OPINI

Capres Disasar Ketum Diincar

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  TARGET Presiden Jokowi, siapapun presiden penggantinya adalah orang yang bisa mengamankan setelah lengser dan melanjutkan proyek proyeknya khususnya yang terkait dengan Cina. Paling tidak ada dua hal yang diinginkan Jokowi pasca beliau lengser. Pertama melanjutkan proyek yang telah berjalan khususnya proyek kerjasama dengan Cina, dengan segala dampak ikutannya.  Kedua, tidak ada kasus hukum yang akan menimpanya paska lengser dari kekuasaan dan bisa  mendarat secara aman dan nyaman. Opsi untuk mengamankan diri nya ternyata tidak cukup hanya bersandar pada capres pilihannya karena Ganjar Pranowo yang telah deklarasikan Ibu Megawati memiliki bawaan kapasitas, kapabilitas, integritas dan magnit politik relatif rendah. Keamanan  politik Jokowi paska lengser dari jabatannya tidak boleh hanya berharap dari Ganjar Pranowo capres 2024, yang reputasi dan kekuatan politiknya sangat rentan akan kalah dalam Pilpres 2024. Ganjar Pranowo prospek kemenangan politiknya diprediksi hanya akan mengandalkan skenario dan rekayasa bandar politik dan olah manipulasi suara hasil pilpres sebagai andalannya. Jokowi harus menyiapkan tempat berlindung lainnya. Masih segar rekam jejak digitalnya bahwa Koalisi Aktivis dan Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (Kami-Ganjar) menyatakan hendak menjadikan Presiden Jokowi sebagai Ketua Umum PDIP  menggantikan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2024. Terekam saat relawan Kami-Ganjar mengadakan konsolidasi pada Ahad 30 Oktober 2022 di Bogor, Jabar.  Deklarasi Ganjar Pranowo berjalan lancar, tetapi tidak bisa dinafikan menyisakan friksi di internal PDIP, adalah peluang dan perkembangannya harus terus di buntuti sebagai target dan sasaran politiknya. Peta terbaca selagi masih dalam kendali Ibu Megawati friksi tersebut tetap bisa dikendalikan. Lain cerita kalau PDIP sudah ditinggalkan Ibu Megawati, friksi bisa menjadi besar dan liar. Berlindung dengan kekuatan partai akan menjadi opsi prioritas harus di raihnya. Dengan cara apapun Jokowi harus bisa mengambil posisi sebagai Ketum PDIP. Masa depan Puan dalan ancaman waktu. Sebagai Ketum partai bisa aman sepanjang Ibu Megawati masih ada dan kejadian sebaliknya apabila Ibu Megawati sudah melepaskannya. Megawati Soekarnoputri tetap merupakan magnit figur sentral yang menjadi penentu dalam proses alih generasi pimpinan partai selanjutnya . Tidak boleh di remehkan kekuatan politik di luar trah Sukarno bisa  mengobrak-abrik faksi-faksi yang ada di dalam tubuh partai banteng ini. Kelompok  ini di Internal PDIP cukup kuat apalagi mendapatkan  dukungan kuat dari pemilik modal (oligarki) yang menjadi sponsor Jokowi. Dalam dunia politik praktis,  manuver dan gerilya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berseteru bisa terjadi seperti Jokowi menggerakkan Moldoko  kudeta partai Demokrat untuk menyingkirkan capres Anies Baswedan saat ini. Berdasarkan pengalaman  sekuat apapun Megawati akhirnya bisa di taklukan.  Awal  mencalonkan Jokowi sebagai Capres dari PDI-P, Megawati tidak setuju setelah didesak dari semua arah akhirnya kandas dan luluh. Persis kejadiannya bahwa prestasi dan kualitas Ganjar Pranowo yang minimalis, sesungguhnya tidak disukai Megawati.  Dengan desakan dan bisikan dari berbagai arah ahirnya melemah dan luluh  mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Pertarungan memperebutkan Ketua umum bukan hanya atas pertimbangan politik tetapi fisik Ibu Megawati yang sudah masuk usia senja harus istirahat dan melepaskan sebagai Ketua Umum PDIP. Disadari atau tidak jabatan ketum PDIP sudah masuk dalam radar *Capres di sasar dan Ketum di incar*. Proses bisa melalui kudeta model Moeldoko mengkudeta Partai Demokrat atau berjalan dalam perebutan secara normal dan diambil alih oleh Jokowi.. ****

Menakar Kredibilitas Ganjar

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Jogjakarta  KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, sebagai Petugas Partai, ditingkatkan menjadi Calon Presiden RI.  Ganjar Pranowo diprediksi akan didampingi oleh Sandiaga Uno sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dari kubu PPP. Mengapa bukan Mahfud MD atau Erick Tohir atau Prabowo ataupun Gus Imin? Bu Mega dan Pak Jokowi yang paling tahu. Melacak jejak Ganjar Pranowo ke belakang, ia disebut oleh Jaksa KPK terima USD 520.000 korupsi e-KTP Ganjar Pranowo ikut dikaitkan dalam pusaran korupsi mega proyek e-KTP. Andi Narogong sebagai anak buah Setya Novanto, membagi-bagikan uang. Ganjar disebut oleh Jaksa penuntut dalam surat dakwaan menerima uang ketika menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, (9/3/2017). Jaksa KPK mengatakan, pemberian uang dilakukan di ruang kerja Mustoko Weni sekitar September-Oktober 2010. Saat itu, Ganjar disebut menerima USD 500 ribu selaku Wakil Ketua Komisi II DPR agar ikut membantu persetujuan anggaran proyek e-KTP di Komisi II DPR. Ganjar Pranowo kembali disebut Jaksa KPK menerima uang sejumlah USD 25 ribu sekitar Agustus 2012 dari Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang S Sudiharjo, yang disampaikan ke Miryam S Haryani. (https://news.detik.com/berita/d-3442223/jaksa-sebut-ganjar-pranowo-terima-usd-520-ribu-terkait-korupsi-e-ktp) Rakyat harus cerdas membaca pilihan Bu Mega atas Ganjar Pranowo yang sempat berpose dengan para konglomerat/oligarki, dan notabene suka nonton video porno. Menyongsong era Indonesia Emas 2045, bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan kesempatan dua kali. Pertama, pembegalan Reformasi yang menghasilkan Amandemen UUD 1945 yang kebablasan, hingga MPR tak berhak meminta pertanggungjawaban kinerja Presiden, ditambah dengan penyimpangan sila ke-4 Pancasila dalam pemilihan Presiden yang semestinya melalui Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ironi demokrasi liberal ala Barat: satu kepala satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya, dengan segala ekses negatifnya. Kedua, kesempatan melakukan perubahan secara fondamental untuk kembali ke UUD 1945 asli, dengan salah memilih Calon Presiden yang diduga kuat anti perubahan. Calon Presiden RI yang akan datang harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan bersih dari segala residu masa lalu. Ganjaran Pranowo perlu menyelesaikan tiga PR lebih dahulu sebelum melenggang ke Pilpres: Kasus E-KTP, Desa Wadas, dan Pabrik Semen Kendeng. (*)

Kegelapan Setelah Batutulis?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dari Kebangsaan  DUKUNGAN PDIP untuk Ganjar Pranowo sebagai Capres masih menarik dan menjadi bahan perbincangan. Batutulis adalah tempat Megawati mengambil keputusan-keputusan strategis seperti tahun 2014 saat pencalonan Jokowi, kesepakatan Mega dengan Prabowo dan kini pengumuman Ganjar Pranowo.  Kedatangan Jokowi ke Batutulis menghadiri pengumuman dinilai mendadak. Perbincangan publik bukan sekadar kehadiran Jokowi tetapi penggunaan pesawat kepresidenan dari Solo ke Istana Batutulis Bogor untuk kegiatan yang bukan acara kenegaraan. Begitu pula dengan ikutnya Ganjar Pranowo bersama Jokowi di pesawat kepresidenan saat pulang kembali dari Batutulis ke Solo.  Sorotan tertuju pada penggunaan fasilitas negara untuk keperluan di luar acara resmi kenegaraan. Dalam makna luas hal ini termasuk korupsi. Tapi mungkin Jokowi sudah tidak peduli lagi menjelang akhir masa jabatannya. Seperti biasa, ia tidak memiliki kepekaan untuk mampu  membedakan antara urusan privat dan publik, kenegaraan atau kerja partai. Sayangnya KPK juga tidak peka. Kurang Peka Korupsi.  Anies, Ganjar, dan Prabowo tetap menjadi kandidat yang terus menggelinding. Koalisi dapat bergeser-geser. Baru saja Ganjar diumumkan PPP langsung mendukung. Dengan mengenyampingkan pengaruh PPP dan PAN, maka Partai Golkar menempati posisi strategis dan menentukan. Pasca dukungan PPP yang menandai pecahnya KIB.  Airlangga untuk menjadi Cawapres Ganjar Pranowo sangat kecil kemungkinannya. Airlangga bergoyang di antara Cawapres Prabowo atau Anies Baswedan. Bila dengan Prabowo koalisi hanya dua partai bersama Gerindra. PKB dipastikan angkat kaki. Peluang besar dan koalisi kuat jika Airlangga menjadi Cawapres Anies Baswedan. Koalisi empat partai adalah koalisi terbesar. Peluang memenangkan pertarungan juga menjadi  sangat besar.  Istana Batutulis berdekatan dengan prasasti Batutulis. Batu bertuliskan cerita tentang kesuksesan Prabu Siliwangi dalam menyejahterakan rakyat Kerajaan Padjadjaran. Prasasti ini dibuat oleh Raja Prabu Wisesa untuk mengenang jasa dan keharuman ayahnya Prabu Siliwangi. Ada tapak sejarah di sana.  Istana Batutulis membuat sejarah. Sejarah buruk. Pendukungan pada Jokowi tahun 2014 adalah sejarah awal dari karut marut penyelenggaraan bernegara. Jokowi adalah figur kerusakan dalam maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme, pelanggaran HAM berat, rezim investasi penjual kedaulatan, serta menjadikan bangsa Indonesia kini dijajah oligarki.  Berbeda dengan Prabu Siliwangi yang membuat wangi dan menyejahterakan, Jokowi justru beraroma busuk dan menyengsarakan.  Istana Batutulis  tahun 2023 mencoba membuat sejarah untuk melanjutkan perusakan dengan mendukung figur yang potensial untuk itu. Ganjar Pranowo memiliki track record yang tidak bagus, nir prestasi, bau korupsi, rentan moralitas, menyakiti rakyat serta menyentuh ruang keagamaan. Pencitraan adalah modal sosial dan politiknya.  Bangsa Indonesia akan terus mengikuti langkah atau jejak pasca keputusan Batutulis. Apakah Batutulis akan menjadi prasasti bagi lanjutan sejarah kelam bangsa ini atau tertulis dalam batu bahwa fase itu hanya sampai 2024 ? Artinya tidak berlanjut. Batutulis menulis tentang perubahan politik bangsa.  Prabowo menang sekelumit harapan, Anies sukses memperbesar harapan. Jika Anies dan Prabowo menggabungkan kekuatan, maka harapan itu menjadi kenyataan. Batutulis hanya kenangan. Tetapi jika Ganjar menang maka yang semakin besar adalah perlawanan. Rakyat tidak mau dijajah dan tidak ingin bangsa ini tenggelam lebih dalam.  Rakyat Indonesia sadar untuk melepaskan diri dari penjajahan oligarki. Akan tergores tulisan di atas batu prasasti pekik perjuangan rakyat \"Merdeka !\".  Kaum penikmat dan penghianat harus segera diusir dari bumi Indonesia. Merdeka..!  Bandung, 27 April 2023

Prabowo Keluarlah dari Zona Nyaman

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  JIKA orang yakin bahwa ia dilahirkan untuk melaksanakan sesuatu yang tampaknya mustahil, maka hampir dapat dipastikan ia sanggup melaksanakan dan mengatasi seberat apapun masalah yang harus dihadapi  Jangan bimbang menghadapi segala penderitaan, karena makin dekat tercapainya cita-cita, makin banyak penderitaan yang kita alami.  Terbiasa menerima kekalahan bukanlah aib. Justru pada satu titik tertentu sosok manusia otentik lahir dari kemampuan antitesa yang dibangun dari konstruksi jatuh bangun, situasi keterbuangan, terjepit dan nyaris mati. Kemudian mampu mengakumulasi energi perlawanan yang memungkinkannya  reborn dengan kekuatan pendobrak yang berlipat Semoga ke tiga paragraf di atas  bisa melayang di udara maya dan ada kesempatan turun di hape dua tokoh kita Bung Prabowo dsn Bung Anies Baswedan.  Entah apa respons resonansinya, semoga itulah yang sedang tuan tuan cari dalam mimpi mimpinya  Saat ini moncong senapan kapitalis mengarah lurus ke arah Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, untuk di lumpuhkan, dibuang dan dilenyapkan. Muncul dan lahirnya Bung Ganjar Pranowo, apakah dia adalah Capres yang ideal , jelas tidak oleh masyakarat bahkan stigma  yang sudah menimpa tidak lebih hanya calon boneka kapitalis yang lebih buruk dari sebelumnya. Lantas untuk apa dibaiat jadi Capres, bisa jadi akan mengalami nasib sama akan dilumpuhkan, ketika ahirnya muncul calon tunggal dan di tolak KPU. Lahirlah pemimpin sungsang akan memperpanjang masa jabatannya. Itu mustahil akan terjadi. Tidak ada kata mustahil dalam bayang-bayang politik durjana yang hanya mengejar nafsu untuk berkuasa. Jebakan maut JW adalah kolaborasi dengan LBP atas remote oligarki memang kejam, indikasi kuat dibawah kendali Beijing Tuan Xi Jinping, jangan dilawan dengan sopan santun dan kompromi. Politik santun dan kompromi Prabowo sudah lama dalam tebakan pakar politik, tidak waspada akan kehilangan kekuatan \"bargaining position nya atau akan kehilangan daya tawarnya\"  Ketika itu akan ditelikung menjadi lamp duck. Keluar - keluarlah dari zona aman yang berbahaya. Berbeda dengan Anies Baswedan terus jalan dalan kawalan keyakinan dan istiqomahnya dan percaya \"sesungguhnya Allah SWT bersama kita\" , tanpa peduli cacian, hinaan, cemooh kebencian yang menimpanya. Kedua capres tersebut pasti menyadari bahwa menghadapi rezim kapitalis dan liberalis mengarah ke tirani \"sesungguhnya tidak boleh ada kompromi dan negosiasi\" apapun alasannya. Tiba saatnya  Prabowo harus bangkit kemandirian politiknya jangan terus masuk di zona aman bergabung dengan rezim yang membahayakan dirinya.  JW bukan ahli strategi dan pakar politik dan bukan ahli merancang masa depan apalagi bertipe seorang negarawan. Tidak lebih hanya menjalankan tugas dari kekuatan politik yang lebih besar dari luar dirinya  Prabowo Subianto dan Aneis Baswedan sesungguhnya lebih memiliki hubungan nurani dan psikologi yang lebih utuh dan murni dalam bingkai cita cita yang sama menyelamatkan Indonesia. Bersatulah persoalan teknis, harga diri dan gengsi politik bisa di kompromikan demi kepentingan negara yang lebih besar.  Sementara abaikan para penonton yang hanya menyanjung ketika sedang gembira dan mencaci-maki ketika benci, sebagai penggembira . Prabowo harus segera keluar dari zona aman, jangan ragu dan khawatir atas serangan dan gangguan mereka. Pastilah beliau lebih paham sebagai seorang jendral tentang psikologis perang dan cara mengatasinya. Anies Baswedan relatif stabil dengan strategi alamiah sebagaimana pertahanan politiknya. Dengan ketenangan akan lebih menguasai keadaan dan muntahan politik keributan saat ini bisa jadi akan menjadi buah segar kekuatan politiknya. Kita semua harus yakin dan siap bertindak bukan hanya menyandarkan taqdir, karena taqdir hanya Tuhan yang mengetahui dan menjauhi kejumudan berpikir karena jiwa penakut dan pengecut  Manusia otentik selalu bersedia berlapang dada terhadap kenyataan, pada saat yg sama  mampu melakukan transendensi sosial historis & menyusun jejak baru guna membangun fakta empiris baru ke depan dengan semangat turun berjuang di medan perang..*****

Petugas Partai

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dari Kebangsaan  MEGAWATI menyebut bahwa kader PDIP yang memiliki jabatan di pemerintahan adalah petugas Partai. Jokowi sebagai Presiden yang diusung dua periode disebut pula secara berulang sebagai petugas Partai. Saat Megawati mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP untuk Pilpres 2024 maka secara tegas Ganjar dinyatakan sebagai kader dan petugas Partai.  Ternyata sebutan khas PDIP ini terdapat dalam AD PDIP Bagian Keempat \"Tugas Partai\" Pasal 10 butir f yang berbunyi \"mempersiapkan kader Partai sebagai petugas Partai dalam jabatan politik dan jabatan publik\". Untuk penugasan menjalankan visi Partai sebagaimana Pasal 6 AD ayat (1) PDIP \"alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945\". Menurut KBBI \"petugas\" adalah orang yang bertugas melakukan sesuatu. \"tugas\" itu (1) yang wajib dikerjakan  (2) suruhan untuk melakukan sesuatu. Petugas Partai tentu menjadi orang yang wajib melakukan sesuatu atau menjalankan apa yang disuruh oleh Partai. Petugas Partai mutlak harus menjalankan visi dan misi Partai.  Seseorang yang menjadi petugas Partai saat menjadi pejabat politik atau pejabat publik tetap diamanatkan untuk menjalankan apa yang menjadi tugas Partai. Hal ini sebagai konsekuensi dari loyalitas kepada Partai dimanapun dan kapanpun. Meskipun ia telah menjadi pejabat publik, termasuk sebagai Presiden. Partai adalah utama. Tugas Partai mutlak harus dijalankan oleh seorang petugas Partai.  Dengan pola seperti ini petugas Partai yang menjadi Presiden rentan kehilangan  karakter kenegarawanannya. Tuntutan loyalitas kepada Partai menjadi utama.  Meskipun ia secara normatif harus mendahulukan kepentingan rakyat namun perintah dan misi Partai itu dominan bahkan harus didahulukan. Presiden menjadi tidak independen.  Status sebagai petugas Partai akan bertentangan dengan esensi demokrasi dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat yang berdaulat.  Rakyat yang semestinya mengontrol dan mengendalikan Presiden. Presiden adalah petugas Rakyat. Disinilah tepatnya ucapan John F Kennedy \"my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins\". Hanya dalam Sistem Partai Tunggal (One Party System) suara Partai adalah suara Rakyat. Karenanya jika seorang Presiden itu menjadi petugas Partai maka hal Ini akan menjadi karakter dari perwujudan dari Sistem Partai Tunggal yang sekaligus menjadi jalan atau arah menuju negara totaliter.  Negara yang rakyatnya berfikir sehat tentu tidak ingin memiliki Presiden yang kelak  setelah dipilih oleh rakyat lalu bekerja di Istana bukan sebagai petugas Rakyat tetapi petugas Partai.  Dalam kaitan dengan PDIP nampaknya perlu evaluasi serius terutama pada tugas Partai yang mau tidak mau harus diemban oleh petugas Partai sebagaimana amanat Pasal 10 butir g AD PDIP yang berbunyi : \"mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa\". Petugas Partai yang menjadi pejabat publik termasuk Presiden tentu harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Jika perjuangannya \"mempengaruhi\" dan \"mengontrol\" dengan Pancasila 1 Juni 1945, maka masuk kategori makar atau subversi kah hal ini  ?  Bahwa PDIP sekedar menjalankan \"politik identitas\" yang justru diharamkan di rezim ini sudahlah pasti dan sangat jelas.  Rezim Jokowi ini memang lucu, pandai berteriak  untuk melarang apa-apa yang dikerjakannya sendiri.  Bandung, 26 April 2023

Thinking The Unthinkable

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) PADA 21 April 2023 lalu, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan kader partainya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sebagai bakal capresnya. Ganjar adalah salah satu dari tiga aspiran capres dengan. elektabilitas tinggi. Karena itu, wajar bila Mega berpikir Ganjar akan menjadi magnet bagi parpol lain untuk bergabung demun PDI-P. Dalam konteks Indonesia di mana semua parpol bersikap pragmatis dan oportunistik, pemikiran Mega menemukan rasionalitas dan pembenarannya. Tapi bagaimana bila sekonyong-konyong parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Gerindra dan PKB) berubah idealis dan menemukan platform baru untuk mnjwb tantangan-tantangan bangsa pasca pemerintahan Jokowi?p Platform baru artinya parpol-parpol ini melepaskan diri dari rancang bangun kebijakan dan program pembangunan Jokowi. Pada saat bersamaan, mereka menemuka landasan berpikir baru yg visioner untuk mnjwb tantangan-tantangan yang akan ditinggalkan rezim Jokowi. Tentu saja hal ini tak terbayangkan karena kita mengenal para ketum parpol ini miskin ide, tak berintegritas, dan telah lapuk dimakan zaman. Dan karena bermasalah secara hukum (terlibat korupsi), sbagian dari mereka tidak  berbuat banyak kecuali tunduk pada kemauan penguasa -- bagai kerbau dicokok hidungnya -- untuk terhindar dari kemungkinan dipenjarakan. Dus, kalau rezim menekan mereka untuk bergabung dengan PDI-P di atas kertas mereka akan patuh. Apalagi KPK, Mahkamah Konstitusi, dan kepolisian berada dalam genggaman Jokowi. Sedangkan Mahkamah Agung dikontrol PDI-P. Mungkin hanya Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang bebas dari korupsi. Kalau sekarang mereka belum bergabung dngan PDI-P,  tampaknya karena mereka diminta menunggu hasil upaya rezim menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi pilpres. Saat ini KPK masih bekerja mencari-cari kesalahan Anies yang dapat dipersangkakan telibat korupsi. Di jalur lain, Peninjauan Kembali di MA yang diajukan KSP Moeldoko masih dalam proses. Baik upaya KPK maupun Moeldoko tetap punya peluang untuk berhasil. Dus, kalau upaya ini berhasil -- misalnya, Anies dituduh terlibat korupsi atau Moeldoko diakui Kemenkumham yg dikuasai PDI-P sebagai pemimpin sah Demokrat sesuai KLB Deli Serdang -- maka Anies akan tersingkir dari arena kontestasi pilpres. Saat itulah rezim mendorong terbentuknya koalisi baru. Sebagian parpol dari KIB,  KKIR,   parpol-parpol yang tergabung Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Nasdem, Demokrat, PKS)  akan bergabung dengan PDI-P dan sebagian lain bergabung dengan Gerindra. Dengan demikian, pilpres mendatang hanya akan terdiri dari dua pasangan bakal capres-cawapres, yaitu pasangan yang didukung koalisi pimpinan PDI-P dengan Ganjar sebagai bakal capres dan koalisi pimpinan Gerindra dengan bakal capres Prabowo Subianto. Hal ini sesuai dgn rencana awal rezim yang telah menjadi rahasia umum. Tetapi rezim akan mengatur konfigurasi koalisi sedemikian rupa sehingga koalisi yang mendukung Ganjar punya peluang menang lebih besar. Dengan kata lain, koalisi pendukung Prabowo hanya jadi penggembira demi tercapainya amanat konstitusi yangg menghrskan pilpres diikuti minimal dua pasang capres-cawapres. Tetapi andaikan upaya rezim menyingkirkan Anies gagal dan KIB dan KKIR bertahan di koalisi besar dengann mengusung Prabowo, maka Ganjar  hanya didukung PDI-P akan langsung tereliminasi di putaran pertama konstestasi elektoral. Dus, dalam konteks ini, sesungguhnya Mega mengambil resiko besar ketika mencapreskan Ganjar tanpa terlbh dahulu membangun koalisi dngan parpol lain. Nampaknya, ia sangat percaya diri bahwa pencapresan Ganjar akan menarik sbagian besar parpol bergabung dgn PDI-P. Kendati hal ini nyaris mustahil akan terjadi dalam politik tidak ada yang tdk mungkin. Politik adalah membuat hal tidak mungkin menjadi mungkin. Siapa tahu diam-diam Jokowi  mendorong koalisi besar (KIB +KKIR)  yang diinisiasinya meresmikan koalisi mereka dengan Prabowo sebagai bakal capres. Ini sebagai bentuk balas dendam Jokowi kepada PDI-P yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan  presiden dan merendahkan dirinya serta sikap Ganjar yang menolak timnas Israel sehingg ajang Piala Dunia U-20 gagal dilaksanakan di Indonesia. Atau, menurut hasil survei internal parpol-parpol di KIB dan KKIR menunjukkan sesungguhnya elektabilitas Ganjar tak setinggi sebagaimana dilaporkan lembaga-lembaga survey selama ini.  Elektabilitas Prabowo dan Anies jauh lebih tinggi daripda Ganjar. Menurut Rocky Gerung, sblm  Ganjar dicapreskan, para oligarki, lembaga survey, dan menteri utama rutin melakukan rapat di Istana, di sebuah ruang yg disebut war room, setiap pukul 4.20 pg. Katanya, ini merupakan kegiatan fabrikasi untuk menekan Mega agar segera mencapreskan Ganjar yg dilihat para oligarki sbg proksi mereka.  Atau ada tekanan dari luar agar menjauhi Ganjar yg pro-Cina, tak punya gagasan ttng Indonesia ke depan dlm konteks persaingan Cina-AS di kawasan,  pandangan ekonominya yg ekstraktif atau copy paste dari paradigma pembangunan Orde Baru, tak punya komitmen pada perlindungan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari komitmen pada perubahan iklim, nirprestasi yg terlihat dari kegagalannya meningkatkan taraf hidup rakyat Jateng (Jateng merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa), integritasnya yg meragukan terkait dengan tuduhan keterlibatannya dlm kasus mega korupsi e-KTP, dangdut jg keraguan atas komitmennya pada penegakan hukum serta sistem demokrasi sbgm terlihat dari kasus kekerasan atas penduduk Desa Wadas di mana Ganjar mengirim aparat untuk mengintimidasi warga desa itu yg menolak menjual tanahnya untuk dijadikan tambang batu andesit milik oligarki. Atau sekonyong-konyong Gerindra bergabung dgn KPP dgn kesediaan Prabowo untuk tdk menjadi apa2 atau menjdi bakal cawapres Anies setelah menyadari PKB akan bergabung dgn PDI-P. Kl ini trjdi, KIB akan goyah krn dua hal. Pertama, elite tiga parpol ini akan ditekan konstituen mereka untuk bergabung dgn KPP. Kedua, peluang Anies memenangkan pilpres kian membesar. Toh, mereka tahu bhw, sesuai hasil survey, mayoritas pemilih PAN dan PPP akan mencoblos untuk Anies. Sementara paling tdk setengah dari pemilih Golkar merupakan pendukung Anies. Pembicaraan koalisi msh dinamis. Ini menunjukkan parpol2 di KIB dan KKIR blm dpt diyakinkan bhw Ganjar merupakan penjamin kemenangan. Ini, setelah Ganjar dideklarasikan sbg bakal capres PDI-P, timbul pro-kontra di medsos. Kendati banyak yg mendukung, tak sedikit jg yg menentangnya sambil mengungkap sisi2 negatifnya. Lalu, publik mulai membanding-bandingkan Ganjar dgn Anies di mana terlihat Anies jauh lbh unggul di semua aspek. Sblm Ganjar dipastikan sbg kompetitor Anies, publik hanya berimiginasi ttng kualitas masing2 secara terpisah. Begitu mereka dihadap-hadapkan, terlihat Anies punya kepemimpinan konseptual yg operasional, berintegritas, punya rekam jejak yg kinclong, dan capaian2 gemilang ketika memimpin Jakarta yg tak sebanding dgn capaian2 Ganjar. Dus, Ganjar kini terlihat tdk sehebat dari yg dibayangkan sebelumnya. Tp PDI-P sdh berada di point of no returun, titik yg tdk memungkinkannya lagi untuk mundur. Dgn demikian, tindakan Mega memungut kembali Ganjar dari tmpt sampah -- sebelumnya, atas perintah Mega, pengurus teras PDI-P mendiskreditkan Ganjar sbg tokoh pencitraan tanpa prestasi -- sangat bersifat spekulatif, pragmatis, dan oportunistik menghadapi realitas politik yg tdk menguntungkannya.  Kini Mega bergantung pd belas kasih Jokowi dan Prabowo, yg apabila mereka berniat menyingkirkan Ganjar dari arena pilpres, yg jg berarti menyingkirkan PDI-P dari pemerintahan mndtg, hal itu mudah saja dilakukan dgn cara menghalangi KIB dan KKIR bergabung dgn PDI-P. Kl itu terjadi, PDI-P tak akan pernah lg mnjdi partai terbesar klpun ia msh eksis pasca pilpres krn dua hal. Pertama, terjadi perpecahan di internal partai di mana wibawa Mega sbg pemimpin partai akan runtuh. Kedua, kemungkinan trah Soekarno tak lg berperan pd pilpres 2029 ketika saat itu usia Mega sdh sgt uzur (82 thn). Kendati yg dipaparkan ini merupakan \"the unthinkable\", sejarah mengajarkan kpd kita bhw hal2 yg tadinya tdk terbayangkan akan terjadi, ternyata terjadi dgn mudah. Sblm tragedi G30S, tdk ada org Indonesia yg berpikir Soekarno, tokoh besar yg disegani, dpt dijatuhkan. Sblm krisis moneter 1997, jg tdk ada org Indonesia yg berpikir strong man Soeharto bisa dilengserkan. Dus, pencapresan Ganjar yg dianggap aset politik PDI-P untuk menghegemoni parpol lain, mungkin sj merupakan langkah yg keliru. Artinya, bisa jd PDI-P telah msk perangkap yg diciptakan sendiri akibat tindakan kedaruratan yg didorong pragmatisme,  oportunisme, dan tekanan oligarki, yg biasanya bekerja di luar keniscayaan sosial dan politik. Hrs diingat bhw pd akhirnya penentu akhir dari permainan yg diciptakan elite penguasa ini adalah rakyat, yg belakangan makin kritis dan militan dlm menyikapi aksi2 elite yg jauh dari aspirasi mereka. Kita tunggu saja apakah the unthinkable bisa diwujudkan. Tangsel, 25 April 2023

Ahlan Wa Sahlan Perubahan

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle. Change! Yes, We Can. Perubahan! Ya, kita bisa lakukan. Inilah fenomena keberhasilan yang saat ini kelompok oposisi dan kaum tertindas peroleh setelah bulan suci Ramadhan kita lewati. Sebuah kemenangan. Perubahan apakah itu? Perubahan dari keinginan Jokowi atau rezimnya untuk terus berkuasa dengan memperpanjang masa jabatan presiden maupun presiden 3 periode, menjadi terwujudnya keinginan rakyat untuk terlaksananya pesta demokrasi, pemilu 2024. Tuhan YME tentu membantu rakyat untuk mendapatkan pesta demokrasi tersebut, sebagiannya karena do\'a, namun, tentu saja sebagian besar lainnya karena keinginan rakyat untuk adanya pesta demokrasi itu sendiri.  Kita tahu, sejak Bahlil Lahadahlia menggelontorkan rencana perpanjangan masa jabatan Jokowi pada awal Januari 2022, berbagai gerakan besar dan sistematis untuk mendukung perpanjangan jabatan Jokowi, selama dua tahun, maupun ide Jokowi berkuasa 3 periode, berkembang pesat. Gerakan ini telah berhasil menggaet tokoh-tokoh nasional, baik dari kalangan eksekutif, partai politik, DPD-RI dan DPR-RI, MPR-RI, cendikiawan, tokoh agama, kalangan kampus, LSM, dan lainnya untuk memperkuat keberhasilan ide tersebut di atas. Namun, kekuatan \"civil society\", ulama, mahasiswa dan cendikiawan kritis terus berusaha melawan ide inkonstitusional itu. Perlahan tapi pasti, seperti yang dilakukan, misalnya, Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI) sepanjang tahun 2022, menentangnya terbuka, mengimbangi secara kontra ide, dan akhirnya rencana rezim Jokowi tersebut terhenti. Kekuatan rakyat yang terbangun untuk melawan ide inkonstitusional rezim Jokowi tentu saja harus dimaknai dua hal, pertama, kita, bangsa ini, tidak mempunyai keinginan untuk kembali kepada era anti demokrasi, baik masa Soekarno berkuasa, maupun Suharto. Kedua, kekuatan anti rezim Jokowi, sebagai kekuatan pengimbang dari arus rakyat, ternyata mempunyai gelombang besar dan dahsyat, yang mampu membendung keinginan penguasa untuk membelokkan sistem demokrasi yang sudah diterima bangsa ini sejak Reformasi Politik 1998. Pengumuman Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024 oleh PDIP, menyusul pengumuman Koalisi Perubahan terhadap Anies Baswedan, beberapa bulan sebelumnya, melengkapi kemenangan demokrasi atas anti-demokrasi di Indonesia. Jika Prabowo mempunyai keberanian sebagai pemimpin, maka tentu saja pencapresan tokoh ketiga segera muncul. Namun, tanpa capres ketiga maupun ke empat, misalnya, dengan adanya dua capres tersebut, maka pemilu 2024 akan tetap berlangsung. Mungkinkah pemilu 2024 berlangsung tanpa perubahan substansial? Atau dengan kata lain, pemilu hanya aspek prosedural belaka untuk adanya stempel demokrasi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan umum, yang banyak pihak khawatirkan. Selama ini kekuasaan rezim Jokowi ditenggarai ingin mengontrol jalannya pemilu untuk mengontrol kemenangan. Hal itu diindikasikan dengan upaya Jokowi yang terlalu sibuk melakukan politik dukung mendukung terhadap kepemimpinan ke depan, melakukan politik tanpa etika untuk menghalangi kandidat Anies Baswedan masuk dalam pertarungan pilpres, memilih panitia pemilu (KPU) yang bobrok, dan lain sebagainya. Berbeda dengan rezim SBY, di mana pada akhir masa jabatannya SBY tidak terlibat dalam dukung mendukung capres tertentu, termasuk besannya sendiri. SBY ingin mempertahankan demokrasi berjalan baik, dan itu terjadi, sehingga Jokowi menang dalam pilpres saat itu. Menurut hemat saya, berbagai indikasi yang seolah-olah memberi kesan Jokowi akan mampu mengontrol siapa yang akan dipilih rakyat ke depan hanyalah isapan jempol belaka. Kekuatan rakyat saat ini, yang menginginkan adanya kehidupan bernegara dan berbangsa, yang beradab, melebihi kekuatan apapun yang ada, baik kekuasan Jokowi. Sudah kita lihat, rencana-rencana menggagalkan pemilu telah terkalahkan secara telak oleh kekuatan rakyat. Ini adalah hal utama. Sedangkan pembicaraan kita selanjutnya, menjawab pertanyaan di atas, sekedar demokrasi palsu tersebut, adalah persoalan turunan alias derivatif saja. Mari kita dalami 3 hal berikut ini. Pertama, penggagalan Anies sebagai capres. Hal ini diasumsikan dengan pentersangkaan Anies oleh KPK dalam kasus Formula-E. Selain itu, pengambilan alihan Partai Demokrat dari kelompok AHY kepada Moeldoko dan atau Anas Urbaningrum. Sejak isu pentersangkaan Anies (googling tulisan saya \"Jika Anies Ditersangkakan\", 2/10/22 dan \" Firli Bahuri, Anies Baswedan dan Kegilaan Adam Wahab\", 20/10/22), kita menyaksikan KPK mengalami keguncangan-keguncangan besar. Keguncangan itu antara terkuaknya rencana pentersangkaan Anies di luar prosedur hukum secara wajar, seperti pengakuan beberapa petinggi KPK yang mundur terkait isu tersebut, bahwa mereka mengalami tekanan untuk mentersangkakan Anies, maupun adanya tekanan publik agar KPK kembali menjadi lembaga yang benar.  Mahfud MD, tokoh rezim Jokowi, misal, dalam sebuah video beredar mengatakan  Anies seharusnya menjadi tersangka jika tidak ada tekanan publik terhadap KPK, karena kata Mahfud, Anies bersalah. Bersalah karena  meminjamkan uang APBD pada event non rakyat, Formula E. Kalau sepakbola tidak masalah.  Pernyataan Mahfud, yang menyatakan Anies bersalah, sangatlah sumir dan tendensius, sebalik pendukung Anies justru melihat KPK menjadi instrumen politik penjegal Anies untuk capres. Kriminalisasi dalam era rezin Jokowi memang seringkali merupakan modus, dengan berbagai latar belakang motif kekuasaan. Kita tahu, kasus Anies tentang Formula E  jelas-jelas bukan sebuah pidana, melainkan kebijakan atau deskresi gubernur DKI, agar event internasional bisa menjadi bagian penting sebuah ibukota. Tidak ada fee bisnis yang diterima Anies. Bahkan, bila dibandingkan kasus pengadaan atau pengeluaran uang triliunan untuk event balapan MotoGP di Mandalika, NTB, uang negara/BUMN/BUMD yang digunakan di Formula E hanya secuil saja. Apalagi jika membandingkan dengan skala pencucian uang Rp. 349 Triliun di kementerian keuangan, seharusnya KPK malu memikirkan soal Formula E tersebut, dalam konteks mencari cari kesalahan Anies. Kita juga dapat membandingkan kasus E-KTP yang mengaitkan Ganjar Pranowo dengan kasus Anies. Ganjar Pranowo namanya terungkap dalam pengadilan kasus korupsi E-KTP, dia menerima uang $ 500 ribu. Setya Novanto dan Nazaruddin, dalam persidangan, memberi kesaksiannya. Jika KPK konsisten memprioritaskan penyelidikan pada Anies dibanding Ganjar Pranowo, tentu saja logikanya terlebih dahulu Ganjar, sebab keterlibatan Ganjar dalam korupsi E-KTP lebih terlihat (terang benderang) untuk ditingkat penyelidikannya. Sehingga, ke depan, kita melihat KPK tidak mungkin memiliki keberanian untuk menjadikan Anies tersangka. Seperti kata Mahfud, bahwa pendukung Anies akan marah. Ya, tentu saja pendukung Anies wajar marah. Bagaiman dengan pengambil alihan Partai Demokrat? Spekulasi beredar bahwa penangkapan-penangkapan hakim agung akan dikaitkan dengan \"bargain\" mengalahkan AHY di PK (Peninjauan Kembali). Atau spekulasi hakim MA dapat disuap oleh berbagai bandar yang berkepentingan menjatuhkan Anies. Pendapat ini juga terlalu sumir. Dalam politik, semuanya tergantung pada power yang bertarung. Apakah lebih kuat Moeldoko versus Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam kondisi akhir pemerintahan Jokowi, kita melihat bahwa Jokowi tidak tertarik melibatkan diri pada \"power game ini\". Kenapa? Karena \"power game\" mengambil \"partai orang lain\" akan menjadi preseden buruk bagi semua partai-partai yang ada. Kasus \"pemindahan kekuasaan\" Suharso Manoarfa kepada Margiono, sebagai ketua PPP, misalkan dapat terjadi karena Margiono adalah tokoh PPP juga. Sebaliknya, Moeldoko adalah pimpinan partai lain, yakni Hanura. Begitu pula Jika L. Binsar Panjaitan, misalnya, akan mengambil alih ketua umum Golkar dari Airlangga Hartarto, sekali lagi misalnya, itu karena Binsar Panjaitan juga pemimpin Golkar. Perebutan internal.  Tanpa keterlibatan Jokowi dalam perebutan ketua umum Partai Demokrat, seharusnya kekuatan SBY dapat menaklukkan Moeldoko. Artinya, lebih lanjut, Mahkamah Agung tidak bisa diintervensi. Tanpa intervensi, maka kasus seperti Partai Demokrat, pasti akan merujuk pada hasil KASASI, sebagaimana semua perkara pidana/perdata yang ditangani Mahkamah Agung. Kedua, global politik. Hal kedua yang kita perlu dalami adalah pengaruh global di Indonesia. Dalam situasi \"perang dingin\" China/Rusia melawan Amerika dan barat, khususnya setelah perang Ukraina-Rusia, dan perang dagang \"US-China\", para pemimpin bangsa kita menginginkan politik tidak memihak. Indonesia saat ini mempunyai ketergantungan dagang terhadap China, namun ketergantungan pembiayaan terhadap Amerika dan sekutunya.  Anies Baswedan, dalam wawancaranya di ABC News, Australia beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa dia akan mendekatkan diri pada negara-negara yang mempunyai kepentingan di kawasan ini, baik Australia, ASEAN, China dan Amerika. Kebijakan Jokowi juga, terakhir ini, menunjukkan arah kepada keseimbangan, dari dominan ke RRC sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat kebijakan Indonesia dalam hal Myanmar. Indonesia tidak mendukung rezim anti demokrasi di Myanmar, meskipun ditekan oleh China. Sikap Indonesia yang ingin terus dipertahankan, mempunyai kedekatan yang seimbang, membutuhkan komitmen seluruh pemimpin bangsa untuk menghadirkan pemilu yang jujur dan adil. Pada masa lalu, kita menuduh adanya pembrontakan di Indonesia karena keterlibatan global power, seperti kasus pembrontakan Komunis 1948 dan 1965, melibatkan China dan Rusia, maupun pembrontakan PRRI Permesta yang melibatkan Amerika.  Tuduhan ini tentu saja dapat berulang apabila kekuatan yang ingin berkuasa di Indonesia melakukan kejahatan politik, yakni curang untuk berkuasa. Hasrat untuk menjadi pengkhianat bangsa, dengan bersekutu pada kekuatan asing, untuk menjadi penguasa kolabutor, kelihatannya merupakan godaan kecil ke depan. Kenapa? Karena resiko perpecahan bangsa akan sangat besar jika itu terjadi.  Apabila kekuatan kekuatan politik berhasil membangun kompetisi secara demokratis, maka dapat dipastikan juga kekuatan politik global akan menahan diri untuk masuk dalam politik Indonesia 2024 ini. Ketiga, Anies versus Ganjar yang representatif. Kita lihat soal ketiga, yakni capres yang muncul. Dua capres yang muncul saat ini, Anies dan Ganjar merupakan representasi dari aspirasi besar masyarakat Indonesia. Anies mewakili aspirasi umat Islam, sedangkan Ganjar mewakili aspirasi kelompok non-Islam. Aspirasi disini bukan eksistensinya melainkan esensinya. Orang Islam dapat juga secara esensial memiliki aspirasi sekuler. Begitu juga sebaliknya. Sebab, dalam lapisan-lapisan aspirasi tersebut banyak varian yang membuat perbedaan dalam pilihan. Misalnya, ada orang Islam yang tidak ingin memilih Anies karena dianggap bukan Jawa. Sebaliknya pula, ada kaum sekuler, tidak akan memilih Ganjar, karena sikapnya permisif dalam pornografi, misal lainnya.  Berbeda dengan pertarungan Jokowi versus Prabowo di masa lalu, kelompok utama non Muslim, seperti kaum Soekarnois/Marhaenis, memilih Jokowi bukan karena kesamaan ideologis maupun aspirasi, namun merupakan pilihan tanpa alternatif. Begitu pula kelompok Islam memilih Prabowo, bukan karena Prabowo mewakili aspirasi Islam, namun karena keterpaksaan tiada pilihan. Saat ini, dua aspirasi besar yang hidup dalam bangsa kita akan terwakili oleh Anies dan Ganjar. Dengan demikian, karena Anies dan Ganjar representasi rakyat Indonesia, maka pemilu 2024, atau pilpres, bisa menjadi tolak ukur sempurnanya rezim 2024, dari sisi kepemimpinan yang mewakili aspirasi rakyat itu. Dengan demikian, dari pendalam tiga hal di atas, kita yakin bahwa kekuatan-kekuatan anti demokrasi pasti akan tersingkir nantinya. Begitu juga pelaksana dan pelaksanaan pemilu, khususnya pilpres, akan mengarah pada arah yang benar. Perubahan Pertarungan ke depan adalah pertarungan \"Perubahan\" versus \"Status Quo\". Sejauh ini Megawati, sebagai penentu utama nasib Ganjar, menyatakan kepuasan pada Jokowi sebagai presiden. Artinya, kerja Jokowi 2014-2024 akan tetap dilanjutkan dan disempurnakan oleh Ganjar. Kita melihat hal-hal besar yang dapat di klaim kelompok Status Quo, seperti fenomena maraknya pembangunan infrastruktur fisik dan program Bansos. Sebaliknya, kelompok pengusung isu perubahan yang diwakili Anies Baswedan mengetengahkan pembangunan untuk rakyat, yakni keadilan sosial.  Dalam berbagai kesempatan Anies mengetengahkan bahwa Sila Kelima Pancalisa, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan kata kunci kepemimpinan yang dia sudah jalan kan di Jakarta maupun nantinya jika menjadi presiden. Di Jakarta tema Anies adalah \"Maju Kotanya Bahagia Warganya\". Anies akan memusatkan perhatian pada \"growth through equity\", bukan \"growth with equity\", apalagi seperti pikiran Rostow yang terkenal, \"Growth then Equity\", atau teori \"merembes kebawah\".  Dalam konsep \"Growth through equity\", maka sektor produksi rakyat harus menjalani kerja utama. Rakyat tidak boleh bersandar pada bansos, ketika bersamaan orang-orang kaya menggarong semua sumber daya alam untuk mengekslarasi kekayaan mereka.  Infrastruktur tidak boleh berjalan liar, apalagi mubazir. Contoh infrastruktur mubazir adalah pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta, ketika kebutuhan pembiayaan lainnya di daerah lain, maupun sektor lain mengalami kebutuhan mendesak.  Kedua, Anies akan menghancurkan korupsi. Korupsi yang istilah Mahfud MD jaman ini ada di mana-mana, harus dihancurkan sebelum menjadi budaya sentral yang tidak bisa ditangani. Tanpa korupsi, maka kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan sedikitnya 30%. Untuk itu Anies sebaiknya menyiapkan 1000 peti mati untuk membunuh semua koruptor di masa nanti. Hal ini lebih sedikit tentunya jika dibandingkan kematian 500 orang di Siberia pada era Revolusi Bolshevik maupun kematian koruptor pada Revolusi Iran 1979. Tapi, dengan menyiapkan peti mati bagi koruptor, Anies akan bekerja untuk isu perubahan. Ketiga, Anies harus mengembalikan demokrasi dan kedaulatan bangsa. Perubahan artinya menggeser situasi saat ini yang anti \"balance of power\" menjadi sistem yang seimbang antara penguasa dan oposisi. Dalam dunia perburuhan misalnya, buruh harus mendapatkan dukungan negara untuk memiliki kekuatan berunding dengan pengusaha. Konsekuensinya serikat buruh harus dikuatkan untuk membawa aspirasi kaum buruh pada perundingan upah dan kesejahteraan lainnya. Arti lainnya adalah, perubahan harus dimaksudkan mengkorekai UU Omnibus Law Ciptaker yang diproduksi Jokowi. Dalam demokrasi, kekuatan penjaga kedua bangsa tidak boleh dikompromikan. Misalnya, dalam kasus Papua, separatisme harus dihancurkan. Dialog dengan pembrontakan tidak boleh ditolerir. Dialog hanya boleh dilakukan untuk urusan kemanusiaan, sedangkan separatisme harus disingkirkan. Konsekuensinya, Anies dan gerakan perubahan harus mendudukkan kembali peranan TNI pada porsi yang besar untuk menjaga kedaulatan. Jika perubahan dan \"status quo\" bertarung secara terhormat pada pilpres 2024, maka kita yakin rakyat akan menyongsong kemenangan, yakni perubahan (Change!). Ahlan wa sahlan (selamat datang) perubahan!. (*)

Gde Siriana: Pilpres Mirip Kontes Idol Televisi

Jakarta, FNN -  Masyarakat memiliki peran penting menyambut Pilpres 2024. Mulai dari partisipasi hingga pengamatan terhadap pergantian elit politik dapat dilakukan masyarakat untuk mencegah munculnya penyelewengan. Partisipasi masyarakat, antara lain ikut mengawasi dan mengawal berbagai tahapan pemilihan agar berjalan lancar sehingga menghasilkan para pemimpin yang bisa dipercaya atau amanah. Masyarakat punya hak demokrasi, memilih pemimpin sesuai keinginan masing-masing. Masyarakat tidak hanya berperan saat pemungutan suara di pilpres tetapi seyogyanya ikut mengawal dalam proses pesta demokrasi. Namun menurut Gde Siriana masyarakat hanya jadi menonton saja mirip Indonesia Idol. “Pilpres Indonesia semakin mirip dengan lomba idol di televisi. Rakyat hanya menonton dan memilih yang mereka suka. Yang dominan dan mengatur siapa yang menang adalah promotor yaitu partai politik sebagai pemilik panggung dan sponsor yaitu oligark yang jadi bandar Capres,” demikian disampaikan Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf kepada FNN (24/04/2023). Gde Siriana menegaskan, ada lembaga SurePay yang menentukan Capres unggulan agar kelihatan jadi menarik. Perasaan rakyat ditarik dan dipermainkan seperti roller coaster dalam pertunjukan sebuah drama lima tahunan. Rakyat tak punya peran menentukan kritera capres atau memajukan capres yang mereka suka. “Hak rakyat sebatas datang menonton dan memilih, serta bersorak sorai layaknya alay-alay yang mendukung favoritnya, sebagai konsekuensi rakyat telah memilih mereka yang menyebut dirinya wakil rakyat” pungkasnya. (*)

Trah Soekarno Menjadi Trah Porno

Oleh Sutoyo Abadi - Kajian Politik Merah Putih  KAJIAN politik Merah Putih, memunculkan topik tentang pertahanan Trah Sukarno dalam ranah eksistensi politik PDIP paska penunjukkan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024 oleh Megawati. Masih segar dalam ingatan kita begitu heroik dan patriotik Megawati akan mempertahankan eksistensi trah Sukarno di PDIP  Momentum perhelatan Hari Ulang Tahun (HUT) PDI Perjuangan ke-50 pada 10 Januari 2023 diwarnai dengan ajang pengenalan anak cucu Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri.  Sikap politik tersebut menjadi pertanda Megawati sedang menyiapkan generasi penerusnya yang akan melanjutkan tongkat estafet PDIP dan sukses dalam perpolitikan Nasional. Megawati dengan penuh percaya diri memberi panggung bagi putra dan putrinya dan mengenalkan cucunya yang masih belia untuk maju dalam politik. Strategi Megawati dalam menaruh anaknya dalam percaturan politik sudah sangat hati-hati. Dia menaruhnya secara perlahan dan tidak terburu-buru ke posisi elite.  Puan Maharani untuk mendapat jabatan ketua DPR, dia perlu menunggu dalam waktu lama. Berapa periode dia harus menunggu jabatan tersebut baru bisa diisi olehnya. Menjelang penentuan Capres 2024 cukup banyak politisi PDIP menyerang Ganjar Pranowo sekalipun sebagai anggota dan kader PDIP coba akan merusak trah Sukarno ingin maju sebagai capres 2024 dalam kontestasi Pilpres mendatang. Seperti biasa semua kader PDIP kompak mengatakan bahwa penentuan Capres dari PDIP ada Pilpres 2024 adalah hak prerogatif Ketua Umum Megawati. Megawati tidak serupa dengan dinasti politik, walaupun menyiapkan anak cucunya untuk meneruskan kepemimpinan politik di PDIP. Fakta keturunan Sukarno  harus bersaing dengan kader PDIP lainnya dari luar trah Sukarno. Sebelumnya PDIP sudah kecolongan keadaan bicara lain dalam proses politik dinasti  PDIP. Seharusnya yang maju menjadi presiden sejak Pilpres 2014, itu Megawati, setidaknya dari trah Sukarno bukan Jokowi,”  Lagi lagi terjadi ada gerakan  menyergap  ketua umum PDIP dan ahirnya Megawati kembali membentangkan karpet merah untuk Ganjar agar bisa maju jadi capres di Pemilu 2024. Sukses gerilya politik  dari luar trah Sukarno dalam serangan senyap sampailah pada kenyataan paska periode Jokowi sebagai Presiden - trah Sukarno akan kembalikan terpental. Anehnya Ibu Ibu Megawati sendiri yang secara politik mementahkan trah Sukarno dari panggung politik karena untuk Pilpres 2024 Justru menunjuk Ganjar Pranowo yang bukan trah Sukarno. Wajar friksi internal PDIP akan  terjadi , benteng menjaga trah Sukarno akan dirobohkan dari dalam PDIP sendiri. PDIP selama ini kuat karena sokongan Megawati, namun akan berbeda bila dirinya tiada. Tanpa dukungan dan kerja hati hati upaya mempertahankan Trah Sukarno akan runtuh dari dalam. Mengakhiri diskusi muncul kelakar dan candaan dalam diskusi kajian politik Merah Putih tanpa beban dan dosa nylonong ucapan bahwa  \"Trah Sukarno telah menjadi Trah Porno\".  Sindiran spontan setelah Megawati menunjuk Ganjar Pranowo yang bukan Trah Sukarno sebagai kandidat Capres 2024, yang suka lihat film porno. Skenario lanjutan akan mengancam PDIP tiba saatnya bukan mustahil kedepan Ketua Umum PDIP akan muncul bukan dari Trah Sukarno.*****

Setelah GP Dicapreskan PDIP dan Peluang PT0%

Oleh: Agusto Sulistio - The Activist Cyber. SETELAH PDIP tetapkan Ganjar Pranowo (GP) sebagai capres, maka kekuatannya nanti akan ada di cawapresnya.  Yang paling diharapkan PDIP adalah bergabungnya Prabowo Subianto (PS). Tapi apakah PS mau jadi cawapres? Itu pertanyaan besarnya. Jika kombinasi GP - PS terjadi, maka ini akan menjadi kekuatan besar. Partai besar d lluar PKS, Demokrat, Nasdem, seperti Golkar, PAN, PKB, dan Partai Kecil PPP, PSI, dll kemungkinan besar akan masuk koalisi ke PDIP - Gerindra.  Golkar dengan sejarah politiknya yang tak pernah memilih jalan oposisi tentu akan gabung ke PDIP - Gerindra. Dari semua itu dan jika koalisi PDIP - Gerindra terjadi, maka kemungkinan terbentuknya 3 poros capres akan tertutup. Kecuali Gerindra, Golkar, PAN, PKB tidak mendukung PDIP yang telah menjadikan GP sebagai capresnya. Koalisi PDIP Gerindra akan terbentuk, kembali kepada pendekatan dan skenario bagi-bagi kekuasaannya jika GP - Prabowo  memenangkan Pilpres 2024. Dan ini akan menyebabkan kepentingan rakyat akan terkikis oleh deal politik elit dengan bagi-bagi kekuasaan, seperti yang dilakukan di pilpres sebelumnya. Komposisi tersebut tidak menarik dan menguntungkan rakyat, sebab politik rezim Jokowi akan berlanjut lewat Ganjar Pranowo kelak jika terpilih presiden.  Untuk menghambat kepentingan politik Jokowi dan kroninya yakni dengan menolak Ganjar Pranowo dan rakyat tidak memilihnya pada Pilpres 2024. Kemudian Prabowo tidak mau menjadi cawpresnya GP. Namun ironisnya sikap politik Prabowo yang telah mau berkoalisi dengan Jokowi setelah pilpres 2019 perlu dijadikan sorotan, artinya apakah Prabowo mau kembali berkoalisi dengan Jokowi melalui PDIP dan GP atau tidak? Hal ini dikembalikan pada kader parpolnya sejauh mana melihat hal ini. Jika hal tersebut tak bisa terwujud, dan kemudian Prabowo mau menjadi cawapres GP, maka rakyat tak memiliki alternatif pilihan yang dicita-citakan pemimpin yang akan pro rakyat.  Lalu bagaimana dengan Anies Baswedan (AB)? ini pun akan sulit dapat mewujudkan cita-cita rakyat, walau AB agak lebih memungkinkan sikap politiknya ketimbang Ganjar Pranowo, namun pengaruh Partai Nasdem yang merupakan pengusung AB akan membayang bayangi sikap politik AB kelak menjadi presiden. Secara politik Nasdem belum bisa dipercaya akan pro kepada rakyat secara maksimal, apalagi publik mengetahui bagaimana histori Nasdem pasca gerakan islam 212 yang jelas pro kepada rezim Jokowi, tentu ini akan sulit Nasdem menangkan pilpres 2024. Karena skema pilpres 2024 demikian, siapapun presidennya yang terpilih kecil kemungkinan akan pro rakyat, maka alternatif yang dapat diharapkan adalah gerakan massa mewujudkan Presidential Threshold 20% menjadi PT 0%.  Hanya lewat PT 0% rakyat Indonesia akan memiliki alternatif Presiden yang akan dimunculkan oleh semua partai peserta pemilu. Dan lewat jalan PT 0% cita-cita rakyat yang akan memungkinkan terwujud kelak menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan konstitusi, bukan cita-citanya oligarki. (*)