Atas Nama Hukum, KPK Tidak Bisa Menggagalkan Pencawapresan Muhaimin
Oleh Radhar Tribaskoro - Komite Eksekutif KAMI
HARI Senin kemarin Muhaimin Iskandar tidak memenuhi panggilan KPK untuk menjadi saksi atas kasus korupsi yang terjadi di Kemenaker saat ia menjabat sebagai menteri di sana. Muhaimin tidak mengulur waktu, ia memang sudah mempunyai janji acara pada waktu itu.
Namun pemanggilan itu menggelorakan kembali ketidak-percayaan publik kepada KPK. Dalam sebuah acara dialog dengan Hersubeno, Koordinator Komite Eksekutif KAMI, Adhie Massardi, menyebut KPK sebagai Komite Politisasi Kekuasaan. Ia yakin sepenuhnya bahwa KPK telah menjadi alat kekuasaan untuk memukul lawan-lawan politiknya.
Artikel ini mendukung pernyataan Adhie Massardi dengan mengajukan argumentasi terkait hukum pemilu dan pelaksanaannya.
Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden
Menurut UU No.42 Tahun 2008, salah satu syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah, “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Bisakah pencawapresan Muhaimin batal lantaran ketentuan ini?
Status Muhaimin sekarang adalah saksi. Masih panjang sekali jalan untuk menjadikan Muhaimin terpidana berkekuatan hukum tetap. Muhaimin harus ditetapkan dulu menjadi tersangka dan terdakwa. Kalau kejaksaan mau bekerjasama butuh waktu sedikitnya dua-tiga bulan sebelum bisa membawa Muhaimin ke meja hijau. Setelah itu ada persidangan yang panjang 3-6 bulan sebelum vonis dijatuhkan. Kemudian untuk mencapai status berkekuatan hukum tetap masih ada proses banding dan Pengkajian Kembali di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Seluruh proses ini bisa berlangsung lebih 2 tahun.
Sementara itu proses pendaftaran capres/cawapres tinggal berselang sebulan lagi. Secepat apapun proses pengadilan, tidak mungkin dapat mencegah Muhaimin mendaftar dan ditetapkan sebagai cawapres. Dengan kata lain, langkah KPK mengorek kasus 11 tahun lalu tidak bakal bisa membatalkan hak Muhaimin untuk menjadi calon wakil presiden 2024.
Menurut hemat saya maklumat Kejaksaan Agung yang menunda apapun kasus hukum terkait kandidat presiden dan wakil presiden terkait dengan alasan yang saya sampaikan di atas. Kejaksaan menyadari bahwa upaya semacam itu tidak berdampak kepada proses pencalonan presiden/wakil presiden. Akibatnya malah bisa lebih buruk yaitu rusaknya kredibilitas lembaga di hadapan publik.
KPK bisa saja memenjarakannya tetapi pencawapresan Muhaimin tidak dapat dibatalkan. Jutaan kader PKB tetap bisa mengkampanyekan dirinya. Kalau begitu, Muhaimin bahkan bisa menjadi ikon atau simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan. Bila ia menang situasi bisa berbalik.
Penghapusan Politik Sandera
Dari sisi hukum, oleh karena itu, tidak ada cara untuk menghentikan pencalonan Muhaimin sebagai cawapres. Lantas apa yang ingin diperoleh KPK dari pemrosesan kasus hukum Muhaimin? Satu-satunya jawaban adalah KPK ingin menjatuhkan kredibilitas Muhaimin. Dengan cara itu KPK ingin Muhaimin kalah dalam Pilpres 2024.
Tidak bisa tidak, tindakan KPK itu adalah tindakan cawe-cawe atau tidak netral aparat negara dalam pemilu. Kalau memang bagi KPK proses pemidanaan terhadap Muhaimin sangat esensial demi penegakkan hukum, maka ia ia harus melakukan hal yang sama kepada kandidat capres dan cawapres lainnya. Ambil contoh Prabowo Subianto dalam kasus food estate dan pembelian pesawat bekas, Ganjar Pranowo pada kasus e-KTP, Eric Thohir untuk penjualan saham Goto, dlsb. Bila KPK memang benar netral, semua kasus itu harus ia proses.
Manakala hal itu tidak terjadi maka tidak akan terhindarkan bila publik menyimpulkan bahwa KPK telah menjadi alat penindasan politik.
Apalagi publik mengetahui fakta bahwa kasus yang ingin dibongkar itu terjadi pada tahun 2012. Mengapa setelah 4015 hari baru diperiksa hari ini, ketika Muhaimin baru saja sepakat menjadi pasangan Anies Baswedan. Ini pasti sebuah rekayasa, bukan kebetulan.
Menghapuskan Politik Sandera
Lain dari itu, apa yang terjadi pada Muhaimin adalah bagian dari praktek Politik Sandera, yaitu politik yang menempatkan orang-orang cacat hukum di dalam kekuasaan agar bisa dikendalikan bagai kerbau tercocok hidung. Praktek politik seperti ini mesti diakhiri sebab hal itu berdampak kepada terciptanya sistem hukum tebang pilih dan kemunduran demokrasi lihat (lihat https://shorturl.at/zBJT9).
Pemerintahan baru, hasil Pilpres 2024, memiliki kewajiban untuk mengamputasi elemen-elemen hukum yang telah menjadi instrumen dari politik sandera. Dari sana hukum dipulihkan dari kepentingan politik. Demikian pula birokrasi, kepolisian dan TNI. Sehingga aparat negara benar-benar bekerja berdasar kepentingan negara. Walau begitu mereka tetap wajib menjalankan kebijakan pemerintah sepanjang kebijakan itu telah menjadi kebijakan negara, yaitu setelah sepersetujuan DPR.
Kewajiban pemerintah dan semua aparat negara adalah melindungi semua pejabat yang menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara. Bila demikian, mereka tidak dapat didemosi, dipindahkan atau dipecat. (*)