Selamat Tinggal Status Quo, Selamat Datang Era Perubahan

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono - Wakil Pemimpin Redaksi FNN 

Ada seorang tokoh penting di rezim ini yang begitu sensitif ketika mendengar kata-kata “perubahan”. Sampai dengan gaya arogansinya yang khas berkata, “Perubahan apa? Kalian jangan sok-sok bilang perubahan!  Rakyat butuh kemajuan yang sudah banyak diperbuat pemerintahan hari ini!," tegasnya dengan wajah marah dan angkuh.

Wajar si bapak ini begitu reaktif dan emosional menanggapi isu perubahan yang diinginkan rakyat hari ini. Karena, si bapak kita ini tahu masa jabatan dan bulan madunya dengan pemerintah hari ini akan segera berakhir. Berakhir dengan berjuta masalah dan rekam jejak yang jauh antara fakta dan pencitraan yang masif disiarkan media mainstream.

Selama ini setiap isu pemberitaan tentang keberhasilan pemerintahan dilakukan “satu pihak” saja. Kenapa? Karena kalau ada yang berbeda dengan pemerintah, maka akan diciduk, diintimidasi, dipersekusi, dan dipenjarakan menggunakan UU ITE dan Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946 (sebuah peraturan yang seharusnya sudah tak digunakan lagi). Sebuah peraturan dengan pasal karet yang menjerat para pejuang dan aktivis menyuarakan kritik.

Jadi wajar, si bapak merasa dirinya jumawa, dapat mencuci otak publik sekehendak hatinya. Tapi dia lupa watak asli orang Indonesia. Diam bukan berarti “nrimo”. Tak bersuara bukan berarti tidak tahu. Ini hanya masalah momentum waktu saja. Karena kekuatan civil society di Indonesia sedang mengalami masa “shock”, karena baru saja menikmati era kebebasan reformasi di era BJ Habiebie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tiba-tiba rezim hari ini “merampasnya” dari tangan rakyat. Tak terhitung para tokoh, ulama, aktivis, bahkan akademisi yang dijebloskan ke dalam penjara hanya karena perbedaan pendapat dan menyuarakan kebenaran.

Di satu sisi, rezim dengan sesuka hatinya membiarkan ulah para buzzer, para tokoh influencer menyebar hoax, caci maki, kebencian terhadap kelompok dan tokoh yang berseberangan dengan rezim. Bahkan entitas agama pun mereka kriminalisasi dan nistakan. Siapa yang bersebrangan sikap politik, dijadikan musuh negara.

Kembali pada pokok bahasan kita hari ini adalah menjawab pertanyaan si bapak tentang perubahan apa yang diharapkan rakyat hari ini. Mari kita jawab bersama-sama sebagai berikut:

1. Perubahan akan suasana harmonisasi kehidupan sosial kemasyarakatan, tanpa caci maki, membubarkan para buzzer bayaran yang membuat gaduh dan adu domba, baik di sosial media, maupun menginfiltrasikannya dalam program pemerintah secara halus. 

Sejatinya, 78 tahun negara ini merdeka, tak ada permasalahan SARA di Indonesia. Akan tetapi hanya apabila kelompok kiri berada dalam kekuasaan saja, maka akan selalu permasalahan SARA diungkit-ungkit, dipanas-panasi, dan dipertentangkan agar masyarakat terpecah belah. Agama dinista, para ulamanya dicela, dan suasana kebencian antar-umat beragama diprovokasi terus menerus. Inilah ciri khas gaya politik orang “tak beragama” berkuasa.

Padahal seharusnya pemerintah atas nama negara menyatukannya, membangun kebersamaan, merangkul, dan membuang jauh kata-kata perbedaan dan keberagaman dengan kata persatuan: Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Manggrva.

2. Perubahan akan kiblat (arah) pemerintahan kembali kepada Pancasila, dengan dasar negara sesuai pasal 29 (ayat) 1 ; Negara Berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Artinya, Indonesia bukan negara agama, tetapi Indonesia juga bukan negara tanpa agama. Agama adalah salah satu entitas sosial kenegaraan bahkan ideologis, yang tak bisa di pisahkan dari penyelenggaraan kekuasaan negara.

Nah, menghilangkan kurikulum agama dalam road map pendidikan dan menghapus mata pelajaran agama di sekolah milik pemerintah itu bertentangan dengan dasar negara dan tujuan pendidikan nasional kita sendiri, yaitu: Mewujudkan generasi muda yang berakhlak mulia berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Berarti Agama adalah salah satu dasar tuntunan dalam membangun norma dalam pendidikan nasional,  bukan malah menghapusnya.

Mengapa pemerintahan hari ini begitu getol “menjauhkan” agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Agama (khususnya) Islam  distigmakan  begitu buruknya, menakutkan, bak monster. Padahal Agama Islam adalah mayoritas dan ibu kandung dari lahirnya bangsa Indonesia.

Program sekulerisasi (pemisahan agama dan negara), yang diprogramkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, sesuai pidato Presiden Jokowi ingin memisahkan kehidupan agama dan politik, itu jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia ke depan, serta hal inilah yang menjadi bibit keributan di tengah masyarakat. 

3. Perubahan akan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Kedudukan setiap warga negara itu sama di hadapan hukum. Tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Para penegak hukum dan kewenangan mesti dievaluasi, baik orientasi, struktur, SDM, regulasi, dan budayanya.

Hal ini penting sebab penegakan hukum ini adalah pilar demokrasi. Para penegak hukum tidak boleh lagi (diharamkan) menjadi alat kekuasaan, menjadi centeng pengusaha dan sangat mudah mengkriminalisasikan orang, tergantung siapa yang kuat dan besar cuannya. Rakyat bukan musuh polisi, para aktifis, ulama, kritikus, dan politisi bukan musuh polisi karena berseberangan pendapat dengan yang berkuasa hari ini.

4. Perubahan akan perilaku suka buat utang-utang yang tidak berguna dan memberikan beban besar terhadap keuangan negara.

Anehnya pemerintahan hari ini melakukan pencabutan semua subsidi, dari listrik hingga BBM. Dengan pencabutan subsidi otomatis sembako naik. Di satu sisi pemerintah dengan sumringah bilang keberhasilannya, namun faktanya utang negara kita hari ini naik 3 kali lipat menuju angka 8.000 trilyun, kalau versi Misbahkun mencapai 20 ribu trilyun rupiah digabung dengan swasta. Bunga dan cicilan hampir Rp1000 trilyun per tahun, sedangkan APBN kita saja 2700 trilyun per tahun. 

Artinya, 1/3 APBN kita hanya untuk bayar bunga dan cicilan utang. Yang terbebani akhirnya keuangan negara, yang seharusnya bisa untuk subsidi pupuk, subsidi BBM, bangun sekolah, bangun rumah sakit, jembatan, jalan di pedesaan, bea siswa, hingga permodalan untuk para UMKM. Yang terjadi dana subsidi hanya untuk bayar utang, dimana dana tersebut digunakan untuk proyek yang tak mempunyai efek terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat bawah.

Perubahan akan cara mengelola keuangan pemerintahan ini yang harus dilakukan. Bukan ugal-ugalan, dan hanya mengejar pencitraan semata.

5. Perubahan tata kelola cara eksploitasi sumber kekayaan alam dan migas. Cabut aturan yang memberikan karpet merah bagi perusahaan yang tujuannya hanya untuk merampok sumber kekayaan alam di negara kita, sesuai pasal 33 UUD 1945.

Pengelolaan sumber kekayaan alam mesti berujung pada kemakmuran rakyat, bukan hanya menguntungkan negara asing dan kelompok elit di pemerintahan hari ini. Eksploitasi sumber kekayaan alam mesti berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.

Bayangkan sesuai statemen Deputi BI yang menyatakan ada lebih 5.000 trilyunan rupiah transaksi tambang di Indonesia, tapi uangnya tidak berada di Indonesia. Ini gila namanya.

Belum lagi kita bicara perkebunan, sawit,CPO, dan perikanan hingga migas. Kalau tata kelola ekspolitasi ini berpihak pada kemakmuran rakyat, tak akan ada negara kita bisa punya utang-utang yang terus bertambah.

Diperkirakan sumber kekayaan alam di Indonesia itu dikeruk senilai 20 ribu trilyun setiap tahunnya termasuk Freeport. Tapi apa yang bangsa Indonesia ini dapatkan?

Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tergolong tinggi kalau kita gunakan parameter yang benar dan terbuka. Jangan versi BPS yang banyak pihak akademisi pertanyakan kenetralannya dalam memberikan angka-angka sejak rezim hari ini.

6. Perubahan akan tata kelola investasi bukan invansi. Setiap negara memang butuh investasi, tetapi investasi yang seperti apa?

Tentu investasi sesuai dengan SDG’S (Sustainable Develpment Goal’s). Yaitu, setiap investasi harus berorientasi pada Pro-Job (Melahirkan lapangan pekerjaan), Pro-Poor (Mengentaskan kemiskinan), Pro-Growth (Memberikan konstribusi pertumbuhan ekonomi), dan Pro-Green (ramah terhadap lingkungan hidup).

Artinya, investasi yang sehat dan berkedaulatan yang kita mau. Serta memberikan manfaat pada anak bangsa dan negara, yaitu, investasi yang melahirkan lapangan pekerjaan, mengentaskan pengangguran yang menghilangkan kemiskinan, dan investasi yang ketika belanja, membeli dan menggunakan produk dalam negeri. Bangun jembatan dan jalan, ya beli semen dan besinya dari produksi dalam negeri dong. Sehingga menghidupi pabrik dalam negeri, bukan malah import.

Begitu juga untuk tenaga kerjanya, yang kita inginkan adalah tenaga kerja lokal agar para anak bangsa bisa bekerja dan menghidupi keluarganya. Dan otomatis hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. Pasar pasar rakyat akan hidup, ekonomi rakyat hidup.

Jadi bukan TKA Cina yang diimport jadi pekerja di pabrik yang mengeksploitasi sumber kekayaan alam bangsa kita. Ini yang harus dan wajib diubah apapun alasannya.

Selanjutnya tentu juga, investasi yang tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sehingga tidak menimbulkan banjir, hutan gundul, habitat dan keseimbangan ekosistem rusak. Maka pasti bencana alam akan datang. Itu sudah hukum alam.

Lebih parah lagi kalau investasi yang begitu wah diwarnai proyek mangkrak, gagal, namun lingkungan sudah terlanjur rusak, dan negara terjebak utang (debt trap) yang menyandera negara.

7. Perubahan cara penindakan korupsi, peredaran narkoba, serta perubahan akan budaya tayangan pertelevisian yang mesti kembali menjadi media pendidikan dan penyebar informasi yang beradab.

Dalam hal narkoba, Indonesia ini sudah sangat darurat narkoba, karena sudah terlalu banyak aparatur penegak hukumnya terlibat. Dan ini berbahaya karena narkoba akan menghancurkan para generasi muda penerus bangsa ini. Kasus Irjen Pol Tedy Minahasa contohnya.

Korupsi yang hukumannya sangat ringan juga mesti diperbaiki dimulai dari budaya dan kepemimpinan (keteladanan). Ibarat kepala ikan, kalau kepalanya busuk maka badannya pun akan busuk. Di sanalah dibutuhkan keteladanan seorang pemimpin.

Kalau pemimpinnya bersih, tegas, beribawa, tidak korupsi, pasti yang di bawahnya tidak akan berani korupsi. Begitupun budaya ASN nya. Mesti juga diperbaiki dimulai juga dari tingkat kesejahteraannya. Yaitu gaji yang layak dan bermartabat, sehingga para ASN kalau gaji sudah tinggi tidak akan korupsi lagi.

Terakhir budaya, inilah peran pendidikan dan media. Tertibkan siaran-siaran hedonisme matrealistis. Karena inilah pangkal utama yang menyebabkan orang akan korupsi. Ibu ibu pejabat korupsi. Gaya hidup yang berlebihan. 

Ingin kaya cepat, ingin pujian, ingin kelihatan wah dengan harta benda perhiasan. Mengakibatkan hilangnya rasa malu, untuk mendapatkan uang apakah itu halal dan uang maling dari uang rakyat.

Perubahan budaya yang berkarakter ini akan menjadi fondasi utama national character building bangsa Indonesia ke depan. Jauhkan anak anak muda kita dari budaya alay, bucin, hura-hura, hedonisme dan matrealistis. Menjadi para generasi muda yang tangguh, berkualitas, berkarakter, dan bermental mandiri patriotik untuk bangsa dan negaranya.

Budayakan generasi muda kita dengan budaya yang positif, konstruktif, bermental superior bukan inferior. Suka berkarya, dan yang terpenting adalah budaya jujur, gotong royong, ramah, tenggang rasa, saling menghormati dan patritoik nasionalis adalah budaya asli dan dasar bangsa Indonesia.

Itu baru segelintir yang kita paparkan. Banyak lagi perubahan perubahan yang menjadi harapan besar masyarakat.

Dan insyaAllah apabila harapan perubahan di atas dapat terlaksana, maka Indonesia baru akan jadi megara besar, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cukup 10 tahun ini menjadi “mimpi buruk” bagi kita semua. Makanya, wajib kita lawan “status quo” yang menjerumuskan bangsa dan negara ini menuju failed state. 

Tidak ada negara di dunia ini yang maju karena investasi, karena infrastruktur, dan instabilitas sosial politik dan ekonomi. Tidak bakal maju karena terus menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat untuk menutup kegagalan roda pemerintahannya.

Tak ada negara di dunia yang maju karena bantuan negara lain. Bullshit itu semua. Sebuah negara yang maju, hanya karena tekat, semangat, kemandirian dari para anak bangsanya sendiri. Dan untuk itulah dibutuhkan karakter pemimpin yang berkualitas, mapan, bermartabat, dan visioner. Bukan planga plongo ikut apa kata oligarkhi. Baru mau berakhir masa jabatan baru sadar, kalau dirinya adalah Presiden. Dan buru-buru mau cawe-cawe politik. Miris sekali.

Jakarta, 19 Oktober 2023.

454

Related Post