OPINI
Melihat Isi Kepala Rezim, Lewat Kepanikan Luhut
Makna panik bisa disebabkan situasi psikis yang tak memungkinkan mampu mengontrol emosi dengan baik. Panik pun boleh pula jika diibaratkan suasana meracau saat tertidur lelap, tapi bicara sekenanya. Bicara yang sulit difahami. Luhut pun sepertinya ada di suasana itu, dan itu berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Oleh: Ady Amar - Kolumnis ANEH dan janggal memang, mengapa Anies Baswedan yang hampir dari seluruh rilis lembaga survei selalu bertengger di urutan nomor 3, itu mesti ditakuti. Jika hasil rilis itu memang sebenarnya, mestinya biarakan saja Anies ikut Pilpres 2024, kan mustahil bisa lanjut keputaran dua. Maka akan tamatlah Anies itu. Itu cara menghabisi Anies yang elegan. Menjadi aneh mengapa mesti diganjal segala, atau mengapa kehadiran Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) coba dinafikan, itu menggelikan. Lebih menggelikan lagi, jika itu muncul dari mulut pembesar sekelas Luhut Binsar Panjaitan. Itu saat Luhut tampil di Podcast Karni Ilyas--tayang di chanel Youtube Karni Ilyas Club-- dengan tema: Buka-bukaan Luhut Panjaitan. Memang benar jadi arena buka-bukaan sebenarnya. Karni Ilyas mampu membuka isi kepala Luhut dengan terang benderang. Bisa pula disebut mampu buka \"isi kepala\" rezim, jika rezim boleh diwakili suara seorang Luhut. Kekuasaan Luhut memang digdaya, ia boleh masuk ke wilayah yang bukan bagian dari wilayah kerjanya selaku Menko Maritim dan Investasi. Bahkan Luhut bisa bicara apa saja, bahkan bicara mendahului Presiden Jokowi sekalipun. Selanjutnya, Jokowi cukup mengamini apa yang dikatakan Luhut. Banyak contoh bisa diberikan. Tidak persis tahu apakah jawaban Luhut atas pertanyaan yang diajukan Karni Ilyas, itu keceplosan atau ia memang sengaja sampaikan sebuah misi terang-terangan, bahwa rezim ini tidak menghendaki tampilnya Capres di luar 2 nama yang dikenalnya. Artinya, selain 2 nama yang dikenalnya, itu tak dikehendaki rezim. Semua pastilah bisa menangkap, bahwa 2 nama yang dikenalnya, dan itu dikehendaki adalah Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Sedang satu nama lainnya jelas tak dikehendaki, dan itu Anies Baswedan. Terang-terangan penyebutan yang dikenalnya (Luhut) hanya 2 capres, itu seakan kode keras bahwa Anies Baswedan dengan segala upaya tak akan bisa (lolos) mengikuti kontestasi Pilpres. Tak mengenal Anies Baswedan, itu pertanda akal sehat sudah tertutup, tak mau melihat bahwa ada kekuatan riil yang muncul, dan itu Anies Baswedan. Karenanya, yang keluar dari mulutnya lebih sebagai sikap kepanikan rezim, yang itu diwakili Luhut. Setidaknya itu yang tampak dari dialog dengan Karni Ilyas. Tidak itu saja tapi sepertinya Luhut perlu buat berseri kepanikan, dan itu disampaikannya saat ditemui wartawan di Ritz Charlton Pasific Place, Kamis (15/6), setelah selesai ia menghadiri sebuah acara. Mari kita bedah tipis-tipis dialog \"Buka-bukaan Luhut Panjaitan\", tentu dicukupkan pada pertanyaan berkenaan capres pada Pilpres 2024. \"Jadi menurut Pak Luhut hanya 2 calon (capres)?\" tanya Karni Ilyas. \"Yang saya kenal (2 capres),\" jawab Luhut. \"Yang satu lagi gak kenal?\" kejar Karni Ilyas. Luhut tampak mengelak melanjutkan menjawab pertanyaan Karni Ilyas, dan lalu melanjutkan bicara yang tidak punya korelasi dengan apa yang ditanyakan. \"Kalau capres itu waras, maka akan melanjutkan program Jokowi,\" ujar Luhut sekenanya. Tanpa sadar bisa jadi Luhut meletakkan demokrasi itu pada apa yang dimaui dan dikerjakan rezim. Selainnya, bolehlah ia sebut sesuka-sukanya. Luhut perlu sampai memberi penekanan pada kata \"waras\", yang apabila ikut rezim ini. Aneh memang jika kata \"waras\" disematkan pada keberlanjutan rezim untuk mengikuti pembangunan yang sudah dicanangkan Jokowi. Jika pembangunan rezim selanjutnya memilih pola gagasan perubahan, itu tidaklah sampai dimaknai akan menghilangkan semua legacy yang ditinggalkan Jokowi, tentu tidak demikian. Luhut lupa bahwa jabatan presiden (Jokowi) itu selesai setelah Pilpres dan muncul presiden baru. Rezim baru itu akan menentukan corak pembangunan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya, mari kita lihat apa yang disampaikan Luhut dihadapan wartawan. Penting untuk melihat sejauh mana kepanikan Luhut itu, yang bisa ditafsir pula kepanikan rezim--sekali lagi, jika Luhut Binsar Panjaitan bisa disebut representasi rezim--atas munculnya koalisi yang mengusung perubahan, itu sebagai sebuah keniscayaan. Makna panik bisa disebabkan situasi psikis yang tak memungkinkan mampu mengontrol emosi dengan baik. Panik pun boleh pula jika diibaratkan suasana meracau saat tertidur lelap, tapi bicara sekenanya. Bicara yang sulit difahami. Luhut pun sepertinya ada di suasana itu, dan itu berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Luhut tidak tampil seperti biasanya, yang jika bicara penuh percaya diri, dengan narasi yang lumayan runtut dengan suara khas bariton menggelegar. Tapi kali ini tidak, yang muncul ia bicara dengan nada emosional, seolah negara dalam kegentingan yang sangat. Bicaranya gak konek. Menjadi tak tampak sedikit pun Luhut-luhutnya. Tampil panik-kalut, yang itu tak mampu disembunyikan. Karenanya, muncul narasi tak berkesesuaian dan memaksa orang lain untuk memaklumi, bahwa kita sedang berhadapan dengan seorang Luhut yang tengah panik dengan sengkarut pikiran. Bagaimana mungkin ia mengatakan, \"Jokowi tidak bisa disetop, dan jangan ada politik identitas\". Presiden Jokowi tidak perlu disetop, dia akan berhenti dengan sendirinya, jika masa jabatannya berakhir. Apa mau terus menjabat dan cawe-cawe meski jabatan itu telah berakhir. Tidak bisa juga kan. Sedang narasi \"jangan ada politik identitas\", itu seperti Luhut turun kasta layaknya buzzer yang kerap menghantam Anies dengan politik identitas. Luhut benar-benar panik tak mampu mengontrol emosinya. Di hadapan wartawan Luhut memulai dengan mengatakan, bahwa saat ini pemerintah tengah memerlukan situasi politik kondusif, agar tidak membuat program-program Presiden Jokowi terhambat di akhir masa jabatannya. Lalu, Luhut lompat menyoroti aplikasi media sosial TikTok, yang disebutnya punya dampak yang cukup besar bagi generasi muda, yang itu tidak boleh digunakan untuk berpolitik, terutama politik identitas. Memangnya siapa yang mau menghambat kerja Jokowi, itu sekadar narasi tak berdasar yang asbun tak punya makna. Sesuatu yang tak ada, itu mustahil mampu dibuktikan. Sedang media sosial, kali ini TikTok disebutnya. Sepertinya itu pun jadi kepanikan tersendiri. Sehingga ia perlu menegaskan, bahwa media sosial (TikTok) tidak boleh jadi alat politik. Seolah ada kekhawatiran, media sosial jadi alat untuk mengkritisi kebijakan rezim. Seolah itu terlarang, dan Luhut lupa bahwa rakyat punya kuasa dan berhak bicara politik. Terpenting tidak ada sebaran berita bohong (hoaks) yang diucapkan, apalagi fitnah. Karenanya, bisa jadi panik menjadikan seorang Luhut lupa pada hal sederhana yang telah disepakati, bahwa di negara ini kebebasan berbicara dan berpendapat lewat lisan dan tulisan dijamin konstitusi. Tidak ada yang boleh melarang, selama yang diucapkan itu sesuatu kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan kebenaran bukan jadi monopoli penguasa.**
Jangan Ragu Tangkap Panji Gumilang
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SIKAP pimpinan pondok pesantren Al Zaytun Indramayu semakin menunjukan dirinya tidak sehat. Arogansi tinggi. Mungkin merasa ada kekuatan yang melindunginya. Atau sekedar menggertak. Apapun itu, Panji Gumilang tidak boleh dibiarkan. Perilakunya menuai kontroversi dengan ajaran keagamaan yang dinilai menyimpang. Menafsirkan aturan agama seenaknya. Meski telah dikritik banyak pihak termasuk MUI dan PWNU Jawa Barat serta didemo oleh warga Indramayu, tetapi tetap saja ia merasa tidak bersalah bahkan terkesan menantang. Panji lupa sebenarnya kondisi sudah berubah tidak lagi seperti awal pesantren tersebut berdiri. Sangat terlindungi dan aman mengecoh santri, orang tua maupun warga sekitar. Kini kesesatan ajarannya sudah tercium menyengat. Aspek teologis ajaran Panji dinilai bid\'ah dan menyimpang. Perempuan shalat di baris depan bercampur dengan laki-laki, shaf sengaja renggang, muadzin menghadap jamaah, syahadat ditambah kesaksian Negara Islam, menyanyikan lagu Yahudi, berniat mendirikan pesantren Kristen, dosa zina dapat ditebus uang, Qur\'an adalah ucapan Nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Aspek hukum, penyimpangan teologis yang telah meresahkan umat Islam di atas dapat dikategorikan melanggar hukum. perbuatan Panji Gumilang memenuhi unsur delik Pasal 156a KUHP. Dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 5 (lima) tahun. Belum bila terbukti adanya perbuatan kejahatan seksual, ia dapat diduga melakukan perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual atau zina (overspel). Aspek politik, Panji Gumilang dan Pondok Pesantrennya telah menciptakan ketidakstabilan politik. Masyarakat gelisah atas sikap Panji. Alih-alih bijak menanggapi kritikan ia justru menantang dengan arogan. Dibalas dengan pengerahan masa sambil menyemangati masa dengan nyanyian Yahudi \"Havenu Shalom Aleichim\". Panji merasa mendapat perlindungan politik. Jangan ragu tangkap Panji Gumilang. Ia telah menista agama dengan menyebut Qur\'an bukan firman Allah, itu sama saja dengan membakar Al Qur\'an. Ia telah mencampur Islam dengan agama Yahudi. Muslim dihancurkan keimanannya. Jangan buka peluang Al Zaytun menjadi agen Israel. Penyelesaian masalah Al Zaytun sangat mudah tidak perlu bertele-tele. Setelah pertemuan MUI Jabar, Polda Jabar, Pangdam Siliwangi dan Kejaksaan Tinggi Bandung, maka segera operasi penangkapan Sang Imam Negara Islam KW 9 Panji Gumilang. Lanjutkan dengan proses hukum untuk membongkar motif dari berbagai kegiatan termasuk penggalangan dana, penyesatan dan kesehatan jiwa sang Imam. Hanya dua pilihan untuk Al Zaytun Indramayu yaitu tutup dan bubarkan Pondok Pesantren Al Zaytun atau jika masih ingin menyelamatkan Al Zaytun, maka segera tangkap dan adili Panji Gumilang. Ambil alih pengelolaan pendidikan Pondok Pesantren Al Zaytun oleh Pemerintah atau Ormas-ormas dan Lembaga Pendidikan umat Islam. Negara tidak boleh kalah oleh oknum yang melakukan kejahatan dengan berlindung pada aspek keagamaan. Panji Gumilang tidak boleh dibiarkan berkeliaran untuk terus menyesatkan. Sudah terlalu lama ia diistimewakan. Bandung, 17 Juni 2023
Anies, Cinta Mati Surya Paloh
... Anies itu ibarat cinta mati Surya Paloh. Cinta mati menghadirkan perubahan negeri ke arah lebih baik. Oleh: Ady Amar - Kolumnis. BETAPA kokohnya seorang Surya Paloh, mental pun bak baja. Tak kecut dan panik dirundung perlakuan tak sepatutnya, dan itu karena pilihan sikap politiknya yang berbeda dengan rezim Jokowi. Karenanya, ia jadi sasaran untuk diinjak keras padahal ia masih dalam satu koalisi dengan rezim Jokowi. Tidak ada yang mampu menjelaskan mengapa Surya Paloh menerima perlakuan tidak sebagaimana mestinya, perlakuan tak patut pada kawan yang punya andil besar menjadikan Jokowi seperti sekarang ini. Perlakuan tidak dicukupkan di situ, tapi juga kader Partai NasDem, yang menjabat menteri dicokok ditersangkakan dalam dugaan korupsi. Sungguh menakjubkan sikap kokoh yang diperagakan Surya Paloh itu. Meski risiko yang dihadapi sungguh berat. Langkah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres NasDem, yang lalu diikuti PKS dan Demokrat--3 partai tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Tak ada yang mampu menjelaskan, kenapa Anies Baswedan tak dikehendaki rezim ini. Tidak jelas pula oleh sebab apa, yang lalu langkahnya dengan sangat keras coba dihentikan. Tapi spekulasi muncul yang itu pun sulit dibuktikan saat-saat ini, bahwa Anies tak disukai oligarki. Dan, itu berdampak menghantam keras kawan seiring--Surya Paloh dan NasDem--yang dari awal bagian utama menjadikan dan membersamai Jokowi sebagai presiden, bahkan hingga 2 periode. Sulit bisa dijelaskan dengan nalar sehat. Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih jalan sendiri di Pilpres 2024, meski tetap membersamai Jokowi dalam koalisi sampai masa jabatan Presiden Jokowi berakhir. Artinya, NasDem memegang komitmen bersama Jokowi sampai akhir jabatannya. Sedang pasca Jokowi, NasDem memilih Anies Baswedan, pilihan yang tidak sama dengan yang diinginkan Jokowi, yang memilih figur lainnya. Kebersamaan NasDem tidak mesti sesuai dengan keinginan Jokowi perihal siapa penerusnya. Lagian apa kepentingan dan urusan Jokowi memaksakan kehendak agar pilihan NasDem sama dengan pilihannya. Sepertinya memang baru Presiden Jokowi, tidak pernah terjadi pada presiden-presiden sebelumnya, yang akan mengakhiri jabatannya sibuk mencari figur penggantinya dengan cara mengganjal dan menjegal figur yang tak dikehendakinya, dan itu Anies Baswedan. Cawe-cawe ala Jokowi dalam menentukan figur yang dikehendaki dan boleh berkontestasi di Pilpres 2024, yang itu dengan memukul siapa pun yang coba-coba bersikukuh mencapreskan Anies Baswedan, itu bentuk pengerdilan demokrasi. Karenanya, NasDem dijadikan bulan-bulanan dengan 2 menteri--Menkominfo Johnny G. Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo--dari 3 menteri yang bergabung dalam kabinet Jokowi-Ma\'ruf Amin ditersangkakan korupsi. Jika memang benar apa yang ditersangkakan itu, maka keharusan bagi yang bersangkutan mempertanggungjawabkan. Tapi pada kasus ini aroma politiknya jauh lebih terasa ketimbang hukum yang ingin ditegakkan. Mengganggu Surya Paloh personal, dan itu bisnisnya, dan mencomoti kader NasDem dengan berbagai kemungkinan yang bisa ditersangkakan oleh motif yang mudah dicari, sepertinya itu akan terus dilakukan. Hukum menjadi tajam pada yang dianggap lawan, tapi tumpul pada kawan, itu bukan isapan jempol. Kawan yang bertumpuk kasus tak diusik sedikit pun, itu agar jadi penurut dengan kemauan rezim, mudah diseret ke sana kemari. Karenanya, partai tertentu terpaksa kompromi dengan kekuasaan, jika tidak ingin perbuatan koruptif para ketua dan elite partainya diseret ke pengadilan. Partai menjadi tidak berdaya dalam dekapan rezim. Jadi sandera politik. Partai yang tersandera dosa politik tidak akan berani mengkritisi kebijakan salah rezim. Karenanya, sulit diharapkan bisa bekerja dan membela kepentingan rakyat. Tapi sikap kokoh dipertunjukkan Surya Paloh yang tak gentar meski bisnisnya dihancurkan sekalipun, dan kader partainya diprotoli dibuat tidak nyaman. Konsistensi sikap seorang Surya Paloh bukannya mengendur, tapi justru makin kokoh bak karang yang tak goyah meski digempur ombak besar. Sadar dengan pilihannya. Maka, narasi yang keluar dari mulutnya mencengangkan. Sulit terbayangkan narasi itu bisa muncul dari seorang pebisnis papan atas, dan sekaligus politisi yang biasanya berwatak pragmatis. Abang ini jangankan masuk penjara, dibunuh pun tidak akan berubah dari mendukung Anies Baswedan. Itulah sepenggal pernyataan heroik Surya Paloh di hadapan elite partainya. Dan, itu sebagai penegasan akan sikapnya yang tak mungkin berubah untuk terus mendukung Anies Baswedan. Anies itu ibarat cinta mati Surya Paloh. Cinta mati menghadirkan perubahan negeri ke arah lebih baik. Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih Anies Baswedan sebagai capres, tentu sudah dihitung matang dan cermat, bahkan risiko yang bakal dihadapi. Maka, gempuran yang ia dapatkan saat ini tak akan menyurutkan langkah menghadirkan Anies Baswedan, anak muda yang sudah dikenalnya jauh hari sebagai pribadi yang punya integritas, intelektualitas, dan elektabilitas tinggi.**
101 Persen Nepotisme!
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN Jokowi bukan saja bersemangat mempertahankan kekuasaan baik dengan usaha memperpanjang maupun mencari boneka pelanjut kekuasaan, akan tetapi juga mendorong anggota keluarganya untuk menjadi pejabat publik. Tentu dengan bahasa berkelit bahwa itu urusan anak-anaknya yang sudah dewasa. Tanya saja kepadanya soal jabatan-jabatan tersebut. Sewaktu dahulu Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon Walikota Surakarta sorotan mata terarah pada Jokowi yang mulai menjalankan perilaku menyimpang nepotisme. Seperti kebiasaan ia mengeles menyatakan tergantung rakyat memilih atau tidak. Tetapi dengan target suara 80 % kemenangan maka sudah diduga \"jaringan\" dan pengaruh sang ayah digunakan. Gibran menang tanpa perlawanan yang berarti. Awalnya Gibran menyatakan tidak berminat terjun ke bidang politik. \"Nggak, nggak tertarik\" saat ditanya wartawan pada peresmian outlet Sang Pisang dan Markobar di Cikini. Berulang pertanyaan dengan jawaban yang sama. Ia konsisten untuk tetap berada di jalur bisnis. Namun kini Gibran menjadi Walikota di tempat kota kelahiran ayah dan dirinya. Menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution berpasangan dengan Aulia Rahman menjadi Walikota Medan. Istri dari Kahiyang Ayu ini sukses dalam perebutan suara melawan pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi. Program dorong \"naik\" keluarga juga melalui perkawinan adik Jokowi Idayati dengan Ketua MK Anwar Usman. Fenomena terbaru adalah putera bungsu Jokowi yaitu Kaesang Pangarep yang siap maju dalam Pilkada Kota Depok. Sebelumnya seperti kakaknya Gibran ia selalu menyatakan tidak mau menjadi pejabat. Ingin menggeluti dunia bisnis. Dalam video kanal YouTube Kaesang Pangarep by GK hebat 11 Juni 2023, Kaesang menyatakan: \"Saya Kaesang Pangarep, saya sudah mendapat izin dan restu dari keluarga saya insya Allah dengan ini saya siap untuk hadir menjadi Depok pertama\". Meski belum sukses, namun dengan \"izin dan restu keluarga\" maka mudah dibaca publik bahwa Jokowi lagi-lagi akan menggunakan pengaruhnya sebagai Presiden dalam menyukseskan niat puteranya untuk menjadi Walikota Depok. Apa yang dapat dikatakan untuk hal ini selain nepotisme? Kini penyakit buruk kekuasaan telah melanda Jokowi, bukan saja tidak mau turun dari jabatan tetapi ingin terus \"memperpanjang\" kekuasannya. Ditambah dengan mendorong keluarga untuk mendapatkan jabatan politik. Nepotisme yang nyata. 101 persen nepotisme. Contoh buruk Jokowi diikuti oleh banyak pejabat lain dari rezimnya. Anak, istri dan saudara menjadi pejabat-pejabat publik di negeri ini termasuk anggota Dewan. Jokowi telah sukses membangun rezim nepotisme, negara keluarga--the family state. Abai pada Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan ini belum dicabut karenanya masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy). Dari bukti nyata 101 persen nepotisme, maka aspek kolusi dan korupsi menjadi agenda untuk diusut ke depan. Melihat banyaknya Menteri Jokowi yang terlibat korupsi berbasis kolusi, maka mungkinkah Presiden itu 101 persen bersih? Inilah PR bangsa yang harus mulai dikerjakan dan dituntaskan. Tuntas hingga 101 persen. (*)
Melawan atau Jadi Jongos
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih \"Gambaran Badai: langit diam dan tenang, lalu terjadilah jeda yang menyejukkan hati. Lalu entah dari mana petir menyambar, angin bertiup kencang dan tiba tiba langit meledak. Badai yang tiba-tiba datang menyambar dengan datangnya tipuan angin merobohkan semuanya\" Jadi benar kata Napoleon (1769-1821): \"Kita harus lambat dalam merencanakan namun cepat dalam melaksanakan.\" Andaikata kita sepakat dengan kalimat itu akan menjadi kacau \"cepat dan membahana seruan cuap cuap menumpahkan ancaman, kandas dan sepi dalam tindakan.\" Itu tidak boleh terjadi. Slogan Yulius Caesar (100-44 SM) bisa jadi masih aktual \"Veni, Vidi, Vici\" (saya datang, saya lihat, saya menang). Artinya sekali menyergap harus menang. Strategi senyap dan mematikan untuk meraih kemenangan, semua penghalang di terjang dan di hancurkan, apakah cara kerja strategi ini justru milik Taipan Oligarki. Sekali Yusuf Wanandi muncul di layar kaca hanya tempo 4 (empat) Jokowi langsung menyatakan diri akan cawe-cawe. Mereka memiliki strategi senyap menyergap dan mematikan sangat terlihat pada action pada bonekanya, semua aturan konstitusi, apalagi sekedar norma dan etika di babad habis, untuk meraih kemenangan dengan segala cara. Harus ada kesadaran bersama para pejuang perlawanan, membalikan keadaan dengan serangan kejutan , ucapan Xenofon (430-355 SM) \"Semakin sesuatu hal sulit diramalkan, semakin besar ketakutan yang diakibatkan. Hal ini paling tampak dalam perang, dimana setiap serangan kejutan menciptakan teror bahkan bagi mereka jauh lebih kuat sekalipun\" Perlawanan yang tiba-tiba pasti strategi senyap, melakukan perlawanan dengan kecepatan tinggi, sangat efektif menciptakan kebingungan dan kepanikan. Sebaliknya terlalu banyak ancaman tanpa perlawanan riil, hanya akan menjadi imun, dianggap sampah dan disepelekan. Ketika para Taipan Oligarki sudah menginjak tanpa mengenal ampun, hanya ada satu cara \"harus ada perlawanan tanpa ampun.\" Yang terjadi sementara orang tetap membela diri, bermacam macam dalih dan alasan tidak mau bergerak, lebih nyaman hanya cuap cuap di tempat. Virus mental pengecut, pemain watak harus di cerahkan dan di ingatkan, dalam keadaan memaksa harus di paksa masuk dengan gerakan mendadak bergerak melakukan perlawanan. Kalau tetap bandel harus di eliminasi karena hanya akan menjadi sampah dan beban sebuah pergerakan. \"Dalam tinju yang bisa menjatuhkan, bukan tinju yang extra keras, melainkan tinju yang tidak bisa dilihat\". Keberhasilan sebuah gerakan perlawanan tergantung tiga hal : kelompok yang gesit (seringkali lebih kecil tetapi militan), koordinasi unggulan dan kemampuan mengirim perintah dengan cepat dalam rantai komandonya. Dalam kondisi stagnan perlawanan saat ini dibutuhkan pemimpin berani, sebagai magnit untuk menggabungkan kekuatan yang masing terpecah, termangu mangu dan menunggu. ini saatnya melakukan perlawanan. \"Stop jadi jongos ekonomi dan politik, It\'s now or never, Tomorrow will be to late\" (sekarang atau tidak pernah - besok atau semua terlambat), \"rotten fish from its head\" (ikan busuk dari kepalanya)\" *****
Kejar Daku Kau Kutangkap antara AHY atau Puan
Oleh: Laksma TNI Purn. Ir. Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik “Ajakan kencan Puan pada AHY benar benar memabukkan”, tanpa berpikir panjang lagi AHY menerima undangan kencan itu. Betapa tidak, partainya berharap pada pemilu 2024 AHY dapat menjadi calon wakil presiden. Seakan tahu isi hati AHY, Puan mengabarkan bahwa terbuka peluang untuk AHY jadi calon wakil presiden dari PDIP mendampingi Puan atau Ganjar. Apakah ini godaan atau ujian seperti terjangan Moeldoko atas posisi AYH saat ini? Atau inilah cara AHY melepaskan diri dari terjangan Moedoko seteru abadinya selama ini? Siapa yang berani pada PDIP pemenang pemilu tahun 2019 dan majikan dari Jokowi dan juga Ganjar sang calon Presiden pada pemilu tahun 2024? Moedoko tentu akan takluk pula. Kini mereka sedang mengatur rencana, mencari tanggal dan bulan baiknya, mereka memakai baju apa, seperti apa pelaminanya, menggunakan adat apa dan lain sebagainya. Rencana akan bersandingnya Puan dan AHY benar-benar membuat cemas pesaing mereka, mengapa AHY dipilih Puan atau mengapa Puan dipilih AHY. Rencana Puan dan AHY ini benar benar akan membuat kocar-kacir para kontestan lainnya pada Pemilu tahun 2024 ini. Tidak kalah kocar- kacir pula presiden yang akan bersikap tidak netral dan akan cawe-cawe, siapa pula sekarang yang akan diendorsenya? Atau jangan-jangan rencana bersandingnya Puan dan AHY adalah hasil cawe-cawe sang Presiden? Para capres sintesa Jokowi berharap cemas mengapa AHY yang terpilih? Begitu pula dengan capres antitesa Jokowi yaitu Anies Rasyid Baswedan, mereka telah berdarah darah membentuk koalisi dan bersusah payah menjaganya agar mencapai syarat ambang batas tentu akan kecewa berat. Tetapi mengapa partai Nasdem dan PKS sampai saat ini tenang tenang saja? Sudah putus asakah mereka melawan segala jegalan yang menghadang mereka? Seharusnya Nasdem dan PKS menyantroni Demokrat atau ayahandanya AHY untuk meminta pertanggung jawaban atas sikap anaknya itu. Bahkan kini Puan dan AHY sedang merencanakan kencan pertama mereka. Semua menunggu, kapan rekonsiliasi PDIP dengan Partai Demokrat ini terjadi, tetapi apakah semua itu tergantung pada rencana Puan dan AHY saja? Hampir semua orang tahu ayahanda AHY dan ibunda Puan sudah lebih dari 10 tahun tidak saling bicara. Oleh karena itu apa kira-kira yang dipesankan oleh ayahanda SBY kepada AHY dan apa pula pesan ibunda kepada Puan? Bendera putihkah? Atau bendera palang merah? Bila pesan ibunda Mega kepada Puan untuk menjadikan AHY petugas partai mungkinkah itu terjadi? Atau pesan ayahanda kepada AHY tidak banyak, silakan menjadikan AHY sebagai calon presiden pada pilpres tahun 2024 dari PDIP dengan catatan calon presidennya Anies Rasyid Baswedan. Itu saja, mungkin lhoo.. Walah? Kok jadi gini jadinya. Wisss, wisss ambayarr. Cuma analisis kok. Lucu? Enggak! Kamis, 15 Juni 2023
DHD 45 Jawa Barat Yakin Pancasila Lahir bukan 1 Juni 1945
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Dalam acara Silaturahmi Halal Bihalal 1444 H Ketua Umum DHD Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Jawa Barat Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat menyatakan bahwa DHD BPK 45 meyakini bahwa Pancasila itu lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 bukan waktu lainnya. Pancasila yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 itu resmi telah menjadi kesepakatan bangsa. Letjen Purn Yayat mengingatkan bahwa DHD 45 memiliki kesetiaan kepada negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 yang lahir 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945. Perlu koreksi atas kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Apalagi menjadikanya sebagai hari libur nasional. Yang jelas menurutnya, DHD BPK 45 lahir berdasarkan Keppres No. 63 tahun 1965 ditandatangani Presiden Soekarno dan Keppres No 50 tahun 1984 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Bertugas membudayakan nilai-nilai kejuangan 1945. Berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Yang menarik adalah penekanan Letjen Yayat Sudrajat bahwa kewaspadaan terhadap bahaya PKI gaya baru perlu ditingkatkan. Termasuk karakter PKI yang terimplementasi pada penyelenggara negara. Memutarbalikkan sejarah, menyembur fitnah serta berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Sayangnya banyak yang alergi bahkan menafikan keberadaan PKI. Ia menyinggung Keppres dan Inpres Keppres 17 tahun 2022 dan Inpres 2 tahun 2023 mengenai PPHAM dan pelaksanaannya khusus peristiwa 1965-1966 bisa difahami bahwa PKI bukan pelaku dari suatu kejahatan bahkan dicitrakan korban. Ini pemutarbalikkan fakta seolah PKI itu tidak bersalah. Pemerintah tidak pernah membantah korban terbesar peristiwa 1965-1966 adalah aktivis PKI. Konsekuensinya adalah yang direhabilitasi, diberi beasiswa, tunjangan kesehatan serta fasilitas lain sesuai Keppres 17 tahun 2022 adalah aktivis PKI dan keluarganya. Lebih hebat lagi 17 kementrian diinstruksikan ikut berkontribusi dalam program ini. Inpres 2 tahun 2023 dinilai istimewa. Keppres 17 tahun 2022 jelas bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Semua pelanggaran HAM berat harus diproses melalui Pengadilan HAM bukan penyelesaian non yudisial. Inpres 2 tahun 2023 sebagai aturan turunannya tentu lebih bertentangan lagi. Karenanya aturan cacat hukum ini layak untuk dibatalkan. Pemaksaan atas hal di atas menyebabkan munculnya anggapan bahwa pemerintahan Jokowi memang tidak berorientasi pada kemashlahatan bangsa dan negara tetapi lebih pada kepentingan politik yang dapat dimanfaatkan kelompok ketiga, khususnya pendukung PKI. Kembali pada pandangan Ketum DHD BPK 45 Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat yang dengan tegas mengingatkan agar bangsa dan rakyat Indonesia harus tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 hasil penetapan 18 Agustus 1945. Bandung, 15 Juni 2023
Politik Indonesia Terkini dan Julius Caesar
Oleh Hendrajit - Direktur Eksekutif The Global Future Institute Membaca gelagat politik negeri kita saat ini, enaknya baca sejarah politik Romawi era Julius Caesar sebagai analogi. Karena ada beberapa sosok yang tipikal mirip Julius Caesar, ada yang mirip Pompeous, dan ada juga yang mirip Crassus. Tiga serangkai penguasa kediktatoran Romawi masa itu, yang sebenarnya saling nggak suka tapi sama-sama suka masakannnya, sehingga mereka bersekutu. Namun sejatinya Caesar, Pompey, dan Crassus, merupakan suatu persekutuan yang rapuh bin aneh. Tapi di sisi lain yang boleh dibilang setengah di dalam tapi juga setengah di luar, yaitu Cicero. Cicero, pasang naik dan pasang surut nasib politiknya sebagai pemain kunci di Senat atau DPR, memang berkaitan dengan konstelasi politik Roma yang diwarnai oleh tiga serangkai Caesar, Pompey dan Crassus. Pada saat situasi kemudian berpihak pada Caesar sehingga kemudian menjadi primus interpares di antara tiga serangkai, Cicero dianggap ancaman bagi Caesar, sehingga sebelum orang nomor satu Romawi ini memasuki kota Roma setelah memenangkan peperangan di Galia, Cicero harus sudah disingkirkan dari ibukota itu dalam entah terbunuh atau lari ke pengasingan. Pokoknya jangan sampai pas dirinya masuk Roma, Cicero masih sekota dengannnya. Maka karena tidak mau terlihat bermusuhan secara langsung dengan Cicero, Caesar mendorong Clodius, salah satu dari keluarga Crassus, yang punya dendam kesumat pada Cicero, sebagai Tribunus, jabatan yang ditunjuk Raja, dan berwenang bikin undang2 dan aturan. Dan berwenang memanggil para anggota senat atau anggota DPR untuk bersidang. Nah melalui tangan Clodius inilah, Caesar menyingkirkan Cicero, sehingga Cicero daripada mati, mendingan menyingkir ke luar Roma. Sementara itu, Crassus dan Pompey, karena sama-sama berkepentingan menjaga persekutuannya dengan Caesar, seakan tutup mata dan nggak berani membela Cicero, apalagi mencegah Cicero lari ke pengasingan. Namun setelah beberapa tahun, rupanya antar tiga serangkai ini diam-diam mulai rapuh persekutuannya, sehingga Pompey diam-diam lewat seorang utusan terpercaya, menemui Cicero di pengasingan, dan membujuk Cicero untuk berdamai dengan Caesar supaya bisa kembali ke Roma. Perhitungan Pompey, adanya kembali Cicero di kancah politik Roma, Pompey dapat mengimbangi Crassus yang sama ambisiusnya untuk jadi nomor satu, seraya memelihara Cicero sebagai anak nakal, sehingga sekali-sekali bisa mengganggu Caesar. Agar supaya Pompey yang di mata Caesar merupakan orang dekat Cicero, bisa menaikkan harga tawarnya karena bisa menjinakkan Cicero. Sementara itu, karena Cicero kembali ke Roma, setelah Caesar menyetujuinya, asal nggak bikin onar, otomatis kembali jadi aktor kunci di parlemen Roma. Dan negarawan Romawi yang diperhitungkan kawan maupun lawan. Namun sepulangnya dari pengasingan, intuisi politik Cicero sudah tidak seligat waktu masa jayanya dulu, sehingga sering meleset dalam membuat perhitungan politik jangka panjang. Meskipun untuk siasat atau taktik politik jangka pendek, masih cukup cemerlang. Salah satu kesalahan strategis Cicero, memandang tiga serangkai Caesar-Pompey dan Crassus sebagai persekutuan yang tak tergoyahkan dan tetap solid, sehingga langkah2 dan keputusan politik strategisnya selalu bertumpu pada fakta yang dia yakini tersebut. Apalagi ketika tiga serangkai ini semakin meniti puncak kejayaannya, meski diwarnai oleh praktek bagi-bagi kekuasaan antar ketiganya yang cukup rumit dan penuh ketegangan. Nah pada situasi inilah, Cicero yang selama ini jeli dan cermat membaca konstelasi dan konfigurasi, meremehkan sikap Cato dan para anggota keluarganya, yang secara terang-terangan mengambil posisi melawan tiga serangkai tersebut. Cicero memandang tindakan dan sikap Cato yang berani melawan triumvirat tersebut, konyol dan tidak taktis. Rupanya Cicero lupa pada falsafah yang dia anutnya sendiri, bahwa ketika penguasa berikut formasi kekuasaan yang melekat padanya semakin meniti titik puncak, maka di situlah awal kehancuran. Artinya, kehancuran pada tahap ini hanya soal waktu. Cicero tidak memperhitungkan pemunculan dinamika Black Swan (angsa hitam) sepeti diistilahkan Nassem Taleb, peristiwa yang muncul tak terduga, yang berakibat efek berantai ke depan yang tak bisa didorong surut kembali ke belakang. Cato, dan dinasti keluarganya, termasuk keponakannya yang kelak terkenal dengan sebutan Brutus, nama yang kerap diidentikkan dengan sosok penghianat dan suka main tikam dari belakang, memang terlalu naif kalau dianggap akan jadi pesaing bagi Caesar. Namun Cicero yang biasanya penuh perhitungan dan jitu membaca langkah politik ke depan, sama sekali tidak membayangkan bahwa kelak Cato dan keluarganya, termasuk Brutus, akan jadi katalisator percepatan keruntuhan Caesar. Berikut tiga serangkai itu sendiri. Namun pada saat yang sama, muncul sebuah kekuatan baru yang tidak diperhitungkan Cicero maupun kubu tiga serangkai: Pemunculan tak terduga dari Augustus, keponakan Caesar, yang selama ini luput dari radar pengawasan para aktor2 utama dalam pentas politik Romawi. Dan ironisya, dalam perpolitikan pasca Caesar, setelah Caesar ditikam oleh beberapa anggota senat, termasuk Brutus, yang tak disangka-sangka oleh Caesar, Cicero harus membuat kesepakatan politik baru dengan keluarga Cato, yang sementara itu sudah menjalin persekutuan taktis dengan Augustus, sang keponakan Caesar. Pelajaran penting dari sejarah Romawi ini, kadang dalam mengantisipasi munculnya perubahan peta politik baru, yang kita harus jeli bukan menduga siapa aktor baru yang muncul ke depan. Melainkan siapa atau kekuatan kekuatan mana saja yang sedang memainkan peran sebagai katalisator percepatan terjadinya perubahan. Di sinilah tragedi Cicero. Ia tidak memperhitungkan kekuatan kekuatan yang sedang mematangkan percepatan perubahan sehingga tidak membayangkan bahwa pengaruh bisa melahirkan penyebab meski pengaruh dan penyebab tak saling bersinggungan secara langsung. (*)
Impeachment: Mengukur Kekuatan Jokowi
Denny Indrayana menyerukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sementara pimpinan Parpol masih sibuk mempersiapkan pengganti presiden pada 2024. Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Apes menimpa Ibu Negara Iriana Jokowi. Ia terjatuh saat turun di tangga pesawat Kepresidenan RI 1 pada 14 November 2022. Untung ada sang suami yang menggenggam erat tangannya. Peristiwa ini terekam saat Iriana bersama Presiden Jokowi turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, Bali jelang gelaran KTT G20. Jatuhnya Iriana jelas tidak serius. Ini jika dibandingkan, misalnya, jika Presiden Jokowi yang jatuh. Bukan dari tangga pesawat, melainkan dari jabatannya sebagai presiden. Hal itu bukan hal yang musykil. Prof H Denny Indrayana, SH, LLM, PhD telah menyerukan pemakzulan atas Presiden Jokowi. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014) ini memandang Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional. “DPR RI harus memulai proses impeachment,” ujar Denny dalam surat terbuka yang ditujukan kepada DPR RI. Surat terbuka itu diunggah Denny di akun Twitternya. Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi Negara. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai. Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Rasyid Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024. \"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,\" tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul \'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!\' Persoalannya, proses pemakzulan bukan hal yang murah dan mudah untuk saat ini. Apalagi jika seruan itu dilakukan ketika partai politik tengah gencar-gencarnya memanaskan mesin partainya. Kasat mata sudah tampak, bahwa mayorias partai politik kini berhubungan mesra dengan Presiden Jokowi. Mereka sudah sekendang sepenarian dengan Presiden Jokowi. Nah, itu sebabnya perlu kiranya mengukur kekuatan Jokowi saat ini. Kasus Sukarno Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, impeachment atau pemakzulan yang berujung pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, telah terjadi dalam dua rezim pemerintahan yakni pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi sebelum perubahan UUD 1945. Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Hal tersebut dilakukan MPRS setelah Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul Nawaksara yang oleh Sukarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela, karena faktanya pertanggungjawaban tersebut diberikan bukan atas permintaan MPRS. Setelah pidato pertanggungjawaban tersebut disampaikan, MPRS meminta agar Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang kemudian dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara. Adapun hal-hal yang diinginkan oleh MPRS untuk meminta Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya adalah agar Presiden menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya G-30-S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi serta akhlak. “Pertanggungjawaban yang menyangkut tindakan moral yang dilakukan oleh rakyat seharusnya bukan merupakan bagian yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden,” tulis Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Dalam pemberhentian Presiden Sukarno tidak dikenal adanya penyampaian memorandum oleh DPR. Karena pada waktu itu belum ada ketentuan yang dibuat secara jelas dan tegas mengenai proses pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya karena dianggap telah melanggar haluan negara. Adapun yang dijadikan dasar pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu hanyalah Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden melanggar haluan negara, maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk mengadakan persidangan istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila dicermati proses penyampaian pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu terungkaplah bahwa MPRS sejatinya tidak pernah meminta pertanggungjawaban Presiden. Itulah yang kemudian membuat pertanggungjawaban tersebut disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela. Namun setelah penyampaian pidato sukarela tersebut, MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Atas permintaan tersebut Sukarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara. Pidato ini kemudian juga mendapat penolakan dari MPRS yang pada akhirnya memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden. Kasus Gus Dur Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pemberhentian ini dilakukan ketika proses Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 dilakukan. Akibatnya, proses pemberhentiannya tetap berpedoman kepada Penjelasan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Saatnya Sidang Istimewa MPR” yang dilansir Harian Republika, Kamis 1 Februari 2001, menjelaskan dalam kasus Abdurrahman Wahid, setidaknya terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Pertama, Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dicabut. Padahal apabila ditinjau dari sisi ketatanegaraan usulan ini tidak tepat, karena Presiden terikat untuk menjalankan haluan negara termasuk ketetapan MPRS tersebut. Hal ini juga bertentangan dengan sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan MPR sebelum ia dilantik menjadi Presiden. Dalam negara demokrasi modern pelanggaran seperti ini merupakan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam penyelenggaraan negara. Kedua, pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya. Bahkan sebelumnya Presiden juga pernah menilai bahwa DPR seperti taman kanak-kanak. Ketiga, penggantian Kapolri dari Jenderal S. Bimantoro kepada Komjen. (Pol). Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR. Tindakan jelas melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh MPR. Keempat, adanya pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal ini terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan bruneigate. Kelima, penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung (MA) yang diusulkan DPR. Tindakan ini membuat Presiden tidak menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang menyatakan bahwa Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan DPR. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Presiden mencoba mengintervensi MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang bersifat ekstra yudisial. Hanya saja, yang jadi alasan di luar itu semua. Gus Dur dijerat dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei kepada Aceh yang ngetop disebut Buloggae dan Bruneigate. Mengontrol Kekuasaan Sidang Istimewa menjadi salah satu instrumen untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan Presiden. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas mengenai prosedur hingga Sidang Istimewa dilaksanakan oleh MPR. Hanya saja, untuk kasus Abdurrahman Wahid agak sedikit berbeda, karena pada era ini telah terdapat ketentuan yang memberikan pengaturan mengenai penyelenggaraan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Ketentuan tersebut lahir pada masa pemerintahan Orde Baru yang berbentuk ketetapan MPR. Meskipun kehadiran ketetapan ini terkesan mempersulit dilaksanakannya Sidang Istimewa, tetapi di sisi lain ada upaya untuk memperjelas mekanisme pelaksanaan Sidang Istimewa. Mekanisme Sidang Istimewa tersebut tercantum di dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Ketentuan tersebut menghendaki bahwa sebelum Sidang Istimewa dilakukan harus melalui proses penyampaian memorandum pertama dan memorandum kedua oleh DPR kepada Presiden. Dalam kasus Abdurrahman Wahid, proses penyampaian memorandum tersebut juga telah dilakukan. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Presiden. Bahkan ia mengeluarkan maklumat pada dini hari tanggal 23 Juli 2001, hal ini menjadi puncak kepanikan Presiden dalam menghadapi tekanan politik yang menginginkan dirinya untuk turun dari tampuk kekuasaannya. Salah satu isi dari maklumat tersebut adalah membekukan lembaga MPR. “Pembekuan MPR sebagai lembaga yang posisi konstitusionalnya berada di atas Presiden, jelas lebih mencerminkan kepanikan ketimbang rasionalitas melembagakan demokrasi,” tulis Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul “Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia” (Grafiti, Jakarta 2007). “Hal ini juga cukup menjadi alasan bagi MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa,” tambah Saldi Isra. Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR akhirnya menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia tidak hadir dan juga tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara tertulis. Akhirnya MPR mengeluarkan ketetapan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden karena ketidakhadiran dan penolakan memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta tindakan penerbitan maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Tindakan ini dipandang oleh MPR sebagai pelanggaran terhadap haluan negara. Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menjadi kewenangan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada masa itu. Kekuasaan yang sangat besar ini secara hukum telah tercantum dalam UUD 1945 yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sistem kekuasaan di Indonesia menganut supremacy of parliament atau supremasi MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang tak terbatas. Seluruh kekuasaan dan tanggungjawab penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada MPR. Pertanggungjawaban ini tidak terkecuali bagi seorang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. “MPR berwenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkatnya itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu,” tulis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983). Majelis dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan rakyat berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara. “Jadi tidak hanya ditujukan kepada Presiden saja, tetapi ini ditujukan bagi semua lembaga negara agar tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya,” Sri Soemantri dalam “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” (Alumni, Bandung) menambahkan. Aturan Saat Ini Hanya saja, UUD 1945 yang berlaku dalam tiga periode yakni periode 1945- 1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998 dipandang telah terbukti tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali telah membawa perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan tersebut salah satu kesepakatan dasar yang menjadi agenda adalah mempertegas system pemerintahan presidensial. Hal tersebut dapat dicermati dari semakin kuatnya kedudukan Presiden dalam pemerintahan. Ia tidak mudah diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR kecuali ia terbukti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur secara eksplisit di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945). Dalam Pasal 7A dinyatakan bahwa Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir hanya mungkin dilakukan apabila Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjelaskan mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya tersebut. Perubahan ini telah menggeser dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan. Proses pemberhentian Presiden inipun tidak hanya melalui forum politik di MPR, tetapi juga harus melalui proses peradilan di Mahkamah konstitusi. Dalam masa periode pasca-perubahan ketiga UUD 1945 memang belum ada praktik ketatanegaraan dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya (pemakzulan). Namun setidaknya terdapat beberapa peristiwa yang berpotensi terjadinya pemakzulan Presiden. Seperti bergulirnya hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terakhir kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penahanan yang dilakukan Kepolisian terhadap kedua tokoh ini memancing simpati tidak hanya dari kalangan masyarakat umum tetapi juga dari para tokoh nasional untuk menjamin pembebasan keduanya. Kala itu, Prof Dr Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengingatkan bahwa gerakan ini bisa berujung kepada ancaman bagi kedudukan presiden melalui proses pemakzulan. Presiden memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi pelemahan terhadap lembaga KPK bisa diartikan terlibat korupsi. Keterlibatan Presiden juga dapat dipandang dari segi pembiaran yang dilakukan oleh Presiden atas penahanan terhadap kedua Pimpinan non-aktif KPK ini oleh kepolisian. Jadi tergantung bagaimana memformulasikan hukumnya. Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra. “Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh Presiden, gerbang pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka atas klausul Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945,” tulis Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Gerbang Menuju Pemakzulan” (Media Indonesia, Rabu 04 November 2009). Lalu, apakah yang dilakukan Jokowi sudah layak untuk dimakzulkan? “Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024,” jelas Denny Indrayana yakin. Kini, semua pimpinan partai politik sudah tunduk pada Presiden Jokowi. Dan menurut Denny justru inilah yang bisa dijadikan dalih mengapa Jokowi harus dimakzulkan. “Ada dugaan Presiden Jokowi memanfaatkan kekuasaan dan sistem hukum untuk mencengkram para pimpinan parpol untuk maksud tertentu terkait Pilpres 2024,” ujarnya. Tetap saja, hal ini tergantung apakah DPR yang didominasi oleh partai pendukung pemerintah akan melakukan pemakzulan atau tidak.
Membegal Anies, Itu Membegal Demokrasi (Pernak-pernik dan Jalan Terjal Menuju Pilpres 2024)
Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Oleh: Ady Amar - Kolumnis KOALISI Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dalam ujian. Muncul riak-riak kecil godaan, yang sebenarnya bisa disebut sekadar gimmick. Boleh juga jika itu cukup disikapi sewajarnya, ketika Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama beberapa nama lain masuk dalam radar bidikan PDIP untuk disandingkan dengan Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Padahal Demokrat telah mengikat Nota Kesepakatan bersama dua partai lainnya, NasDem dan PKS dalam KPP, yang resmi mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. PDIP seakan cermat melihat Demokrat tengah galau di internalnya. Muncul suara menyuarakan kehendak agar secepatnya KPP mengumumkan siapa Cawapres yang mendampingi Anies. Demokrat tentu menghendaki AHY yang diusung sebagai Cawapres. Tapi NasDem lewat elitenya jelas-jelas menolak dengan mengatakan, kalau mau menang pada Pilpres 2024 bukan AHY yang mendampingi Anies. Setidaknya suara itu disuarakan Effendy Choirie, akrab dipanggil Gus Choi. Mukernas III PDIP, 6-8 Juni, memasukkan nama AHY di antara nama-nama lain sebagai kandidat yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Memasukkan nama AHY dalam bursa cawapres PDIP, itu sekadar manuver main-main yang semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa membuyarkan KPP. Boleh jika ditafsir PDIP tengah menguji kesolidan KPP sebagai sebuah koalisi. Di samping itu PDIP perlu tampil tampak sebagai partai inklusif di tengah kekakuannya selama ini, yang seolah mampu berjalan sendiri tanpa partai pendamping sekalipun. Karenanya, penyikapan atas manuver PDIP itu pun mesti disikapi sewajarnya. Tidak perlu berlebihan. AHY akan menghadiri undangan Puan Maharani. Sekjen kedua partai, Hasto Kristiyanto (PDIP), dan Teuku Riefky Harsya (Demokrat) sudah mengadakan pertemuan awal guna mempersiapkan pertemuan petinggi partainya. Keduanya tampak begitu semringah, dan akrab. Seperti melupakan hubungan buruk di masa lalu. Semua tampil bak aktor berperan sesuai tuntutan skenario. Hasto yang terbiasa bicara jumawa seakan lupa pada omongannya beberapa bulan lalu, bahwa ia \"mengharamkan\" Demokrat, yang katanya tak mungkin PDIP bisa berkoalisi dengan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Politik terkadang diperagakan bak \"tai kucing rasa coklat\", menjijikkan bagi mereka yang biasa meletakkan moral jadi segala-galanya. Pertemuan Puan-AHY itu tak akan sampai berdampak bisa mengempiskan KPP, menggoyang pun rasanya tak mungkin. Demokrat tentu berhitung, dan tahu menempatkan posisinya ada di mana. Menerima undangan Puan dan hadir, itu lebih pada bentuk kesantunan politik. Jadi tak perlulah menyikapi pertemuan itu dengan syakwasangka seolah Puan mampu menyihir AHY. KPP itu koalisi yang sudah digarap matang, sulit untuk digoyang apalagi sampai rontok. Setidaknya sikap awal sudah ditunjukkan NasDem, PKS dan juga Demokrat, yang mengalami tekanan persoalan dalam berbagai hal, dan itu tidak menyurutkan langkah menghadirkan perubahan di 2024. Sedang partai di luar KPP justru masih mencari-cari bentuk, dan boleh disebut lebih sebagai koalisi-koalisian. Sengaja disebut koalisi-koalisian, karena belum bisa disebut koalisi sebenarnya, sifatnya baru penjajakan. Langkah penjajakan yang _dicomblangi_ atau di-cawe-cawei Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, pantas jika disebut baru tahap kumpul-kumpul, yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. KPP jelas sebagai koalisi sesungguhnya. Memenuhi syarat untuk disebut demikian. Parameter untuk disebut sebagai koalisi sudah memenuhi syarat, baik persyaratan konstitusi (parliament threshold) maupun kelayakan bersekutu dengan menghadirkan antitesa perubahan versus keberlanjutan pembangunan. Tidak sekadar kumpul-kumpul dan secepat kilat meninggalkan satu dengan yang lain tanpa kesantunan politik. Itu bisa dilihat dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--PAN, Partai Golkar, dan PPP--yang kelahirannya seperti bayi tak diinginkan, langsung mbrojol. Mengagetkan karena dengan satu pertemuan para ketua umumnya, sudah cukup untuk mengumumkan kelahirannya. Soal siapa capres yang akan dipilih dan diperjuangkan, belum dibicarakan. KIB lebih dipercaya sebagai kumpul-kumpul dalam arahan Presiden Jokowi. Lebih dipersiapkan untuk tiket Ganjar Pranowo, jika ia tidak dicalonkan PDIP. KIB diibaratkan ban serep untuk memastikan keikutsertaan Ganjar dalam Pilpres 2024. Tiga partai itu seolah diombang-ambingkan, bukan oleh kepentingannya, tapi lebih pada penghambaan pada Jokowi. Karena dibentuk dengan serba mendadak, maka perpisahan pun tak perlu saling pamit. Nyelonong saja. Itu tampak pada sikap PPP, yang dengan gampangnya meninggalkan KIB dan memilih dalam dekapan PDIP. Begitu pula PAN yang seolah dalam sekap tak menentu untuk memilih antara Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Dan, itu lagi-lagi menunggu arahan Jokowi. Langkah penjajakan pun dilakukan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan rombongan mengunjungi markas PDIP. Pertemuan itu belum sampai menghasilkan keputusan, bahwa PAN akan bergabung dengan PDIP. Ada syarat PAN gabung jika \"presiden\" partainya, Erick Thohir, diusung jadi Cawapres-nya Ganjar. Karenanya, PAN belum memutuskan akan berlabuh ke mana. Tetap setia menunggu arahan Presiden Jokowi, yang sepertinya juga masih bimbang antara memilih Ganjar atau Prabowo. PAN dan PPP tampak seperti partai yang sudah tidak lagi punya kedaulatannya sendiri untuk menentukan di mana mesti berlabuh dalam koalisi, yang mestinya sesuai kehendak konstituennya. Sedang Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), gabungan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di mana hubungan keduanya acap panas-dingin. PKB berharap ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, bisa disandingkan sebagai Cawapres-nya Prabowo Subianto. Tapi Gerindra masih mengulur-ulur waktu dalam memenuhi permintaan PKB. Berharap Golkar mau bergabung dalam KKIR, dan karenanya PKB tidak akan lagi memaksakan ketua umumnya sebagai Cawapres. Jika kondisi masih tidak menentu, bisa jadi PKB akan hengkang dari KKIR, meninggalkan Gerindra sendirian. Sedang Golkar pun belum menentukan ke mana akan berlabuh. PKB dan Golkar sepertinya juga tengah menunggu arahan Presiden Jokowi. Maka, menjadi wajar jika sikap Prabowo mesti berbaik-baik sampai tingkat berlebihan pada Jokowi agar PKB yang ada dalam kendali Jokowi tidak meninggalkan Gerindra. Syukur-syukur jika Golkar pun bisa diarahkan bergabung dengan Gerindra dan PKB. Hanya KPP dengan Capres Anies Baswedan, dan PDIP plus PPP dengan Capres Ganjar Pranowo, yang sudah punya Capres beneran yang bisa berkontestasi pada Pilpres 2024. Sedang Prabowo Subianto dengan KKIR-nya mesti terlebih dulu mau menyamakan pandangan dengan kawan koalisinya (PKB) untuk mengakhiri spekulasi ketidakikutsertaannya dalam Pilpres. Namun memang hanya KPP-lah yang sudah punya Cawapres, sudah ada di kantong Anies, dan tinggal tunggu sedikit hari lagi untuk diumumkan pada khalayak. Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Persoalan KPP bukan persoalan pada internalnya, yang akan menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, sebagaimana yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD sekenanya. Justru oleh faktor eksternal, dan itu rezim yang ingin terus berkuasa dengan hanya mengganti baju Jokowi dengan Ganjar Pranowo. Bisa lewat jalan apa saja. Bisa lewat copet atau begal Partai Demokrat yang tengah diupayakan oleh orang dekat Jokowi, Moeldoko dengan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Bisa pula dengan cara nekat KPK menersangkakan Anies pada kasus Formula E, atau dengan cara semau-maunya kekuasaan membegal demokrasi. Semua kemungkinan memang bisa terjadi, tapi semua juga tergantung rakyat menyikapinya.**