OPINI

Gempa Pilpres 2024 dan Bumerang Presidential Threshold: Jokowi Semakin Melemah

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) GEMPA politik mengguncang Indonesia. Cukup dahsyat. Membuat porak poranda landasan koalisi, atau tepatnya dagang sapi, pencalonan presiden 2024. Dan sekaligus menghancurkan cawe-cawe Jokowi. Pusat gempa ada di Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keduanya sepakat menduetkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2024-2029. Partai Demokrat gusar dan merasa dikhianati. Nasdem dinilai bertindak sepihak tanpa melibatkan anggota Koalisi (Perubahan dan Perbaikan) lainnya yang selama ini sepakat mendukung calon presiden Anies Baswedan. Di lain sisi, keputusan PKB menerima duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar membuat Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) hancur, alias bubar. Penyebab utama bubarnya KKIR ini secara langsung akibat cawe-cawe Jokowi. Pertama, Jokowi diduga menekan Golkar dan PAN (Partai Amanat Nasional) untuk bergabung ke dalam KKIR. Tekanan terhadap Golkar terlihat jelas ketika Airlangga Hartaro, Ketua Umum Golkar, diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus korupsi ekspor minyak goreng. Tidak lama berselang, Golkar dan PAN deklarasi bergabung dengan KKIR yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Kedua, Jokowi sepertinya tidak menghargai PKB, khususnya ketua umumnya Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, yang sejak awal menggagas KKIR dan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden KKIR. Sejak Golkar dan PAN bergabung, PKB tidak dipandang lagi. Buktinya, nama Cak Imin semakin jauh dari calon wakil presiden KKIR. Sebaliknya, nama Airlangga Hartarto menguat sebagai pendamping Prabowo. Yang lebih mengagetkan, nama Gibran digadang-gadang akan menjadi wakil presiden Prabowo. Tidak heran, kalau semua ini membuat Cak Imin dan PKB menjadi tidak nyaman. Bahkan bisa dimaklumi kalau Cak Imin dan PKB menjadi sangat tersinggung: Apa hebatnya Gibran dibandingkan Cak Imin yang terbukti berhasil membesarkan PKB? Gibran masih “menyusu” sama Jokowi, sedangkan Cak Imin sudah malang melintang di dunia politik Indonesia yang penuh intrik dan muslihat. https://www.partaigolkar.com/2023/09/01/duet-prabowo-airlangga-pada-pilpres-2024-ketua-golkar-jatim-pasangan-yang-komplementer/ Ketiga, kekecewaan Cak Imin sebenarnya sudah dikemukan, meskipun sambil gurau. Sekitar tiga hari yang lalu (29/8), Cak Imin sempat melontarkan pernyataan: berarti KKIR bubar dong. Pernyataan ini sebagai respons pergantian nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM), tanpa melibatkan PKB dan Cak Imin. Pernyataan sambil gurau tersebut menjadi kenyataan. https://jabar.tribunnews.com/2023/08/29/kata-cak-imin-setelah-kkir-berubah-jadi-koalisi-indonesia-maju-berarti-kkir-bubar-dong Hanya beberapa hari menjelang pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden, manuver politik Nasdem dan PKB membuat peta politik pemilihan presiden menjadi berantakan. Keduanya dituduh pengkhianat oleh anggota partai politik koalisi lainnya. Tetapi, yang sebenarnya terjadi bukan persoalan pengkhianatan, melainkan konsekuensi logis dari sistem Presidential Threshold (20 persen), yang membuat partai politik kehilangan kedaulatan. Partai politik tidak bisa mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden secara independen. Semuanya harus berdagang sapi, negosiasi, kadang kala sampai kehilangan harga diri. Ketika kemudian ada tawaran kerjasama atau koalisi yang lebih menguntungkan, maka setiap partai politik akan bermanuver untuk memaksimalkan kepentingannya. Misalnya, apakah salah kalau PKB menerima tawaran Nasdem untuk mendukung Cak Imin menjadi calon wakil presiden Anies Baswedan? Apakah salah kalau Cak Imin bersedia menjadi wakil presiden Anies Baswedan, mengingat nasibnya di KKIR masih terombang-ambing tidak jelas? Tentu saja, partai politik koalisi yang ditinggal bermanuver seperti Partai Demokrat menjadi sakit hati. Kemungkinan besar mereka akan saling membenci, dan memicu perpecahan bangsa. Artinya, Presidential Threshold (20 persen) secara langsung telah menjadi penyebab perpecahan bangsa. Tidak bisa tidak. Sebaliknya, kalau tidak ada Presidential Threshold, kalau setiap partai politik bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden secara independen dari kader masing-masing, maka yang akan terjadi adalah saling respek dan saling hormat. Partai politik yang merasa tidak mempunyai kader yang mumpuni akan suka rela bergabung dan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden dari partai lain yang dinilai baik, tanpa syarat. Permasalahan Presidential Threshold kemudian diperparah dengan cawe-cawe Jokowi, untuk kepentingannya, yang bisa sangat beda dengan kepentingan partai politik. Salah satunya misalnya tidak menunjukkan respek terhadap PKB dan Cak Imin. Bahkan terkesan mengobok-obok KKIR. Termasuk “merestui” gugatan batas umur minimum calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, yang menurut banyak pihak untuk kepentingan Gibran. Gugatan ini secara kasat mata melanggar konstitusi terkait wewenang DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Manuver Nasdem dan PKB jelas menunjukkan perlawanan terhadap cawe-cawe Jokowi. Semakin mendekati pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, posisi dan cawe-cawe Jokowi yang sebentar lagi akan lengser semakin tidak efektif dan tidak penting, dan semakin banyak perlawanan, terutama kalau cawe-cawe tersebut merugikan. Dan cawe-cawe pasti merugikan bangsa dan negara. Manuver seperti yang dilakukan oleh Nasdem dan PKB mungkin bukan yang terakhir. Mungkin masih akan ada partai politik lainnya yang juga akan bermanuver membuat gempa politik baru. Posisi Jokowi akan semakin lemah. Jokowi tidak akan bisa mengendalikan partai politik. Pertanyaannya, bagaimana nasibnya ke depan? --- 000 ---

Beda Politisi dan Aktivis

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  DALAM percakapan capres khusus nya cawapres di media sosial dari macam macam bentuk media, tumpah ruah percakapan politik, dengan narasi, gaya yang beragam. Dari keberagaman tersebut akan bisa dideteksi dari isi percakapan tersebut, yang bersangkutan seorang politisi atau aktifis. \"Pada umumnya politisi di indonesia hanya sedikit. Hanya hitungan jari politisi yang memahami politik dari dunia akademik: teori dan praktek.  pernah belajar ilmu politik.\" Dalam hal fenomena sikap, ucapan, mungkin sekali dalam tindakan sesungguhnya beda antara politisi dan aktivis.  Politisi sangat dekat dengan objek seni siasat atas objek terlihat material maupun non material. Menuangkan gagasan  dan agenda dengan berhitung menggunakan waktu dan momentum sebagai sarananya. Dalam perspektif waktu dihitung dengan cermat sebagai sasaran  investasi untuk sebuah kebaikan di masa depan. Karena  waktu dan dinamika poltik di dihitung dengan seksama. Variabel yang sering muncul terjadinya  adanya kompromi politik karena kekuatan yang tidak memungkinkan untuk memaksakan tujuan politiknya secara total. Langkahnya berorientasi tetap pada kemenangan dalam kekuasaan dan realisasi agenda, baik, terencana dengan matang untuk sasaran idealis maupun pragmatisnya. Berbeda dengan *aktivis* lebih menekankan pada isu isu yang terlihat dan menarik perhatian dalam ukuran keadilan dan kemanusiaan atau kepentingan saat itu dan rentang waktunya hanya sesaat . Tuntutannya serba instan - saat ini - sekarang juga harus terpenuhi, tanpa memperhatikan dan menghitung kemungkinan yang akan terjadi dan kekuatan yang dimilikinya. Cenderung hanya fenomenal, maka aktivisme sangat tidak memperhatikan faktor siasat, irama waktu dan momentum. Itu juga yang menjelaskan mengapa aktivisme sulit membaca lekukan gerak politik dalam irama waktu dan tidak mentolelir tanggapan politik yang menyakiti publik.  Memang bukan bagian dari konsern aktivisme untuk mempertimbangkan semua itu dalam perspektif politik yang penuh tipu daya dan kaya dengan yang dianggap sebagai \"pengkhianatan\" dalam ukuran terlihat dan insidental. Yang nampak itulah yang menjadi ukuran baik dan buruk, tidak penting perspektif taktis dan strategis, tidak penting variabel determinan atau inferior. Aktivisme dalam perspektif politik. Kategori ini lebih menekankan politik dan aktivisme diarahkan dalam dua pendekatan sekaligus. Dalam kehidupannya sangat sering terjadi benturan antara aktifis dan politisi, karena memang berbeda karakternya, karena aktifis buruan target yang serba instan dengan  politisi dengan perhitungan yang lebih cermat dalan tahapan yang harus tepat waktu dan tepat sasaran.  *****

Urgensi Pemilu tanpa Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TUDINGAN bahwa Partai Nasdem mengarahkan Cawapres Anies Baswedan kepada Muhaimin Iskandar akan terjawab ke depan. Rupanya semakin dekat waktu untuk pendaftaran Capres/Cawapres ke KPU maka pola pasangan di semua koalisi semakin berkonfigurasi tajam. Tergambar lempar-lemparan dalam kerangka strategi atau mungkin kepanikan sekaligus kebingungan.  Gestur politik para Ketum dikejar media. Jodoh Ganjar, Prabowo dan Anies terus membuat penasaran bukan hanya oleh pendukung tetapi juga media. Berita besar sangat dibutuhkan. Porak-poranda Koalisi Prabowo gara-gara Golkar dan PAN bergabung. Akankah berimplikasi pada kemungkinan porak poranda pula pada Koalisi Anies Baswedan dengan bergabungnya PKB?  Partai Demokrat kebakaran rambut, tidak tenang mereaksi. Telah muncul aksi penurunan baliho Anies AHY segala. Bahasa penghianatan berhamburan. Anies yang sebenarnya kompeten  dan diberi kewenangan untuk mengumumkan final mengenai pasangannya. Sebelum itu maka manuver partai adalah hal biasa sebagaimana AHY yang pernah mendekat kepada PDIP. Marahnya Demokrat mungkin belajar dari suksesnya pola \"angry bird\" ketika mengancam dan melawan Moeldoko.  Surya Paloh langsung bersilaturahmi pada Jokowi. Ia masih memegang kaki Jokowi walau mungkin ia bisa juga menekuk tangan Jokowi. Ancaman bagi Anies jika berpasangan dengan Cak Imin adalah KPK yang membuka dan memproses kasus \"kardus durian\" di saat Anies sudah tidak dapat menetapkan lain untuk pasangannya. Jokowi kelak moncer menyandera kedua pasangan baik Prabowo maupun Anies. Tinggal Ganjar yang akan dimainkan cawapresnya pula. Mega mulai ketar-ketir. Ini semua permainan Jokowi.  Jokowi adalah biang kekacauan dan kekisruhan  bangsa dan negara termasuk Pemilu. Pemilu khususnya Pilpres akan rawan dalam cengkeraman dan cawe-cawe Jokowi. Karenanya tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dan menyehatkan bangsa maupun proses demokrasi selain stop Jokowi. Pemilu tanpa Jokowi.  Partai politik tinggal memilih apakah akan berkompetisi di bawah cengkeraman dan ancaman Jokowi atau keadaan yang bebas dan merdeka ? Jika ingin bebas dan merdeka maka pilihan strategisnya adalah makzulkan Jokowi secepatnya. Alasan konstitusional untuk itu sudah cukup memadai. Sangat memadai.  Betapa leluasa dan sehatnya demokrasi jika Jokowi sudah tidak ada. Tahun 2024 akan menjadi pertaruhan apakah tahun malapetaka atau bahagia ? Tergantung pada pilihan partai politik sendiri.  Rakyat akan membersamai untuk pilihan pemakzulan cepat.  Pemilu tanpa Jokowi adalah untuk kebaikan ke depan. Jokowi merupakan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) demokrasi. Perjuangan mengembalikan asas kedaulatan rakyat sesuai Pancasila dan UUD 1945 harus dimulai dengan Pemilu tanpa Jokowi. Ini adalah urgensi negeri.  Jokowi asalnya rakyat kemudian mengatur rakyat dengan pola berpura-pura merakyat maka cepat atau lambat akan kembali menjadi rakyat. Semakin cepat kembali semakin baik bagi rakyat.  Tinggal apakah kembalinya selamat atau penuh dengan tamparan dan kutukan dari rakyat. Bandung, 1 September 2023.

Surya Paloh dan Anies Bukan Pengkhianat

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan -  Sabang Merauke Circle BANYAK sekali pertanyaan masuk ke saya tentang Anies, benarkah dia pengkhianat? Atau melakukan pengkhianatan dalam perjuangannya? Bagaimana dia mau mengusung tema perubahan kalau dia sendiri karakternya khianat? Pertanyaan-pertanyaan di atas terkait dengan berbagai pemberitaan adanya kesepakatan Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar untuk membangun aliansi memenangkan Anies Baswedan ke depan. Kesepakatan ini, menurut Partai Demokrat (PD), melanggar kesepakatan tertulis dalam Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) tentang kriteria pendamping Anies serta kesepakatan tidak tertulis, bahwa Anies sudah menyampaikan kepada SBY dan petinggi parpol koalisi bahwa AHY adalah pendamping dia ke depan. Apakah Benar Anies Pengkhianat? Partai Demokrat tentu saja boleh marah dengan langkah politik terbaru yang dilakukan sepihak oleh Surya Paloh. Namun, sebuah kemarahan harus ditempatkan dalam \"circumstance\" politik yang ada, sebuah lingkungan politik bejat dan penuh ancaman. Pada konteks yang tepat, tentu sebuah langkah \"sampul\" dari sebuah koalisi bisa dimengerti dalam kecanggihan desain dan strategi. Tiga hal berikut ini perlu menjadi pertimbangan agar koalisi perubahan tetap bersatu dan terus membangun soliditas. Pertama, langkah politik oposisi dalam membangun poros perubahan adalah untuk mendukung perubahan itu sendiri. Perubahan itu utamanya ada pada Anies Baswedan sebagai calon presiden. Sedangkan parpol penduduk Anies dapat bermanuver diantara isu perubahan (oposisi) dan mendukung pemerintah atau kebijakannya. Nasdem, meskipun secara terbuka mengatakan kehilangan harapan pada Jokowi, untuk membangun Indonesia yang maju dan berkeadilan, sebagaimana diutarakan Surya Paloh, di Apel Akbar Nasdem, 16/7 di GBK, tetap saja Nasdem melakukan langkah-langkah \"dua kaki\" terhadap Jokowi.  Demokrat sendiri, ketika dihantam \"istana\" terkait pengambilalihan paksa partainya oleh Moeldoko, Demokrat tidak menghujat Jokowi, melainkan sekedar Moeldoko. Bahkan, saat yang sama Demokrat mendukung pemindahan ibukota IKN ke Kalimantan. Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipastikan, jika Nasdem dan atau parpol pendukung lainnya tetap mendukung Anies, tidak terjadi pengkhianatan atas cita-cita perubahan. Justru, jikalau parpol pendukung Anies pindah haluan mendukung capres lainnya, itu yang disebut sebagai pengkhianatan. Kedua, dalam circumstances atau ruang politik yang kotor serta penuh kekejian, segala sesuatu memang tidak dapat diungkapkan lebih awal. Hanya beberapa jam setelah Anies diumumkan Nasdem sebagai capres, Golkar atau Airlangga misalnya, berusaha memberikan sinyal untuk berkoalisi. Begitu juga ketika apel akbar Nasdem di GBK, petinggi Golkar menghadiri acara tersebut. Terakhir waktu lalu kabar berkembang pertemuan Anies dan Airlangga secara sembunyi-sembunyi, akhirnya kita ketahui bersama Airlangga hampir digulingkan oleh kekuatan kekuatan anti perubahan yang berkuasa. Demokrasi yang kita hadapi saat ini adalah demokrasi barbar. Kekuasaan Jokowi berusaha mengontrol arah kekuasaan ke depan, dengan alasan keberlanjutan pembangunan. Meskipun mungkin mayoritas rakyat lebih percaya cawe-cawe Jokowi lebih kepada kepentingan dirinya sendiri dan anak mantunya, faktanya Jokowi mampu memainkan peranan besar dalam mendukung arah koalisi parpol-parpol. Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya, kita harus melihat, manuver Nasdem yang berhasil merangkul Muhaimin, sebuah partai yang berbasis Nahdatul Ulama, adalah keberhasilan besar. Kenapa? Karena meyakinkan Muhaimin untuk tidak takut dikriminalisasi oleh kekuatan rezim Jokowi adalah pekerjaan berat. Ini hanya mungkin bisa karena dalam diri Muhaimin juga ada bibit keberanian. Dan ini berasal dari sejarah Muhaimin sebagai aktifis gerakan pro demokrasi di era Orde Baru.  Sebagai catatan, untuk yang tidak mengikuti sejarah Surya Paloh, perlu saya sampaikan sedikit tambahan bahwa Surya Paloh juga termasuk sosok kritis terhadap Orde Baru. Surya Paloh, dibantu oleh Todung Mulya Lubis, sering mengumpulkan aktifis anti Orde Baru di kantornya. Di mana saya pernah diundang. Surya Paloh sendiri pernah mendirikan media oposisi, Prioritas, di era Suharto. Pada satu kesempatan, Syamsir Siregar, Kepala Badan Intelijen TNI (BAIS), sebagaimana diceritakan pada saya, pernah diperintahkan Panglima ABRI/TNI, Faisal Tanjung, untuk menangkap Surya Paloh atas kejahatan melawan Suharto. Untung Syamsir Siregar memberi \"pintu damai\" kepada Surya Paloh. Dengan sosok seperti ini, tentu saja Paloh boleh merasa paling senior dalam urusan demokrasi dan kebebasan politik. Penjelasan tentang situasi lingkungan politik yang ada seperti dijelaskan di atas tentu membuat kita faham adanya langkah-langkah strategis yang tidak semuanya harus dijelaskan di depan. Memang, tentu saja perlu dijelaskan kemudian. Agar mitra koalisi dapat mengerti. Pernyataan terbaru dari Surya Paloh di berbagai media menyebutkan bahwa  \"Anies-Muhaimin\" belum diformalkan. Ini tentu menjadi penjelasan yang baik bagi soliditas ke depan.  Ketiga, argumentasi penting ketiga adalah kemenangan kaum perubahan. Sebagai tokoh reformasi dan tokoh Islam, Anies telah menempatkan dirinya pada sosok pemimpin kharismatik yang mampu mendominasi semua capres kompetitor. Namun, fakta menunjukkan, dengan koalisi ramping yang tersedia, Anies ketinggalan dalam elektabilitas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbagai survei menunjukkan Anies mengalami ketertinggalan akibat peta sosiologis kita tebelah. Anies menguasai \"Islam identitas\", Ganjar menguasai \" Nasionalis Sekuler \" dan Prabowo atas dukungan Muhaimin/PKB, mendominasi komunitas \"Islam Tradisional\". Dalam situasi demikian, Anies bisa saja bertahan dalam perang segitiga kekuatan sosiologis masyarakat kita. Tapi, apakah kita tidak merasa lebih baik ketika kekuatan Islam tradisional, setidaknya dalam naungan PKB, berbagi masa depan dengan pendukung Anies? Tentu saja ada keraguan arah perubahan dengan masuknya Muhaimin/PKB dalam poros perubahan. Namun, jika Anies-Muhaimin menjadi pasangan, tentu arah perubahan tetap terjadi. Oleh karena, Muhaimin dan barisannya adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa kita. Penutup Saya telah berpartisipasi dalam menuangkan pikiran ini untuk meluruskan isu-isu pengkhianatan. Menyebutkan pengkhianat atau pengkhianatan adalah kesalahan besar jika itu terus dipertahankan. Kita melihat beban sejarah yang dipikul pengusung perubahan sudah demikian besar. Seringkali persoalan strategis menjadikan komunikasi antar kelompok terganggu. Surveillence atau pengintelan terjadi di mana-mana. Kekuasaan berusaha mendominasi semua ruang publik dan ruang politik yang ada. Sebuah strategi hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan. Sebuah pengkhianatan hanya bisa dikatagorikan valid atau absah jika Nasdem atau parpol pendukung lainnya meninggalkan Anies. Kehadiran Muhaimin Iskandar dalam jajaran koalisi pendukung Anies Baswedan harus dimaknai sebagai keberhasilan merangkul lawan, menjadi teman. Apalagi Muhaimin membawa gerbong besar, kaum Nahdlatul Ulama. Sebaiknya kita menyebutkan \"Ahlan Wa Sahlan Muhaimin Iskandar\". Mari bersama menyongsong perubahan. (*)

Cawapres Diserahkan ke Anies Baswedan

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa NasDem, PKS dan Demokrat membentuk Koalisi Perubahan Untuk Persatuan (KPP). Diawali dengan deklarasi Nasdem, lalu PKS, kemudian Demokrat pada akhirnya ikut bergabung. Nasdem, partai yang menjadi inisiator terbentuknya KPP mendorong tiga parpol pengusung untuk deklarasi bersama. Namun, urung dilakukan karena Demokrat mensyaratkan deklarasi harus sudah ada pasangan Anies Baswedan. Akhirnya, Nasdem pun deklarasi sendiri di GBK dengan tema Apel Siaga. Ketiga partai ini, Nasdem, PKS dan Demokrat membentuk tim yang diberi nama tim 8. Tim 8 yang dijuru bicarai oleh Sudirman Said ini bertugas mengantar Anies Baswedan sampai ke KPU di hari pendaftaran oktober nanti.  Ketika didaftarkan ke KPU, siapa yang akan menjadi pasangan Anies Baswedan? Ini yang selalu menarik dan menjadi perhatian publik. Tiga parpol yang bergabung di KPP sepakat, soal cawapres diserahkan kepada Anies Baswedan. Dan kamis kemarin, Anies Baswedan dikabarkan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, ketum PKB. Mendengar informasi ini, setelah melakukan klarifikasi yang dirasa cukup, Demokrat marah besar. Sejumlah petinggi Demokrat menghujat Anies Baswedan. Bahkan ada yang sudah menurunkan baliho yang bergambar foto Anies Baswedan - AHY.  Kenapa demokrat harus marah? Bukankah belum ada pengumuman resmi bahwa Anies Baswedan akan berpasangan dengan  Muhaimin? Kalau toh benar Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin, bukankah penentuan cawapres diserahkan sepenuhnya kepada Anies Baswedan? Anies Baswedan diberi hak untuk memilih cawapresnya sendiri. Kemarahan Demokrat seolah membongkar kotak pandora yang selama tersimpan rapat. Kemarahan ini membuka fakta yang selama ini jadi spekulasi publik bahwa: \"Demokrat siap mengusung Anies Baswedan kalau AHY jadi cawapresnya\". Jika AHY tidak jadi cawapres, Demokrat akan hengkang dari KPP. Spekulasi publik mulai kebuka hari kamis, 31 Agustus kemarin. Demokrat marah ketika mendengar kabar Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar. Banyak kader partai secara spontan menyerang dan mendiskreditkan Anies. Publik bertanya-tanya: apa salah Anies? Anies diberi mandat oleh tiga partai untuk menentukan cawapresnya. Ketika cawapres sudah ditentukan, kenapa Anies disalahkan oleh Demokrat? Kalau begitu, penyerahan otoritas untuk menentukan cawapres kepada Anies itu gak serius dong... Publik baru tahu, kenapa Demokrat tidak mau KPP deklarasi Anies Baswedan sebagai capres tanpa ada pasangannya. Rupanya memang Demokrat hanya mau deklarasi kalau pasangan Anies Baswedan itu adalah AHY. Dideklarasikan secara bersamaan. Ini sah-sah saja dalam politik. Daya tawar akan selalu bergantung pada kekuatan yang dimiliki. Itulah politik. Panggung depan tidak selalu sama dengan panggung belakang. Panggung belakang lebih dinamis, dan pada waktunya akan terbuka dan terbaca publik ketika muncul peristiwa politik. Demokrat punya hak untuk mengunci Anies Baswedan: siap ikut mengusung kalau Anies Baswedan menggandeng AHY sebagai cawapresnya. Karena memang, tanpa Demokrat KPP tidak cukup syarat mengsung Anies Baswedan. Di sini, Demokrat merasa dalam posisi penentu. Demokrat pegang kartu truf. Punya daya tawar tinggi untuk dimainkan.  KPP, terutama Nasdem merasa tidak nyaman dengan kuncian Demokrat. Terutama sebagai partai yang paling awal deklarasi Anies Baswedan dan mengambil semua risikonya. Nasdem gerah terhadap cara Demokrat menyandera KPP. Nasdem merasa telah berkorban semuanya. Menterinya ditersangkakan dan dicopot. Bisnis ketum Nasdem dihancurkan. Tv milik ketum kabarnya harus mem-PHK separoh dari karyawannya karena terancam bangkrut. Semua risiko ini dihadapi oleh Nasdem sendirian sebagai konsekuensi mengusung Anies Baswedan. Lalu muncul Demokrat sebagai pendatang terakhir mengunci koalisii. \"Kalau Demokrat bisa mengunci, emang Nasdem tidak bisa melakukan hal yang sama?\" Kata orang Nasdem. \"Kalau Anies dianggap tidak bisa maju kalau Demokrat tidak dukung, itu pemikiran yang keliru. Karena akan selalu ada partai yang memungkinkan bergabung untuk mengusung Anies\", lanjutnya.  Nasdem dan Demokrat bahkan seringkali bersitegang. Adu argumen dan saling sindir di publik antara Nasdem dan Demokrat pun tidak terhindarkan. Dan kamis kemarin, di penghukung bulan Agustus, Nasdem membuktikan ucapannya bahwa \"Demokrat tidak bisa mengunci Anies Baswedan dan KPP\". Masuknya PKB yang didukung oleh Nasdem dan PKS membuka kuncian dan membuyarkan mimpi Demokrat memasangkan Anies-AHY. Kabar yang juga beredar, Demokrat, melalui elitnya juga berkomunikasi intens dengan salah satu kandidat capres. Deal-deal sudah matang dibicarakan jika KPP tidak mengusung Anies-AHY. Ini boleh jadi adalah langkah antisipasi yang dilakukan Demokrat jika nantinya harus keluar dari KPP karena tidak mengusung AHY sebagai cawapres. Ini hal biasa dan wajar dalam politik. Menjadi tidak wajar kalau diikuti dengan kemarahan yang berlebihan. Justru akan dilihat oleh publik sebagai sikap politik yang tidak matang. Ini akan merugikan Demokrat itu sendiri. Dalam politik, ada plan A, plan B dan plan C. Plan A tidak bisa, ya beralih ke plan B. Plan B gak bisa, beralih ke plan C. Begitu juga seterusnya. Jika sudah disiapkan plan-plannya, maka tidak perlu ada sikap cengeng dalam berpolitik. Di sinilah seninya mengelola daya tawar. Itulah politik.  Kalkulasi politik, Demokrat akan lebih diuntungkan jika tetap berada di dalam KPP. Demokrat bisa menaikkan daya tawar sebagai anggota koalisi. Daya tawar ini belum tentu Demokrat dapatkan ketika bergabung ke koalisi lainnya sebagai pendatang baru. Apalagi, pasangan Anies-Muhaimin, jika ini benar-benar terwujud, peluang menangnya jauh lebih besar. Basis PKB di Jatim dan Jateng yang selama ini menjadi daerah gersang bagi Anies Baswedan akan subur kembali untuk mendulang suara Anies Baswedan.  Malah ada yang siap-siap tasyakuran ketika pasangan Anies Baswedan -Muhaimin Iskandar diumumkan. Alasannya: karena kemenangan pasangan ini sudah di depan mata. Jakarta, 1 Seprember 2023

Teruntuk Kader Partai Demokrat di Mana pun Berada, Camkan! (Sebuah Pernyataan Imajiner AHY)

Oleh Ady Amar - Kolumnis Salam Perubahan dan Perbaikan Mencermati kondisi yang ada yang muncul mendera dan dirasakan kader Partai Demokrat, maka pernyataan ini saya buat. Agar kita bisa memandang segala sesuatu tidak memakai persepsi kita tapi lebih mengedepankan proyeksi pada kondisi perpolitikan negeri ini, yang didisain dengan demokrasi compang-camping yang tidak sebenarnya. Karenanya, menghadapi badai apa pun Kader Demokrat mestilah bersikap selayaknya dalam memandang segala persoalan, baik mencederai kita langsung maupun tidak langsung, tetap dituntut mengedepankan politik yang lebih pada kepentingan rakyat daripada kepentingan partai kita. Itulah tujuan dalam berpartai, yang tidak hanya mementingkan kekuasaan lalu memaksaakan diri di luar kepatutan. Kader Demokrat tidaklah demikian. Ini yang mesti jadi pegangan dalam menyikapi sesuatu dengan tidak berlebihan. Janganlah anggap bahwa apa yang hari-hari ini dihadapi Partai Demokrat, itu akhir kesempatan untuk berbakti pada negeri ini. Tidak. Justru kita tunjukkan bahwa Kader Demokrat bisa memahami konstelasi politik yang terkadang tidak mengenakkan yang mesti kita terima. Maka, memandangnya tidak perlu dengan ratapan berlebihan, yang justru menampakkan seolah kita tidak dewasa dalam berpolitik. Apa pun yang muncul mendera kita, itu semua bagian dari perjuangan yang mesti kita jalani mau tidak mau, suka tidak suka. Itulah konsekuensi perjuangan. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang terdiri dari NasDem, PKS, dan Demokrat sudah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Bacapres, sedang siapa yang akan menjadi Bacawapres nya diserahkan pada Anies untuk memilih siapa yang dianggap selayaknya untuk mendampinginya. Tentu semua akan diukur oleh elektabilitas dan aspek-aspek lain, tentunya yang bisa menyumbang suara signifikan untuk memenangkan Pilpres 2024. Dalam hampir semua polling dan rilis lembaga survei, bahwa yang lebih dikehendaki dan punya kans keterpilihan paling tinggi dalam simulasi Anies dipasangkan dengan berbagai nama, yang tertinggi adalah nama saya, AHY. Kebersamaan saya bersama Bacapres Anies dielu-elukan seolah tinggal waktu yang tepat untuk secara resmi dideklarasikan. Terakhir kebersamaan saya dengan Anies saat sama-sama menghadiri pertunjukan Wayang Kulit memenuhi undangan PKS, itu keakraban kami yang tampak. Undangan PKS pada saya selaku Ketua Umum Demokrat, yang juga mengundang NasDem yang berhalangan hadir, itu seakan menegaskan sebuah pasangan serasi Anies-AHY sedang dipersandingkan. Tapi semua itu buyar saat kabar terpilihnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar--biasa dipanggil Cak Imin--yang bukan dari KPP seakan mendapat karpet merah mendampingi Anies sebagai Bacawapres nya. Saya merasakan kekecewaan dari semua Kader Demokrat dari pusat sampai daerah, yang lalu mengekspresikan kemarahannya dengan berbagai cara. Baik lewat pernyataan masing-masing pihak dengan berbagai pernyataan, intinya ada penghianatan salah satu partai dalam KPP. Sebagaimana yang sebelumnya disampaikan Ketua Bapillu Partai Demokrat Andi Arif, ada salah satu partai pengkhianat dalam KPP. Apa yang disampaikan Andi Arif itu sinyal, agar semua partai yang tergabung dalam KPP untuk sadar diri, bahwa tidak ada yang boleh merasa paling berkuasa lalu bersikap semaunya. Tapi ada pula kemarahan Kader Demokeat yang diekpresikan lewat media sosial, terutama Twitter; kecewa dan geram. Semua muncul dengan ekspresi kemarahan. Itu hal manusiawi. Merasa dikhianati dengan tidak diajak bicara saat penentuan Cawapres itu diputuskan, dan Anies hanya bersama NasDem. Mengesampingkan PKS dan Demokrat. Sebagai Kader Demokrat tentu merasa \"ditinggal\" atau \"dikhianati\", itu adalah hal wajar. Kemarahan yang diekpresikan dengan berbagai cara yang dimungkinkan itu boleh-boleh saja sampai batas yang wajar. Tapi tidak elok jika berlebihan, seolah kita bergabung dalan koalisi itu semata agar saya, AHY, dipilih sebagai Cawapres nya Anies. Meski keinginan itu sah-sah saja, tapi tidak semata ingin menjadi Bacawapres yang menjadikan kita bergabung dalam misi yang mengusung semangat \"perubahan\". Kader Demokrat mestinya melihatnya lebih ke sana. Maka, hentikan kesumpekan hati yang muncul. Cepat-cepatlah move on. Tidak perlu larut dalam emosi kemarahan yang berlarut, itu tidak baik yang akan menjadikan emosi tidak keruan. Mari kita lihat seluruh persoalan yang muncul dengan wise, dan itu untuk tidak saling menyalahkan. Lihatlah sesuatu tidak dengan kacamata yang semata kita inginkan. Dengan demikian kita bisa melihat kepentingan yang lebih besar yang mesti diperjuangkan. Apa itu? Perubahan pada bangsa, dan nasib rakyat yang mesti kita rubah menjadi lebih baik. Maka, konsentrasi kita arahkan pada hal demikian. Pastikan melihat semua persoalan politik yang muncul dengan pemahaman yang utuh, yang tentu tidak boleh dilepaskan dari tekanan penguasa untuk tidak AHY yang boleh berdampingan dengan Anies. Ini bukan sama sekali soal integritas Anies yang luntur, yang karena pilihan pada Cak Imin. Jangan mengoreksi integritas seorang Anies Baswedan, pribadi yang selalu berpegang pada komitmen. Jika saat ini tampak oleng, itu semata tekanan psikologis yang dahsyat. Soal itu bisa diserupakan, meski tidak dalam persoalan yang sama, apa yang dialami filsuf Yunani kuno Socrates, yang dipaksa bunuh diri dengan menenggak racun. Begitu pula tekanan yang diterima Pak Surya Paloh, yang sampai bisnisnya pun diganggu dengan serius, sebuah konsekuensi memilih Anies yang tidak disuka, bahkan jadi momok para bandit kartel. Karenanya, sikapnya seakan jalan sendiri menentukan arah koalisi, itu tidak terlepas tekanan politik yang diterimanya begitu dahsyat. Sikapnya yang semula tegar pun tampak oleng. Maka, tidak fair dan kurang tepat jika menilai intergitasnya. Biar waktu nantinya yang akan menjawab. Sekali lagi, teruntuk Kader Demokrat di mana pun berada, bahwa yang terpenting buat Partai Demokrat bukanlah AHY harus menjadi Cawapres, tapi yang utama adalah membangun negeri dengan semangat perubahan. Waktu masih panjang saat pendaftaran resmi pasangan Capres, semua hal bisa terjadi. Semua punya kemungkinan untuk berubah, maka di sanalah Partai Demokrat akan menemukan tempat pijakannya yang pas dan tak mungkin bisa lagi digoyang. Tetap tataplah ke depan, dan jika perlu berhenti sejenak di tempat, itu terkadang diperlukan untuk bisa melangkah lebih jauh lagi. Sekian. AHY

Potong Tangan Koruptor

Oleh Ahmad Fahmi - Pemerhati Sosial Politik ANAS Urbaningrum dan Muhammad Romahurmuzy, jika membaca nama itu kata apa yang pertama terfikir di benak Anda? Sayang sekali jika kata itu adalah koruptor. Padahal mereka itu adalah representasi kaum santri yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Politik di usia yang masih muda, Anas 41 tahun, Romy 43 tahun. Keduanya juga lulusan universitas terkemuka, Anas dari FISIP Unair, Romy dari Teknik Fisika ITB. Keduanya juga adalah aktifis HMI bahkan Anas hingga Ketua Umum. Keduanya berlatar belakang nahdliyin bahkan Romy merupakan keturunan darah biru NU melalui kakek buyutnya KH Wahab Hasbullah. Saya juga bisa menyebut nama-nama lain yaitu Luthfi Hasan, Imam Nahrawi dan Patrialis Akbar. Di level daerah tentunya lebih banyak lagi. Mungkin itu adalah bukti dari ucapan Mahfud MD sebelum menjadi Menkopolhukam: \"Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.\". Salah satu penyebab politik biaya tinggi ini menurut saya adalah sistem pemilu proporsional terbuka yang menjadikan para caleg menjadi sangat individualis, bahkan antar teman separtai pun menjadi lawan pada pemilu. Di tingkat yang lebih tinggi, pemilihan presiden secara langsung juga menjadi penyebab politik biaya tinggi ini. Tapi bukan ini yang akan saya bahas, itu hanya sekedar lontaran pemikiran. Yang mau saya bahas sekarang ini adalah tanggung jawab dari dua organisasi Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang konon jika dijumlah warganya tidak kurang dari setengah jumlah penduduk Indonesia yang sekarang sekitar 275 juta orang. Keduanya punya tanggungjawab etika dan moral untuk merombak sistem yang koruptif ini menjadi sistem yang bersih, bukan hanya sekedar jargon-jargin seperti sekrang ini. Yang lebih pedih lagi, sekarang ini kasus korupsi dijadikan instrumen politik untuk menghabisi lawan politik, padahal yang menghabisi itu lebih korup daripada yang dihabisi. Cara terbaik untuk itu adalah dengan mendukung capres-cawapres yang jelas-jelas anti korupsi, bukan hanya lip service saja. Ketika saya berbicara NU dan Muhammadiyah, saya tidak sedang bicara PBNU dan PP Muhammadiyah tapi lebih ke warga NU dan Muhammadiyah, karena para pengurus selalu akan bertameng di balik azas netralitas, yang sayangnya sebenarnya juga mendukung kandidat tertentu sebenarnya dengan cara halus tetapi juga kadang terpaksa juga terang-terangan. Ada seseorang yang menurut saya layak menjadi calon presiden yang didukung NU-Muhammadiyah ini yaitu yang kata-katanya saya kutip di atas yaitu Mahfud MD.  Saya lihat beliau bisa mempertahankan integritas anti korupsi serta akal sehatnya, terbukti dengan membuka sesuatu yang ditutup-tutupi seperti ketika kasus Sambo dan Mario Dandi. Sayangnya kasus-kasus sampingnya dilokalisir sehingga hanya menjadi drama rumah tangga dan drama percintaan remaja saja. Kasus beking Judi dan kasus 340 Trilyun di kemenkeu seakan tenggelam.  Mahfud itu butuh dukungan terus untuk melawan korupsi yang sudah sistemik dan masif ini, misalnya dengan melakukan kampanye \"Potong Tangan Koruptor\" yang masif dan sistemik pula.  Tagar #PotongTanganKoruptor ini bukan dalam arti harfiah, tapi agar para koruptor terutama yang bekerja sebagai mastermind yang selama ini menggurita di pemerintahan maupun BUMN dapat kita potong tangannya sehingga tidak lagi mampu mengatur sana-sini bahkan bisa mengatur siapa yang akan dikenai kasus korupsi. Ini dimaksud supaya kita tidak melihat kasus korupsi hanya pada level individu lalu kita menjelek-jelekan dan membully pelaku seperti Anas dan Romi serta melupakan the invisibles men yang bahkan bisa mempermainkan kasus-kasus korupsi untuk keuntungan mereka sendiri. Karena korupsi yang dilakukan masif dan sistemik, maka kampanye anti  korupsi pun mesti masif dan sistemik, jangan individualistik. Sejak KPK dibentuk 20 tahun lalu tidak ada kemajuan, bahkan KPK dijadikan instrumen para politisi untuk saling menjatuhkan, hal ini menyedihkan sekali. Kadang-kadang kita heran manusia itu sangatlah kreatif dalam arti yang negatif, bahkan yang seharusnya ditakuti malah dimanfaatkan. Meskipun saya sebut di atas bahwa tagar #PotongTanganKoruptor itu bukan dalam arti harfiah, saya tidak menolak jika kita mau menggunakan arti harfiahnya juga, artinya kita tetapkan hukum potong tangan bagi para koruptor. Hukuman ini sebenarnya lebih ringan daripada fatwa hukuman mati untuk koruptor yang dikeluarkan pada Munas dan Konferensi Besar NU tahun 2012:  Menerapkan hukuman mati bagi koruptor adalah mubah (boleh), apabila telah melakukan korupsi berulang kali dan tidak jera dengan berbagai hukuman, atau melakukannya dalam jumlah besar yang dapat membahayakan rakyat banyak. Fatwa hukuman mati ini sepertinya mengacu pada surat al-Maidah ayat 33-34 yang acuannya pada pembuat kerusakan di muka bumi, sedangkan hukum potong tangan lebih ringan karena diterapkan hanya untuk pencuri biasa yang mengacu pada ayat 38 surat al-Maidah pula. Dalam konteks pemilihan presiden yang tinggal dua bulan lagi masa pendaftaran calonnya, saya harap kampanye dengan tagar #PotongTanganKoruptor ini dapat menjadikan  Mahfud MD sebagai salah satu calon Presiden RI yang didukung oleh warga NU dan Muhammadiyah utamanya dan semua orang yang berfikir idealis di masyarakat seperti Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Jaya Suprana, Butet Kartaredjasa, Sujiwo Tejo, Rocky Gerung dan banyak lainnya. Mengenai biaya kampanye capres tinggal dilakukan secara urunan oleh warga NU dan Muhammadiyah misalnya dengan gelar sorban atau mengedarkan kenclengan. Sangat memalukan sekali jika gabungan jumlah warga NU dan Muhammadiyah yang konon 150 juta jiwa, untuk mengumpulkan dana kampanye Rp 5 Trilyun saja tidak mampu. Mengenai partai yang dapat mendukung  Mahfud MD untuk dapat menjadi capres masih ada kemungkinan untuk dicarikan, karena sekarang pun kita melihat meskipun gembar-gembornya sudah solid koalisi-koalisi ternyata kenyataannya masih cair. Pasangan ideal anti korupsi menurut saya adalah Mahfud MD - Anies Baswedan karena di situ ada kekuatan perwakilan NU pada diri Mahfud MD dan perwakilan Muhammadiyah pada diri Anies Baswedan dengan begitu akan ada kekompakan NU-Muhammadiyah di sana. Untuk dapat 20 % suara saya kira untuk pasangan itu sangat mudah, bisa berbagai variasi misalnya Nasdem-PKB-PKS, PKB-PAN-PKS, Nasdem-PKS-PPP dan lain-lain. Untuk mewujudkan pasangan ini diperlukan jiwa besar dari Anies Baswedan untuk mengalah menjadi cawapres Mahfud MD, sebagaimana dilakukan Sandiaga Uno yang mau mengalah menjadi cawagub Anies Baswedan pada pilkada DKI Jakarta 2017. Sekadar mengingatkan pada waktu itu pasangan yang sudah fix untuk maju di pilkada DKI adalah Sandiaga Uno (Gerindra) - Mardani Ali Sera (PKS) , tapi di saat-saat terakhir pendaftaran atas saran Jusuf Kalla kepada Prabowo diubah menjadi Anies-Sandi. Insya Allah pada pilpres 2024 ini sukses poros tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai Presiden di tahun 1999 akan berulang. Setelah 25 tahun, sudah saatnya orang NU kembali menjadi Presiden RI. Saya rindu lantunan shalawat badar dan teriakan takbir berkumandang menyambut kemenangan itu. (*)

Ibu Kota Cina Akan Muncul di Kalimantan

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  NAFSU ekspansionis China semakin nampak nyata.  setelah selama delapan abad akan menguasai Indonesia. Setelah mereka saat ini justru diberi karet merah untuk leluasa menguasai Indonesia. Peta Baru China menguasai Indonesia tergambar dalam kerjasama IKN dgn RRC.  Isi  kerjasama di Candu tanggal 28 Juli 2023, lalu dalam delapan poin kerjasama dan kerjasama bangun IKN, sebagai Ibu Kota Negara Baru, proses dan kepentingan politiknya sangat membahayakan keamanan dan kedaulatan negara. Rencana pembangunan IKN dengan porsi saham pembangunan 20% Indoensia dan 80% RRC. Di Ibu Kota Baru Negara yang di bangun itu sama saja dengan Indonesia mengundang China bangun Ibu Kota Negara untuk kepentingan China. Apalagi masa Konsesia nya 160 Tahun.  Karena kebodohan dan keterbatasan pemahaman tentang tugas kepala negara adalah menegakan kedaulatan , mempertahankan keutuhan negara dan melindungi segenap bangsa Indonesia . Presiden justru bertindak ceroboh  terkesan menjual negara,  tanah air dan kedaulatan ke Cina dengan ugal ugalan. Kecelakaan yang diprediksi dan sudah mulai nampak penduduk IKN akan dibuat mayoritas Cina dengan memindahkan  jutaan suku Han dari Cina ke pemukiman baru di IKN. Mirip pencaplokan Singapura dan  skenario pencaplokan  Turkistan Timur sekarang jadi propinsi Xinjiang. Sekarang suku Han sudah eksodus  membanjiri Indonesia dengan menyamar sebagai TKA Cina, sebentar lagi pindah setelah pemukiman IKN siap huni. Model ibukota Indonesia IKN akan berbudaya Tiongkok ( dengan mayoritas Cina yang menghuni IKN). Orang kaya di IKN mayoritas Cina  dan sedikit ASN ,TNI - Polri beserta keluarganya sementara penduduk asli akan terpinggirkan. Pendatang dari Propinsi lain akan sulit masuk karena IKN akan jadi kota yg eksklusif , mahal, dan akan ada persyaratan yg ketat jika ingin jadi penduduk IKN.  Pribumi tidak  akan mampu hidup di IKN. Mirip pembangunan perumahan yang saat ini di kembangkan sinarmas, lippo, eklusif untuk Cina dan masjid saja tidak boleh dibangun atas kesepakatan penghuninya yang mayoritas Cina.  IKN akan memicu awal  berdirinya Negara Indochina, diikuti kebangkrutan Indonesia diberbagai propinsi akibat kebijakan yang tidak memihak pribumi dan elit pusat  hidup mewah foya foya dari fasilitas negara sebagaimana yang sekarang lazim terjadi di negara berideologi Komunis. Sebelum Indonesia di komuniskan Cina. Solusinya Rakyat harus cerdas jangan mau ditipu dengan sinetron pencitraan rezim korup. Warga pribumi harus bangkit melawan dari aneksasi Cina yang justru di fasilitasi oleh rezim penguasa saat ini. Rakyat Indonesia harus berani bangkit jika tidak ingin anak cucu bangsa punah di usir dari tanah kelahiranya oleh penjajah. Mirip melayu Singapura yang terusir dari tanah kelahirannya setelah cina kuasai Singapura. Itulah yang juga akan terjadi di Kalimantan, wajar dan normal rakyat minta proses pembangunan IKN di Kalimantan harus di hentikan. Semua warga asing khusus Cina yang masuk secara ilegal secepatnya harus di kembalikan ke negaranya. Mengabaikan rintihan dan tuntutan rakyat, Jokowi akan di anggap sebagai musuh negara. Karena dianggap mengkhianati tanah air, Kedaulatan dan Kemerdekaan yang di perjuangan dengan sangat mahal Bangsa Indonesia. *****

Tata Aturan Pemilu Indonesia Seperti Ramalan Cuaca Yang Sulit Diduga

Oleh Jacob Ereste - Aktivis Senior PERS tidak saja memang menjadi bagian terpenting dalam Pemilu, tapi  juga penting dalam upaya membangun kesadaran masyarakat melalui informasi, publikasi dan komunikasi yang disuguhkan. Bahkan dapat berperan menjadi penekan tampilan hoax yang liar berseliweran pada  media sosial yang tampak tidak mampu dijinakkan  atau dikendalikan oleh pemerintah, utamanya Kemenkominfo. Dalam konteks pesta demokrasi -- Pemilu --kata Ketua Dewan Pers, Dr. Nanik Rahayu  lebih gagah lagi, sebab menurut dia, pers bertanggung jawab melahirkan dan merawat nilai- nilai demokrasi, agar sesuai dengan tujuan Pemilu. Dalam acara Workshop spesial Peliputan Pemilu 2024 di Jakarta, 24 Agustus 2023, Nanik Rahayu memaparkan bahwa Pers bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat, kredibel dan harus dapat menambah daya intelektual masyarakat. Kecuali itu, Pers pun tidak bisa lepas dari fungsi kontrol terhadap apa yang patut untuk diketahui. Bahkan, kritik dan masukan yang disampaikan oleh Pers hendaknya memenuhi kebutuhan informasi untuk masyarakat, serta tidak sekedar sesuai dengan keinginan rakyat. Masalahnya, bagi Insan Pers sendiri acap menghadapi kendala -- tidak cuma sering dihalang-halangi untuk mendapat menemui sumber berita guna melengkapi data yang akurat, tetapi juga tidak sedikit diantara insan Pers yang mendapat ancaman atau bahkan perlakuan tindak kekerasan saat mencari informasi atau setelah berita yang dilaporkan menjadi konsumsi publik, sehingga dirasa tidak menyenangkan atau ditanggapi mengusik pihak yang diberitakan. Kendati UU Pers sendiri jelas mengamanahkan bahwa Pers wajib memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi serta adanya hak kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dari hak dasar asasi manusia. Idealnya memang perlunya jalinan  kerjasama dengan semua pihak, terutama dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang harus terbuka bahkan insan pers bisa mendapatkan akses dengan mudah terhadap semua pihak -- penyelenggara, peserta serta segenap pendukung pelaksanaan Pemilu -- agar dapat sukses terselenggara dengan baik, sehingga dapat menghasilkan kualitas Pemilu yang lebih baik dari pelaksanaan Pemilu sebelumnya yang banyak meninggalkan  catatan buruk dan sangat tercela, tidak sama sekali dapat dijadikan rujukan yang baik untuk pendidikan bagi rakyat. Belum lagi sekarang ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan Kampanye di Kampus dan Sekolah bagi peserta Pemilu 2024. Dan MK yang telah merevisi materi pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu itu semakin menambah gaduh dan mengeruhnya suasana  menjelang Pemilu yang masih ditimpali oleh sengketa batas usia yang hendak diturunkan agar calon Wakil Presiden tertentu bisa memenuhi persyaratan. Padahal, dalam kejanggalan ini masih juga dimungkinkan bisa  diberlakukannya bagi mereka yang pernah menjabat.  Sementara Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu\'ti sudah memberikan penolakan keras  untuk tidak memberi izin kegiatan kampanye Pemilu di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti dia ungkap kepada CNNIndonesia, 25 Agustus 2023. Jadi, kegaduhan serupa ini pun menambah potensi pecahnya konsentrasi insan Pers akibat makin melebarnya masalah Pemilu yang sudah punya banyak catatan yang mengkhawatirkan, seperti untuk lebih mengetahui ada atau tidaknya keengganan dari para petugas di TPS yang dahulu banyak menjadi korban kehilangan nyawa setelah menjalankan tugasnya. Karena Pers bertanggung jawab memberi informasi yang akurat, kredibel serta fungsinya yang melakukan  kontrol demi dan untuk masyarakat. Demikian juga pengawasan Pers terhadap kampanye hitam, politik uang dan sejumlah kecenderungan melakukan kevurangan. Baik sebelum maupun setelah pemungutan suara dilakukan yang harus diawasi secara ketat bersama warga masyarakat. Kalau pun dapat diwujudkan bagi insan Pers yang ikut menjadi peserta Pemilu harus mengambil cuti, agaknya cukup banyak pemilik media massa itu yang juga merupakan boss besar dari Partai Politik yang ada di Indonesia. Jadi secara etik, pilihan untuk mengambil cuti itu bagi peserta Pemilu sungguh ideal, namun pada prakteknya tidak adil secara hukum dan sangat muskil bisa diwujudkan.  Karena untuk mengawasi kerja profesi insan pers yang juga menjadi peserta Pemilu -- legislatif pada umumnya -- sungguh sulit, seperti hendak memisahkan seorang ustad yang juga menjadi Calon Legislatif dengan umatnya yang selalu aktif dan berkegiatan di tempat ibadah. Pendek kata, dilema insan pers dalam Pemilu tidak kalah rumit dibanding dengan penyelenggara Pemilu maupun peserta Pemilu itu sendiri. Apalagi kemudian insan Pers itu sendiri juga ikut menjadi peserta Pemilu kali ini yang semakin ribet tata aturan pelaksanaannya. Lantas apa pula bedanya dengan pejabat yang masih aktif, tapi aktif pula menjadi operator untuk memenangkan seorang kandidat yang dia jagokan. Mungkin sekadar lelucon belaka bila seorang kawan yang profesinya stand up Comedy mengatakan, bila Pemilu di Indonesia hari ini, seperti ramalan cuaca yang makin sulit diperkirakan. Karena iklimnya sangat tergantung pada pusingan angin yang tida menentu pula arahnya. Banten, 30 Agustus 2023.

Berebut Jokowi Tanda Tak Pede

Oleh Yarifai Mappeaty - Pemerhati Sosial Politik  DINAMIKA politik Indonesia sepanjang Juli - Agustus 2023, ditandai oleh sejumlah fenomena politik yang cukup menyita perhatian publik. Salah satu yang paling mengemuka adalah perang baliho antara Ganjar dan Prabowo, yang masing-masing memasang gambar Jokowi bersamanya, seperti terpajang di berbagai kota di Indonesia.  Entah siapa yang memulai, kurang jelas. Namun, perang baliho itu tampaknya dimulai di Kota Sorong, Papua Barat.  Sorongnews.com pada 26 Juni 2023 merilis bahwa di kota itu muncul baliho Jokowi – Prabowo bertuliskan “2024 Jatahnya Pak Prabowo” dan “Bersatu Membangun Bangsa”. Baligo Prabowo itu tampaknya sangat mengganggu sekaligus membuat kubu Ganjar dan kader PDIP, merasa tak nyaman. Terbukti, tak lama setelahnya, muncul pula baliho Ganjar – Jokowi di sebelahnya, bertuliskan “Lanjutkan Bersama Ganjar”.  Tampak bahwa kubu Ganjar tak terima Jokowi yang nota bene kader PDIP “dibajak” oleh kubu Prabowo yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra. Genderang perang baliho pun ditabuh bertalu semenjak itu.  Tetapi kubu Prabowo bukannya ciut, malah makin bernyali. Di Kota Solo, Jawa Tengah, yang diklaim sebagai kandang Ganjar dan PDIP, sepekan lebih kemudian, bertebaran baliho Prabowo – Jokowi yang tampak kian mesra dengan tulisan “Untuk Indonesia Terus Maju” (Kompas.com 08/07/2023). Pemasangan baliho yang menggambarkan kemesraan Prabowo dan Jokowi di Jawa Tengah, tampaknya dilakukan secara massif. Sebab tak hanya di Solo, tetapi juga di beberapa kota lainnya. Di Semarang, misalnya, tak kurang dari 211 baliho terpasang.  Massifnya pemasangan baliho Prabowo – Jokowi di kantong-kantong PDIP di Jawa Tengah, pada akhirnya membuat gerah para petinggi PDIP. Sampai-sampai Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, harus bereaksi keras. Sebab pemasangan baliho itu ia curigai sebagai upaya untuk menyedot suara partainya tribunnews.com 09/07/2023). Namun kubu Prabowo tetap bergeming dan tak ambil pusing. Buktinya, di sejumlah daerah malahan muncul billboard Prabowo bersama Jokowi berukuran besar dengan tulisan “Menang Bersama Untuk Indonesia Raya” (cnnindonesia.com, 14/07/2023). Tak mau kalah, kubu Ganjar dan PDIP kemudian membalas. Di Semarang, ibu kota  Provinsi Jawa Tengah, bertebaran baliho Ganjar bersama Jokowi bertuliskan “ Jokowi Pilih Ganjar Presiden” (jateng.inews.id 16/07/2023). Mungkin merasa belum puas, Solopos.com, 21 Juli 2023, melaporkan bahwa kubu Ganjar kembali memasang baliho raksasa di Solo dengan tulisan “Terus Maju Bersama Ganjar”. Pada bagian bawah tampak gambar Jokowi seolah berpidato dengan mengucapkan, “Saya memilih Ganjar Pranowo untuk meneruskan kepemimpinan Indonesia.\"  Seiring dengan itu, baliho mesra Prabowo – Jokowi yang terpasang sebelumnya di sejumlah sudut kota, dilaporkan menghilang perlahan (detik.com, 21 Juli 2023). Entah dicopot sendiri atau dicopot orang, menghilangnya baliho itu tampaknya bukan masalah bagi kubu Prabowo. Lantas, siapa yang bakal memenangi perebutan Jokowi? Usai Partai Golkar dan PAN menyatakan bergabung dengan Prabowo, PDIP tiba-tiba menyerang program food estate dan menyebutnya sebagai kejahatan lingkungan.  Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan jikalau Jokowi lebih memilih bersama Prabowo. Untuk memastikannya, tinggal menunggu pasangan Prabowo – Gibran, dideklarasikan. Memangnya, mengapa harus berebut Jokowi? Begitu mantan Gubernur DKI Jakarta itu memutuskan cawe-cawe, maka ia akan menjadi salah satu faktor paling menentukan dalam kontestasi Pilpres 2024. Sebab mulai dari TNI, BIN, POLRI, KPU, hinggga MK, tetap masih dalam kendalinya, meski sudah berada diujung-ujung kekuasaanya. Jika Jokowi hendak memenangkan pasangan Capres – Cawapres tertentu dengan menggunakan sejumlah institusi negara tersebut, maka dapat dipastikan tak ada yang mampu merintangi, kendati hal itu dapat dinilai sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi.  Fenomena berebut Jokowi membuat penulis tiba-tiba terbayang pada dua bocah yang sedang berebut sebuah boneka hero dari kayu. Gemes dan lucu. Seolah, kedua bocah itu baru merasa superior dan tak terkalahkan, setelah memiliki boneka kayu itu.  Berebut Jokowi untuk memenangi Pilpres 2024, selain tak percaya diri, sebenarnya, juga tak percaya pada rakyat (ym). Depok, 31 Agustus 2023.