Potong Tangan Koruptor
Oleh Ahmad Fahmi - Pemerhati Sosial Politik
ANAS Urbaningrum dan Muhammad Romahurmuzy, jika membaca nama itu kata apa yang pertama terfikir di benak Anda? Sayang sekali jika kata itu adalah koruptor. Padahal mereka itu adalah representasi kaum santri yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Politik di usia yang masih muda, Anas 41 tahun, Romy 43 tahun. Keduanya juga lulusan universitas terkemuka, Anas dari FISIP Unair, Romy dari Teknik Fisika ITB. Keduanya juga adalah aktifis HMI bahkan Anas hingga Ketua Umum. Keduanya berlatar belakang nahdliyin bahkan Romy merupakan keturunan darah biru NU melalui kakek buyutnya KH Wahab Hasbullah. Saya juga bisa menyebut nama-nama lain yaitu Luthfi Hasan, Imam Nahrawi dan Patrialis Akbar. Di level daerah tentunya lebih banyak lagi.
Mungkin itu adalah bukti dari ucapan Mahfud MD sebelum menjadi Menkopolhukam: "Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.".
Salah satu penyebab politik biaya tinggi ini menurut saya adalah sistem pemilu proporsional terbuka yang menjadikan para caleg menjadi sangat individualis, bahkan antar teman separtai pun menjadi lawan pada pemilu. Di tingkat yang lebih tinggi, pemilihan presiden secara langsung juga menjadi penyebab politik biaya tinggi ini. Tapi bukan ini yang akan saya bahas, itu hanya sekedar lontaran pemikiran.
Yang mau saya bahas sekarang ini adalah tanggung jawab dari dua organisasi Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang konon jika dijumlah warganya tidak kurang dari setengah jumlah penduduk Indonesia yang sekarang sekitar 275 juta orang. Keduanya punya tanggungjawab etika dan moral untuk merombak sistem yang koruptif ini menjadi sistem yang bersih, bukan hanya sekedar jargon-jargin seperti sekrang ini. Yang lebih pedih lagi, sekarang ini kasus korupsi dijadikan instrumen politik untuk menghabisi lawan politik, padahal yang menghabisi itu lebih korup daripada yang dihabisi. Cara terbaik untuk itu adalah dengan mendukung capres-cawapres yang jelas-jelas anti korupsi, bukan hanya lip service saja.
Ketika saya berbicara NU dan Muhammadiyah, saya tidak sedang bicara PBNU dan PP Muhammadiyah tapi lebih ke warga NU dan Muhammadiyah, karena para pengurus selalu akan bertameng di balik azas netralitas, yang sayangnya sebenarnya juga mendukung kandidat tertentu sebenarnya dengan cara halus tetapi juga kadang terpaksa juga terang-terangan.
Ada seseorang yang menurut saya layak menjadi calon presiden yang didukung NU-Muhammadiyah ini yaitu yang kata-katanya saya kutip di atas yaitu Mahfud MD. Saya lihat beliau bisa mempertahankan integritas anti korupsi serta akal sehatnya, terbukti dengan membuka sesuatu yang ditutup-tutupi seperti ketika kasus Sambo dan Mario Dandi. Sayangnya kasus-kasus sampingnya dilokalisir sehingga hanya menjadi drama rumah tangga dan drama percintaan remaja saja. Kasus beking Judi dan kasus 340 Trilyun di kemenkeu seakan tenggelam. Mahfud itu butuh dukungan terus untuk melawan korupsi yang sudah sistemik dan masif ini, misalnya dengan melakukan kampanye "Potong Tangan Koruptor" yang masif dan sistemik pula.
Tagar #PotongTanganKoruptor ini bukan dalam arti harfiah, tapi agar para koruptor terutama yang bekerja sebagai mastermind yang selama ini menggurita di pemerintahan maupun BUMN dapat kita potong tangannya sehingga tidak lagi mampu mengatur sana-sini bahkan bisa mengatur siapa yang akan dikenai kasus korupsi. Ini dimaksud supaya kita tidak melihat kasus korupsi hanya pada level individu lalu kita menjelek-jelekan dan membully pelaku seperti Anas dan Romi serta melupakan the invisibles men yang bahkan bisa mempermainkan kasus-kasus korupsi untuk keuntungan mereka sendiri. Karena korupsi yang dilakukan masif dan sistemik, maka kampanye anti korupsi pun mesti masif dan sistemik, jangan individualistik. Sejak KPK dibentuk 20 tahun lalu tidak ada kemajuan, bahkan KPK dijadikan instrumen para politisi untuk saling menjatuhkan, hal ini menyedihkan sekali. Kadang-kadang kita heran manusia itu sangatlah kreatif dalam arti yang negatif, bahkan yang seharusnya ditakuti malah dimanfaatkan.
Meskipun saya sebut di atas bahwa tagar #PotongTanganKoruptor itu bukan dalam arti harfiah, saya tidak menolak jika kita mau menggunakan arti harfiahnya juga, artinya kita tetapkan hukum potong tangan bagi para koruptor. Hukuman ini sebenarnya lebih ringan daripada fatwa hukuman mati untuk koruptor yang dikeluarkan pada Munas dan Konferensi Besar NU tahun 2012:
Menerapkan hukuman mati bagi koruptor adalah mubah (boleh), apabila telah melakukan korupsi berulang kali dan tidak jera dengan berbagai hukuman, atau melakukannya dalam jumlah besar yang dapat membahayakan rakyat banyak.
Fatwa hukuman mati ini sepertinya mengacu pada surat al-Maidah ayat 33-34 yang acuannya pada pembuat kerusakan di muka bumi, sedangkan hukum potong tangan lebih ringan karena diterapkan hanya untuk pencuri biasa yang mengacu pada ayat 38 surat al-Maidah pula.
Dalam konteks pemilihan presiden yang tinggal dua bulan lagi masa pendaftaran calonnya, saya harap kampanye dengan tagar #PotongTanganKoruptor ini dapat menjadikan Mahfud MD sebagai salah satu calon Presiden RI yang didukung oleh warga NU dan Muhammadiyah utamanya dan semua orang yang berfikir idealis di masyarakat seperti Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Jaya Suprana, Butet Kartaredjasa, Sujiwo Tejo, Rocky Gerung dan banyak lainnya. Mengenai biaya kampanye capres tinggal dilakukan secara urunan oleh warga NU dan Muhammadiyah misalnya dengan gelar sorban atau mengedarkan kenclengan. Sangat memalukan sekali jika gabungan jumlah warga NU dan Muhammadiyah yang konon 150 juta jiwa, untuk mengumpulkan dana kampanye Rp 5 Trilyun saja tidak mampu.
Mengenai partai yang dapat mendukung Mahfud MD untuk dapat menjadi capres masih ada kemungkinan untuk dicarikan, karena sekarang pun kita melihat meskipun gembar-gembornya sudah solid koalisi-koalisi ternyata kenyataannya masih cair. Pasangan ideal anti korupsi menurut saya adalah Mahfud MD - Anies Baswedan karena di situ ada kekuatan perwakilan NU pada diri Mahfud MD dan perwakilan Muhammadiyah pada diri Anies Baswedan dengan begitu akan ada kekompakan NU-Muhammadiyah di sana. Untuk dapat 20 % suara saya kira untuk pasangan itu sangat mudah, bisa berbagai variasi misalnya Nasdem-PKB-PKS, PKB-PAN-PKS, Nasdem-PKS-PPP dan lain-lain. Untuk mewujudkan pasangan ini diperlukan jiwa besar dari Anies Baswedan untuk mengalah menjadi cawapres Mahfud MD, sebagaimana dilakukan Sandiaga Uno yang mau mengalah menjadi cawagub Anies Baswedan pada pilkada DKI Jakarta 2017. Sekadar mengingatkan pada waktu itu pasangan yang sudah fix untuk maju di pilkada DKI adalah Sandiaga Uno (Gerindra) - Mardani Ali Sera (PKS) , tapi di saat-saat terakhir pendaftaran atas saran Jusuf Kalla kepada Prabowo diubah menjadi Anies-Sandi.
Insya Allah pada pilpres 2024 ini sukses poros tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai Presiden di tahun 1999 akan berulang. Setelah 25 tahun, sudah saatnya orang NU kembali menjadi Presiden RI. Saya rindu lantunan shalawat badar dan teriakan takbir berkumandang menyambut kemenangan itu. (*)