkir dari sistem kerja yang ada. Akhirnya buruh masuk pada siklus kehidupan produksi dan reproduksi, lalu lelah dan kehilangan arti kehidupan lainnya dalam sistem sosial yang lebih besar. Pada saat buruh harus bertahan hidup yang keras dalam sistem produksi kapitalis, maka dia teralienasi atau terasing. Karena hubungan antara dirinya dengan manusia lainnya, dalam sistem kerja, serta dalam proses produksi, terbatas pada kepentingan non human. Produk hasil kerjanya juga tidak terhubung lagi pada sistem nilai atau rasa yang dia sertakan pada proses produksi. Pada era tertentu, khususnya di eropa, alienasi kaum buruh berhasil dihilangkan atau setidaknya direduksi secara tajam melalui berbagai kebijakan sistem kerja yang manusiawi (decent work, yakni upah yang layak, welfare, dialog antara buruh-majikan, karir, dll) dan bahkan memberikan kekuasaan politik bagi kaum buruh, baik di parlemen maupun pemerintahan. Dalam posisi yang ekstrem, misalnya, di negara Skandinavia, seorang buruh yang melebihi waktu kerja, ditelpon oleh pejabat dinas Tenaga Kerja, diingatkan untuk pulang ke rumah, karena keluarga mereka sudah menunggu. Pemerasan tenaga buruh diganti dengan hubungan industrial yang manusiawi. Omnibus Law Yang Ditolak Jumhur Hidayat telah di penjara rezim Jokowi karena melakukan penghinaan terhadap UU Omnibus Law (OBL) yang mengebiri nasib kaum buruh. Menurutnya, OBL telah menghancurkan hubungan industrial yang sudah mulai membaik di era sebelum Jokowi. Di era berlakunya OBL maka upah buruh, kerja layak, welfare dan juga kepastian kontrak kerja hilang. Begitu juga banyak hak-hak buruh lainnya terabaikan. Oleh karena itu, Jumhur beserta organisasinya melakukan perlawanan menolak berlakunya UU Omnibus law tersebut. Hubungan industrial yang Pancasilais mengharuskan industrialisasi yang tumbuh karena kerjasama yang baik antara buruh dan kaum kapitalis. Keduanya harus berbagi tanggung jawab, sekaligus berbagi kesejahteraan. Menurut Jumhur, pembagian keuntungan kaum buruh dan majikan di Indonesia adalah yang terburuk di Asean, yakni porsi return to capital mencapai 61 persen, sedang return to Labor (buruh) hanya 39%. Belum lagi hak-hak normatif buruh untuk berkembang sebagai sumberdaya manusia Indonesia yang terabaikan. Jika kita membandingkan buruh kita dengan buruh Korea Selatan, Malaysia dan Thailand, maka kita akan melihat berbagai keterbelakangan terjadi saat ini di sini. Itu pula yang menjelaskan jutaan buruh kita merantau mengadu nasib di Malaysia dan berbagai negara, yang seharusnya bisa saja tidak terjadi, asalkan kita membangun hubungan industrial yang Pancasilais. Dalam hal upah, memang menarik saat ini. Atas alasan diskresi, menteri tenaga kerja membuat payung di luar OBL dalam soal upah, yakni Permenaker 18/2022. Upah pada tahun 2022 akhirnya bisa naik di atas inflasi, seperti Ganjar menaikkan upah 8,01%. Namun, jika kita melihat diskresi Menaker tersebut, kita harus berterima kasih pada kaum buruh yang selama setahun lebih berdemonstrasi menentang penggunaan OBL. Meskipun dalam hal upah telah ada diskresi, namun jika OBL tidak dicabut, selamanya, maka tantangan upah tetap besar, karena diskresi upah  oleh Menaker saat ini bisa dilakukan berbeda atau lebih buruk pada masa mendatang, jika ganti menterinya. Oleh karena itu maka gerakan kaum buruh menolak OBL harus terus disalurkan pada pemimpin mendatang, yang mengusung tema perubahan. Sebuah tema yang menolak kepemimpinan status quo, di mana dipastikan akan mempertahankan UU yang diciptakan rezim Jokowi. Anies dan Social Market Economy Jumhur Hidayat telah mengecam OBL dan masuk penjara. Menurutnya OBL adalah untuk \"primitive investors\". Primitive investor bisa disamakan dengan kaum kapitalis yang rakus.  Pada sisi lain, Anies Baswedan menawarkan perubahan sistem perekonomian ke depan, jika dia memimpin Indonesia, dari \" Free Market Economy \" menjadi \"Social Market Economy\". Social Market Economy lebih berkeadilan sosial, karena asumsi market bekerja sempurna direvisi. Dalam konteks perburuhan, konsep ini tidak lagi melihat buruh sebagai objek belaka, khususnya bukan lagi sebagai alat produksi. Melainkan, buruh merupakan manusia. Dalam free market economy, free fight competition, efisiensi maksimal dicapai dengan menyingkirkan buruh-buruh yang tidak beruntung. Sedangkan dalam social market economy, buruh akan dikembangkan menjadi kekuatan produktif dengan bantuan negara. Tema ini sering dikenal sebagai Active Labor Market Policy (ALMP).  Konsekuensi pilihan Anies atas Social Market Economy adalah terjadinya \"common platform\"antara perjuangan Jumhur Hidayat dan kaum buruh progresif dengan Anies Baswedan ke depan. Peluang untuk membuat UU Perburuhan yang lebih Pancasilais akan sangat sangat mungkin terjadi. Penutup Membebaskan kaum buruh dari alienasi dan ketertindasan membutuhkan kerangka berpikir yang revolusioner, bukan reaksioner. Untuk itu kepemimpinan ke depan, yang pro perubahan, harus bertemu dengan cara berpikir buruh yang progresif. Anies Baswedan dan Jumhur Hidayat, ketua kaum buruh, telah bersinergi dalam menolak Omnibus Law diterapkan dalam penetapan upah murah tahun lalu. Anies, tahun lalu, membuat UMP naik 5,1%, Ganjar pada saat yang sama menaikan 0,87%, dengan resiko anti UU OBL. Di pengadilan, Jumhur Hidayat, membela keputusan Anies tersebut. Sekali lagi di sini Anies menunjukkan watak anti oligarki.  Soal upah adalah salah satu soal bagi hak-hak buruh dalam sistem hubungan industrial Pancasila yang sesungguhnya. Bahkan, riset mengatakan hak-hak buruh soal upah tidak bisa di subtitusi dengan hak welfare lainnya (kesejahteraan dari pemerintah). Meskipun, hak-hak lainnya harus diperjuangkan juga, agar menjadikan buruh sederajat dengan majikan sebagai sesama manusia. Perjuangan buruh kedepan, khususnya kaum buruh progresif, harus bersama dengan pemimpin perubahan. Itu adalah kesadaran revolusioner kaum buruh. Pemimpin Kaum Buruh Revolusioner, seperti kelompok Jumhur Hidayat, harus membicarakan sinergitas dengan Anies Baswedan untuk membebaskan buruh dari rantai alienasi dan ketertindasan, yang sudah berlangsung seratus tahun sejak VOC. Hancurkan upah murah.  May Day. Selamat Hari Buruh! (*)

Pejabat Negara sebagai Petugas Partai

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Politicize how to get, maintain, do and the next power (politik bagaimana mendapatkan, mempertahankan, melakukan dan kekuasaan berikutnya). Setelah menikmati kekuasan akan mempertahankan kekuasaannya selamanya dengan cara apapun. Ilusi tentang demokrasi runtuhlah sudah. Partai dalam sistem politik kita dengan demokrasi  ternyata menjadi alat yang sangat represif karena sudah metamorfosis menjadi kepentingan partai  yang dipaksakan kepada rakyat.  Hal inilah menyebabkan potensi kemerdekaan manusia dalam design kebangsaan kita tertutup dibarter dengan  kepentingan Taipan Oligarki. Masyarakat hidup dalam hiruk pikuk panji - panji partai  menjadi masyarakat yang teralienasi karena memalingkan wajah keindonesiaan menjadi wajah kapitalis. Demokrasi sudah berada di jalan)ik buntu. negara dikendalikan dengan konstitusi palsu. Tersisa demokrasi hanya lip servis sebagai mantra mantra  ritual formalitas kenegaraan. Partai politik merampok mengambil alih  seolah olah sebagai suara rakyat, memiliki kuasa recoll bagi wakil rakyat yang ada di parlemen. Semua menjadi petugas partai, aspirasi rakyat syah terbeli dengan money politik sudah putus di bilik suara . Membawa kepiluan berkepanjangan, rakyat praktis menjadi jongos politik. Anggota dewan dan Presiden sebagai petugas partai. Semua bersekutu dalam kolam yang sama dan dalam prilakunya yang sama menjadi tiran dan mengarah ke otoriter. Hampir  semua pejabat negara mulai dari pembantu presiden sampai pejabat terbawah bukan lagi sebagai abdi masyarakat semua berubah dengan seragam baru sebagai petugas partai setelah presiden sebagaimana pejabat tertinggi negara telah menyandang sebagai petugas partai Mereka hanya berebut cuan dari Oligarki, berani melacurkan diri menjadi penghianat bangsa. Paska Ganjar Pranowo ditetapkan atau deklarasikan sebagai cawapres pada Pilpres 2024, dengan menyandang sebagai petugas partai seperti yang disandang oleh Jokowi selama ini, seperti ada komando sebuah rekayasa : Pertama, Jokowi sebagai Presiden, merangkap sebagai jurkam dan satgas petugas partai. Kedua, Puan sebagai Ketua DPR RI menempati posisi sama sebagai jurkam dan tim sukses cawapres Ketiga, diduga kuat berimbas akan menyerat  Pimpinan Lembaga Negara Seperti  TNI, Polri, Kabinet, Kepala Daerah, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa / Lurah. Komisaris BUMN, Direksi BUMN, KPK, MA, MK, KPU, Bawaslu dll, harus siap sebagai tim pemenangan Ganjar Pranowo semuanya merangkap sebagai petugas partai. Memalukan dan menjijikkan semua berbaris sebagai satgas, relawan berstatus sebagai jongos politik . Khusus TNI - Polri semoga tidak ikut terseret sesuai sumpah dan janjinya sebagai pengaman dan pertahanan negara, bukan sebagai alat kekuasaan, semata. Kemunduran demokrasi di Indonesia karena kuatnya kecendrungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator.  Negara makin otoritarian di mana para pemimpin negara tidak ubahnya berperan sebagai bandit yang akan menggunakan segala sumber dayanya untuk mempertahankan kekuasaan.  Mengapa kehidupan kita berbangsa dan bernegara terasa semakin runyam?\" Karena bangsa dan negara ini dirancang, dikelola dan dijalankan orang yang salah ditempat yang salah. Para petinggi negara saat ini merasa lebih pinter dari para Founding Fathers pendiri negara ini. Tidak menyadari sebagai politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam, rela mengorbankan harga diri , sebagai budak dan boneka para Taipan Oligarki. Mereka bersembunyi atas nama partai bukan atas nama rakyat, dan mereka bekerja bukan menjalankannya tujuan konstitusi sesuai pembukaan UUD 45, tetapi demi penugasan partai. Evil people always support each other, that is their chief strength (Alexander Solzhenitsyn). (Orang jahat selalu saling mendukung, itulah kekuatan utama mereka), merusak, memangsa dan menjual negara. Kekuatan rakyat akan bangkit untuk membersihkan kelakuan jahat para jongos jongos politik yang berperilaku liar, barbar dan ugal ugalan akan menghancurkan negara ****