OPINI

Jokowi bukan Fir’aun, tapi Aslinya Fir’dodo

Oleh Faizal Assegaf - Kritikus PIDATO Jokowi isinya curhat dan gombal. Tampak sang petugas partai berusaha menahan emosi. Terusik dituding sangat tolol, planga-plongo dan Fir’aun. Bunyi-bunyi itu penuh kegelisahan. Saat mengucap nama Fir’aun, wajah Jokowi tampak di layar TV mengerut. Tersirat kuasa menyeramkan hadir. Seolah bayangan kejahatan tentang aura jahat Fir’aun terkoneksi. Terlepas dari ihwal tersebut, pidato Jokowi, isinya cuma racikan omong kosong. Hanya pemanis di upacara hari kemerdekaan. Pesta tahunan, protokol kenegaraan super mewah. Duit rakyat disedot. Penderitaan dan kemiskinan rakyat masih jauh dari tujuan kemerdekaan. Apapun ocehan Jokowi, hanya pertunjukan norak dan tak digubris. Terlanjur banyak berbohong, selaras watak kolonialis. Jokowi jangan sok pamer prestasi. Semua ucapan anda tak sesuai fakta. Bahkan sudah banyak kebijakan yang anda buat sangat melukai hati rakyat. Anda sosok pemimpin yang hanya jago membual! Perilaku kekuasaan Jokowi terbukti menyulut daya rusak bagi tatanan bernegara. Kebhinekaan bangsa tercerai-bererai oleh modus politik kotak-kotak. Anak bangsa terjebak saling prasangka. Lebih mengerikan, Jokowi dituding bertindak sebagai pelayan kepentingan oligarki. Utang menumpuk, potensi kekayaan alam diobral, wabah korupsi ganas makin menggila. Terlalu banyak untuk disebutkan. Dalam sudut pandang kekinian, Jokowi tak cocok disebut Fir’aun. Tapi perilaku hipokrit yang menonjol menegaskan nama lain: Fir’dodo. Tentang bobroknya perilaku politik tipu-muslihat. Fir’aun dan Fir’dodo berbeda zaman. Namun praktek ketidakadilan, esensinya sama saja. Tidak amanah dan ingkar janji adalah ciri yang bersenyawa. Sama-sama terbukti gemar berbohong. Sadarlah Fir’dodo…!

Ganjar Bertahan atau Nyungsep

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SETELAH Partai Golkar dan PAN bergabung dengan Partai Gerindra dan PKB untuk mendukung Prabowo, maka PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo limbung. Koalisinya PPP yang menawarkan Sandiaga Uno dinilai \"tidak bermutu\" dan dapat diabaikan. Ganjar Pranowo sendiri ternyata elektabilitasnya tidak naik apalagi melesat. Rupanya sama juga \"tidak bermutu\".  Faktor utama limbungnya PDIP adalah Jokowi. Hitungan awal ternyata gagal. Prediksi mengambil Ganjar untuk mendapat dukungan Jokowi dan mayoritas partai koalisi pemerintah ternyata tidak sukses. Jokowi kecewa Ganjar direbut Megawati.  Jokowi melirik Prabowo yang dianggap lebih menjanjikan dan \"super setia\" padanya.  Sesungguhnya Jokowi ada dibalik Golkar dan PAN yang merapat ke Prabowo. Upaya mendekatkan Gibran pada Prabowo  juga tidak lepas dari kepentingan dan arahan sang ayah. Konstelasi politik berubah dari alienasi Jokowi menjadi alienasi Megawati. Dukungan pada Ganjar Pranowo semakin terkikis.  Internal PDIP sejak awal terbelah antara pendukung Puan Maharani dan pendukung Ganjar Pranowo. Kader PDIP ada juga yang mulai \"bersilaturahmi\" kepada Prabowo. Budiman Sudjatmiko dan Efendi Simbolon adalah contoh. Semua tentu mengacaukan soliditas partai.  Ada skenario \"langit\" yang mengobrak-abrik agenda. Awalnya  Jokowi dan Megawati itu satu. Cair untuk dukungan Ganjar atau Puan. Musuh bersama adalah Anies Baswedan. Untuk \"menghajar\" Anies, maka Prabowo harus \"diangkat\". Sandiwara survey, Prabowo harus nomor satu dan Ganjar kedua. Anies konstan dibuat ketiga dengan angka prosentase memprihatinkan.  Skenario \"bermain\" dua pasangan Ganjar versus Prabowo kelak, di luar dugaan ternyata menjadi \"serius\" dan justru lebih awal. Serangan PDIP kepada Prabowo dimulai dengan menyinggung kejahatan lingkungan proyek \"Food Estate\" Prabowo. Mungkin soal pembelian senjata akan menjadi serangan berikutnya. Akankah Prabowo atau Jokowi membalas? PDIP wajar jika harus berfikir ulang untuk usungan Ganjar Pranowo yang faktanya semakin tidak menjanjikan. Ganjar tidak layak jadi Capres mandiri, hanya bagus untuk boneka yang sarat dengan pencitraan. PDIP kini dipersimpangan jalan.  Tiga pilihan untuk menjaga eksistensi PDIP, yaitu: Pertama, tetap seperti sekarang \"maju terus\" bersama Ganjar Pranowo sampai \"seremuknya\". meskipun untuk memenangkan Pilpres sangatlah kecil.  Ini merupakan pilihan terburuk dan wujud dari keputusasaan.  Kedua, bergabung dengan koalisi perubahan dengan mencoba menawarkan Ganjar Pranowo sebagai Cawapres Anies Baswedan. Peluang kemenangan Pilpres lebih terbuka dan PDIP masih bisa ikut cawe-cawe dalam kabinet. Ini memang pilihan berat akan tetapi tetapi lebih rasional.  Ketiga, segera mengganti kandidat dari Ganjar Pranowo menjadi Puan Maharani. Siap menjadikan Puan sebagai Capres maupun Cawapres untuk pasangan siapapun. Pengusungan Puan Maharani akan mampu membuat solid internal. Jika ini  yang menjadi pilihan, maka \"harga diri\" PDIP akan tetap terjaga.  Pilihan kejutan dan hebat adalah bila PDIP dengan figur Puan Maharani berjuang keras untuk melawan Jokowi. Jokowi harus dimakzulkan cepat. Ini artinya PDIP harus berkoalisi dengan kekuatan rakyat pro pemakzulan. Kelompok Petisi 100 adalah \"poros keempat\" yang sangat berkepentingan dengan pemakzulan Jokowi.  Ada kekuatan rakyat yang dahsyat apakah mahasiswa, buruh, emak-emak, purnawirawan maupun kaum profesional yang bersemangat juga untuk memakzulkan Jokowi demi perbaikan bangsa ke depan.  PDIP bisa memainkan peran strategis dalam kebersamaan ini.  Pilihan mempertahankan Ganjar Pranowo adalah kenekadan untuk ngotot mendukung figur yang diprediksi bakal \"nyungsep\". Kini PDIP harus segera mengambil keputusan. Situasi berada di persimpangan jalan.  Masih ada waktu untuk pilihan cerdas bergerak \"bersama rakyat\"---Makzulkan Jokowi.  Bandung, 17 Agustus 2023.

78 Merdeka, Terjebak dalam Konspirasi Global Mengganti UUD 1945

Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila  Jakarta, FNN - Pada tanggal 15 Januari 1998 Indonesia terperangkap konspirasi global oleh dua negara adikuasa AS dan RRC yang melibatkan lembaga keuangan Internasional IIMF memberi bantuan dengan seabrek persyaratan.Tekanan IMF kemudian dilanjutkan dengan kerjasama antek-antek di dalam negeri NGO untuk melakukan operasi ganti rezim ganti sistem. Dengan kue demokrasi membuat para cecunguk bersemangat mengganti UUD1945 dengan UUD 2002 mereka yang mengecap pendidikan di AS seperti Amin Rais akhirnya menjadi garda terdepan mengobrak-abrik UUD 1945 dan Pancasila dengan sistem individualisme, liberalisme, kapitalisme. Eforia reformasi awalnya seakan negara ini akan maju mrnurut antek-antek asing tersebut tetapi apa yang terjadi setelsh 25 tahun reformasi. Mereka mulai menyesal tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai berantakan. Demokrasi yang nereka jadikan agama baru ternyata demokrasi palsu tidak ada demokrasi itu yang ada seakan-akan demokrasi semua serba transaksional imbasnya kekayaan ibu pertiwi ludes untuk perjudian Pilpres, Pileg, Pilkada. Kalau yang apes ketangkap KPK tetapi kerusakan sudah merembes ke moral pejabat negara, korupsi merajalela dan tidak terbendung. Terus utang menggunung kata Sri Mulyani dengan enteng tidak ada negara yang tidak punya utang di dunia ini. Kerusakan paling parah adalah bersengkongkolnya eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi, presiden menjadi sangat super power sehingga semua partai politik menyusu pada presiden. Apa lagi ketua partai yang terjerat masalah hukum maka kalau perlu menjilat. Model demokrasi sontoloyo inilah yang sedang berlangsung di negeri ini. Memang ada perlawanan dalam pilpres yang menggunakan sistem presidensiil ini ada yang mengusung perubahan. Bagaimana bisa mengusung perubahan kalau demokrasinya demokrasi sontoloyo. Yang lebih aneh selalu diksinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin keadilan sosial bisa terwujud, mana kala diletakan pada sistem individualisme, liberalisme, kapitalisme. Jadi ya sesama pengagung demokrasi liberal yang satu menjadikan Pancasila sebagai alat tipu yang satunya lagi menggunakan diksi keadilan sosial. Ketiga capres ini tidak jelas mau dibawa ke mana Indonesia itu? Ketiganya liberal kapitalis. Yang PDIP selalu mengatakan penerus Soekarno. Mana ada Soekarno kompromi terhadap imperialisme,  apa lagi memberi karpet merah pada imperalis China. Ketiga Capres apa perna bicara tentang kedaulatan negaranya bagaimana mengambil alih kekayaan ibu pertiwi yang sudah dikuasai asing. Bagaimana mengembalikan tanah air yang 75% dikuasai segelintir orang asing dan aseng. Bagaimana menegakkan kembali pasal 33 UUD 1945. Caores kok hanya lari-lari di setiap kota, ndak ada pikiran besarnya. Juga tidak ada capres yang berani mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Renungkanlah, sebab bangsa ini akan terus terjebak dalam konspirasi asing. Hanya kembali pada UUD 1945 dan Pancasila bangsa ini akan selamat. Maka perlu dibentuk Pergerakan Kebangsaan untuk Mendukung Pidato Ketua DPD La Nyalla Mahfud Mataliti yang ingin kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Pergerakan kebangsaan segera dibentuk untuk seluruh bangsa Indonesia mengembalikan Sistem MPR menjadi lembaga tertinggi negara dan membuat GBHN sebagai bintang petunjuk arah agar bangsa ini selamat dari konspirasi global. Tidak perlu lagi pilpres yang hanya mengumbar hawa nafsu untuk perpecahan dan mengikuti konspirasi global. (*)

Segeralah Kembali ke UUD 1945 dan Pancasila Zonder Kompromi

Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila  KERUSAKAN negeri ini semakin menjadi-njadi sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002.  Jurang kemiskinan semakin melebar ditandai dengan maraknya stunting (busung lapar), korupsi sudah bukan puluhan milyar tetapi sudah ratusan bahkan ribuan triliun. Penggarongan kekayaan ibu pertiwi terus berlangsung atas nama investasi asing. Di dalam keputusasaan seakan negara sudah tidak memberikan harapan masa depan. Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 yang mereka katakan Amandemen yang menurut Prof Kaelan 4 kali amandemen UUD 1945 menyebabkan terjadi inskonsistensi dan inkoherensi dengan Pancasila sebagai Norma Dasar Hukum dan kaidah fundamental NKRI. Peneliti PPHP Djokosutono Researach Center FH UI (2023) menyatakan \"UUD hasil amandemen adalah UUD yang berbeda dari UUD 1945  ditetapkan PPKI pada 18 /8/1945.\" Amandemen ini berimplikasi sangat serius, antara lain: UUD hasil amandemen telah membubarkan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Juga menghapus Pancasila sebagai grundnorm dan kaidah fundamentsl (Staatsfundamental norm ) atau Ruh UUD 1945. Hilangnya Pancasila sebagai kaidah berbangsa dan bernegara maka Indonesia menuju ketersesatannya semakin dalam menuju kehancurannya. Ini bisa kita lihat adanya pertentangan politik yang keras. Sekarang zaman di mana negara menjalankan Liberal Kapitalisme. Negara ditafsir ada yang merasa paling Pancasilais dan begitu mudah menstikma Islam sebagai Islam Radikal, Islam Khilafah musuh Pancasila. Keadaan seperti ini membuat Pusat Studi Rumah Pancasila prihatin sebab mereka tidak paham betul Pancasila itu apa? Kalau kita menyitir teori negara misalnya salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori Karl Marx. Marx berkata bahwa negara adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht organisatie) kata Marx. Sementara Lenin, komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mengatakan “de staat is een knuppel” (negara adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang negara adalah satu pentung. Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk mementung ke Iuar, dapat dipakai untuk mementung ke dalam. Bagaimana dengan Soekarno dan Indonesia tentang negara? Kata Soekarno untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini, kami menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran wadah, agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan sampai retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang tersusun daripada Pancasila. Misal gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari porselen, keranjang terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga terbuat daripada tanah atau tembaga. Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen-elemen yang tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat dari elemen-elemen itu saja, dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak retak, tidak pecah. Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi, dan memang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI yang berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. ………” PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah ideologi satu partai, lalu partai-partai lain tidak mau……” ……..”Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini. (Soekarno) Saudara-saudara, Tempo hari aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah, isilah dengan warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna kuning. Engkau senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen-elemen Pancasila ini. Sebab bilamana tidak, maka wadahnya retak. Kalau retak, bocor. Bisakah kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah kita mengisikan susu di dalam beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga jangan sampai wadah ini retak…….” Rupanya pengusung RUU HIP – RUU BPIP tidak memahami apa itu Pancasila sehingga Pancasila ditarik ke ideologi , semua rakyat mau di ideologikan Pancasila , padahal Pancasila itu dasar dari wadah dan wadah itu bisa berisi syariah Islam bagi umat Islam , Syariah Hindu , Budah bagi umat Hindu Budah , Syariah Kristen , Katolik , bagi yang beragama Kristen Katolik, dll. Pemahaman yang salah dengan melahirkan RUU BPIP- RUU HIP yang ingin seluruh Masyarakat di Pancasilakan ini lebih parah dari jaman asas tunggal Pancasila jaman Orde Baru . sebab BPIP bisa menjadi alat pukul bagi siapa saja yang tidak berideologi Pancasila. Padahal Pancasila itu dasar Negara yang didalam wadah itu menampung semua elemen .BPIP rupa nya salah dalam memahami Pancasila dan sudah seharus nya di luruskan kalau tidak ingin negara ini pecah. Yang harus Pancasilais ya negara nya jangan seperti sekarang ini negara menggunakan sistem Liberal Kapitalisme terus mau membuat Pancasila sebagai alat pemukul bukan hanya kontradiksi justru telah berkianat terhadap pikiran Bung Karno soal Pancasila. Sebagai anak bangsa kita harus bersatu mengembalikan keharmonisan bangsa ini yang mengalami Islamophobia ,akibat salah kaprah dalam memahami Pancasila. Jika kita ingin menyelamatkan Negara yang di Proklamasikan 17 Agustus 1945 maka hari ini di ulang Negara Republik Indonesia ke 78 harus ada keberanian mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila untuk mengembalikan Negara  Proklamasi 17 Agustus 1945. Berhentilah menjalankan demokrasi liiberal dengan menghentikan pilpres pilpresan yang serba demokrasi ksum borjois dan membeli demokrasi dengan sembako. Sudah saat nya kita berani merebut kebenaran dari kepalsuan dan penindasan atas nama demokrasi demokrasian yang tidak berakar pada kepentingan rakyat . Rakyat hanya diminta melegalkan keinginan ketua partai. Sudah saat nya mengembalikan kedaulatan rakyat mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara .Untuk membentuk GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden mengakhiri pilpres dengan model banyak banyakan suara pertarungan ,kalah menang ,kuat-kuatan, caci-maki,  curang curangan, dan jelas membuat persatuan menghancurksn kerukunan dan keharmonisan. (*)

Syahganda Nainggolan: Pidato Kenegaraan Jokowi di MPR Soal Sopan Santun Kurang Substansial

Jakarta, FNN - Pengamat politik Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, mengkritik keras isi pidato Jokowi terkait soal sopan santun. Menurutnya, persoalan utama bangsa ini, yang dipersoalkan kaum oposisi seperti oleh Rocky Gerung, Jumhur Hidayat dan Habib Rizieq adalah menurunnya spirit demokrasi, korupsi merajalela dan keadilan sosial semakin jauh. Jokowi yang mempersoalkan sopan santun terkait kata-kata Fir\'aun, bajingan tolol, dan lainnya yang ditujukan padanya bukanlah hal substansial. Yang substansial adalah memastikan pemilu jurdil dan aman, korupsi ditumpas keakar-akarnya serta memastikan pertumbuhan ekonomi memihak rakyat kecil. Syahganda mengutarakan bahwa saling serang terkait pemilu semakin berekskalasi. Hal ini terjadi karena Jokowi gagal mengisyaratkan netralitas dalam pilpres ke depan. Isu Gibran akan menjadi Cawapres Prabowo, misalnya, telah menciptakan ketegangan antara PDIP dan Prabowo Subianto. Padahal, seharusnya Jokowi, sebagai pemimpin negara dapat menahan diri agar anaknya tidak masuk dalam bursa cawapres, yang terkesan dipaksakan. Selain itu, dalam urusan pemberantasan korupsi, Syahganda meminta agar Jokowi lebih tegas dalam mengungkap berbagai kasus, khususnya ekspor nikel 5 juta ton illegal ke China, yang sudah diungkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Terakhir Syahganda mengharapkan agar fokus pembangunan ekonomi ke depan lebih pro rakyat. Misalnya, kenapa 3,3 juta Ha sawit illegal mau diputihkan pemerintah, diberikan kepada pengusaha nakal, bukannya diberikan kepada petani sawit. (*)

Sanad Keilmuan Anies, dari Pabelan hingga Tebuireng

Oleh M Chozin Amirullah -  Alumnus Ponpes Tebuireng Jombang BULAN Agustus 2023, Anies melakukan silaturahmi ke beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Islam At-Tauhid Sidoresmo Pondok dan Pesantren Walisongo Situbondo. Sementara di Jawa Tengah, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Pabelan di Magelang.  Kunjungan ke Ponpes Pabelan, Magelang ini terasa istimewa bagi Anies Baswedan. Sebab, Anies pernah belajar di pondok pesantren ini saat duduk di bangku SMP. Saat acara ngobrol bareng santri di Ponpes Pabelan, Anies bernostalgia dan menceritakan pengalamannya belajar di pesantren tersebut. Selain itu, Anies juga menyampaikan materi dialog wawasan kebangsaan. Menjadi santri yang pintar agama sekaligus cinta tanah air adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Itulah salah satu ciri dari santri Ahlussunnah wal Jamaah.  Ada beberapa alasan mengapa orang tuanya memilih Ponpes Pabelan sebagai tempat belajar agama bagi Anies Baswedan. Pertama, lokasi Ponpes Pabelan di Mungkid, Magelang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Anies Baswedan di Yogyakarta. Dari rumah Anies Baswedan di Yogyakarta ke ponpes jaraknya sekitar 30 kilometer yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.  Alasan berikutnya yang tak kalah penting adalah mengenai sanad atau jalur keilmuan Ponpes Pabelan yang bila dirunut akan sampai pada ponpes Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ternama di Indonesia. Agar memahami sanad atau lacak galur keilmuan Ponpes Pabelan, maka kita harus memahami awal berdirinya ponpes ini.  Ponpes Pabelan sebenarnya adalah salah satu yang tertua di Jawa Tengah. Hanya saja, pondok pesantren ini mengalami beberapa kali pasang surut. Cikal bakal Pondok Pesantren Pabelan dimulai pada tahun 1800-an, ditandai dengan kegiatan mengaji yang dirintis oleh Kiai Raden Muhammad Ali.  Namun, ketika pecah Perang Diponegoro (1825-1830), ponpes ini berhenti dalam waktu panjang. Berhentinya ponpes waktu itu disebabkan Kiai Raden Muhammad Ali ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Beliau memang salah satu pengikut Pangeran Diponegoro dan Ponpes Pabelan menjadi salah satu markas utama pendukung pernjuangan Pangeran Diponegoro. Selesainya Perang Diponegoro membuat Ponpes Pabelan berhenti dalam waktu panjang.  Pada tahun 1900-an, Ponpes Pabelan sempat bangkit di bawah asuhan Kiai Anwar dan dilanjutkan oleh Kiai Anshor. Namun kemudian Pondok Pabelan kembali mengalami kevakuman. Baru pada periode ketiga, yaitu pada 28 Agustus 1965 Ponpes Pabelan beroperasi lagi di bawah asuhan Kiai Hamam Dja\'far.  Perjalanan Kiai Hamam Dja\'far dalam menghidupkan lagi ponpes di Pabelan ini terbilang menarik. Cerita menarik tersebut termasuk usaha Kiai Hamam dalam menuntut ilmu sebagai bekal untuk menghidupkan dan mengembangkan pondok pesantren.  Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Islam di Muntilan pada 1952, Hamam Dja’far muda melanjutkan ke Ponpes Tebuireng yang didirikan oleh KH Hasyim Asy\'ari, Pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah belajar di Ponpes Tebuireng, Hamam Dja’far muda lalu melanjutkan kuliah di Pondok Modern Darussalam. Hamam muda belajar langsung di bawah asuhan “Trimurti” pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor: K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi.  Setelah menimba ilmu di Ponpes Tebuireng dan Ponpes Darussalam Gontor, Kiai Hamam kembali ke Muntilan lalu mendirikan Ponpes Pabelan pada tahun 1965. Bila melihat sanad keilmuan Kiai Hamam Dja’far sebagai pendiri Ponpes Pabelan, tak salah bila sanad Anies Baswedan terhubung langsung dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama. Sebab, guru dari Anies Baswedan pernah belajar langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.  Jadi tepat bila Anies Baswedan masuk sebagai seorang dengan amaliyah Ahlusunnah wal Jamaah atau aswaja. Anies adalah bagian tak terpisahkan dari Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. Sebab, bila dirunut sanadnya, kakek gurunya adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. (*)

Dampak Buruk Hasil Amandemen UUD 45

Oleh M.Hatta Taliwang - Aktivis MPR  sebagai rantai terkuat dalam sistem ketatanegaraan kita yang dibuat pendiri bangsa  kini lumpuh dan dampaknya luar biasa terhadap kedaulatan rakyat. MPR  sesuai namanya adalah tempat tertinggi rakyat bermusyawarah melalui wakil / utusan yang dipilihnya.  Musyawarah itu bisa berkaitan dg siapa yg akan memimpin rakyat (menjadi Presiden), bermusyawarah tentang ke arah mana bangsa mau dibawa dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai cita-cita kita bersama (GBHN). Sekaligus juga MPR menilai prestasi dan kinerja Presiden untuk diminta pertanggung jawabannya setiap akhir masa jabatan. Bahkan dalam kewenangan tertentu sesuai rumus manajemen reward and punishment, MPR RI bisa memberi apresiasi dan penghargaan bila Presiden berprestasi dan berkinerja baik. Sebaliknya bisa juga memberi punishment baik berupa peringatan maupun pemberhentian bila Presiden tidak menjalankan tugas dg semestinya, atau melakukan korupsi, melakukan perbuatan tercela dan pengkhianatan. Secara normatif hal-hal tersebut sudah diatur dalam UUD 45 18 Agustus 1945. Masalah MPR RI Pasca Amandemen Tidak menjadi Lembaga Tertinggi negara dengan dampaknya sebagai berikut : Semua  Lembaga Tinggi Negara (LTN)  seperti Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK,  dll jadi \"kerajaan\" masing-masing. Egocentrisme lembaga mengental. MPR yang biasanya menurut UUD 45 18 Agustus 45 sebagai tempat mempertanggung jawabkan tugas di akhir jabatan tidak diperlukan. Sementara rakyat banyak tidak tahu apa kerja mereka, tahu-tahu setelah 5 tahun  bubar jalan. Presiden yang memimpin 270-an juta rakyat cukup di-SK-kan oleh KPU dan selesai tugasnya tidak merasa  perlu  mempertanggung jawabkan prestasi dan kinerjanya  di forum terhormat Majelis Permusyawaratan.  Sistem ini tidak membangun rasa tanggungjawab hemat,  apakah berhasil atau gagal. Tidak ada reward and punishment, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Presiden yang berakhir masa jabatannya. (Sementara Kepala Desa saja ada forum pertanggungan jawab masa akhir jabatannya) Malahan  bisa ikut Pilpres  lagi kalau baru dalam masa jabatan pertama.  Menyerahkan penilaian prestasi dan kinerja Presiden ke publik atau rakyat dalam konteks demokrasi liberal yang dikendalikan pemilik modal adalah tidak bijaksana.  Karena dengan kekuatan uang, kekuatan media massa mereka bisa kendalikan opini. Sehingga yang hitam bisa jadi putih dan seterusnya seperti dalam kasus Pilpres yang kita saksikan di masa Pilpres maupun Presiden sekarang di era reformasi. MPR adalah tempat musyawarah tertinggi, tempat di mana Presiden, putra terbaik dan utama seharusnya dipilih berdasarkan perwakilan musyawarah dengan segala hikmah kebijksanaan dari para tokoh bangsa dari segala aliran, profesi, golongan, utusan daerah dll. Banyak yang mengkritik sistem perwakilan dan musyawarah ini , padahal ada partai yang mempraktekkan cara ini dan partainya sampai sekarang terus maju. Pergantian kepemimimpinannya tanpa gejolak, output partainya luar biasa. Sebuah ormas agama yang sudah mapan juga mempraktekkan cara perwakilan dan musyawarah mufakat dalam memilih pemimpinnya. Sampai sekarang ormas keagamaan tsb tetap stabil, maju dan outputnya luar biasa.  Hampir semua organisasi masyarakat termasuk parpol melakukan pemilihan kepemimpinannya dengan sistem perwakilan dan musyawarah mufakat. Tak ada yang meminta seluruh anggota yang punya kartu datang ke bilik suara untuk memilih ketumnya. Mengapa saat harus memilih Presiden dengan  sistem Perwakilan Permuysawaratan sesuai Sila ke 4 Pancasila malah dianggap kuno dan tak demokratis lalu dicampakkan begitu saja? MPR RI seharusnya menjadi tempat kata akhir segala keputusan penting dikeluarkan. Di negara negara yang katanya demokrasi seperti Inggeris, Jepang, Thailand dll sedemokrasi apapun mereka, sebebas apapun mereka, kalau ada krisis politik di negara mereka, mereka kembali meminta kata akhir dari Raja/ Ratu/Kaisar. Di Indonesia pasca reformasi, Presiden menabrak  UU, melakukan kebohongan, keributan antar/internal Lembaga Negara (KPK vs Kepolisian, DPR vs KPK, Ribut di DPD RI dll) berlalu begitu saja tanpa kejelasan penyelesaian. Bahkan dalam kasus KPK berujung KPK dikuasai kepolisian. Saling menaklukkan, bahkan terjadi  saling hujat, saling negasi di publik. Padahal masalah-masalah ini mestinya bisa diselesaikan di MPR jika MPR RI masih sebagai lembaga tertinggi negara  yang bisa mengeluarkan \"Kata Akhir\" tanpa bisa diperdebatkan lagi secara politik. Sehingga dalam perspektif kami MPR RI bagaikan \"Raja\" dalam sistem ketatanegaraan  kita. Karena memang dulu Nusantara yang bergabung ke dalam NKRI ini adalah terdiri dari raja dan sultan yang tentu saja punya pengalaman bernegara dan mengatur \"negara\" mereka masing masing, sehingga mempunyai pengalaman dan kearifan yang luhur. Negara sebesar, seluas dan memiliki tingkat heterogen yang tinggi tak mungkin stabil bila diatur dengan cara cara liberal. Ada pakar hukum tatanegara  yang  selalu membanggakan check and ballances dalam kekuasaan, sebagai argumen atas di turunkannya derajat MPR RI dari Lembaga Teringgi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.  Karena check and ballances itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang dalam ekonomi disebut persaingan bebas.  Persaingan yang akan membentuk keseimbangan, padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan. Kita saksikan bagaimana lembaga legislatif bisa dilumpuhkan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perppu No 2/2020 yang menyunat hak budget DPR soal anggaran Covid. Juga dengan banyak Ketum Partai tersandera karena kasus korupsi dll maka anggota DPR ikut tersandera. Sehingga banyak kepentingan rakyat terabaikan.UU lahir sesuka Eksekutif. Lalu dimana check and balances yg dibanggakan olen pembela UUD 2002 itu?  UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and ballances. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata (Salamuddin Daeng).  Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi . Ribut demi negara atau ribut demi diri dan kelompoknya? Jadi buat apa saling menyeimbangkan (ballances) sementara yang diperlukan bangsa ini meningkatkan produktivitas, perbaikan dan kemajuan bangsa dlm bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, kehormatan bangsa (penghargaan internasional) dll. Sebagai akibat dari tidak berfungsinya MPR seperti sekarang maka peran musyawarah itu diambil alih oleh oligarki pemodal dan oligarki politik atau dalam bahasa sehari-hari mereka adalah beberapa ketum partai dan beberapa taipan. Mereka yang \"bermusyawarah\" menentukan siapa capres, kemana arah bangsa dan ke mana bisnis mau diarahkan. Rakyat cuma jadi penonton atau supporter tanpa tahu arah nasib mereka. Situasi di mana rakyat tak berdaulat begini akan merusak hari depan rakyat Indonesia. Sistem itu seperti mobil, kalau ada masalah direm atau kopling maka mobil itu bermasalah. Bisa berbahaya buat keselamatan penumpang. Sehebat apapun supir,  bila mobilnya punya masalah sistemik, maka supir tak berdaya. Dalam perspektif kami, Indonesia bermasalah dengan sistem ketatanegaraannya. Masalah leadership itu masalah tersendiri. Dampak dari masalah sistem UUD kita antara lain membuat output bangsa/negara kita terus menurun. Hampir semua negara yang dulu sejajar di Asia Timur dan Tenggara telah meninggalkan kita dalam banyak hal. Bahkan Vietnam yang merdeka 30 tahun belakangan dari Indonesia, telah mengejar kita. Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia sudah jauh meninggalkan kita dalam banyak hal. Apakah situasi itu tak menyadarkan kita? Karena itu hemat kami menjadi sangat urgen kita menata UUD termasuk didalamnya menata MPR RI. (BERSAMBUNG)

Menggila Pembuatan Berhala Patung Soekarno

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PATUNG Soekarno setinggi 20 meter lebih senilai 14,5 milyar yang akan dibangun di Taman Saparua masih mendapat penolakan warga. Gubernur Ridwan Kamil tidak memperlihatkan tanda akan membatalkan perizinan. Terkesan terjebak pada transaksi politik yang telah dibangun dengan elemen politik berkedok Yayasan. Yayasan Putera Nasional Indonesia. Pembangunan itu jauh dari kepentingan masyarakat Jawa Barat. Tanpa perencanaan, penelaahan atau pengkajian yang melibatkan stake holder kompeten.  Pembangunan patung Soekarno tersebut ternyata memiliki multi permasalahan baik keterlibatan wakil rakyat, konsistensi pada aturan, penggunaan lahan, sosialisasi, aspek budaya bahkan bersinggungan dengan keyakinan keagamaan. Sebutannya \"kultus\" dan \"keberhalaan\". Di tengah gonjang-ganjing rencana pembangunan patung Soekarno di Taman Saparua yang mengejutkan warga, kini rakyat Jawa Barat dikejutkan lagi dengan berita bahwa di Perkebunan Walini Kecamatan Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat akan dibangun patung Soekarno denggan tinggi 100 meter.  Patung yang berada di kawasan seluas 1.270 hektar tersebut berlokasi di eks proyek Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dengan nilai investasi sebesar 10 (sepuluh) trilyun rupiah. Ini namanya proyek patung raksasa berkamuflase obyek wisata. Konon kini pembuatannya masih dalam tahap perizinan.  Rupanya proyek patung Soekarno semakin menggila dan luput dari perhatian publik. Mengapa patung dan mengapa Soekarno adalah pertanyaan mendasar bagi rakyat Jawa Barat yang daerahnya \"diinvasi\" oleh patung Soekarno. Pemerintah Jawa Barat maupun Pemerintah Daerah setempat harus menjelaskan dan bertanggung jawab atas kecenderungan \"kultus\" dan \"keberhalaan\" ini.  Fir\'aun yang diktator digambarkan dengan patung-patungnya. Beragam pose Fir\'aun  ada setengah badan, lengkap berdiri, duduk maupun hanya kepalanya. Uniknya di lokasi wisata \"Water Park\" di kota Banjar ada dua patung Fir\'aun. Tentu saja ditolak keberadaannya oleh banyak pihak. Patung duplikat raja Mesir itu tak pantas untuk dipamerkan menjadi bagian dari obyek wisata.  Di samping Fir\'aun, tokoh \"diktator\" yang banyak tampilan patung adalah Vladimir Illyich Lenin. Di Ukraina sebanyak 1 320 patung Lenin diruntuhkan sebagai simbol perlawanan Ukraina melawan Rusia. Di Rusia sendiri tersebar patung Lenin dengan berbagai model. Jumlahnya sampai mencapai 6000 patung. Tokoh revolusi Bolshevik ini memang dikultuskan sebagai \"tuhan\" komunisme.  Patungisasi Soekarno di Indonesia tentu bukan dimaksudkan untuk membuat \"tuhan\" nasionalisme, akan tetapi pendidikan yang baik untuk mengajarkan nasionalisme itu bukan semata dengan visualisasi patung-patung raksasa. Bukan pencerdasan namanya, malahan bisa pembodohan.  Masa lalu warna kejahiliyahan (kebodohan) sebelum Islam diwarnai oleh banyaknya patung-patung. Dan berhala-berhala itu oleh Nabi Muhammad SAW diruntuhkan. Lalu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa dibangun dan dikembangkan.  Proyek patungisasi Soekarno disamping dapat mengarah pada \"kultus individu\" dan \"keberhalaan\" juga dikhawatirkan mengedukasi pengkhidmatan pada kedikatoran \"Fir\'aunisme\" dan \"Leninisme\".  Bandung, 16 Agustus 2023.

Tanpa Kembali ke UUD 45 - Kartel Merajalela

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) telah membacakan pidato kenegaraan dan nota keuangan pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, DKI Jakarta (16/8/2023).  Tetap saja mengabaikan tujuan  negara untuk melindungi seluruh tumpah darah dan seluruh rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, hilang dari ingatannya. Yang di ingat hanya pembangunan IKN dan infrastruktur. Atas kejadian tersebut MPR nyaris tidak bisa berkutik akibat hilang fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara. Demikian  Dewan Perwakilan Daerah tidak memiliki original power, fungsinya tidak lebih seperti \"pupuk bawang\". Para kartel  taipan oligarki yang telah diberi karpet merah leluasa mengatur dapur negara, jelas merasa tidak penting apapun yang dipidatokan Presiden. Selain harus tetap nurut dalan kendalinya. Presiden dengan jumawa memamerkan pembangunan IKN,  infrastruktur dan proyek ghaib lainnya, dengan uang hutang dan sejak itu pula di kumandangkan program investasi dengan pengawalan ketat siapapun yang menghalangi kalau hukum membolehkan bisa didor (ditembak mati). Dalan sebuah artikel Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan perlunya mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan. Kesadarannya agak terlambat ketika para kartel ekonomi sudah sangat berkuasa mengendalikan negara ini , apalagi hanya sekedar apologi ingin melakukan pembenaran atau membela diri no ketika MPR sudah seperti bebek lumpuh. Rezin kartel atau kabinet kartel menciptakan sistem kerja sama yang mampu menjaga dan mengatur negara sesuai dengan kepentingan kelompoknya, terutama dalam mencari sumber pendanaan yang berasal dari keuangan negara. Sistem kabinet kartel telah memberikan keleluasaan bagi wujudnya korupsi politik, menghilangkan sistem checks and balances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi mapan sebuah pemerintahan negara. Mereka  menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan posisinya dalam sistem politik , beroperasi seperti kartel. Pengertian ini merujuk kepada eksploitasi kekuasaan untuk kepentingan kolektif para bandit palitik dan ekonomi kelompoknya . Argumen mengenai terjadinya kartelisasi adalah kepentingan penguasa bersama para kartel untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel.  Ini harus dihancurkan  Kerika keadaan terus memburuk dan negara terus menuju jurang kehancuran, tidak ada jalan lain rakyat harus bergerak dengan cara \"revolusi\".  Kembali ke UUD 45,  sekiranya akan melakukan perubahan pintunya adalah adendum terbatas, tidak harus menghancurkan UUD 45.  Adanya keinginan anggota MPR akan melanjutkan amandemen adalah langkah konyol, bodoh dan sia sia justru hanya akan memperparah keadaan. ****

Anda Mundur Sukarela atau Dipaksa Mundur

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Otto Iskandardinata, dengan gagah dan berani, menyampaikan pidato pada pembukaan sidang Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda tahun 1931-1932. Intinya, “Indonesia pasti merdeka! Anda mempunyai dua pilihan. Menarik diri secara sukarela tetapi terhormat, atau kami usir dengan kekerasan.” \"Banyak orang mengatakan, tanpa adanya paksaan atau kekerasan, Anda tidak mungkin melepaskan Indonesia. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu, bila sudah tiba saatnya, Anda tentu akan melepaskan Indonesia demi keselamatan Anda.\"  Saya menggunakan kata “Anda”, karena apa yang dikatakan oleh Otto Iskandardinata dalam pidatonya di depan Volksraad berlaku universal. Kita saksikan saat ini, pemerintah  berperilaku seperti penjajah terhadap rakyatnya, dengan menghisap keringat dan darah rakyat, dan memiskinkan rakyat, untuk kepentingan para kroni kapitalisnya. Rezim saat ini sudah berubah menjadi kartel, tiran dan telah memberikan keleluasaan bagi wujudnya korupsi politik, menghilangkan sistem checks and ballances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi mapan sebuah pemerintahan negara. Waktunya, rakyat bereaksi, 78 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaan,  apakah hari ini kita hidup di alam merdeka? Atau masih hidup di masa penjajahan. Terjajah oleh taipan oligarki dan elit partai politik yang seperti kartel, memiskinkan bangsa Indonesia. Inilah saatnya, rakyat menggugat, mengembalikan kehidupan ekonomi kepada rakyat, untuk rakyat. Kondisi saat ini bahkan lebih buruk dari masa penjajahan. Dewan Rakyat di masa penjajahan membela kepentingan rakyat, tanpa kenal takut. Sedangkan Dewan Rakyat saat ini menjadi bagian dari penguasa, menjadi antek penguasa dan oligarki, yang turut berperan aktif memiskinkan rakyat bangsanya sendiri. Kartel taipan oligarki yang sudah masuk di dapur negara, tidak akan pernah menyerah menjajah negara ini tanpa kita paksa harus menyerah. Keadaan negara ditengarai akan semakin memburuk dengan hadirnya penjajahan gaya baru , yang telah bersenyawa dengan para penguasa dan kekuatan kartel  partai politik .  Pilihan harus kembali  berjuang,  melakukan gerakan revolusi, untuk menyelamatkan negara kembali kearah cita cita kemerdekaan, bukan menjadi budak penjajahan gaya baru. Seperti pernyataan Otto Iskandardinata, anggota Volksraad di masa penjajahan, Anda semua sebagai penjajah wajib mundur sukarela atau kita paksa mundur. Pilihan ada di tangan Anda. ****