Menikmati Rocky Gerung Senikmat Seseruput Kopi Pahit

Oleh: Ady Amar - Kolumnis

MEMASUKI ruang logika yang dibangun Rocky Gerung itu mengasyikkan. Mengajarkan banyak hal, yang meski filosofis cenderung pelik, tetap bisa ia munculkan narasi sederhana yang terkadang ringan, agar bisa dipahami nalar sederhana orang kebanyakan.

Menariknya lagi narasi sederhana yang disampaikan Rocky, itu masih tetap bisa dinikmati kelompok lain yang punya nalar lumayan lebih--mereka yang terbiasa berpikir dengan logika filosofis--tidak merasa apa yang disampaikan Rocky terkesan ringan-sederhana. Itu karena Rocky mampu membungkusnya dengan diksi dan narasi segar, yang serasa itu baru didengarnya.

Itulah kekuatan Rocky, tidak sekadar logika, tapi ia juga hadirkan dialektika dengan pilihan diksi dan narasi mampu dikemasnya menjadi sesuatu yang tidak sekadar asyik didengar, tapi juga mampu mematahkan argumen untuk diluruskan. Rocky seakan menghipnotis lawan bicaranya, atau audiens pendengarnya.

Karenanya, dialektika yang dipilih Rocky dalam berargumen itu membungkam argumen yang berkembang seolah sebuah kebenaran. Celotehan khas Rocky itu terkadang disampaikan serius bahkan teramat serius, tapi terkadang muncul dengan canda menghibur dengan sense of humour berkelas.

Rocky bagai sang pembela sekaligus penghibur bagi jiwa-jiwa tertekan tak berdaya, namun mampu menangkap dengan jernih esensi dari sesuatu yang dikirimnya. Menangkap alur diksi dan narasi halus, atau bahkan kasar sekalipun, itu sebagai energi baru.

Pemihakan Rocky pada barisan oposan, menjadi bidikan kekuasaan yang selama ini jadi sasaran dikritisinya. Dialektika yang dikembangkan Rocky, itu jelas sebagai antitesa pada kebijakan salah sasaran-salah urus-salah kelola. Maka, Rocky hadir meluruskan dengan diksi suka-suka ia sematkan dalam paparan dialektika panjangnya.

Kekuasaan tidak lagi melihat kritikan Rocky itu buah dari kebijakan salah, dan meresponsnya dengan bahasa kekuasaan, bahkan amuk massa relawan sebagai representasi kekuasaan. Bukannya argumen dibalas dengan argumen, tapi kata sumpah serapah yang jauh dari substansi permasalahan. Aneh jika dialektika Rocky mesti dibawa pada persoalan hukum, atau menyasar seolah itu melanggar etika kepatutan. Lalu, dibesar-besarkan ditarik seolah jadi diksi penghinaan, digiring lagi dalam persoalan politik.

Diksi "dungu" juga "bajingan" yang dilabelkan Rocky pada Presiden Joko Widodo (Jokowi), itu bukanlah penghinaan pada individu Jokowi. Itu dialektika Rocky sebagai respons pada kebijakan presiden yang dianggap ngacau, dan merugikan rakyat. Rocky tidak merasa punya persoalan dengan manusia bernama Jokowi, tapi pada kebijakan selaku presiden yang dilihatnya salah. Rocky konsen di sana, siapa pun presidennya.

Menarik-nariknya seolah presiden tidak boleh dikritisi, itu penyesatan logika. Presiden siapa pun namanya dan dari latar belakang apa pun boleh dikritisi kebijakannya, bahkan dengan sekerasnya. Rocky memakai haknya untuk sampai perlu menyebut dengan diksi tak biasa, itu konsekuensi dari kesalahan akut kebijakan yang dibuat rezim.

Diksi yang dipilih Rocky dalam paparannya ditarik jadi persoalan hukum, adalah bahasa kekuasaan, yang tak boleh terjadi di alam demokrasi. Kekuatan kekuasaan yang dipunya seolah mampu membungkam logika yang dibangun Rocky, itu mustahil mampu menghentikannya.

Cobalah melihat Rocky  tanpa bahasa kekuasaan, maka yang muncul diksi dan narasi sebagai pengingat akan kebijakan salah, dan mau mengoreksinya. Jika sudah demikian, yang muncul rasa nikmat yang di dapat. Senikmat seseruputan kopi pahit hangat, yang terhidang beserta camilan lain apa adanya.

Tidak perlu lagi muncul kesalapahaman ditimbulkan, yang itu tidak perlu terjadi. Rocky memang mengasyikkan bagi jiwa-jiwa sehat, yang melihat sesuatu pada esensi, bukan hal remeh temeh dari persoalan besar yang tak mampu diselami. Rocky itu aset yang sepantasnya dijaga-dirawat, ia suara oposan utama pengingat kekuasaan yang tak absolut.

Rocky akan terus memukau dalam setiap diskusi yang menyertakannya. Paparannya mengasyikkan semua yang mendengarnya, seperti memberi spektrum baru, yang sebenarnya itu sudah dikenalnya, tapi yang tak sampai dipikirkan. Maka, nikmati terus Rocky senikmat tetes akhir kopi di cangkir, yang kita seruput terkadang terikut sedikit ampasnya, itu menimbulkan sensasi kepuasan tersendiri.**

543

Related Post