Spekulasi Politisasi Delik Pasca-Deklarasi Anies - Muhaimin
Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia.
PERKARA dugaan korupsi sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia pada Kementerian Tenaga Kerja telah menyedot perhatian publik. Pemeriksaan terhadap Muhaimin Iskandar sebagai saksi oleh KPK diduga sebagai bentuk politisasi di tengah kontestasi menuju Pilpres 2024. Spekulasi yang muncul pemeriksaan saksi akan berpotensi menjadi pemeriksaan tersangka. Hal itu dapat dimengerti adanya, mengingat rentang waktu yang demikian dekat dengan deklarasi dirinya mendampingi Anies Baswedan sebagai Bakal Calon Wakil Presiden.
Pada saat yang bersamaan, KPK melalui Kabag Pemberitaan Ali Fikri mengatakan bahwa perkara tersebut telah melalui proses gelar perkara. KPK kemudian sepakat untuk menaikkannya pada tingkat penyidikan setelah menemukan kecukupan alat bukti sejak sekitar bulan Juli 2023, dan Surat Perintah Penyidikan diterbitkan setelahnya yakni sekitar Agustus 2023. Namun tidak disebutkan tanggal pasti terbitnya Sprindik tersebut.
Terkait dengan pemeriksaan Muhaimin Iskandar sebagai saksi, Ali Fikri mengatakan bahwa keterangannya dibutuhkan, sehingga membuat terang konstruksi perkaranya. Membuat terang konstruksi perkara yang dimaksudkan, tiada lain adalah membuat terang peristiwa dugaan pidana dalam proyek sistem proteksi tersebut.
Sebelumnya, penyidik KPK telah melakukan penggeledahan rumah mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemnaker, Reyna Usman. Penggeledahan rumah itu dilakukan di dua tempat yakni, di Bali pada tanggal 7 September 2023 dan di Gorontalo pada tanggal 29 Agustus 2023. Ali Fikri mengatakan bahwa penggeledahan rumah di Gorontalo dimaksudkan dalam rangka mengumpulkan alat bukti.
Diketahui selain Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker (I Nyoman Darmanta) dan Direktur PT Adi Inti Mandiri (Karunia), Reyna Usman yang juga sebagai Wakil Ketua DPW PKB Bali telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya juga sudah dicegah ke luar negeri hingga Februari 2024.
Dari berbagai pemberitaan media yang ada, terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap Muhaimin Iskandar sebagai saksi, Reyna Usman telah diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi, yakni pada tanggal 4 September 2023. Pemeriksaan terhadap Reyna Usman sebagai saksi tentu menunjuk pada adanya perbuatan orang lain dan demikian itu tentu ada kaitannya dengan perkara yang sedang didalami oleh KPK. Kedua, penggeledahan rumah di Bali yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan terhadap Muhaimin Iskandar dalam kapasitasnya sebagai saksi. Ketiga, menyangkut keterangan yang disampaikan oleh Ali Fikri, bahwa penggeledahan rumah di Gorontalo dalam rangka mengumpulkan alat bukti.
Kita ketahui, bahwa untuk menetapkan status tersangka harus didasarkan adanya minimal dua alat bukti sebagaimana ditentukan Pasal 184 KUHAP. Penetapan status tersangka pada ketiga orang tersebut pastilah telah ada alat bukti minimal sebagaimana dipersyaratkan. Ketika alat bukti minimal tersebut didapatkan, maka proses selanjutnya adalah memastikan adanya keterhubungan antara alat bukti dengan tindak pidana yang terjadi. Dengan tersedianya alat bukti minimal tentu akan membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan tersangkanya.
Tanpa adanya minimal dua alat bukti, maka tidak mungkin akan terang tindak pidananya dan pada akhirnya tidak dapat ditentukan tersangkanya. Jadi, kegiatan mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta upaya menemukan tersangkanya adalah satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Penyidikan yang dilakukan oleh KPK tentunya harus didahului ketersediaan alat bukti minimal. Dengan alat bukti itu telah pula terang tindak pidana yang terjadi. Adapun penetapan status tersangka merupakan konsekuensi yuridis atas pemenuhan unsur delik yang melekat padanya.
Kembali pada perkara a quo, pemeriksaan terhadap Reyna Usman sebagai saksi yang kemudian berlanjut penggeledahan di Bali memunculkan spekulasi. Terlebih lagi penggeledahan itu disebut oleh Kabag Pemberitaan KPK guna mengumpulkan alat bukti. Disini dipertanyakan, alat bukti dimaksud untuk peristiwa pidana yang mana? Apakah akan ada tersangka baru? Jika terdapat tersangka baru, maka dapat dipastikan adanya perjumpaan dengan perkara yang kini sedang ditangani KPK, tiada lain adalah dugaan korupsi sistem proteksi TKI Kemnaker. Demikian itu akan menjelaskan adanya perjumpaan kesengajaan dengan tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh KPK. Sebagai unsur subjektif dalam delik, kesengajaan demikian menentukan. Keberadaannya sebagai tanda konkrit kesalahan (mens rea). Adanya perjumpaan kesengajaan tersebut pastinya menunjuk pada delik penyertaan (deelneming). Pada delik penyertaan tindak pidana korupsi, lazim didahului adanya permufakatan jahat (dolus premeditatus).
Munculnya spekulasi tidak lepas dari potensi perjumpaan antara tersangka yang sudah ditetapkan KPK dengan “calon tersangka”. Pemeriksaan terhadap calon tersangka memang diharuskan, lazimnya diperiksa sebagai saksi terlebih dahulu. Pemeriksaan pendahuluan terhadap calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Pertanyaan seriusnya, apakah pemeriksaan terhadap Muhaimin Iskandar dimaksudkan sebagai pemeriksaan pendahuluan? Publik pastinya menunggu ujung dari spekulasi ini, namun yang jelas “hukum harus ditegakkan walaupun dunia akan binasa/kiamat” (fiat justitia pereat mundus).(*)