Stop Demokrasi Reaktif, Gotong Royong Bangun Indonesia
Oleh Sutrisno Pangaribuan - Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Ketua Bidang Organisasi dan Hukum Pengurus Pusat GMKI 2008-2010.
BELUM lama berselang, sejumlah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (4/8/2023). HMI Jakarta mengecam sikap PDI Perjuangan (PDIP) yang melaporkan Rocky Gerung ke pihak kepolisian terkait dugaan menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi). "PDIP sangat arogan dan membahayakan demokrasi," kata koordinator aksi, Raja Rambe. Pada aksi tersebut, aktivis HMI membakar ban bekas dan bendera PDIP sebagai simbol kekecewaan.
Ekspresi Reaktif Elit Politik
Menanggapi aksi HMI Jakarta, elit PDIP mengecam pembakaran bendera partai. Elit PDIP pun berencana menempuh jalur hukum atas aksi tersebut. "Kejadian itu sangat tidak patut. Pembakaran bendera partai itu menimbulkan sangat mengganggu. Sehingga akan diproses melalui jalur hukum," kata Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, alumni GMNI, di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (5/8/2023).
Badan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat (BBHAR) PDIP akhirnya melaporkan aksi pembakaran bendera PDIP yang dilakukan oleh aktivis HMI Jakarta. Laporan tersebut terdaftar dengan Nomor LP/B/4597/VIII/2023/SPKT POLDA METRO JAYA, Senin (7/8/2023). Anggota BBHAR PDIP Triwiyono Susilo menyebutkan alasan pelaporan karena pembakaran bendera partai politik bisa menimbulkan kericuhan. “Alasan pelaporan kan jelas bendera partai itu yang sangat kita hormati. Ini kan bukan hanya terkhusus pada bendera PDIP tapi pada seluruh bendera parpol lain,” kata Trwiyono.
Demokrasi Sejatinya Merangkul, Bukan Memukul
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa aksi pembakaran bendera PDIP oleh aktivis HMI Jakarta tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Namun pelaporan aksi aktivis HMI Jakarta kepada Polda Metro Jaya pun tidak perlu. Tidak semua hal dalam dinamika bangsa ini harus berakhir dengan proses hukum.
Kedua, bahwa ekspresi HMI Jakarta adalah ekspresi biasa anak-anak muda yang sedang berlatih sebagai calon- calon pemimpin. Maka sebagai "sekolah latihan calon pemimpin" HMI sama dengan GMNI, GMKI, PMII, PMKRI wajar melakukan hal- hal yang dianggap "tidak benar" oleh para seniornya. Aktivis mahasiswa "boleh salah" agar kemudian setelah jadi alumni dan senior selalu "benar".
Ketiga, bahwa hakikat aktivis mahasiswa itu selalu "menjaga jarak" dengan kekuasaan dan selalu memihak pada kelompok yang dianggap "berbeda dengan kekuasaan". Maka pembelaan HMI Jakarta kepada Rocky Gerung sesuai dengan hakikat aktivis mahasiswa. Elit politik hanya asyik "bertengkar terkait kue kekuasaan" secara eksklusif. Sementara ruang pertengkaran ide, gagasan hanya diisi oleh Rocky Gerung. Akibatnya aktivis mahasiswa lebih dekat dengan Rocky Gerung.
Keempat, bahwa PDIP tempat berkumpul alumni atau senior aktivis mahasiswa yang terlibat menjatuhkan rezim orde baru termasuk ikut mendorong pembubaran Golkar saat itu. Maka reaksi elit PDIP atas aksi bakar bendera partai oleh aktivis HMI Jakarta berlebihan. PDIP dapat "belajar" dari Golkar yang tidak pernah melaporkan para aktivis mahasiswa, meski menuntut pembubaran Golkar, termasuk membakar bendera Golkar.
Kelima, bahwa aksi "sedikit- sedikit lapor" tidak mencerminkan kematangan dalam demokrasi. Partai sebagai wadah berhimpun "orang-orang kritis" semestinya tangguh dalam menghadapi kritik. PDIP sejatinya menjadikan aksi HMI Jakarta sebagai kritik. Ekspresi HMI Jakarta sebagai reaksi atas sikap "elit PDIP" yang membangun tembok dan jarak kepada aktivis mahasiswa. Aksi HMI Jakarta sebagai "ekspresi kemarahan" junior kepada para seniornya yang makin ekslusif.
Keenam, bahwa para alumni dan senior aktivis mahasiswa di PDIP pasti mampu menyelesaikan aksi aktivis mahasiswa, HMI Jakarta dengan merangkul, bukan memukul. Pelaporan pembakaran bendera partai ke Polda Metro Jaya sebagai reaksi memukul, bukan merangkul. Maka sebaiknya elit PDIP dengan kepala dingin duduk minum kopi bersama para aktivis mahasiswa berdiskusi tentang Indonesia yang dicita-citakan.
Ketujuh, bahwa ekspresi HMI Jakarta mewakili sikap aktivis mahasiswa secara umum terhadap "kekuasaan partai" yang sangat eksklusif. Peminggiran peran para alumni dan senior aktivis mahasiswa dalam Parpol di Indonesia, salah satunya PDIP, membuat aktivis mahasiswa marah.
Kedelapan, bahwa demokrasi liberal memaksa para aktivis mahasiswa hanya mampu berebut remah- remah kekuasaan menjadi komisaris, komisioner lembaga negara, bukan pemain utama. Parpol lebih mengutamakan elit dengan darah biru dengan isi tas. Maka ekpresi HMI Jakarta adalah kemarahan anak-anak muda yang mimpi dan harapannya dibajak oleh "anak- anak ingusan" yang tidak pernah berbicara tentang rakyat, tetapi menjadi pemimpin Parpol dan kekuasaan politik.
Kornas akan terus mendorong proses demokratisasi sebagai sistem yang dipilih oleh bangsa Indonesia. Sehingga Kornas akan terus menggelorakan semangat gotong royong dalam menjawab tantangan pergumulan masa depan Indonesia. (*)