OPINI
SBY Baperan VS Surya Paloh Yang Mengagumkan (Bag-1)
Oleh Kisman Latumakulita/Wartawan Senior FNN Kalau anda tidak mau dikhianati kelak, maka jangan pernah berpikir untuk menjadi pengkhianat terhadap siapapun. Hanya pengkhianat saja yang ditakdirkan untuk dikhianati nantinya. Entah itu datangnya kapan? Perbuatan pengkhianatan itu bisa disejajarkan dengan sifat buruk dan tidak terpuji seperti munafik dan pembohong. Dampaknya adalah sakit yang dalam. Sakitnya dikhianati di sini (di hati). Untuk memulai tulisan berseri ini, beta perlu menonton berulang-ulang lima kali keterangan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Pak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menanggapi keputusan Partai Nasdem yang menjodohkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai Capres-Cawapres 2024 yang diusung Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Terlalu banyak keraguan yang mamaksa beta untuk harus menonton keterangan SBY berkali-kali. Awalnya tidak percaya kalau yang memberikan keterangan di sidang Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebud adalah Pak SBY. Sebagai wartawan sejak akhir 1988, beta kenal dan paham betul bahwa Pak SBY itu terkenal sangat santun, kharismatik dan berwibawa. Pilihan diksinya sangat terukur tidak menyakitkan siapapun. Hanya saja setelah menonton dan mendengarkan ketarangan SBY sampai lima kali, beta sampai pada kesimpulan, wah Pak SBY lagi eror berat. Pak SBY yang beperan, kekanak-kanakan dan lebay dotkom mungkin juga karena faktor umur. Pak SBY keluar memperlihatkan aslinya yang licik, irihati, dengki dan culas. Namun Pak SBY berhasil untuk membungkusnya selama ini atas nama pribadi yang santun, wibawa dan kharismatik. Mantan aktivis ’98 yang sekarang menjadi kritikus sosial-politik Faizal Assegaf malah berpendapat kalau SBY itu dari menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari dan tahun ke tahun hanya memikirkan kepentingann anak dan keluarganya. Kalau ada omongan yang terkesan dan terlihat seperti memikirkan kepentingan publik, maka itu hanya tipu-tipu SBY untuk wujudkan kepentingan anak-anaknya. Tidak lebih dan tidak kurang. Pak SBY pernah membuka lebar mata rakyat Indonesia ketika dengan kewenangan pernuh di tangan sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Pak SBY anaknya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai Sekretaris Jendral Partai Demokrat. Pada saat yang sama selain menjabat Ketua Majelis Tinggi, Pak SBY juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan posisi Anas Urbaningrum. Fakta ini mempelihatkan akal sehat panggung politik Indonesia seperti sedang dihina, dilecehkan dan direndahkan martabatnya oleh Pak SBY. Tragisnya, lagi Pak SBY ketika itu juga menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Akibatnya, diduga keputusan-keputusan politik penting partai cukup diputuskan di kamar tidur atau meja makan keluarga. Keputusan hanya dibuat antara anak dan bapak, karena bapak menjabat Ketua Umum dan anak yang menjabat Sekretaris Jendral Partai Demokrat. Begitulah prilaku politik Pak SBY yang hebat, namun licik, picik, irihati dan pendendam demi masa depan kedua anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Prilaku SBY makin eror ketika dilakukan kongres-kongresan Partai Demokrat ke-5 tanggal 18 Maret 2020 di Jakarta. Kongres yang berhasil memproduksi AHY secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Pertanyaannya, apakah Presiden Soeharto yang didukung penuh oleh ABRI saat itu, dengan posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar tidak bisa menaruh anak-anaknya sebagai Ketua Umum Golkar? Tentu sangat bisa, dan bahkan lebih dari bisa. Hanya saja Pak Harto masih punya deposit etika dan moral yang tinggi dalam membedakan urusan kepentingan politik negara dengan urusan keluarga. Deposit etika dan moral Pak Harto ini yang sangat minus untuk dimiliki oleh Pak SBY. Sebagai salah satu kader terbaik Pak Harto, sebaiknya Pak SBY banyak belajar prilaku arif dan bijak untuk urusan yang seperti ini dari Pak Parto lagi. Tujuannya agar Pak SBY tidak terlihat seperti tokoh bangsa yang kerdil dan gersang di hari tua seperti sekarang. Keterangan di video yang beredar di media sosial dengan durasi 36 menit 38 detik itu, intinya Pak SBY menyerang Ketua Umum Partai Nasdem Bang Surya Paloh dan Capres Anies Baswedan dengan membabi buta. Pak SBY seperti orang hilang kewarasan atau akal sehat menuduh Bang Surya dan Mas Anies pengkhianat atas kesepakatan Koalisi Perubahan dan Persatuan. Masalah utama Pak SBY kehilangan kewarasan hanya karena anaknya Pak SBY, Mas AHY gagal berduet dengan Pak Anies sebagai pasangan Capres-Cawapres dari Koalisi Perubahan dan Persatuan. Kepentingan anak dan keluarga menjadi alibi utama Pak SBY pamer prilaku licik, picik, dengki, irihati, baperan dan lebay dotkom di ruang publik. Padahal semestinya Pak SBY lebih bijak, arif dan sejuk di usia senja seperti ini. Rakyat dan masyarakat pers Indonesia juga mencatat minimal dua pengkhianatan yang pernah dilakukan Pak SBY terhadap dua tokoh bangsa. Pertama, pengkhianatan Pak SBY saat menjabat Menkopolhukam kepada Presiden Ibu Megawati Soekarnoputri. Kedua, pengkhianatan yang dilakukan Pak SBY kepada Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Negara. Padahal tandatangan Prof. Yusril sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengantarkan Pak SBY sebagai Presiden di tahun 2004 lalu. (bersambung)
Yusril Perisai Hukum Jokowi?
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKI berkelakar Rocky Gerung dalam salah satu acara menyatakan perlunya Jokowi memiliki perisai hukum pasca lengser nanti. Ia menyebut yang pas adalah Yusril Ihza Mahendra yang berpengalaman dalam bidang \"penyelamatan\" model itu. Ungkapan Rocky ditanggapi serius oleh rekannya Fahri Bachmid dan Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Menurut Fahri perlu undang-undang yang mengatur masa transisi untuk menjaga kemungkinan terjadinya balas dendam politik pasca Presiden lengser. Sementara Bivitri mengamini pandangan Rocky Gerung akan perlunya Yusril menjadi perisai hukum Jokowi. Rocky mengusulkan Yusril jadi Cawapres. Yusril Ihza sendiri di tempat terpisah menyatakan \"saya siap melakukannya\". Candaan Rocky yang ditanggapi serius itu memiliki sindiran kuat untuk dua hal, yaitu: Pertama, Jokowi menjadi ajang balas dendam politik karena sebagai Presiden ia dinilai telah menzalimi lawan-lawan politiknya yang apabila lawan politik kelak menang, maka Jokowi terancam. Kedua, memang dosa politik Jokowi sudah menumpuk yang semuanya berakibat hukum. Jokowi akan babak belur oleh proses hukum yang terjadi setelah tidak berkuasa. Sindiran perlunya Yusril Ihza Mahendra adalah sinyal persoalan hukum akan mendera Jokowi kelak. Sebagai figur yang dikenal oposan kepada rezim Jokowi maka sinyalemen Rocky Gerung tentu bukan membenarkan seluruh kebijakan Jokowi sehingga ketika usai berkuasa, saat ia diobrak-abrik oleh penguasa baru maka perlu dibela atas perbuatan banyak salahnya itu. Jika demikian maka usulan soal Yusril adalah agar Yusril menjadi perisai dari kejahatan. Betapa jahatnya Rocky. Tentu bukan demikian, Rocky sudah menangkap bahwa secara politik dan hukum Jokowi setelah lengser nantinya memang akan babak belur. Jokowi adalah Presiden buruk bahkan terburuk dalam sejarah bangsa Indonesia merdeka. Ia pun mungkin menyindir Yusril Ihza pula. Sebab semua tahu, bahwa tidak semua pembelaan Yusril itu sukses. Saat membela Moeldoko habis-habisan ternyata perisai hukum Yusril tidak ampuh di depan hukum. Yusril gagal. Perisai hukum bukan untuk berkelit dari ancaman hukum. Perisai hukum harus digunakan untuk melindungi orang yang tidak bersalah di depan hukum. Kehebatan mengotak-atik hukum untuk membela yang salah adalah kesalahan dan kejahatan itu sendiri. Jika Yusril menjadi perisai hukum Jokowi dan Jokowi adalah pendosa politik dan hukum bagi rakyat, maka rakyat akan melawan. Advokat ahli hukum tata negara bukan hanya Yusril. Rocky Gerung bukan \"makelar\" atau tim sukses Yusril. Sebagaimana biasa Rocky sedang bercanda, menyindir, dan menyodok seseorang entah itu sang Raja atau lainnya. Jadi sebenarnya siapapun tidak perlu \'geer\' menanggapinya, termasuk Yusril Ihza Mahendra. Jika kelak Jokowi menjadi musuh rakyat, maka membela sang musuh adalah musuh rakyat pula. Tentu hal ini di luar konteks kewajiban hukum dari seorang Advokat yang secara profesional membela kliennya. Siapapun. Bandung, 4 September 2023
Indonesia Butuh Natsir Baru dan Resolusi Jihad NU untuk Kembali ke 17 Agustus 1945
Oleh Prihandoyo Kuswanto - Kajian Rumah Pancasila Sejarah Mosi Integral adalah sebuah keputusan parlemen mengenai kesatuan sebuah negara. Sedangkan Mosi Integral Natsir merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatunya kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah kesatuan yang digagas oleh Mohammad Natsir. Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 2 November 1949. Dalam pengajuannya ke parlemen banyak yang menolak. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS. Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan RI—asal jangan disuruh bubar sendiri. Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan. Hari ini rasa nya Indonesia butuh sosok pak Nasir untuk mengembalikan negara Indonesia yang di Proklamasikan 17 Agustus 1945. Banyak para elite kekuasaan atau partai politik yang abai terhadap negaranya. Sejak UUD1945 diganti dengan UUD 2002 sebetulnya negara yang di Proklamasikan 17 Agustus 1945 dan di pertahankan dengan Resolusi Jihad . Isi Resolusi Jihad yakni \'Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe \'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)\'. Resolusi Jihad mendorong pertempuran 10 Nopembet 1945 telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak dan hancur. Resolusi Jihad ini untuk mempertahankan negara yang telah diproklamasikan 17 Agustus 1945 dengan dasar Pancasila dan UUD 1945. Begitu juga dengan Pak Natsir dengan Mosi Integralnya mempertahankan Negara Kesatuan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 sehingga bubarlah RIS (Negara Republik Indonesia Serikat). Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, mengatakan bahwa Amandemen Undang-Undang D1945 melalui antek-antek Asing dan bekerjasama USAID, IMF, NDI, UNDP. AS$ 1 Juta Suara keras adanya intervensi asing kepada LSM datang dari Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru. Menurut Hadar N. Gumay dari Cetro, tidak benar jika ada tuduhan intervensi asing kepada LSM. Ia melihat, hal ini karena masalah ketidaktahuan si penuduh mengenai proses dan mekanisme LSM dalam membuat program dan mendapatkan dana bantuan tersebut. \"Kalau logikanya bahwa ada dana asing, itu berarti mengintervensi amandemen. Itu sama saja orang DPR/MPR-RI itu juga begitu,\" tukas Hadar kepada hukumonline. Pendapat Hadar memang tidak keliru karena DPR/MPR juga mendapat bantuan dana dari asing. Ternyata selama ini, DPR/MPR-RI juga mendapat bantuan sebesar AS$1 juta untuk lima tahun dari United Nations Development Programme atau UNDP. Bahkan, UNDP juga mendapat berbagai fasilitas dan ruangan kerja sendiri di lantai III Gedung Sekjend DPR-RI. Bukan hanya itu. Beberapa fasilitas DPR/MPR-RI pun juga mendapat dana dari asing, seperti adanya media elektronik SWARA. Bahkan menurut sumber hukumonline di UNDP, besarnya bantuan yang mereka berikan seringkali tidak dibarengi dengan hasil yang optimal. \"Kerja-kerja anggota Dewan bahkan sering kali mengecewakan. Bukannya semakin baik, kinerjanya justru makin buruk,\" ujarnya. Dari kisah Amandemen yang tanpa mereka sadari telah membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aximetris War ini bisa kita rasakan sekarang bangsa ini semakin tidak berdaulat kekayaan ibu pertwi dikuasai asing bahkan setiap UU dibuat untuk kepentingan Asing , seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, Omnibuslaw kesehatan, UU pertambangan, bahkan IKN yang dibuat untuk kepentingan asing. Dan Aximatris War melalui meja para elite politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan sejalan dan pro asing. Sasaran perang asimetris, yaitu membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme; melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya; menghancurkan ketahanan pangan dan energi; selanjutnya, menciptakan ketergantungan negara pada Asing. Dan Negara Indonesia dengan digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002 telah dihilangkan juga Pancasila dan bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia perlu hadirnya Natsir -Natsir yang baru membuat mosi tidak percaya kepada UUD 2002 dan kembali pada UUD 1945 dan Pancasila. Tentu saja juga dibutuhkan resolusi konstitusi untuk jihad mengembalikan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 berdasarkan UUD1945 dan Pancasila. Apakah kita sebagai Bangsa Indonesia akan membiarkan keadaan seperti ini dan tidak melakukan perlawanan dengan mengembalikan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945? Atau akan membiarkan anak cucu kita menjadi jongos di negeri sendiri. (*)
Surat dari Penjara, Negara dan Penjara
Oleh Dr. Anton Permana - Presidium KAMI Dunia paling sempurna itu penjara karena ada negara dalam negara. Kehidupan warga dan petugasnya fakultatif saja (alias suka-sama suka). Punya aturan sendiri, bahkan melampaui aturan negaranya. Di dalam penjara ada negara. Siapa bilang penjara itu terkekang? Justru dalam penjara itu ada kebebasan, yang tak dimiliki orang luar penjara. Karena tembok tinggi penjara yang kokoh dingin itu, adalah tameng pelindung “kebebasan” penghuni penjara. Ada apotik, ada PSK (Penjual Sabu Keliling), ada slot on line, wah banyak yang di luar dilarang, di penjara itu bebas terlindungi. Bak kentut, ada bau tak ada bunyi. Aneh bukan? Itulah penjara, semua boleh dan bebas, asal “koordinasi”. Bisik-bisik, lobby, setttttt, selesai.. ! Dalam penjara itu juga paling lengkap jenis manusianya. Semua di labeli dengan angka-angka sakti berupa : 338, 342, 378, 362, 128, 112, 114, 131, 132, 55, 56, 80, 81, 365, 27, 28, 363, 303, bahkan yang tak ada pasalnya, bisa dibuatkan pasalnya atas nama “atensi”. Di penjara juga ada geng kelompoknya: ada Aceh, Korea (Batak), Palembang, Betawi, Arek, Makasar, Ambon dan Indonesia Timur. Di situlah tuah penjara, siapapun anda harus tunduk dengan aturan penjara. Kalau tak koordinasi dan pra-kondisi, maka bersiaplah jadi korban para napi lainnya. Kalau ingin eksis di penjara, maka harus punya dua tangan sakti: power jaringan dan money! Di penjara itu ibarat negara sendiri, sok idealis, anda akan mati. Mau keras akan diselti. Tapi kalau juga terlalu lembek, akan jadi korban kriminalisasi, sempat terjebak hutang maka “bunuh diri”. Karena takut dikejar BNN (Bagian Nagih-Nagih) dept colector ala penjara. Begitulah penjara, di dalam penderitaan harus pandai-pandai mencari kesempatan, kalau tak ingin jadi objek ketidakadilan dan penindasan. Namun jangan salah, kadang dalam penjara juga ada sumber kehidupan, yang buat hidup ribuan tahanan, namun harus tutup mata apa yang dinamakan halal dan haram. Semua fasilitas di penjara adalah cuan, bagi siapa? Bagi siapa yang bisa memanfaatkan peluang di dalamnya. Mau kasur, kipas angin, termos, tusuk gigi, reskuker, dan piring semua bisa masuk asal “koordi”. Tidak itu saja, mau CB, PB, CMB, Asimilasi, atas nama biaya administrasi, semuanya “money” ! Angkernya penjara, jangan sesekali pernah dibayangkan. Mulai dari bau busuk, air kotor, nyamuk, panas, dikerangkeng 24 jam dalam satu ruangan berhimpit sesama tahanan, sel penampungan namanya. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, bahkan kaki toilet pun jadi sandaran kepala untuk tidur bergantian. Jauh berbeda dong guys, dengan penjara koruptor dan para bos, sel tahanan disulap jadi kamar hotel berbintang, full AC dengan berbagai fasilitas dan Tamping (Tahanan Pendamping) pelayannya. Asal? Cocok harga dan angka cuan koordinasinya. Di penjara segala watak perilaku ada, bahkan berbagai pemain watak di mana-mana. Ada yang Belgi (Belagak Gila), belagak miskin, dan pura-pura sakit padahal hanya alasan menghirup udara luar, walau sejenak. Jangan pernah seriusi cerita manusia dalam penjara, karena lebih banyak dusta dan angin surganya, cerita bui cukup sampai batas jeruji. Di penjara berbagai wajah tipu juga ada, yang kadang tak sesuai antara tampilan dan kejahatannya. Sampai LGBT juga merajalela. Wajah bersih bak ulama, ternyata bandar narkoba. Wajah pejabat, mentereng, ternyata maling dan pembunuh berencana. Wajah bengis dan tatoan, ternyata korban cepu aparat bayaran. Wajah ganteng, klimis, bersih, ternyata penjual sabu, inex dan narkoba. Wajah polos, aki-aki ringkih, ternyata kasus pencabulan. Wajah lugu, bahkan disabilitas, eitt ternyata kaki bandar narkoba lintas negara. Narkoba, Narkoba, 80 persen di penjara itu adalah penjual, bandar, cepu, dan pengguna narkoba. Gila !!! Belum lagi wajah para napi teroris dan korban perkara politik penguasa, yang dijustifikasi musuh negara. Penjara itu hanya untuk orang terpilih dan tertentu. Kalau tak kuat, jangan pernah berpikir untuk masuk ke sana, apapun alasannya. Menjauhlah.. Kecuali memang takdir dan nasib berbicara. Tapi, kadang kala ada penjara justru menjadi tempat kita bertemu Tuhan? Penjara tempat kita memahami arti kehidupan. Penjara tempat kita terhempas kembali ke titik nol kesadaran. Bahkan penjara justru bisa menjadi laboratorium kehidupan, menghimpun energi, merancang strategi, mencari inspirasi, samudera instropeksi diri, pusat episentrum motivasi dan panah sugesti untuk melakukan lompatan kehidupan yang lebih tinggi, menatap hari esok. Karena penjara sejatinya, adalah titik pantul dari bola kehidupan kalau kita memaknainya dengan baik dan benar, bagi mereka yang berpikir dan beriman. Penjara juga bukan selalu tempat terhina, tapi tempat kita menemukan potensi diri dan puncak kesadaran kolektif diri, untuk terus bangkit tegar berdiri. Semua kembali kepada manusianya. Memaknai penjara seperti apa. Rembulan atau Matahari? Musibah ratapan atau titik quantum diri? Penjara dan negara, ibarat negara dalam negara, tanpa bendera Namun belum tentu semua yang di penjara adalah pelaku kejahatan. Akibat buruknya penegakan hukum dan peradilan, apalagi kalau kita bicara kasus orderan dan pesanan. Itulah penjara, di negara kita sampai ada yang dipenjara hanya karena cinta dan peduli kepada negaranya. Dan itulah SAYA! Lapas Cipinang, Sabtu 02 September 2023.
Susahnya Negarawan Yang Masih Berpolitik
Oleh Chazali H. Situmorang - Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS SBY adalah Presiden Indonesia ke 6 yang berkuasa selama 10 tahun (2004-2014), dan saat ini sebagai Ketua Majelis Tinggi (MT) Partai Demokrat. Dalam struktur kepartaian Demokrat, posisi Ketua MT, sangat berkuasa penuh. Antara lain terkait pengusungan Presiden/Wakil Presiden dan kolaborasi dengan partai lain. Sebagai Wakil Ketua MT, adalah Ketua Umum Partai Demokrat AHY yang juga anak pertama SBY. Megawati adalah Presiden Indonesia yang digantikan SBY. Megawati Ketua Umum PDI-P dan menempatkan dua anaknya dalam pengurus inti PDI-P. Seorang anaknya Puan Maharani sudah dipersiapkan betul untuk berkarier di politik dan pemerintah. Di DPR RI pernah sebagai Ketua Fraksi PDI-P. Dilanjutkan pada masa pemerintahan I Jokowi sebagai Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan. Periode kedua ini, sang Puan terpilih sebagai Ketua DPR-RI. Megawati sebenarnya “berkeinginan” mencalonkan Mbak Puan Maharani sebagai Calon Presiden dari PDI-P tanpa berkoalisi dengan partai lain, karena suaranya cukup 20% di DPR. Tapi sang Ketum Banteng Moncong Putih itu mengurungkan niatnya, diduga elektabilitasnya tidak kunjung bertambah. Diputuskan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) sebagai calon Presiden. Seorang kader partai yang loyal. Ganjar elektabilitasnya lumayan bagus, dan juga awalnya digadang-gadang Jokowi. Presiden Jokowi yang akan berakhir sebagai Presiden tahun depan, saat ini “menempatkan” anak pertamanya yang masih muda belia, Gibran, sebagai Wali Kota Solo, dan menantunya Bobby Nasution sebagai Walikota Medan. Medan sangat luas, banyak penduduknya dan mungkin baru kali ini dipimpin oleh anak muda, minim pengalaman politik dan pemerintahan, sama seperti iparnya, Gibran. Kalau SBY dan Megawati mengawal dan memperjuangkan karier politik dan pemerintaham anaknya pada masa sudah tidak menjadi Presiden. Jokowi lebih maju selangkah lagi. Periode kedua Presiden sudah menempatkan anak dan menantu pada jabatan publik yang strategis, sebagai pusat kekuasaan di wilayah pemerintahan Kota. Dari ketiga potret mantan Presiden dan Presiden yang diuraikan di atas, ada benang merah yang sama yakni menempatkan kepentingan keluarga, di atas kepentingan yang lain. Posisi Presiden dan mantan Presiden itu, dalam sistem demokrasi Pancasila adalah seharusnya menjadi Negarawan, yang mampu mengarahkan dan mendorong para politisi dapat berpolitik dengan santun, egaliter, dan menjadi rujukan solusi setiap adanya gesekan antara oposisi dan pendukung pemerintah. Kekecewaan SBY terhadap Surya Paloh dan Anies Baswedan kita dapat memahami dan memaklumi, sesuatu yang wajar dan bisa diterima akal sehat. Kekecewaan itu tentu tidak terlepas dari posisi SBY sebagai politisi yakni Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan juga orang tua dari Ketua Umum Partai Demokrat. Naluri seorang ayah muncul, melindungi anaknya. Tetapi jika saat itu, SBY menempatkan dirinya sebagai Presiden ke 6 RI, negarawan yang cukup disegani pada masa pemerintahannya, tidaklah perlu sampai ke ruang publik tentang kekecewaan yang dilontarkannya. Apalagi ada lemparan isu yang akan menjadi penambah amunisi kegaduhan di ruang publik. Penulis kutip lengkap isu dimaksud “Kita juga tahu seorang menteri, sekarang ini, menteri masih aktif dari kabinet kerja pimpinan Presiden Jokowi, secara intensif melakukan lobi, termasuk kepada Partai Demokrat dengan menawarkan mengajak membentuk koalisi yang baru, koalisi Demokrat, PKS, dan PPP. Yang bersangkutan mengatakan yang disampaikan itu, inisiatif ini sudah sepengetahuan Pak Lurah. Kata-kata sang menteri, bukan kata-kata saya,\" kata SBY saat memberi arahan dalam Sidang Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat di kediaman pribadinya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat. Apalagi mempublikasikan arahan Ketua Majelis Tinggi Partai secara terbuka kepada masyarakat, yang sebenarnya itu cukup konsumsi elite publik. Sudah dapat diduga Arahan SBY di forum Majelis Tinggi akan memicu dan memacu kondisi emosioal kader partai di tingkat akar rumput. Juga menjadi makanan empuk media televisi baik dalam berita dan forum dialog politik. Saya yakin SBY tidak bertujuan untuk itu. Yang lebih seru lagi tudingan pengkhianat yang dialamatkan kepada Anies Baswedan. Menurut hemat penulis, tuduhan itu juga tidak santun dan tidak pantas. Riefky (fungsionaris Demokrat) menyatakan rentetan peristiwa tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan Koalisi Perubahan. \"Juga pengkhianatan terhadap apa yang telah disampaikan sendiri oleh capres Anies Baswedan, yang telah diberikan mandat untuk memimpin Koalisi Perubahan,\" kata Riefky. Riefky mungkin lupa, dalam politik dan interaksi kepartaian itu tidak populer nomenklatur “pengkhianat” , “ingkar janji” atau “tidak setia”. Di partai itu kesetiaan hanya diukur pada satu nomenklatur yakni ”kepentingan”. Partai didirikan jelas dengan satu kepentingan yakni untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan didapat dalam suatu pemilihan umum. Yang menang Pemilu dialah yang memegang kekuasaan. Demokrat seharusnya mengubah strategi. Ketua Umum AHY menjadi calon Wakil Presiden seharusnya ditempatkan pada target antara. Target utamanya adalah menaikkan suara Demokrat, menambah jumlah kursi Parlemen, dan memenangkan pemilihan Presiden. Jika mindset berpikir itu yang terbangun, maka Demokrat tidak perlu gaduh dan meradang. Lihatlah PKS, tentu mereka berpikir ke arah itu. Bergabungnya PKB dalam Koalisi Perubahan dan Persatuan akan meningkatkan lumbung suara di Jatim dan sebagian Jateng. Jika AMIN (Anies dan Muhaimin) terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, maka AHY akan diajak Presiden untuk mengisi kabinet dalam melaksanakan cita-cita perubahan dimaksud. Oleh karena itu, berikan kesempatan AHY untuk menyelesaikan partainya, sebagai bentuk proses pembelajaran dalam dinamika politik. Biarkan ini menjadi urusan pengurus partai tidak sampai Majelis Tinggi turun gunung. AHY harus berani mengatakan kepada orang tuanya (SBY) \"Bapak tenang saja. Persoalan ini bisa kami selesaikan di jajaran pengurus. Bagi saya tidak penting jadi atau tidak sebagai calon wapres, yang perlu kita berjuang untuk perubahan. Tidak ada gunanya kita heboh soal wapres, tapi kalah dalam Pemilu sehingga kandas untuk menuju perubahan” Saya yakin jika AHY menyampaikan hal tersebut, SBY secara cepat atau lambat menyadarinya. Tugas AHY untuk menyediakan kanvas dan cat untuk melukis, supaya Pak SBY dapat menyalurkan dan meneruskan hobinya melukis, sehingga tetap sehat. Cibubur, 4 September 2023. (*)
Kejinya Kebebasan Politik
Oleh Ichsanuddin Noorsy - Pengamat Ekonomi Politik BERBAGAI pendapat mengemuka ke ruang publik untuk merespons tampilnya pasangan Capres Anies-Cawapres Imin. Tudingan dan penjelasan tentang khianat mengkhianati menghiasi pentas politik liberal. Kasus kardus durian yang sangat berpotensi menggeret Imin ke meja hijau korupsi ikut mewarnai heavy metal politik liberal itu. Ada juga yang peduli pada nasib rakyat. Katanya, kasihan rakyat yang aspirasinya diombang-ambingkan elite politik. Rasa iba ini disadari sebagai hilang etika dalam interaksi politik. Sirnanya etika itu seperti juga sikap Bank Dunia dalam menyahuti perang dagang AS-China. Pada 2015, menyaksikan China berhasil \"menunggangi\" ketentuan dagang WTO, Bank Dunia berpendapat, pentingnya etika beraksi. Keluhan mereka pada kemampuan China mengadopsi dan mengadaptasi teknologi komunikasi Barat. Hanya dalam hitungan menit, China selalu dapat meniru produk baru korporasi AS. Maka Barat meradang dan menghadang. China pun menggalang serangan. Perang dagang berubah menjadi perang ekonomi dan teknologi. Lahirlah perang dingin baru. Bersama mitra dagangnya, China mewujudkan perlawanan. Tudingan tentang lenyapnya etika dan pelanggaran hak asasi manusia dipandangnya dengan sebelah mata. Kebebasan dagang, investasi, dan keuangan yang dipropagandakan Barat dihentak China bersama mitra dagangnya. Isu etika pun lenyap. Siapa kuat, dia yang menang itulah kenyataan. Dalam kebebasan politik dan perekonomian, isu etika memang ada di lingkungan agama. Isu etika hanya berlaku di antara rekan sejawat. Terhadap lawan dan demi mencapai kemenangan, etika disimpan rapi dalam laci. Matinya 894 para KPPS dan pegiat pemilu 2019 adalah bukti, etika telah kehilangan makna. Maka politik liberal di manapun tak pernah utuh menghasilkan kerjasama sosial. Political distrust mengalir menjadi sosial distrust dan bermuara pada ketimpangan sosial dan keterbelahan ras, agama, golongan dan suku. Di AS, JE Stiglitz menyebutnya sebagai ketimpangan rasial dalam level seperti kanker stadium empat. Pada demokrasi liberal di Indonesia, ketimpangan dan keterbelahan itu mulai dirasakan sejak pemilu 2004. Kini masyarakat terkotak-kotak dalam aliran, golongan sosial ekonomi dan ketokohan seseorang. Entah dipahami atau tidak, ketimpangan dan keterbelahan itu telah menjurus pada tergerusnya persatuan Indonesia. Akar masalahnya terletak pada penghianatan berjamaah terhadap Sila ke empat dan Sila ke dua. Jika hilirnya pada ancaman atas persatuan Indonesia, maka seperti juga di AS, pasti hilirnya adalah sirnanya keadilan sosial. Ini berwujud pada rusaknya penegakan hukum, kokohnya ketimpangan pendapatan (melemahnya daya beli), dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Maka stabilitas politik dan stabilitas harga-harga menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Padahal, di negara manapun pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang pendayaagunaan kewenangannya guna mencapai dua kestabilan itu. Jika suatu pemerintahan tidak peduli atas dua stabilitas tersebut, dan hanya peduli atas subyektivitas kepentingan kekuasaannya, maka hak kebebasan mengambil keputusan (discretionary policy) pasti akan mengenyampingkan mandatory policy, kebijakan-kebijakan yang dimanatkan konstitusi. Begitulah kejinya kebebasan politik karena luka parahnya visi menjauhnya misi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka jangan mimpi ada nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Kebebasan politik dan ekonomi memang tidak peduli dan bersandar pada keajegan hidup bersama yang menentramkan. Kehormatan dan penghargaan yang dicapainya selalu semu karena memang segalanya serba palsu. Untuk dan atas nama kebebasan itu, kekejian kata dan tindakan selalu menyertai. Inikah Negeri Pancasila? (*)
”Kriminalisasi” Kepada Cak Imin Tidak Hentikan Pencapresan Anies Baswedan
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) NasDem dan PKB setuju, Muhaimin Iskandar, alias Cak Imin, Ketua Umum PKB, mendampingi Anies Baswedan, sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024. Manuver Nasdem dan PKB membuat peta politik pemilihan presiden terguncang. Koalisi “kawin paksa” bubar. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Nasdem-Demokrat-PKS, juga bubar. Demokrat menarik diri dari KPP. Publik juga kaget. Apalagi pendukung Anies. Mereka was-was. Pikiran negatif berkelana. Mereka berpikir, duet Anies-Cak Imin hanya jebakan Jokowi untuk menjegal Anies dari pencapresan. Mereka berimajinasi. Cak Imin akan segera ditersangkakan, Anies pun gagal menjadi calon presiden. Begitu pikiran publik. Pendapat publik tersebut bukan tanpa dasar. Mereka mengamati, Jokowi akan melakukan segala cara untuk menggagalkan pencapresan Anies Baswedan. Seperti misalnya mencari-cari kesalahan di kasus formula-e. Atau intimidasi kepada partai pendukung, termasuk membiarkan upaya “kudeta” Partai Demokrat. Imajinasi, bahwa pencapresan Anies akan digagalkan, melalui “kriminalisasi” dugaan kasus korupsi Cak Imin sepenuhnya dapat dimaklumi. Terbukti, beberapa waktu yang lalu KPK menggeledah kantor kementerian ketenagakerjaan. Target: Cak Imin, katanya. https://www.viva.co.id/berita/nasional/1633369-kpk-bakal-periksa-cak-imin-terkait-kasus-korupsi-pengadaan-sistem-pengawasan-tki?page=1 Kawan-kawan media juga kaget. Mewakilkan publik, bertanya-tanya, bagaimana nasib pencapresan Anies ke depan. Pencapresan Anies Baswedan adalah sebuah keniscayaan. Meskipun Cak Imin “dikriminalisasi” kasus korupsi. Karena pencapresan Anies tidak tergantung dari status Cak Imin. Karena, pencapresan Anies didukung oleh Nasdem dan PKB yang sudah memenuhi persyaratan presidential threshold minimal 20 persen. Maka itu, status calon presiden Anies Baswedan sah. Kalau Cak Imin “dikriminalisasi” kasus korupsi, maka Nasdem dan PKB hanya perlu mengganti calon wakil presiden pendamping Anies. Mungkin PKB akan menunjuk calon pengganti dari kalangan NU. Semua ini hanya masalah teknis. Tidak sulit. Itupun kalau KPK dan pengadilan bisa mendakwa dan vonis Cak Imin sampai inkracht sebelum pendaftaran capres dan cawapres berakhir pada 25 November 2023. Apakah KPK dan pengadilan mampu? Selama belum ada putusan inkracht dari pengadilan, maka Cak Imin masih memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden. Kata “kriminalisasi” dengan tanda kutip, menunjukkan sebuah kondisi di mana KPK atau Aparat Penegak Hukum tidak melaksanakan proses hukum berdasarkan pertimbangan hukum secara murni. Karena, kenapa selama ini kasus dugaan korupsi Cak Imin, kalau memang ada, tidak pernah diproses? Kenapa, baru sekarang mau diperiksa, ketika Cak Imin dipasangkan sebagai calon wakil presiden Anies Baswedan? Oleh karena itu, “kriminalisasi” kasus korupsi kepada Cak Imin akan memicu kemarahan publik secara luas. Khususnya kemarahan para pendukung PKB. Karena Jokowi, atau KPK, atau Apparat Penegak Hukum, akan dituduh mempermainkan hukum untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompoknya. Kali ini, publik mungkin akan melawan dengan keras, karena menyangkut kepemimpinan bangsa masa depan. Publik akan menggeruduk KPK, Kejaksaan Agung, dan Bareskrim Polri, menuntut semua aparat penegak hukum membongkar semua kasus dugaan korupsi yang masih diterbengkalaikan. Sangat banyak sekali. Publik menuntut, KPK, atau Kejaksaan Agung, atau Bareskrim Polri, wajib menuntaskan laporan dugaan korupsi Kaesang dan Gibran bersama group Sinarmas. Publik juga menuntut, KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri membongkar tuntas, sampai ke aktor intelektual, kasus korupsi penyelundupan nikel, korupsi penjarahan nikel blok Mandiodo, korupsi penjarahan kawasan hutan ilegal seluas 3,3 juta hektar, korupsi ekspor minyak goreng, penyelundupan emas batangan, kasus korupsi BTS, kereta cepat Jakarta Bandung, proyek jalan tol dan infrastruktur lainnya, dugaan TPPU Rp349 triliun di Kementerian Keuangan, dugaan korupsi dana PC PEN (Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional), dan masih banyak lainnya. Untuk itu, publik menuntut semua aparat penegak hukum dan pemberantasan korupsi bersikap profesional. Pergantian kepemimpinan nasional di depan mata. Jangan sampai sikap oportunis Anda, mengorbankan kepentingan nasional, akan menjadi bumerang yang akan memenggal leher Anda. --- 000 ---
Saran untuk Pak SBY, Introspeksi, Tabayyun, dan Tahan Emosilah, Abort Your Plan
Oleh Jon A.Masli, MBA, Diaspora Indonesia in USA & Corporate Advisor HAMPIR setahun sudah kita melihat akrobat parpol-parpol bermanuver. Alamak manuver-manuver mereka terkesan arogan, kurang beretika, yang kerap norak, dan gaduh. Lebih konyol lagi, kita sudah tidak bisa membedakan kapan mereka itu politikus-politikus senior yang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai dan Menteri di Kabinet menjalankan tugas pemerintahan dan kapan kampanye politik memakai fasilitas negara dalam akrobat-akrobat kegiatan politiknya. Jadi terkesan pelanggaran etika berdemokrasi, tata krama public governance dan juga mungkin konstitusi oleh para politikus dan pejabat di Indonesia itu adalah hal yang biasa. Bak istilah slang anak Medan: \"Ini Medan, Bung\" atau : \"Ini Indonesia Bung, bukan Amerika, tau! Bingung kita melihatnya. Bukankah kita negara demokrasi? Ada koalisi ini dan itu yang bak \"tim akrobat politik\" menunjukkan gaya demokrasi yang unik. Kadang-kadang kami di Amerika Utara melihat demokrasi tanah air itu demokrasi ala seenak udel saja.Yang jelas, beda jauh dengan demokrasi di Amerika Serikat. Tontonan akrobatik terbaru adalah manuver partai Demokrat yang bikin heboh. Mereka terkesan baper, reaktif, kuping tipis, emosian, dan childish, ngamuk serta ngancam mau keluar dari Koalisi Perubahan. Walau SBY nongol dengan komentar soft santun tapi nyelekit, menuduh Anies Baswedan berkhianat dan tidak shiddiq dan tidak amanah, tanpa tabayyun, karena SP membawa partai Nasdemnya ke dalam suatu kerjasama politik dengan PKB dan mengusung Cak Imin. Kebanyakan netizen rakyat biasa ini mungkin percaya dengan omongan SBY, mengingat keterbatasan wawasan mereka. Terutama yang NU-NU pendukung Gus Dur yang menganggap Cak Imin itu mengkudeta Gus Dur dengan kelicikannya. Sah-sah saja emang kalau ada netizen yang beranggapan demikian. Tapi banyak juga yang menyayangkan sikap Pak SBY yang dianggap tidak mencerminkan negarawanan di depan publik, karena SBY seakan ngotot memaksakan AHY lah yang harus dipilih jadi Cawapres koalisi perubahan. Titik! Banyak yang berpendapat bahwa Partai Demokratlah yang memulai manuver memecah koalisi perubahan dengan baper dan reaksi berkelebihan dan emosi. Bukankah Pak SBY seharusnya tabayyun me-lobby koalisi perubahan lainnya, khususnya partai Nasdem dengan kepala dingin, beretika, dan mengedepankan sikap kenegarawanan. Sayang beliau kadung emosian menunjukkan ambisinya sehingga terkesan seolah motif utamanya hanya ingin agar Mayor AHY yang masih Green Horn harus jadi Cawapres ABW. Kita semua berasumsi bahwa Partai Demokrat itu penyandang dana koalisi perubahan. Tapi kita kagum dengan SP, walau bertampang seram dengan brewok lebat, tapi bisa menunjukkan gaya elegan seorang negarawan dalam menyikapi kemelut ini, seperti Jenderal George S. Patton, pemimpin pasukan sekutu perang dunia II yang bijak. Nasdem, PKS dan ABW, dll, bak pasukan sekutu, dan Jawa Timur adalah battle ground penentu kemenangan pertempuran Pilpres 2024. Seperti strategi Patton yang melihat the Battle of the Bulge sebagai medan perang penentu kemenangan pasukan sekutu dalam mengalahkan Jerman. Kita sudah lihat bagaimana perilaku ABW menunda deklarasi cawapres sejak Februari 2024. Harusnya SBY paham dong, kalau \"Stake holders dan Board of Directors Koalisi Perubahan\" belum berkenan untuk menyetujui AHY sebagai Cawapres pendamping ABW\". The Battle of Provinsi Jawa Timur itu amat krusial. No joke, Jose. If U loose Jatim, you loose Pilpres 2024! Dan Bang Brewok Cool & the Gang, know it well, too! Saran saya kepada Pak SBY, introspeksi dululah. Maklumilah bila Mayor AHY dinilai masih belum cukup qualified untuk posisi Cawapres, apalagi elektabilitasnya tergolong masih minim. Jangan sampai AHY jadi korban bully seperti Gibran: \"Pemimpin karbitan, politik dinasti\". Tabayyunlah dan tunjukkan jiwa kenegarawanan bapak, dan segeralah lakukan lobby untuk re-groupping dengan semua stake holders, demi mempertahankan kelanggengan Koalisi Perubahan dan Persatuan. Itu juga kepentingan bersama untuk negara dan bangsa. Jangan kesusu keluar, sebab Partai Demokrat akan terkucilkan, dan menjadi terpojok. Segera Take a U-turn, temui Pak SP, dkk. Mereka pasti akan berupaya mencari solusi dan setuju untuk mengakomodir ambisi AHY dengan opsi-opsi yang tersedia. Kalau menang, siapa tahu bisa dengan latar belakang militernya ia bisa dapat posisi Menhan, atau posisi Menteri. Itu lebih keren dari pada jabatan Wapres yang selama ini suka diledek para netizen sebagai jabatan pelengkap nomenklatur. Mungkin karena jabatan Wapres selama ini dijabat oleh tokoh MUI yang konon terkesan pasif, kurang jelas fungsinya. Gak dengar gebrakannya selama ini. Lain cerita kalau seperti kasus DT dan Mike Pence. Sebaliknya, kalau Partai Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan, legacy bapak dan masa depan politik AHY berisiko rusak dan sejarah akan mencatat musibah politik ini yang berpotensi mengganggu bahkan membuat Pemilu kurang sempurna . Publik sudah bisa membaca, SP dkk ingin memenangkan Pilpres. Sementara visi Pak SBY ingin Putra Mahkotanya bersanding dengan ARB. On the contrary, bila tetap bersama koalisi perubahan, Bapak akan diingat sebagai negarawan bahkan pahlawan, karena rakyat umumnya berharap Pemilu 2024 bisa terlaksana secara Jurdil. Sekarang Pasar modal BEI pun mulai panik. Politik brutal tidak beretika mengatasnamakan demi rakyat dan demokrasi manggung terus. Bisa jadi Pilpres 2024 mungkin batal atau diundur.Wah Ciloko kalau ini terjadi! Badut-badut politik yang lagi berkuasa, tidak tahu malu dengan kompetensi dan kinerja minim di kabinet, pura-pura tidak paham apa itu Good Corporate Governance atau Good Public Governance, dan kadang-kadang lupa dengan amanat konstitusi, akan happy banget, karena mereka bisa terus berkuasa. Semoga Partai Demokrat abort your suicidal war plan. Rakyat Indonesia akan tersiksa. (*)
Politik Terbodoh Semua Tergantung Presiden
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ANEH, saat Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya dan tidak mungkin dipilih kembali menjadi presiden, justru hampir semua partai politik dan pimpinannya menjadi tergantung pada Jokowi. Dukungan Capres atau Cawapres harus mengikuti kemauan politik Jokowi. Tentu hal ini bukan kagum pada kehebatan Jokowi tetapi prihatin akan kebodohan partai-partai politik. Semua menyerahkan leher untuk dipotong Jokowi atau sekurangnya dijerat dan dikendalikan. Dengan kata lain sukarela atau terpaksa siap untuk dijajah oleh sang Presiden. Dengan berbagai alasan tentunya, apakah itu strategi atau memang tidak ada pilihan lain karena tersandera oleh tangan-tangan kekuasaan baik KPK ataupun kejagung yang seram menakut-nakuti. Seharusnya adalah pilihan bebas. Lepaskan dari jeratan dan kendali. Merdeka untuk berkompetisi sehat dan kualitatif sehingga tidak sekedar beralasan bahwa ini lumrah dalam berpolitik. Seolah politik itu boleh melakukan segalanya termasuk menjual diri dengan harga yang murah. Kompetisi yang sehat adalah tuntutan bangsa dan rakyat. Rakyat tidak suka pada partai-partai dan pimpinan yang sakit atau berstatus rawat jalan. Partai politik dalam suatu sistem politik demokrasi adalah lembaga infrastruktur bukan suprastruktur politik. Artinya ia menjadi bagian dari kekuatan dan kepentingan rakyat, bukan institusi pemerintahan. Tidak inferior pada penguasa. Hanya di negara komunis partai politik itu melekat dengan pemerintah. Sistem partai tunggal (one party system) namanya. Sedangkan negara demokrasi itu bersistem partai jamak (multi party system) sekurangnya two party system. Indonesia sebagai negara demokrasi sejatinya menjadikan partai politik sebagai institusi penyalur kepentingan rakyat, pengatur konflik, rekrutmen, kontrol politik, sosialisasi dan pendidikan politik. Partai politik itu harus mandiri. Ketika mayoritas partai politik menjadi koalisi pemerintah dan tunduk pada komando Presiden, maka sistem multi partai sudah bergeser menjadi quasy one party system--sistem satu partai semu. Model ini adalah ciri dari suatu negara totaliter. Pemilu 2024 harus menjadi Pemilu rakyat bukan Pemilu Istana. Pesta demokrasi bukan pesta otokrasi atau oligarki. Jika semua partai politik yang berkompetisi sudah tergantung pada Presiden khususnya dalam Pilpres, maka Pemilu itu hanya main-mainan semata. Presiden boneka akan berulang tercipta. Otokrasi atau oligarki akan tetap berkuasa. Kasus menjelang pendaftaran kini terindikasi ada nuansa sarwa Presiden. Pada paket Koalisi Indonesia Maju (KIM) semua adalah \'teman\' dan \'tawanan\' Jokowi. Koalisi Perubahan (KPP) sebelum Deklarasi Surabaya ternyata lapor dahulu kepada Jokowi. Tinggal PDIP dengan Capres Ganjar \'mantan\' Jokowi. Cawapres Ganjar diprediksi kelak \'orang\' Jokowi juga. Partai politik harus memerdekakan diri dengan melakukan perlawanan atas penjajahan politik. Pemilu 2024 mesti bebas dari cawe-cawe Jokowi. Jokowi harus dihentikan secara konstitusional. Pemilu sehat akan berjalan jika tanpa Jokowi. Artinya partai politik bersama-sama dengan rakyat mendesak proses pemakzulan. Pelanggaran hukum Jokowi maupun perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 mudah untuk dibuktikan. Agar tidak melakukan politik terbodoh dimana partai-partai politik menjadi tergantung lehernya oleh Presiden Jokowi, maka satu-satunya jalan adalah dengan membebaskan diri dari gantungan itu. Jokowi yang dilucuti kekuasaan dan kewenangannya dari kemampuan untuk menggantung. Makzulkan segera oleh partai politik bersama dengan rakyat by people power. Bandung, 3 September 2023
Bersatunya PKS dan PKB dalam KPP adalah Kekuatan Politik tidak Tertandingi
Oleh Laksma Ir. Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik DEKLARASI Anies - Muhaimin baru saja digelar pada Sabtu 02 September 2023 membuktikan hebohnya jagad perpolitikan menjelang pilpres Pemilu tahun 2024. Munculnya Muhaimin atau Cak Imin Ketua Umum PKB sebagai cawapres Anies menggeser posisi AHY beberapa hari sebelumnya membuat berang (marah besar) partai Demoktrat. Pengkhianat, begitu cap yang ditempelkan oleh kawan seiring Anies di Demokrat. Terasa sadis memang, kawan seiring jadi lawan. Partai Demokrat (PD) bergerak cepat. Maraton, mereka membahas itu, maka sebelum PKB mendeklarasikan dukungannya pada Anies/KPP, PD menyatakan keluar dari KPP dan mencabut dukungannya pada pencapresan Anies Rasyid Baswedan. Riuh rendah reaksi masyarakat, balihopun jatuh berguguran, tak kurang pula dengan sumpah serapahnya. Memang tidak tampak tetesan air mati yang jatuh ketanah, tapi lawanpun berjingkrak kegirangan. Duhhh mengapa sampai begini? PKS, tampaknya diajak ikut berang sehingga seakan koalisi menjadi bubar, tapi ternyata PKS tidak sumbu pendek, mereka menyambut baik masuknya PKB dalam Koalisi Perubahan. PKB tidak berang, walau ikut menitipkan juga calon wakil presidennya namun tidak harga mati. Seusai deklarasi begabungnya PKB dalam KPP disambut baik oleh Presiden PKS beserta jajarannya. Jawaban tegas PKS ini menunjukkan masih bersama rakyat yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini, menginginkan Anies Presiden. Sungguh, bila begabungnya PKB dan PKS dan Anies sebagai penjurunya ini benar-benar terwujud, maka ini kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang setara gabungan PB NU dan PP Muhammadiyah. Tuduhan dari kaum sekuker, abangan dan kelompok sebrang “Anies Bapak Politik Indentitas” kini menghujam mereka sendiri. Indentitas Islam terwujud dalam KPP justru digagas oleh tokoh King Maker si Brewok Surya Paloh Ketum Partai Nasdem. Bersatunya PKS dan PKB merupa cerminan bersatu ulama dari NU, Muhammadiyah dan Gerakan 212. Semoga ini merupakah rahmat Allah, pertolongan Allah yang dikucurkan kepada umatnya. Sungguh, bila ini benar terjadi, sebenarnya ini yang ditakuti oleh mereka karena akan menyatukan kekuatan dan militansi dari akar rumput Islam di Indonesia. Dulu, ketika Prabowo Subianto dalam pilpres 2019 didukung kekuatan islam tapi kenyatannya kalah. Hal ini terjadi karena sumber-sumber yang melahirkan tokoh-tokoh dan politisi islam tidak banyak yang ikut, banyak yang diam. Para kiyai, dan tokoh tokoh pesantren diam. Kini bergabungnya Cak Imin bersama gerbong besarnya PKB diharapkan mampu membawa para kiyai dan tokoh pesantren bersuara bergerak menyatukan suara di bawah komando Amin. Perkenankanlah yaa Allah, Anies- Imin Presiden. Cak Imin, lahir, besar dan tumbuh dari kandungan pesantren, dari keluarga besar NU akan menjadi magnet yang menyatukan mereka, maka tidak ada lagi kampret dan kadrun. Kalau PKS - PKB bersatu dalam koalisi perubahan dengan Anies presiden dan Cak Imin wakilnya, kekuatan islam insyaa Allah tidak tertandingi. Ini ibarat simponi semut abang/ireng/hitam. Simponi semut hitam suatu kiasan bila berjalan selalu rombongan beriringan dan mampu menggotong suatu barang yang 100 kali lebih besar dari semutnya. Artinya dapat dipastikan mayoritas umat islam mendukung KPP dengan bergabungnya PKB maka siapapun lawannya sulit mengalahkannya. Maka muncullah tuduhan, bergabungnya PKB adalah jebakan, cawe-cawenya Jokowi. Sungguh kali ini saya katakan, kasihanilah presiden kita, jangan selalu dikambinghitamkan. Lihatlah ini sebagai kerja keras si Brewok Surya Paloh dan kawan- kawannya. Berkali-kali dia menjadi king maker dan hasilnya goal inilah ketajaman naluri politiknya. Namun kenyataannya, KPK akan menunjukan tajinya. Kasus Kardus Durian tahun 2014 digali kembali untuk mentersangkan Muhaimin Iskandar calon wakil presiden Anies. Mampukan cak Imin berkelit? Cak Imin memang berani pasang badan, tapi tidak untuk menebus dosa dan menyerahkan lehernya digantung, apalagi digantung di Monas. Dia tentu tahu bagaimana nasib Jhonny G Plate karena partainya penggagas KPP. Dia tentu juga tahu bagaimana Airlangga Hartanto balik badan lintang pukang ketakutan dikriminalkan korupsi karena mencoba melirik Anies Rasyid Baswedan. Keteguhan cak Imin berani jadi Cawapres Anies adalah taruhan tentang dirinya. Dia bersih. Tentu si Brewok SP tahu siapa Cak Imin itu. Jangan anggap si Brewok menyerah seperti yang dikatakan pemilik ungkapan bajingan tolol, si Brewok sudah berdarah-darah dan PKB bukan tong sampah. Ingat, Surya Paloh tidak hanya membawa Cak Imin dalam KPP, tapi lengkap dengan PKB-nya. Cak Imin ditangkap PKB dapat, di situ ada Khofifah dan ada pula Mahfud MD, yang begitu sabar dan tidak berang walau hanya kebagian baju putih capres pada pemilu tahun 2019 lalu. Belum lagi ada calon wapres dari PKS yang sabar menanti. Terus kayuh bidukmu wahai Anies, semua bisa berubah. KPP datang untuk perubahan. Nasdem berubah, PKB berubah, bisakan. Minggu 03 Sept 2024