OPINI
Ngabalin Offside!
Oleh Sutrisno Pangaribuan -Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas). PERNYATAAN Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin (Ngabalin) terkait hasil sidang Tim Penilai Akhir (TPA) offside. Ironisnya, pernyataan Ngabalin dijadikan rujukan tunggal oleh semua media, dalam memberitakan nama- nama Penjabat Gubernur. Meskipun belum ditetapkan dalam keputusan presiden (Keppres), nama- nama yang beredar tersebut telah dibahas dan diberi ucapan selamat oleh berbagai pihak. Ngabalin yang bukan anggota TPA, dan bukan juru bicara TPA, menyampaikan hasil sidang TPA yang seharusnya tertutup kepada publik. Ngabalin mendahului Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut memimpin rapat TPA saat itu. Posisi dan jabatan Ngabalin, bukan pembantu Presiden Jokowi, tetapi pembantu Moeldoko. Maka pernyataan Ngabalin selain mendahului Jokowi, juga tidak menghargai Moeldoko sebagai pimpinannya. Tindakan Ngabalin melampaui kewewenangannya, sebagai pembantu Moeldoko yang merupakan anak buah dan pembantu Presiden Jokowi. Sidang TPA Bersifat Rahasia dan Tertutup Penetapan Penjabat Gubernur akhirnya memunculkan spekulasi dan polemik karena Ngabalin membocorkan hasil sidang TPA yang bersifat rahasia dan tertutup. Padahal hasil sidang TPA sendiri bukan satu- satunya dasar memutuskan dan menetapkan Penjabat Gubernur. Presiden sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Panglima Tertinggi TNI dapat merubah hasil sidang TPA, atau mengabaikan hasil sidang TPA demi kepentingan bangsa dan negara. Pejabat Gubernur dapat diputuskan dan ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa sidang TPA. Presiden Jokowi dapat mengangkat nama- nama calon yang tidak ada dalam usulan dan proses melalui DPRD, kementerian/ lembaga, dan tanpa profiling Kemendagri. Proses sidang TPA adalah proses normal dan formal, sedang keputusan akhir ada pada pilihan dan keputusan objektif dan subjektif Presiden Jokowi. Maka sangat mungkin hasil sidang TPA yang dibocorkan Ngabalin ke publik berbeda dengan yang akan diputuskan dan ditetapkan Presiden Jokowi, dituangkan dalam Keppres. Sejumlah Nama Tidak Memenuhi Syarat Meski tidak layak dijadikan rujukan, karena belum diputuskan dan ditetapkan dalam Keppres, namun nama-nama yang dibocorkan Ngabalin dipastikan sebagian tidak memenuhi syarat sebagai Penjabat Gubernur. Salah satunya adalah Mayor Jenderal TNI Hasanuddin, yang dalam berbagai berita disebut Purnawirawan. Maka purnawiran tidak dapat diangkat sebagai Penjabat Gubernur, kecuali yang bersangkutan sebelum purnawirawan dari TNI telah melalui alih status dari aparat TNI menjadi aparatur sipil negara. Dan yang bersangkutan saat dipilih dan diangkat sebagai Penjabat Gubernur sedang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya ( JPT Madya) melalui hasil seleksi terbuka (lelang jabatan). Bagi aparat TNI dan Polri, aparat negara yang bukan ASN, harus melewati proses dan tahapan untuk alih status menjadi ASN. Pangkat dan jabatan dalam TNI dan Polri tidak serta merta (otomatis) disesuaikan pada ASN. Aparat TNI dan Polri yang sudah alih status menjadi ASN harus ikut seleksi JPT Madya ( lelang jabatan). Maka jika tanpa proses alih status dan tanpa proses seleksi (lelang) ASN pada JPT Madya, Mayor Jenderal TNI Hasanuddin (dalam berita disebut purnawirawan) tidak memenuhi syarat menjadi Penjabat Gubernur. Nama- nama yang disebut Ngabalin harus dilacak status JPT madya nya pada kementerian dan lembaga dan pemerintah daerah. Adapun JPT madya ASN adalah sebagai berikut: Sekretaris jenderal kementerian, Sekretaris kementerian, Sekretaris utama, Sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, Sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, Direktur jenderal, Deputi, Inspektur jenderal, Inspektur utama, Kepala badan, Staf ahli menteri (bukan staf khusus), Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, Sekretaris daerah provinsi. Maka jika nama- nama yang disebut Ngabalin tidak menduduki jabatan- jabatan tersebut maka pasti tidak memenuhi syarat sebagai Penjabat Gubernur. Perhatian Khusus Untuk Papua Presiden Jokowi harus hati- hati dalam memutuskan dan menetapkan Penjabat Gubernur Papua. Dinamika politik pasca Lukas Enembe harus dikelola dengan baik. Masyarakat Papua pasti menginkan Penjabat Gubernur Papua itu adalah Orang Asli Papua (OAP). Maka penunjukan Penjabat Gubernur di Papua itu tidak boleh hanya menggunakan mekanisme TPA tunggal. Presiden Jokowi diminta untuk tidak hanya menggunakan mekanisme formal dalam memutuskan Penjabat Gubernur Papua. Sebagai induk dan puncak dari semua dinamika politik, maka Provinsi Papua harus ditangani dengan pendekatan khusus. Maka kekhususan penanganan Papua harus menjadikan OAP sebagai syarat utama dan pertama ( mutlak) dalam penentuan Penjabat Gubernur. Saat ini OAP yang menduduki JPT Madya dan masuk dalam nominasi calon Penjabat Gubernur Papua adalah Amzal Yoel (JPT Madya di Kementerian Agama RI) dan Anthonius Ayorbaba (JPT Madya Kementerian Hukum dan HAM RI). Kedua nama tersebut, selain OAP, pasti memiliki kemampuan dalam memimpin Papua menghadapi Pemilu 2024 hingga Pilkada Serentak 2024. Stop Manuver Politik Para Makelar Kongres Rakyat Nasional ( Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa sumber informasi terkait Penjabat Gubernur seharusnya Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, bukan Ngabalin. Pratikno memiliki kewenangan mengurus penerbitan Keppres tentang pengangkatan nama- nama dalam posisi Penjabat Gubernur yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Selain Presiden Jokowi dan Pratikno tidak ada orang yang berhak mengumumkan hasil TPA. Kedua, bahwa nama- nama calon Penjabat Gubernur dari aparat TNI dan Polri (bukan ASN) harus dipastikan belum pensiun (purnawirawan). Maka status aktifnya sebagai aparat harus dikonfirmasi ke biro SDM TNI dan Polri. Jika sudah menjadi ASN baik yang organik maupun alih status, maka harus dikonfirmasi kepada BKN untuk memastikan usia pensiun dan posisi JPT Madya saat diangkat sebagai Penjabat Gubernur. Ketiga, Ngabalin tidak memiliki kewenangan dalam menyampaikan hasil sidang TPA ke publik. Maka tindakan Ngabalin merupakan pelanggaran serius yang dapat memicu dan memacu polemik di tengah masyarakat. Maka Moeldoko sebagai pimpinan dari Ngabalin diminta untuk mencopot dan memecat Ngabalin. Keempat, bahwa penyampaian nama- nama Penjabat Gubernur ke publik mendahului Keppres diduga terkait dengan manuver dari para makelar politik yang bekerja untuk kepentingan politik kelompok dan golongan tertentu. Penyampaian informasi hanya berdasarkan hasil sidang TPA diduga berkaitan dengan pembangunan dan penggiringan opini publik sekaligus aksi \"test the water\" untuk kepentingan politik tertentu. Kelima, bahwa Presiden Jokowi diminta untuk tidak menjadikan hasil sidang TPA sebagai mekanisme tunggal dalam penentuan Penjabat Gubernur. Kelompok politik pragmatis diduga terlibat dalam proses penentuan sejumlah nama yang telah diumumkan Ngabalin, baik dalam proses awal hingga di sidang TPA. Keenam, bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi yang aman, tenteram, dan damai. Sehingga tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengangkat aparat TNI dan Polri aktif sebagai Penjabat Gubernur. Sebagai pemimpin sipil, maka Penjabat Gubernur harus ASN atau aparatur negara non ASN yang telah alih status menjadi ASN. Alih status dari aparat TNI dan Polri menjadi ASN tidak dapat dilakukan hanya untuk kepentingan tunggal karena posisi Penjabat Gubernur. Ketujuh, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri aktif tanpa alih status menjadi ASN tidak memenuhi syarat. Meski aparat TNI dan Polri adalah aparat negara, tetapi tidak masuk kategori ASN. Maka semua Penjabat Gubernur harus ASN (mutlak). Latar belakang Mendagri diduga berkaitan dengan nama- nama yang dibocorkan Ngabalin untuk kepentingan tertentu. Kedelapan, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri dalam jabatan sipil Penjabat Gubernur diduga berkaitan dengan kepentingan politik dan aktivasi dwifungsi TNI dan Polri. Tindakan tersebut berbahaya dalam rangka proses demokrasi. Aparat TNI dan Polri yang ingin maju sebagai kepala daerah saja harus mundur dan menjadi warga sipil baru berhak mendaftar sebagai calon kepala daerah. Kornas akan terus mengawal proses demokrasi demi terwujudnya supremasi sipil sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998. Kornas akan tetap konsisten memperjuangkan tuntutan reformasi untuk mencabut seluruh bentuk dwifungsi TNI dan Polri meski sebagian besar aktivis 1998 saat ini hanya sibuk dalam aksi berebut remah- remah kekuasaan. (*)
Pro-Kontra Bacawapres Cak Imin, Akankah Demokrat Cabut Tuduhan
Catatan Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PANGGUNG politik nasional bergoyang dengan pernyataan resmi Partai Demokrat bahwa Surya Paloh dan Anies Baswedan telah berkhianat. Surya Paloh dituduh telah mengajukan Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan, sedangkan Anies Baswedan dituduh telah menerima Cak Imin sebagai bakal cawapres yang diajukan oleh Surya Paloh, tanpa melibatkan kedua parpol anggota koalisi lainnya. Faktanya, Surya Paloh sebatas mengajukan Cak Imin sebagai bakal calon wapres pasangan Anies, dan Anies pun menerima Cak Imin sebagai bakal calon wapresnya, tetapi belum menetapkan demikian. Mengacu pada kesepakatan koalisi tiga partai, bahwa keputusan siapa cawapres sepenuhnya di tangan Anies Baswedan. Dengan mempermasalahkan langkah Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem sekaligus menyalahkan Anies, tampak bahwa Partai Demokrat bergabung dalam koalisi tiga partai dengan membawa syarat, yakni AHY sebagai Cawapres. Bila tidak demikian Partai Demokrat akan keluar dari koalisi. Diketahui bahwa di samping berkoalisi dengan Nasdem dan PKS, Demokrat telah melakukan pendekatan pada PDIP dengan proposal AHY sebagai cawapres Puan atau Ganjar. Kala itu Nasdem maupun PKS baik-baik saja. Mengapa ketika Anies menerima Cak Imin atas usulan Surya Paloh Demokrat jadi murka, padahal Anies belum memutuskannya, dan beberapa hari sebelumnya Anies telah bersurat dengan tulisan tangan meminta kesediaan AHY untuk menjadi cawapresnya? Syahganda Nainggolan sebagai pendukung Anies Baswedan terang-terangan menyatakan bahwa Surya Paloh dan Anies Baswedan bukan pengkhianat. Sebagian pengamat menilai langkah Surya Paloh mengajukan Cak Imin sebagai bakal cawapres Anies adalah langkah jitu strategi pemenangan capres Anies Baswedan. Bergabungnya Cak Imin beserta PKB ke koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat akan sangat menyedot dukungan kepada Prabowo maupun Ganjar. Di sisi lain, jika Demokrat hengkang dari koalisi bersama Nasdem dan PKS, kemungkinan besar akan mengalami degradasi nilai jual dan nilai tawar pada partai-partai lainnya. Sebagai pendatang baru hampir tidak mungkin AHY dipinang sebagai Cawapres koalisi lain. Jikalau Demokrat bergabung dengan koalisi Gerindra, harapan untuk memperoleh kursi menteri pun menjadi relatif sedikit. Dan tampaknya Demokrat tidak bakal berkoalisi dengan PDIP karena jejak-jejak kesejarahannya. Akankah Demokrat mencabut tuduhannya kepada Nasdem dan Anies Baswedan? Jika Anies Baswedan benar-benar memilih Cak Imin sebagai cawapresnya, ada pihak-pihak yang khawatir, sekurang-kurangnya dari dua sisi. Pertama, bahwa Cak Imin dinilai tidak memenuhi kriteria cawapres yang mumpuni untuk mewujudkan gagasan besar Anies Baswedan, dan kedua, Cak Imin dinilai tidak memenuhi kriteria cawapres yang nol masalah. Terbukti, begitu nama Cak Imin dipromosikan, pihak KPK buru-buru membuat pernyataan akan mengundang Cak Imin ke kantornya. Dikhawatirkan, begitu Anies Baswedan didaftarkan berpasangan dengan Cak Imin, roda penjegalan Cak Imin diputar sedemikian rupa, hingga Anies Baswedan batal menjadi Capres 2024. Inikah yang harus ditanggung oleh Nasdem dengan segala pengorbanan yang telah dicurahkannya? Siapa sebenarnya yang cawe-cawe dalam perhelatan pilpres 2024? (*)
KPP, dan Strategi Baru Menuju Pilpres 2024: Antara Kecewa-Marah, dan Harapan
Oleh Ady Amar - Kolumnis SEMALAM sempat melihat curhatan hati seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6, di sebuah televisi swasta. SBY terlihat begitu emosional. Suaranya kerap ditekan sekuatnya, menimbulkan suara lirih rengekan terlontar mendayu. Ini semacam ciri khas SBY, seperti yang sudah-sudah di masa lalu, jika hal yang \"menyerangnya\" ia mengklarifikasi dengan bahasa penuh iba. SBY tampak kesal dengan dinamika politik yang terjadi, yang disebutnya dengan \"melebihi kepatutan (yang dibolehkan) moral politik\". Itu setelah sang putra tercinta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat terhempas dari skenario awal yang digadang sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi Anies Baswedan, yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Tiba-tiba seperti sapuan kilat menyambar, membuat AHY terhempas dimentahkan oleh strategi yang lebih dipilih dengan menduetkan Anies dan Muhaimain Iskandar--akrab dipanggil Cak Imin--Ketua Umum PKB. Strategi baru yang dipilih, itu mengindikasikan ada yang kurang yang perlu ditutup. Karenanya, strategi baru perlu dimainkan, dan itu ceruk suara dari kaum nahdliyyin, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Strategi itu perlu dimainkan, dan itu hal biasa dan wajar. Jika ada yang kurang, maka perlu ditambal dengan hal yang memungkinkan agar kekurangan itu tertutupi. Sebuah ikhtiar yang seharusnya dilakukan. Hanya saja ada yang pakewuh dan memilih tidak melakukannya, meski analisa menafsir kekalahan ada di depan mata. Anies, dan itu juga NasDem, dan kemudian diikuti PKS salah satu partai koalisi, memilih mengambil strategi baru itu. Sebuah ikhtiar menuju kemenangan. Sedang Partai Demokrat memilih jalan lain, dan itu meninggalkan koalisi yang telah dideklarasikan dengan penandatanganan \"nota kesepahaman\" memilih Anies Baswedan selaku capres, dan menyerahkan cawapresnya pada Anies untuk memilihnya. Artinya, Anies boleh memilih siapa cawapres yang dikehendakinya. Demokrat mendesak agar cawapres Anies diumumkan segera. Tarik-ulur muncul antara yang menghendaki cawapres segera diumumkan (Demokrat), dan yang menganggap cawapres diumumkan menunggu momen yang pas (NasDem). Sedang PKS berada dalam suasana lebih menjaga harmonisasi tarik ulur antara dua partai koalisi lainnya (Demokrat dan NasDem). Sikap bijak diperagakan PKS. Cakep. Dan, malam hari tanggal 31 Agustus, berita Cak Imin disandingkan sebagai cawapres membersamai Anies menyebar. Dinamika muncul dengan begitu cepatnya, itu di luar nalar yang bisa dipercaya. Tapi dalam politik apa yang tidak mungkin, itu bisa dimungkinkan. Tanpa ba bi bu, Anies dipanggil Surya Paloh di NasDem Tower, malam 30 Agustus, lalu nama Cak Imin disodorkan sebagai cawapresnya. Anies terhenyak kaget, dan mengatakan akan membicarakan terlebih dulu dengan kawan koalisi lainnya. Diutuslah Sudirman Said menemui Tim 8, disampaikan putusan sudah diambil, Cak Imin yang dipilih mendampingi Anies. Tidak bisa digambarkan suasana tegang yang ditimbulkan, terutama yang dirasakan Demokrat. Lalu, Demokrat coba menelepon Anies menanyakan kabar yang bak kilat menyambar itu. Anies menjawab, hal itu benar. Artinya, benar Cak Imin dipilih jadi Bacawapres. Suasana psikologi batin Demokrat tak bisa dilukiskan. Sikap emosional dengan berbagai pernak-pernik dimunculkan, menurunkan seluruh baliho Demokrat yang menampilkan gambar Anies dan AHY--bahkan ada wajah Anies yang sedang ditutup dengan cat, ada yang merobek-robeknya dan membuangnya ke tong sampah, ada pula \"fatwa\" dari politisi Demokrat Sumatera Utara yang mengatakan halal darah pengkhianat--sampai memilih keluar dari KPP, yang disertai melabeli Anies sebagai \"pengkhianat\", \"musang berbulu domba\" dan seterusnya. Tidak tahu persis Demokrat akan berlabuh di koalisi yang dikomandani Prabowo, atau memilih bergabung dengan PDIP. Bagaimanapun juga PDIP dalam Rakernas III, Jakarta, 2023, memasukkan AHY sebagai salah satu kandidat bacawapres menyertai Ganjar Pranowo. Mungkin Demokrat bisa lakukan penjajakan dulu pada PDIP, apakah masih terbuka tawaran pada AHY itu. Tapi semua tahu, tawaran PDIP itu lebih bersifat menggoda soliditas KPP. Atau mungkin pilihan berlabuh pada Koalisi Indonesia Maju yang dimotori Prabowo, bersama Gerindra, PAN, dan Golkar. Atau bisa saja jika Demokrat memotori membuat koalisi baru, dan itu bersama PPP. Jika cuma PPP yang dirangkul, maka suara untuk membuat koalisi belum tercukupi. Membujuk PKS bisa jadi yang akan dilakukan, tapi PKS sudah mengumumkan akan tetap membersamai Anies Baswedan. Meski demikian, dalam politik tidak ada yang tidak mungkin bisa berubah, jika tawaran menggiurkan, dan tentu kesempatan memenangkan kontestasi Pilpres dimungkinkan. Sebagaimana yang dilakukan Anies, dan NasDem juga PKS, memilih jalan cepat mengikhtiarkan Anies tidak sekadar mengikuti kontestasi Pilpres, tapi yang lebih utama adalah memenangkan kontestasi itu. Maka, menutup kekurangan Anies harus diupayakan. Cak Imin (PKB) lalu jadi pilihan. Tidak ada yang salah yang dilakukan Anies, meski cara yang dilakukan dengan tidak perlu mendialogkan terlebih dahulu dengan Demokrat, dan PKS. Pertanyaan susulan, jika itu mau diberikan, apakah jika itu didialogkan terlebih dulu akan diterima anggota koalisi. Belum tentu, khususnya akan ditolak oleh Demokrat. Maka, Surya Paloh perlu melakukan langkah cepat dan meminta Anies menyetujui apa yang disorongkannya. Apakah Anies \"tertekan\" dengan apa yang disorongkan Paloh, sepertinya tidak, meski Anies cukup terkaget. Dalam politik adalah hal biasa jika mesti melakukan langkah di luar etika umum, maka mengesampingkan budaya sungkan atau pakewuh jadi kelaziman yang dimungkinkan. Maka, mengambil keputusan cepat di saat yang tepat jadi prioritas dikedepankan. Itu tampak dari apa yang terjadi di KPP. Muncul satu pihak (Demokrat) merasa ditinggal, lalu mengumpat di ruang publik memilih keluar dari koalisi. Apa yang dilakukan Anies, dan itu Surya Paloh, sebenarnya bukan hal baru yang pernah terjadi, itu jika mau melihat lebih ke belakang di mana saat SBY melakukan manuver meninggalkan kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri. Memilih berhadap-hadapan dengan Megawati dalam Pemilu 2004, itu juga menyakitkan Megawati. Peran \"dizalimi\" Megawati, dan memilih meninggalkan kabinet mengantarkan SBY sebagai presiden RI ke-6. Megawati menganggap apa yang dilakukan SBY, itu membesar-besarkan persoalan agar mendapat simpati publik, dan memang berhasil. SBY tentu tidak merasa bersalah melakukan hal yang dianggap kubu Megawati sebagai playing victim. SBY pastinya punya argumen sendiri, bahwa apa yang dilakukannya itu sah-sah saja. Dan langkahnya itu langkah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Jika tidak, maka kesempatan menjadi presiden tak akan pernah diraihnya. Bagi politisi yang berpandangan, bahwa kesempatan tidak datang dua kali, itu menemui kebenaran, jika mau menengok langkah yang dipilih SBY. Karenanya, kemarahan SBY meskipun dibungkus dengan intonasi terjaga dan dengan menekan suara sedemikian rupa, agar yang keluar dari mulutnya tidak meledak-ledak, tapi tetap menyuratkan nada kecewa bercampur marah merasa ditelikung. Katanya, \"Kita bersyukur diselamatkan Tuhan, tak mendukung orang yang tak jujur.\" Anies tentunya yang dianggapnya tak jujur, dan itu sah-sah saja. Seperti sah-sah juga jika Megawati begitu marah pada SBY, karena juga merasa ditelikung. Sakitnya SBY saat ini pernah dialami Megawati saat yang lalu. Ikhtiar Anies, dan itu NasDem dan PKS, siang ini jika sesuai rencana akan diikat oleh anggota baru koalisi, yaitu bergabungnya PKB. Dan, Surabaya dipilih jadi tempat perhelatan Deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimain Iskandar sebagai Bacapres-Bacawapres, yang diusung KPP. Berharap tidak lagi ada onak dan duri yang dihadapi Anies-Imin sampai didaftarkan resmi di KPU. Jika muncul analisa pesimistis tak mengenakkan tentang kelanjutan nasib pasangan Anies-Imin, itu sah-sah saja. Karena tidak ada yang bisa menjamin daulat rakyat saat politik berada di ketiak kekuasaan.**
Demi Bakti atau Ambisi?
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI BUKAN hanya rezim yang tirani, bahkan kekuatan oposisi juga bisa distorsi. Koalisi Perubahan Untuk Persatuan, harus elegan menghadapi anasir haus kekuasaan. Bukan hanya pada koalisi rezim kekuasaan yang tirani, iri dan dengki juga menyelimuti kekuatan oposisi. Seolah-olah punya hati dan nurani, geliat menyeru kebenaran dan keadilan tak luput menjadi kedok yang membungkus obsesi. Demi bakti atau sekedar memenuhi ambisi, semangat perubahan kini terancam menjadi halusinasi. Dari pengamat dan akademisi, aktifis pergerakan, kader partai politik hingga tokoh nasional, semua terkesan merepresentasikan perjuangan ideologi. Menghembuskan angin kesadaran, meniupkan api perlawanan dan bahkan mewaqafkan dirinya dengan pengorbanan. Tapi apa lacur, yang terjadi tidak lebih dari mengabaikan dan mengalihkan nilai-nilai yang hakiki. Perjuangan tak lebih dari hasrat harta dan jabatan, pengabdian dimanipulasi dengan target kekuasaan. Kemaslahatan tak ubahnya angan-angan, kemudharatan terlanjur menjadi kenyataan. Rakyat begitu mirisnya, entah karena terlalu percaya dan begitu tulusnya memberikan amanah, harus mengidap ketertindasan dan kesengsaraan. Pemimpin yang rakyat berikan mandat, gemar berbuat maksiat. Kebanyakan pejabat sekonyong-konyong menjadi bejat. Presiden dengan jajaran birokrat, ketua umum partai politik dan anggota dewan, ketika dituntut memenuhi keinginan rakyat seketika berubah menjadi psikopat. Membenci dan memusuhi rakyat, beringas dan brutal. Begitulah kekuasaan, lewat distorsi kebijakan politik, ekonomi dan hukum, rakyat terus dibiarkan kelojotan. Beras naik dan BBM naik diam-diam, seiring negara krodit karena pajak mencekik, kegemaran utang dan wabah korupsi di seluruh pelosok negeri. Saat gemuruh perubahan dan upaya perbaikan menggejala hingga ke dalam pikiran dan sanubari rakyat, masih ada barisan oposisi yang sungkan dan enggan memberi keikhlasan. Begitu naif dan berlebihan memaksakan hanya diri dan kelompoknya yang mampu mengusung kebaikan. Eksistensialis dan eksibisionis, ingin tampil selalu di depan dan menguasai panggung pertunjukan kekuasaan. Selainnya, tak boleh ada yang lebih besar mendapatkan perhatian dan kesempatan. Angan-angan hidup di dunia dalam keleluasaan dan kenikmatan, membuat hampir penyelenggara negara dan irisannya lupa daratan. Bukan cuma pada kekuasaan, bahkan yang kritis dan oposan juga rentan menjadi sial dangkalan. Ini bukan hanya soal SBY dan partai Demokrat menjadi julid saat putra mahkotanya AHY ditenggarai tak seiring sejalan dalam pembahasan kursi capres-cawapres berdampingan dengan Anies Baswedan. Ini juga terjadi hampir di semua kalangan oposisi yang selama ini getol menolak kebijakan kekuasaan dan cenderung anti pemerintahan. Meski dalam satu wadah kalangan aktifis, yang kritis dan optimis perubahan, faktanya kerap menyemburkan isu, intrik dan fitnah terhadap sesamanya. Terkadang seperti rezim juga, ingin melakukan pembunuhan karakter dan kriminalisasi kawan seperjuangannya sendiri. Oposisi juga masih manusia, masih sedikit terselip sifat hewaninya, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Rakyat, sepertinya harus punya stamina yang extra, tahan lama tanpa batas waktu yang ditentukan. Karena sesungguhnya, yang ingin dan bergabung dalam semangat perubahan, belum bisa jujur ke dalam. Benar-benar ingin perubahan atau sekedar menumpang kendaraan kekuasaan. Tak ada sedikitpun ada ketulusan untuk memberikan peran kepemimpinan kepada yang berhak, yang layak dan memiliki kepantasan. Ragu dalam kebersamaan untuk meluruskan jalan dan menghadirkan keadilan. Masih ada saja yang terus memaksakan kehendak, masih buram dan samar-samar, berjuang demi bakti atau ambisi?. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu. (*)
Mengulik Langkah Catur Politik Surya Paloh (Visioner, Smart, Trengginas dan Mematikan)
Oleh Ibok Chrian - Pengamat Politik Kampoeng SEJAK tadi malam, hingga saat ini jagat maya perpolitikan Indonesia mengalami tremor. Berhembus kabar, bahwa \"melalui\" bang Bewok, Nasdem telah mengikat tunangan dengan PKB, dengan menyandingkan Anies - Muhaimin sebagai pasangan Capres dan Wapres untuk 2024. So, kabar ini memantik kegundahan dan kekecewaan. Tidak saja bagi Partai Demokrat berikut turunannya, yang sudah sejak lama bersiap-siap memasang janur kuning untuk AHY sebagai Cawapres Anies, tetapi juga di berbagai simpul relawan Anies dengan segala atributnya, ikut dilanda \"kebingungan\". Jetlag persis seperti orang baru turun dari pesawat, pasca terbang berjam-jam. Terus, bagaimana kita menyikapinya kabar tersebut ? Mari kita elaborasi dari berbagai sisi. Tinjauan dari Sisi Partai Demokrat Tidak dipungkiri, di antara sekian Cawapres yang beredar, AHY mendapat \"tempat\" di hati sebagian masyarakat dan relawan. Selain muda, cerdas, lugas dan memiliki amunisi dari sisa-sisa kejayaan Cikeas, sosok AHY yang ganteng, cling dan glowing, merupakan magnet bagi sebagian kaum hawa dan para millenial. Namun, jika kita telisik lebih jauh, Partai Nasdem memainkan fatsun politik yang cenderung mengabaikan unsur egalitarian, yakni posisi dimana ketiga partai pendukung berada pada level yang \"sama dan sebanding\". Melakukan bargaining politic yang terlalu dalam, Partai Demokrat hingga saat ini ogah-ogahan memasang dan mempromosikan Anies sebagai Capres yang mereka dukung. Jika pun ada, itu pun hanya ada di beberapa tempat saja. Belum meng-Indonesia. Di sisi lain, partai dengan lambang Mercy ini, bukan sekali dua melontarkan ancaman, bahwa \"keberadaan\"nya di Koalisi Perubahan sangat menentukan jaditidaknya Anies berlayar di 2024. Masih segar dalam ingatan, betapa beberapa saat yang lalu, si biru ini mencoba \"menekan\" Anies dan Partai Nasdem melalui pertemuan AHY - Puan di sebuah taman. Pressure ini tentu membuat Nasdem sedikit bergidik. Betapa tidak. Jika ancaman ini benar-benar dilakukan, maka koalisi KPP otomatis akan layu sebelum berkembang. Tentu kita hanya dapat mengucapkan sayonara buat Anies dan para relawan. Lalu, jika pasangan Anies-Muhaimin benar-benar terwujud, bagaimana sikap Partai Demokrat bersama AHY menghadapi kenyataan ini? Jawabannya sederhana, tentu mereka menjadi salting dan bingung sendiri. Analisanya sebagai berikut: 1. Jika Partai Demokrat keluar dari KPP dan bergabung dengan koalisi PDIP + PPP, belumlah otomatis AHY menjadi Cawapres Ganjar Pranowo. Selain partai banteng tidak ingin sang Mercy menjadi besar melalui Jas coactail effect, keputusan siapa yang layak menjadi Cawapres Ganjar, masih menjadi hak prerogratif dan ditentukan langsung oleh sang \"Induk Banteng\" secara \"feodal\", dengan mengatasnamakan \"pemegang wewenang amanah partai\". Keadaan ini diperkuat oleh sisa-sisa hubungan Mega - SBY yang belum begitu cair dan cenderung hambar hingga saat ini. Praktis, jika Ganjar menjadi pemenang, maka Partai Demokrat hanya mendapat jatah menteri yang jumlahnya pun belum tentu sebanyak jika dia tetap bergabung di KPP. 2. Demikian pula halnya, jika partai dengan Centre of Cikeas ini hengkang dan bergabung dengan Prabowo. Sebagai pendatang baru yang tidak memiliki bargaining, tentu posisi AHY berikut PD-nya hanya dianggap sebagai \"anak bawang\" dan partai penggembira, jika tidak mau dianggap sebagai cheerleaders alias pemandu sorak. Apalagi secara kasat mata, Prabowo merasa lebih merasa nyaman bermesraan dengan dua sekondannya, yakni Golkar dan PAN, dibanding dengan partai Demokrat. 3. Sebaliknya, jika tetap bertahan dengan koalisi yang ada, yakni KPP, tentu ibarat makan berulam jantung, perasaan sedih dan kecewa tentu mendera karena harapan yang \"digadang-gadang\" telah sirna. Namun di sisi lain, ada kemungkinan partai ini akan menikmati insentif jatah menteri yang lumayan banyak dan signifikan, mengingat jasanya yang ikut membesarkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Tinjauan Partai PKS Diakui atau tidak, PKS adalah salah satu partai kader yang paling militan dan memiliki kesetiaan yang patut diacungi jempol. Teruji di berbagai medan perjuangan, membuat partai ini memiliki dignity dan harga diri yang mumpuni serta tidak mudah terombang-ambing. \"Tawaran\" datang silih berganti, namun hingga saat ini PKS tetap kekeuh dengan pendirian dan komitmen yang telah dipatri bersama Koalisi Perubahan. Terlihat dari press release yang dilakukan Muzammil Yusuf, salah seorang petinggi PKS utusan di Tim-8 Anies. Partai ini tidak baperan dan hati-hati dalam menyikapi sinyalemen \"Anies-Muhaimin\". Alih-alih melakukan protes, PKS malah mengingatkan anggota koalisi lainnya tentang kesepakatan awal, bahwa dalam pemilihan cawapres, Anies diberikan hak dan wewenang penuh, tanpa perlu dibangkangi. Pasca \"terjatuh\" di kasus pengadaan sapi dulu dan beberapa kasus petinggi yang ikut \"membebani\" marwah partai, ditambah stigma negatif yang dilekatkan \"rezim\" kepada partai ini, praktis tidak ada tokoh yang populer dan \"layak jual\" untuk ditawarkan ke masyarakat dalam kontestasi pilpres 2024. Memang ada yang coba digadang-gadang dan disodorkan, yakni sang mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Ketua Dewan Syuro, Salim Segaf Al-Jufri. Namun tak bisa dipungkiri, tanggapan masyarakat dan dunia perpolitikan cenderung dingin dan tidak \"dianggap\". Makanya, PKS lebih fokus kepada \"jumlah\" jatah menteri yang akan diperolehnya, tatkala pilihan untuk meraih kemenangan dilakukan secara cermat dan tepat dengan bergabung mengusung Anies. Keputusan PKS bergabung di KPP selain untuk menjaga kesolidan partai, pasca munculnya sempalan, Partai Gelora yang dimotori trio jangkar; Anis Matta, Fachri Hamzah dan Machfud Siddiq, juga untuk mengakomodir keinginan kader dan simpatisannya di akar rumput, yang menginginkan Anies sebagai capresnya. Untuk itulah, Koalisi Perubahan dan Persatuan dipilih PKS sebagai tempat berlabuh. Siapa tahu, jika Anies menjadi Presiden, tentu akan banyak kader yang berpeluang untuk menjadi menteri karena PKS dianggap telah ikut andil dan berjasa serta berkeringat dalam mengantarkan Anies ke pucuk singgasana. Jadi, sampai hari ini, PKS bisa dianggap tidak akan berpindah koalisi dan tetap bergabung di KPP. Karena lebih menguntungkan dibanding bergabung ke kubuh lainnya. Analisanya sebagai berikut: 1. PKS tidak mungkin bergabung dengan PDIP, karena selain berbeda dalam hal fatsun dan ideologi partai. Sejak awal PKS telah \"dilecehkan\" dan ditolak PDIP melalui ucapan jumawa Sekjennya yang mengatakan \"... PDIP tidak akan mungkin bergabung dengan PKS\" Jadi, perbedaan visi, misi dan ideologi partai yang demikian tajam, tidak memungkinkan PKS bersatu dengan PDIP (Nasionalis Marhaenism Vs Nasionalis Religius). Selain itu, PKS adalah partai yang menjunjung tinggi prinsip kesamaan derajat (egalitarianism) dan tidak suka diatur-atur atau \"membebek\" seperti Partai PPP, yang saat ini serba salah karena laksana berada dalam kerangkeng. 2. Bergabung dengan koalisi yang dibangun Prabowo, Koalisi Indonesia Maju, yang terdiri dari Gerindra, PKB, Golkar dan PAN (tadinya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, yakni Gerindra + PKB) lebih tidak memungkinkan, karena: a. Perasaan kecewa PKS berikut kader dan simpatisan masih membekas hingga saat ini, pasca Prabowo yang tadinya berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat, lebih memilih bergabung dengan rezim untuk sebuah jabatan Menhankam. Kekecewaan ini menjadikan keluarga besar PKS untuk memilih Anies sebagai tempat menggantungkan harapan. b. Keberadaan sempalan PKS, yakni Partai Gelora yang memutuskan bergabung dengan Prabowo, juga menjadi alasan kuat, mengapa PKS lebih adem tetap berada di Koalisi KPP, dibanding keinginan mengadu nasib ke kubu sebelah. Untuk itulah, Nasdem merasa aman dengan keberadaan PKS di koalisi Perubahan. Permasalahan besar akan muncul, tatkala Demokrat benar-benar hengkang dan memilih bergabung dengan koalisi lainnya. Tentu KPP yang hanya berisi Nasdem dan PKS tidak akan mampu memenuhi syarat minimal 20% Electoral thresold (ET) untuk mengusung Anies di 2024. Makanya dibutuhkan 1 partai lagi yang mampu memenuhi syarat tsb, sehingga Anies bebas melenggang ke kontestasi 2024. Tinjauan Partai PKB Berkaitan dengan pemenuhan ET 20% untuk syarat mengusung Capres, pertanyaan untuk Nasdem dan PKS adalah... \"Siapa dan Partai apa yang cocok dan akan menjadi Dewi Fortuna bagi pencalonan Anies ?\" Pertanyaan itu terjawab, tatkala Surya Paloh sang \"Maestro Futuristik\" yang jago dalam melihat peluang dan momentum, mampu \"membaca dan menangkap\" kesedihan dan kekecewaan PKB atas \"Kawin 3\" yang dilakukan Partai Gerindra, pasca menjadi \"istri sirri\" hampir setahun, dengan iming-iming bahagia yang berakhir prank. Lalu, pertanyaan lanjutan, mengapa harus PKB plus Muhaimin? Analisanya adalah sebagai berikut: 1. PKB memiliki jumlah kursi yang signifikan untuk memenuhi ET bagi pencalonan Anies, jika Demokrat benar-benar nekad hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Sehingga dengan bergabungnya PKB, maka Anies tetap berada di posisi aman untuk pencalonan di 2024. (Hal ini sangat tidak diinginkan rezim, buzzer dan para cebonger, yang siang malam \"berdoa\" agar Anies gagal dalam pencapresannya). 2. Secara kultural, PKB memiliki kader dan konstituen yang cukup solid dengan ceruk massa berada dilingkungan pesantren (nahdliyin), khususnya di sepanjang pantura dan tapal kuda Jawa Timur, dimana Anies masih perlu penguatan suara. 3. Meskipun tidak seluruhnya, jama\'ah nahdliyin berikut para kyai dan santrinya \"melabuhkan\" harapan dan suara NU melalui partai PKB sebagai saluran politiknya. Namun, PKB tetap memperoleh insentif electoral. Keuntungan ini diperoleh PKB, karena sampai saat ini hanya PKB lah satu-satunya saluran politik yang tampak dan cocok bagi warga NU, khususnya Jawa Timur, pasca PPP bergabung dengan PDIP. 4. Muhaimin adalah politikus muda yang berasal dari trah pesantren yang terkenal. Selain masih kerabat dengan Gus Dur, kedua orang tuanya adalah tokoh yang disegani dikalangan Nahdliiyin. Selain itu dia relatif kenyang dengan asam garam perpolitikan Indonesia. Baik sebagai Senato di Senayan untuk beberapa periode, menjadi Menteri, sampai menjadi Ketua Partai PKB untuk waktu yang relatif panjang pasca menang \"berseteru\" dengan klan Gus Dur. 5. Surya Paloh merasa perlu bergerak cepat dan tepat dalam melihat timing dan momentum serta membaca peluang untuk mengantisipasi \"rayuan\" PDIP bagi Muhaimin plus PKB nya, dengan \"janji\" sebagai wakil Ganjar. Langkah kuda yang dimainkan Surya Paloh ini membuat rezim berikut kroninya terperangah dan tidak menyangka. Betapa niat mereka untuk memupuskan harapan perubahan yang dimotori Anies, mampu dipatahkan dan dihancurkan Bang Brewok, melalui langkah kuda yang zigzag dan membingungkan, di percaturan politik Indonesia. Bravo buat Bang Bewok. Memang, di sisi lain, Muhaimin memiliki pula potensi kekhawatiran, menyangkut \"Kardus Gate\" yang masih membelitnya, yang hingga hari ini kasus tersebut masih menggantung dan sewaktu-waktu bisa dimainkan rezim untuk menghadang pencalonan Anies. Khususnya, di tikungan akhir pencalonan Capres Cawapres. Apabila posisi Muhaimin tetap \"aman\" sampai deadline masa pencalonan di bulan Oktober 2023, maka Anies berikut partai pengusungnya, kader, relawan dan simpatisan akan dapat tidur nyenyak, berusaha dan berdoa untuk kemenangan Anies. Jika tidak, maka selama itu pula adrenalin berikut sport jantung akan terus dialami dalam menyongsong kontestasi Pemilu 2024. Mari kita ikuti gempa politik berikutnya, untuk menge-test \"kesehatan\" jantung melalui ritme adrenalin sembari memperkuat komitmen untuk perubahan. Wallahu\'alam bissawab Salam Perubahan. (*)
Menelusuri “Mesin Waktu” Hilirisasi Nikel Septian Hario “Faisal” Seto
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Tulisan Dahlan Iskan dengan judul “Faisal Seto” (13/08), mengundang kagum dan sekaligus bingung. Kagum atas kecepatan Seto menulis sanggahan terhadap pernyataan Faisal Basri mengenai manfaat hilirisasi nikel. Kagum atas kecepatan Seto memiliki data manfaat hilirisasi nikel yang sangat detil, sebagai bahan sanggahannya kepada Faisal Basri tersebut, padahal dia masih berada di luar negeri. Kagum, sekaligus bingung. Kecepatan Seto seakan-akan mampu menembus ruang dan waktu. 1. Faisal Basri mengatakan, 90 persen manfaat hilirisasi nikel dinikmati China. Pernyataan Faisal Basri dimuat di berbagai media pada 08/08, seusai menjadi pembicara di salah satu seminar. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230808140000-92-983397/faisal-basri-sebut-90-persen-untung-hilirisasi-nikel-dinikmati-china/amp 2. Pemerintah bereaksi. Jokowi langsung turun tangan membantah pernyataan Faisal Basri pada 10/08. https://amp.kompas.com/nasional/read/2023/08/10/13334151/jokowi-jawab-kritik-faisal-basri-soal-hilirisasi 3. Faisal Basri menjawab bantahan Jokowi keesokan harinya (11/08). Faisal Basri sebut, hitungan Jokowi soal hilirisasi nikel salah. https://finance.detik.com/energi/d-6870498/faisal-basri-jawab-hitungan-jokowi-soal-hilirisasi-nikel-untungkan-ri/1 Sampai di sini, biasa saja. Bantah membantah merupakan hal biasa. Kemudian tiba-tiba muncul nama Septian Hario Seto, alias Faisal Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Sebelumnya Seto jarang atau tidak pernah terdengar bicara di ruang publik. Seto ikut membantah pernyataan Faisal Basri yang sebut hitungan Jokowi salah. Seto mengatakan Faisal Basri tidak up to date dengan permasalahan hilirisasi nikel. Dengan kata lain, Faisal Basri asal bicara. 4. Sanggahan Seto terhadap pernyataan Faisal Basri dimuat banyak media pada 11/08. Ya, benar 11/08, yaitu di hari yang sama Faisal Basri mengatakan hitungan Jokowi soal hilirisasi nikel salah. Sanggahan Seto dimuat, antara lain, oleh cnnindonesia: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230811180728-85-985044/deputi-luhut-bantu-jokowi-balas-kritik-hilirisasi-nikel-faisal-basri/amp Betapa cepat respons Seto menyanggah pernyataan Faisal Basri. Sungguh mengagumkan. Dan membingungkan. Membingungkan, bagaimana bisa, Seto memberi sanggahan terhadap pernyataan Faisal Basri dalam waktu sangat cepat, di hari yang sama, 11/08? 5. Padahal ketika itu Seto sedang berada di Washington DC, bersama Luhut Panjaitan dan rombongan, dalam perjalanan kembali dari Brazil menuju Jakarta. Luhut dan Seto sedang mengunjungi kantor IMF di Washington DC, bertemu Managing Director IMF, Kristalina Georgieva. 6. Menurut CNBC, dan cuitan Kristalina Georgieva, Luhut Panjaitan dan rombongan, termasuk Seto, mengunjungi kantor IMF pada Kamis, 10/08, waktu Washington DC. https://youtu.be/BPN_eKAS-ng https://x.com/kgeorgieva/status/1689629613733908480?s=46&t=czXtNmw0wnHx_F-329sjlw Selisih waktu antara Washington DC dengan Jakarta +11 jam. Artinya, ketika Seto berada di kantor IMF di Washington DC, lewat tengah hari, berarti Jakarta sudah masuk dini hari tanggal 11/08. 7. Sedangkan tulisan sanggahan Seto kepada Faisal Basri diterima dan dimuat media pada hari yang sama (11/08), jam 18:48 waktu Jakarta. Jadi, Seto hanya mempunyai time gap sekitar 15 jam saja, antara waktu kunjungan ke kantor IMF sampai berita tulisan sanggahan Seto diterima dan dimuat cnnindonesia. Artinya, Seto hanya perlu 15 jam, dari kantor IMF di Washington DC, menuju New York, terus terbang ke Jakarta, menyelesaikan tulisan sanggahan kepada Faisal Basri di atas pesawat, sampai tulisan tersebut diterima dan dimuat media. Semua itu dilakukan hanya dalam rentang waktu kurang lebih 15 jam saja. Super cepat! Hampir mustahil bisa dilakukan. 8. Karena, menurut Dahlan Iskan, Seto menulis artikel sanggahan untuk Faisal Basri di pesawat, dalam perjalanan dari New York ke Jakarta. Lama perjalanan setidak-tidaknya 18 jam. Itupun kalau Seto menggunakan pesawat pribadi. Kalau menggunakan pesawat komersial, waktu tempuh New York - Jakarta pasti jauh lebih lama dari 18 jam. Artinya, Seto dan rombongan Luhut Panjaitan menggunakan pesawat pribadi? Tetapi, kalau menggunakan pesawat pribadi, kenapa harus lewat New York? Kenapa tidak langsung dari Washington DC ke Jakarta? Sungguh Janggal?! https://disway.id/amp/718902/faisal-seto 9. Kalau lama perjalanan dari New York ke Jakarta saja perlu waktu paling sedikit 18 jam, belum termasuk perjalanan Washington DC - New York, maka mustahil cnnindonesia bisa muat tulisan sanggahan Seto pada 11/08, jam 18:48. 10. Kecuali Seto bisa menembus ruang dan waktu. Kecuali Seto bisa mengendarai “mesin waktu”. Atau Seto juga bisa mengendarai “mesin artikel”: alias disiapkan oleh staff di Jakarta, dan diatasnamakan Seto? —- 000 —-
Prabowo dan Anies Capres dalam Ancaman Oligarki
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih PUSAT kegaduhan politik di koalisi perubahan ada di Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atas kendali penguasa dan remot oligarki. Munculnya rekayasa menduetkan Anies Baswedan (ARB) dan Muhaimin Iskandar (MI) sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2024-2029, adalah rekayasa canggih untuk menghentikan kekuatan ARB yang makin tidak terbendung. Duet tersebut bisa jadi hanya kamonflase karena , pasangan tersebut bisa dihentikan ketika mendekati pendaftaran Capres dan cawapres ke KPU kasus Iskandar Muhaimin masuk ke pengadilan. Dan kembali aman setelah ARB gagal dalam pencapresan sebagai Presiden. Keluarnya PKB dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIK) , bukan karena terdesak P. Golkar dan PAN tetapi dugaan kuat ada penugasan khusus membayangi ARB agar bisa berhenti dan gagal menjadi Capres 2024. Pintu masuk kerja politiknya melalui Ketua Umum P. Nasdem \"Surya Paloh\" yang belakangan ini bolak balik ke Istana bertemu Jokowi tidak akan lepas dari skenario besar Oligarki.. Resiko kemarahan P. Demokrat pasti sudah diperhitungkan, ketika P. Nasdem bertindak sepihak tanpa melibatkan anggota Koalisi (Perubahan dan Perbaikan) lainnya, untuk menduetkan ARB sebagai Capres dan Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) sebagai cawapresnya. Upaya bagaimana Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dilemahkan. Secara langsung ada keterlibatan cawe-cawe Jokowi atas remote oligarki. Bahwa Pilpres 2024 harus tetap dalam genggaman, pengaruh, kekuatan dan kendali oligarki, apabila perpanjangan masa jabatan Presiden gagal dilaksanakan. Rekayasa politik lanjut Jokowi diduga menekan Golkar dan PAN untuk bergabung ke dalam KKIR. Tekanan terhadap Golkar terlihat jelas ketika Airlangga Hartaro (Ketua Umum Golkar), diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus korupsi ekspor minyak goreng. Tidak lama berselang, Golkar dan PAN deklarasi bergabung dengan KKIR yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Kedua tokoh tersebut berada masih dalam kendali kekuasaan atas berbagai kasus yang masih melekat dalam dirinya masing. Sudah cukup lama informasi terekam sampai sekarang sesungguhnya taipan oligarki dengan sekutu kekuatan besar mereka belum percaya terhadap Prabowo Subianto (PS) adalah Capres yang akan memiliki loyalitas total terhadap oligarki. Rekayasa politik yang cukup canggih kerja sama dengan Jokowi, sesungguhnya tidak aman bahkan membahayakan. Ancaman bagaimana dikalahkan pada saat Pilpres adalah rekayasa yang pasti menjadi agenda oligarki. Semua basa basi politik pencapresan 2024, tetap dalam kendali Oligarki dengan sekutu kekuatan yang lebih besar khususnya dari Cina. Capres Ganjar Pranowo adalah satu satunya capres yang bisa dipercaya menggantikan peran Jokowi sebagai boneka kekuatan asing dan yang akan bisa meneruskan semua program Jokowi saat ini. Sekalian Jokowi akan mencari aman paska menjabat kepada Capres Prabowo Subianto (PS) dan Ganjar Pranowo (GP) - peluang PS untuk bisa menang dalam hitungan politik oligargi sangat kecil. \"Jalan keluar kondisi saat ini satu satunya jalan adalah negara kembali ke UUD 45 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui lembaga tertinggi MPR\". Kalau ini belum terwujud jangan harap ada Pilpres langsung umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil di Indonesia . *****
Anies, Paloh, dan Imin bukan Pengkhianat, Mereka Pemberani
Oleh Laksma Purn. Ir Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik 1. Anies Paloh Bukan Pengkhianat Dari kronologi singkat bagaimana Anies Rasyid Baswedan dicalonkan sebagai Presiden pada Pemilu tahun 2024, seakan terngiang kembali teriakan masa, Anies Presiden, Anies Presiden, Anies Presiden, atau narasi Anies gubernur rasa presiden. Pernyataan tersebut terjadi jauh sebelum Anies dideklarasi oleh partai Nasdem pada Senin 03 Oktober 2022. Hampir satu tahun yang lalu, ini menunjukkan adanya keinginan dari rakyat akan suatu perubahan yaitu Anies Rasyid Baswedan menjadi Presiden pada pemilu tahun 2024. Surya Paloh dengan NasDemnya, jalan sendiri dengan berani mendeklarasi Anies Rasyid Baswedan sebagai capres pada Pemilu tahun 2024. Setelah beberapa bulan berlalu baru PKS ikut mendeklarasikan Anies sebagai capresnya dan kemudian bulan berikutnya Partai Demokrat ikut pula bergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Dari kronologi singkat ini jelaslah KPP dibentuk bukan untuk mencari siapa calon wakil presiden pada pemilu tahun 2024, tapi mencari siapa calon presiden pada Pemilu tahun 2024. Calon wakil presiden hanya pelengkap, bukan tujuan walau jabatan itu amat strategis. Selama calon presidennya masih Anies Rasyid Bawedan dan masih dalam Koalisi Perubahan maka tidak satupun di antara mereka melakukan khianat. Kenyataannya oleh partai Koalisi, Anies diberi kewenangan untuk memilih sendiri siapa calon wakil presidennya. Tampaknya pilihan Anies akan jatuh ke AHY, apalagi dalam sebuah kesempatan Anies mengatakan AHY adalah pendampingnya di masa depan. Kita tentu masih ingat pada Pemilu tahun 2019, bagaimana Mahfud MD sudah mengenakan baju yang ditentukan untuk dideklarasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Bahkan Mahfud MD, kabarnya sudah berada di ruang sebelah menunggu panggilan, tapi kita semua tahu bapak Ma’ruf Amin yang terpilih mendampingi Jokowi. Itulah politik yang memang tidak bersih tapi penuh intrik, taktik dan strategi. Ketika itu semua bicara, tidak ada yang khianat, karena berorientasi pada tujuan, bukan siapa menjadi apa, tapi bagaimana memenangkan Pemilu. 2. Anies, Surya Paloh dan Muhaimi Para Pemberani Anies dibidik dijatuhkan dengan Formula E, Muhaimin atau cak Imin dibidik dijatuhkan dengan Kardus Durian, tapi keberanian Cak Imin menerima pinangan Anies atau Surya Paloh adalah suatu keberanian untuk dikriminalkan. Keberanian untuk melawan. Kita masih ingat bagaimana adanya hubungan Anies dengan Airlangga Ketua Partai Golkar dan Airlangga memberikan isyarat akan bergabung kepada Anies. Namun ketika diterpa isu kudeta ketua partai dan ditersangkakan kasus korupsi, Airlangga langsung balik badan, lintang pukang meninggalkan Anies. Cak Imin memang berbeda, Cak Imin pemberani. Dia begitu yakin dan bersih dari kasus kardus durian sehingga berani melawan ancaman dikriminalkan, ditersangkakan korupsi. Itulah, mengapa Cak Imin, dia pemberani yang menandakan Cak Imin bersih. Demikian pula dengan Anies dan Surya Paloh, terus begerak ke depan, berani melawan meski di bawah tekanan dan ancaman ditersangkakan serta difitnah dalam bebagai hal. 3. Mengapa Muhaimin Elektabilitas Cak Imin memang tidak bagus, tapi dia sebagai ketua umum dan didukung partai PKB yang berbasis Nahdatul Ulama. Cak Imin didukung oleh Islam tradisionil yang menguasai perpolitikan di Indonesia, sedangkan Anies dituduh “Islam Indentitas”. Manuver Nasdem mempertemukan Anies dan Cak Imin dalam satu wadah koalisi yaitu Koalisi Perubahan adalah keberhasilan besar, semakin memantapkan dukungan Islam terhadap Anies. Seperti halnya Surya Paloh, Cak Imin adalah bagian dari pemerintah, namum perlu diingat bahwa Paloh dan Cak Imin sama sama pro demokrasi di era Orde Baru. Berpindahnya Cak Imin meninggalkan Prabowo bukan pula pengkhianatan karena di koalisinya bersama Gerindra Cak Imin mulai ditinggalkan setelah lebih setahun bersabar. Jumlah kursi PKB di DPR gemuk, sehingga Paloh tidak perlu khawatir koalisinya digoyang ke manapun bila PKB ikut bergabung. Bergabungnya PKB dalam Koalisi Perubahan membuat langkah Anies terutama di Jawa Timur, di pesantren pesantren terbuka lebar karena secara kultur PKB dengan pesantren mempunyai hubungan yang kuat. 4. Perubahan adalah Goal dan Tidak Berubah Masuknya Cak Imin ke dalam koalisi Perubahan dipastikan tidak tejadi pengkhianatan atas cita cita Koalisi Perubahan karena perubahan itu ada pada diri Anies sendiri sebagai calon presiden. Justru bila parpol yang semula mendukung Anies lalu pindah haluan mendukung capres lain itulah yang patut disebut pengkhianat. Dengan demikian masuknya Cak Imin dalam koalisi perubahan tidak akan mengubah cita cita perubahan, apalagi sejarah Muhaimin adalah aktifis gerakan pro demokrasi di era presiden Soeharto 5. Sikap PD dan PKS Seharusnya Partai Demokrat tidak perlu menanggapi dengan reaktif dipasangkannya Anies dengan Cak Imin, apalagi Surya Paloh di berbagai media mengatakan pasangan “Anies Muhaimin belum diformalkan”. Ini artinya segala sesuatunya bisa berubah sesuai dinamikan yang terjadi. Kita tentu masih ingat ketika Puan Maharani melamar AHY sebagai cawapres mendampingi Ganjar, Nasdem dan PKS menanggapinya dengan dingin, tidak ada tanda reaktif, apalagi menuduh berkhianat. Demikian pula dengan sekarang, PKS dengan tenang menanggapi perkembangan pencapresan Anies. Tidak seperti PD yang menurunkan baliho Anies di berbagai tempat, tidak ada penurunan baliho Anies oleh PKS. Ada upaya untuk menarik PKS dalam pusaran gagalnya mencawapreskan AHY ditanggapi dingin oleh PKS dan tidak bergeming untuk tetap Bersama Anies Rasyid Baswedan. Sikap kritis reaktif Partai Demokrat atas disandingkannya Anies dengan Muhaimin menunjukkan ambisi yang besar untuk mencawapreskan AHY dan apabila kemudian keluar dari KPP, maka semakin kentallah bahwa yang dipentingkan adalah AHY, bukan keinginan rakyat untuk menjadikan Anies Rasyid Baswedan sebagai Presiden pada tahun 2024 sampai dengan 2029. Sikap reaktif ini dapat menjauhkan Partai Demokrat dari pendukungnya. Waspadalah, ini ibarat pedang bermata dua. (*)
Gempa Pilpres 2024 dan Bumerang Presidential Threshold: Jokowi Semakin Melemah
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) GEMPA politik mengguncang Indonesia. Cukup dahsyat. Membuat porak poranda landasan koalisi, atau tepatnya dagang sapi, pencalonan presiden 2024. Dan sekaligus menghancurkan cawe-cawe Jokowi. Pusat gempa ada di Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keduanya sepakat menduetkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2024-2029. Partai Demokrat gusar dan merasa dikhianati. Nasdem dinilai bertindak sepihak tanpa melibatkan anggota Koalisi (Perubahan dan Perbaikan) lainnya yang selama ini sepakat mendukung calon presiden Anies Baswedan. Di lain sisi, keputusan PKB menerima duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar membuat Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) hancur, alias bubar. Penyebab utama bubarnya KKIR ini secara langsung akibat cawe-cawe Jokowi. Pertama, Jokowi diduga menekan Golkar dan PAN (Partai Amanat Nasional) untuk bergabung ke dalam KKIR. Tekanan terhadap Golkar terlihat jelas ketika Airlangga Hartaro, Ketua Umum Golkar, diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus korupsi ekspor minyak goreng. Tidak lama berselang, Golkar dan PAN deklarasi bergabung dengan KKIR yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Kedua, Jokowi sepertinya tidak menghargai PKB, khususnya ketua umumnya Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, yang sejak awal menggagas KKIR dan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden KKIR. Sejak Golkar dan PAN bergabung, PKB tidak dipandang lagi. Buktinya, nama Cak Imin semakin jauh dari calon wakil presiden KKIR. Sebaliknya, nama Airlangga Hartarto menguat sebagai pendamping Prabowo. Yang lebih mengagetkan, nama Gibran digadang-gadang akan menjadi wakil presiden Prabowo. Tidak heran, kalau semua ini membuat Cak Imin dan PKB menjadi tidak nyaman. Bahkan bisa dimaklumi kalau Cak Imin dan PKB menjadi sangat tersinggung: Apa hebatnya Gibran dibandingkan Cak Imin yang terbukti berhasil membesarkan PKB? Gibran masih “menyusu” sama Jokowi, sedangkan Cak Imin sudah malang melintang di dunia politik Indonesia yang penuh intrik dan muslihat. https://www.partaigolkar.com/2023/09/01/duet-prabowo-airlangga-pada-pilpres-2024-ketua-golkar-jatim-pasangan-yang-komplementer/ Ketiga, kekecewaan Cak Imin sebenarnya sudah dikemukan, meskipun sambil gurau. Sekitar tiga hari yang lalu (29/8), Cak Imin sempat melontarkan pernyataan: berarti KKIR bubar dong. Pernyataan ini sebagai respons pergantian nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM), tanpa melibatkan PKB dan Cak Imin. Pernyataan sambil gurau tersebut menjadi kenyataan. https://jabar.tribunnews.com/2023/08/29/kata-cak-imin-setelah-kkir-berubah-jadi-koalisi-indonesia-maju-berarti-kkir-bubar-dong Hanya beberapa hari menjelang pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden, manuver politik Nasdem dan PKB membuat peta politik pemilihan presiden menjadi berantakan. Keduanya dituduh pengkhianat oleh anggota partai politik koalisi lainnya. Tetapi, yang sebenarnya terjadi bukan persoalan pengkhianatan, melainkan konsekuensi logis dari sistem Presidential Threshold (20 persen), yang membuat partai politik kehilangan kedaulatan. Partai politik tidak bisa mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden secara independen. Semuanya harus berdagang sapi, negosiasi, kadang kala sampai kehilangan harga diri. Ketika kemudian ada tawaran kerjasama atau koalisi yang lebih menguntungkan, maka setiap partai politik akan bermanuver untuk memaksimalkan kepentingannya. Misalnya, apakah salah kalau PKB menerima tawaran Nasdem untuk mendukung Cak Imin menjadi calon wakil presiden Anies Baswedan? Apakah salah kalau Cak Imin bersedia menjadi wakil presiden Anies Baswedan, mengingat nasibnya di KKIR masih terombang-ambing tidak jelas? Tentu saja, partai politik koalisi yang ditinggal bermanuver seperti Partai Demokrat menjadi sakit hati. Kemungkinan besar mereka akan saling membenci, dan memicu perpecahan bangsa. Artinya, Presidential Threshold (20 persen) secara langsung telah menjadi penyebab perpecahan bangsa. Tidak bisa tidak. Sebaliknya, kalau tidak ada Presidential Threshold, kalau setiap partai politik bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden secara independen dari kader masing-masing, maka yang akan terjadi adalah saling respek dan saling hormat. Partai politik yang merasa tidak mempunyai kader yang mumpuni akan suka rela bergabung dan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden dari partai lain yang dinilai baik, tanpa syarat. Permasalahan Presidential Threshold kemudian diperparah dengan cawe-cawe Jokowi, untuk kepentingannya, yang bisa sangat beda dengan kepentingan partai politik. Salah satunya misalnya tidak menunjukkan respek terhadap PKB dan Cak Imin. Bahkan terkesan mengobok-obok KKIR. Termasuk “merestui” gugatan batas umur minimum calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, yang menurut banyak pihak untuk kepentingan Gibran. Gugatan ini secara kasat mata melanggar konstitusi terkait wewenang DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Manuver Nasdem dan PKB jelas menunjukkan perlawanan terhadap cawe-cawe Jokowi. Semakin mendekati pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, posisi dan cawe-cawe Jokowi yang sebentar lagi akan lengser semakin tidak efektif dan tidak penting, dan semakin banyak perlawanan, terutama kalau cawe-cawe tersebut merugikan. Dan cawe-cawe pasti merugikan bangsa dan negara. Manuver seperti yang dilakukan oleh Nasdem dan PKB mungkin bukan yang terakhir. Mungkin masih akan ada partai politik lainnya yang juga akan bermanuver membuat gempa politik baru. Posisi Jokowi akan semakin lemah. Jokowi tidak akan bisa mengendalikan partai politik. Pertanyaannya, bagaimana nasibnya ke depan? --- 000 ---
Beda Politisi dan Aktivis
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih DALAM percakapan capres khusus nya cawapres di media sosial dari macam macam bentuk media, tumpah ruah percakapan politik, dengan narasi, gaya yang beragam. Dari keberagaman tersebut akan bisa dideteksi dari isi percakapan tersebut, yang bersangkutan seorang politisi atau aktifis. \"Pada umumnya politisi di indonesia hanya sedikit. Hanya hitungan jari politisi yang memahami politik dari dunia akademik: teori dan praktek. pernah belajar ilmu politik.\" Dalam hal fenomena sikap, ucapan, mungkin sekali dalam tindakan sesungguhnya beda antara politisi dan aktivis. Politisi sangat dekat dengan objek seni siasat atas objek terlihat material maupun non material. Menuangkan gagasan dan agenda dengan berhitung menggunakan waktu dan momentum sebagai sarananya. Dalam perspektif waktu dihitung dengan cermat sebagai sasaran investasi untuk sebuah kebaikan di masa depan. Karena waktu dan dinamika poltik di dihitung dengan seksama. Variabel yang sering muncul terjadinya adanya kompromi politik karena kekuatan yang tidak memungkinkan untuk memaksakan tujuan politiknya secara total. Langkahnya berorientasi tetap pada kemenangan dalam kekuasaan dan realisasi agenda, baik, terencana dengan matang untuk sasaran idealis maupun pragmatisnya. Berbeda dengan *aktivis* lebih menekankan pada isu isu yang terlihat dan menarik perhatian dalam ukuran keadilan dan kemanusiaan atau kepentingan saat itu dan rentang waktunya hanya sesaat . Tuntutannya serba instan - saat ini - sekarang juga harus terpenuhi, tanpa memperhatikan dan menghitung kemungkinan yang akan terjadi dan kekuatan yang dimilikinya. Cenderung hanya fenomenal, maka aktivisme sangat tidak memperhatikan faktor siasat, irama waktu dan momentum. Itu juga yang menjelaskan mengapa aktivisme sulit membaca lekukan gerak politik dalam irama waktu dan tidak mentolelir tanggapan politik yang menyakiti publik. Memang bukan bagian dari konsern aktivisme untuk mempertimbangkan semua itu dalam perspektif politik yang penuh tipu daya dan kaya dengan yang dianggap sebagai \"pengkhianatan\" dalam ukuran terlihat dan insidental. Yang nampak itulah yang menjadi ukuran baik dan buruk, tidak penting perspektif taktis dan strategis, tidak penting variabel determinan atau inferior. Aktivisme dalam perspektif politik. Kategori ini lebih menekankan politik dan aktivisme diarahkan dalam dua pendekatan sekaligus. Dalam kehidupannya sangat sering terjadi benturan antara aktifis dan politisi, karena memang berbeda karakternya, karena aktifis buruan target yang serba instan dengan politisi dengan perhitungan yang lebih cermat dalan tahapan yang harus tepat waktu dan tepat sasaran. *****