Siapa Penikmat Royalti Pencipta Lagu?
Para pencipta lagu hidup kekurangan. Hak royalti tak sampai ke dapur mereka. Lalu, siapa penikmatnya?
Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN
Dia adalah Naniel Yakin. Sang komposer dan musikus lagu legendaris berjudul “Bento” ini telah berpulang ke Sang Pencipta pada Jumat 21 Frebruari 2020. Di akhir hayatnya, ia hidup serba kekurangan. Sedangkan lagu-lagu yang didendangkan Iwan Fals itu masih dinikmati masyarakat hingga kini.
Kendati telah tiada, mestinya royalti Naniel bisa dinikmati pewarisnya. Asal tahu saja, royalti merupakan hak yang seharusnya diterima oleh pencipta musik atau lagu jika karyanya dimanfaatkan secara komersial oleh pihak lain. Selama usia hidup hingga 70 tahun setelah ia meninggal, royalti ini melekat dan wajib ditunaikan oleh setiap orang yang menggunakan karya lagu tersebut.
Besaran royalti berbeda-beda tergantung sektor usaha yang memanfaatkan lagu tersebut. Penggunaan dalam konser musik, misalnya, dikenai royalti sebesar 2% dari total hasil penjualan tiket. Atau jika suatu lagu digunakan di bioskop, maka si pencipta mendapatkan hak ekonomi sebesar Rp3,6 juta per layar setiap tahunnya.
Pencipta lagu yang tidak menikmati royalti secara layak dan hidup miskin tak hanya Naniel seorang. Ada Syam Permana. Pencipta puluhan lagu dangdut yang dipopulerkan sejumlah artis kondang itu, kini hidup serba pas-pasan.
Lagu ciptaan Syam Permana bergenre dangdut dipopulerkan oleh sejumlah penyanyi terkenal seperti Inul Daratista, Ine Sintia dan Imam S Arifin. Sang pencipta lagu di era tahun 80-an itu kini justru tinggal di Kampung Babakan Jawa RT42/18 Desa Sukaresmi, Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi. Di sana ia berprofesi sebagai pemulung.
Selain Naniel dan Syam, nasib pencipta lagu di negeri ini memang tak seberuntung penyanyi yang membawa lagu mereka. Iwan Fals, Inul Daratiste dan para penyanyi lainnya, hidup gemah ripah.
Kendati demikian, persoalannya bukan sekadar kesenjangan di antara mereka. Masalah royalti memang belum digarap dengan baik menjadi biang keladi. Ada potensi besar dalam royalti bidang musik dan lagu di Indonesia. Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Harris, pernah menghitung, potensi itu sebesar Rp1 triliun per tahun.
Hanya saja, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tak punya kemampuan untuk mengolek duit sebanyak itu. Tahun lalu LMKN hanya sanggup menagih Rp35 miliar. Padahal Malaysia bisa menarik Rp350 miliar, Jepang bahkan sampai Rp2 triliuan.
Sekadar mengingatkan, sejarah LMKN dimulai dari Undang Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Mengamanahkan didirikannya LMKN untuk Menangani pengumpulan royalti musik di Indonesia.
Di sini LMKN merupakan Lembaga bantu pemerintah non-APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang Hak Cipta untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/ atau musik.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, mengakui angka Rp35 miliar memang jauh dari potensi yang sebenarnya. Jika ribuan karaoke, hotel, restoran di Indonesia saat ini taat membayar royalti, begitupun ratusan konser di Indonesia juga menjalankan kewajibannya, maka angka yang terkumpul akan jauh lebih besar.
“Bisa triliunan. Bisa dibayangkan, sehari di setiap provinsi, berapa komponen usaha yang pakai musik. Dari angka Rp35 miliar kita bisa anggap Rp1 miliar lebih per provinsi ya berarti, masa, apakah mungkin di Jakarta, cuma Rp1 miliar?” ungkap Dharma suatu ketika.
Tingkat ketaatan membayar royalti di Indonesia diakui Dharma relatif masih rendah. Masih banyak pelaku usaha atau penyelenggara event yang belum menunaikan kewajibannya.
Menurut Dharma, potret tersebut berkaitan dengan tingkat kesadaran dan literasi masyarakat tentang hak cipta dan royalti yang melekat di sana, masih rendah. “Ada contoh yang taat di berbagai sektor. Tapi kalau kita pukul rata secara keseluruhan, ketaatannya belum maksimal, masih jauh dengan harapan,” ucap Dharma.
Angka potensi yang disebut Freddy Harris dan Dharma bukan mengada-ada. Ambil contoh saja, potensi royalti yang bisa dikeduk dari pengguna internet.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet dari generasi milenial adalah sebesar 63% dari total pengguna internet di Indonesia yaitu 132,7 juta orang. Mereka mendengarkan musik secara online (35,5%), dan menggunakan perangkat mobile sebagai sarana berkomunikasi (47,6%).
Hal ini menunjukan bahwa mendengarkan musik secara online adalah sebuah cara generasi milenial mendapatkan hiburan.
“Dengan adanya data ini terlihat bahwa banyaknya royalti yang dapat dikumpulkan dan disalurkan melalui aplikasi musik streaming,” tulis Antonio Rajoli Ginting dari Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenhum dan HAM dalam papernya berjudul “Peran Lembaga Manajeman Kolektif dalam Perkembangan Apliaksi Musik Streaming”.
Melihat karakter generasi milenial, maka dapat dipastikan aplikasi musik streaming akan sering digunakan. Maknanya, potensi royalti yang akan dikumpulkan menjadi lebih banyak lagi.
Terlepas dari banyaknya aplikasi musik streaming, Antonio mengingatkan perlunya ditentukan tarif yang tepat dalam pengumpulan royalti sehingga dapat disalurkan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Hak Terkait.
Selain steaming, potensi lainnya datang dari banyaknya helatan konser, atau banyaknya bioskop di Indonesia. Belum lagi sektor-sektor lainnya yang juga menyumbang royalti besar seperti karaoke, restoran, hotel hingga layanan transportasi darat maupun udara.
Lebih Kompleks
Berbeda dengan karya seni lain, unsur hak cipta dalam sebuah lagu memang lebih kompleks. Dalam sebuah lagu terdapat beberapa unsur yaitu lirik, musik dan aransemen. Masing-masing diciptakan, direkam dan ditampilkan oleh subjek yang berbeda yaitu penyanyi, manajemen artis, studio rekaman, serta label musik.
Masing- masing subjek tersebut dalam Undang- Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat diklasifikasikan sebagai Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Hak Terkait.
Pencipta adalah pihak yang menghasilkan ciptaan, dalam konteks ini pencipta musik, lirik maupun aransemen. Pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi untuk setiap karya yang digandakan maupun dipertunjukkan ulang.
Pemegang Hak Cipta merupakan pihak yang menerima seluruh hak dari Pencipta secara sah, misalnya ahli waris. Pemegang Hak Terkait adalah mereka yang memegang hak terkait suatu ciptaan misalnya penyanyi atau musisi yang mempertunjukkan ciptaan, produser fonogram dan lembaga penyiaran. Sehingga, ketika sebuah lagu dipertunjukkan, maka yang mendapatkan hak ekonomi berupa royalti tidak hanya Pencipta tapi juga penyanyi, pemilik label rekaman dan produser fonogram. Masing-masing memiliki porsinya sesuai dengan yang disepakati.
Perkembangan dunia digital saat ini memang semakin memberi ruang untuk sebuah lagu/musik dapat didengar dengan mudah setiap saat. Lahirnya aplikasi musik streaming seperti Spotify, misalnya, membuat orang dapat lebih mendengarkan lagu yang disukainya.
Pendapatan industri musik dari platform musik streaming pada 2017 telah mencapai 43% dari total pendapatan industri musik secara keseluruhan. Secara spesifik, pertumbuhan musik streaming mencapai 39% per tahun, naik 2,1 miliar hingga mencapai 7,4 miliar dollar AS (sekitar Rp130 triliun). Capaian tersebut terus meningkat hingga melebihi total pendapatan format lama, yakni kepingan CD dan unduhan.
Di satu sisi, hal ini semakin mempermudah musisi dalam mengenalkan dan memasarkan karyanya, namun di sisi lain distribusi royalti Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Hak Terkait menjadi lebih rumit.
Tengok saja Spotify. Ini adalah merupakan aplikasi yang menyediakan layanan personal dengan fitur sosial dan interaktif untuk streaming musik dan konten lain, serta produk dan layanan lain yang dapat dikembangkan dari waktu ke waktu.
Selain mengatur interaksinya dengan pengguna, Spotify juga mengatur interaksinya dengan musisi terutama dalam hal pembayaran royalti.
Dalam situs resmi Spotify, ada dua tipe royalti yang dibayarkan yakni: Pertama, Royalti Rekaman (Recording Royalties): di mana royalti yang diterima dari setiap pemutaran di spotify, dibayarkan kepada artis melalui pemberi lisensi yang mengirimkan musik tersebut, biasanya label rekaman atau distributor mereka.
Kedua, Royalti Penerbit: dimana uang/royalti untuk penulis lagu atau pemilik komposisi. Pembayaran diberikan kepada penerbit, LMK (collecting societies), dan agensi yang berada sesuai wilayah pengguna.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bagaimana Spotify membayarkan royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan Hak Terkait. Setiap lagu yang diputar oleh pelanggan, maka Spotify akan mengkalkulasinya dan memberikannya kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan Hak Terkait melalui mekanisme di atas.
Spotify memberikan royalti kepada musisi sebesar 0,006 dolar AS hingga 0,0084 dolar AS untuk sekali streaming. Apabila lagu tersebut milik penyanyi ternama, maka tentunya semakin banyak pula uang yang didapatkan.
Meski dalam websitenya Spotify menyatakan pembayaran royalti tidak dihitung per streaming, namun faktanya banyaknya jumlah pemutaran (pay per stream/pps) sangat mempengaruhi nominal royalti yang dibayarkan di luar faktor popularitas artis dan pendapatan per kapita daerah di mana lagu diputar.
Dalam hal mekanisme pembayaran royalti untuk musisi, platform digital seperti Spotify masih memiliki kekurangan yang ujungnya merugikan musisi. Pada 2015 Spotify harus menghadapi gugatan class action senilai US$150 juta atas royalti yang belum dibayarkan.
Ini terjadi karena tidak adanya payung hukum yang mengatur tarif minimum royalti. Spotify memberikan harga kira-kira US$0,006 tiap pemutaran lagu yang diambil dari biaya langganan. Sehingga, jika dikalkulasi untuk musik yang diputar 1 juta kali, pemegang hak hanya mendapatkan royalti sebesar US$6,000 atau setara dengan Rp85 juta rupiah di mana jumlah ini masih harus dibagi antara produser rekaman, artis, penulis lagu dan komposer.
Belum adanya payung hukum Indonesia yang mengatur mengenai tarif minimal pembayaran berpotensi membuat musisi Indonesia mendapatkan bayaran royalti yang lebih rendah.
Peraturan yang ada saat ini baru mengatur tarif royalti di beberapa tempat yakni dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.
Data Base
Dalam industri musik umumnya informasi tersebar di proprietary databases, spreadsheets, email inboxes, dan kontrak berjangka panjang yang dikelola oleh organisasi yang terpisah.
Indonesia perlu memilik database meski prototipenya sedang dibangun oleh Bekraf bernama Portamento. Keberadaan database penting mengingat seringkali terjadi perubahan penerima hak royalti akibat lepasnya artis dari sebuah label rekaman, atau pergantian personil grup musik.
Ini mengakibatkan hak layanan musik tidak bisa mengidentifikasi siapa pemilik hak cipta, bagaimana pembagiannya dan berapa harga lisensinya. “Kalaupun data itu ada, pembagian porsi lisensi seringkali berubah karena kontrak habis dan tidak ada yang tahu pasti,” ujar Antonio Rajoli Ginting.
Sebenarnya data kepemilikan tersebut bisa saja ditempelkan/dilekatkan dengan file musiknya, tapi ada kemungkinan besar data tidak terstandarisasi, atau hilang, atau tidak akurat sehingga sulilt untuk dilacak.
Anang Hermansyah selaku Pencipta Lagu dan juga mantan anggota DPR Komisi X Dapil Jawa Timur IV periode 2014-2019 juga menganggap pentingnya big data. Big data sendiri merupakan kumpulan proses yang terdiri dari volume data dalam jumlah besar yang terstruktur maupun tidak terstruktur dan digunakan untuk membantu kegiatan bisnis.
Big data ini memiliki posisi penting karena dengan adanya data ini output-nya persoalan royalti menjadi lebih transparan, akuntabel dan ekosistem di industri musik menjadi lebih sehat.
Menurut Anang, big data juga diperlukan untuk collecting dan membagikan royalti kepada pencipta lagu. Big data inilah yang nantinya akan mencatat musik Indonesia yang ada dari dulu hingga sekarang secara detail.
“Semua pencipta lagu harus mendaftarkan ke big data untuk kepentingan pemberian royalti. Kalau pencipta lagu sudah menjadi bagian dari LMK, maka LMK harus mengeluarkan data dari pemakaian lagu pencipta lagu tersebut, kalau memang mau mendapatkan royalti,” ujar Anang sebagaimana dikutip Daffa Okta Permana, Esther Masri, Clara Ignatia Tobing dalam papernya berjudul “Implementasi Royalti Terhadap Pencipta Lagu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”.
Dalam industri kreatif khususnya musik di Indonesia dikenal dengan nama Portamento. Portamento akan mengakomodsi seluruh karya musik di Indonesia sehingga musisi yang mengunggah musik akan muncul keterangan tentang pencipta musik, lirik, rekening bank, nomor wajib pajak, serta segala data tentang musik. Nantinya, Portamento akan terhubung dengan media sosial seperti Youtube dan Facebook serta platform streaming seperti Spotify dan Joox.
Portamento ini sendiri adalah alat untuk mengetahui penggunaan dari lagu tersebut. Misalkan saja bila Rhoma Irama ingin mengetahui lagu Begadang diputar berapa kali dalam waktu sebulan. Nantinya jumlah pemutaran ini akan dideteksi oleh Portamento untuk mengecek lagu yang dinyanyikan, siapa saja yang memakainya, dan besaran royalti yang dia dapatkan.
Sampai saat ini Portamento sendiri ini sedang dikerjakan oleh Badan Ekonomi Kreatif bersama-sama dengan lembaga lainnya. Aplikasi ini sudah dipresentasikan di Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau World Inntelectual Organization (WIPO) di Swiss. Untuk peluncurannya memang tidak bisa cepat karena harus dilakukan testing terlebih dahulu.
Seni yang Sangat Mudah
Musik memang istimewa. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), misalnya, musik mendapat porsi pengaturan dan penjelasan jauh lebih banyak dibandingkan dengan seni-seni lain – bahkan dibanding dengan karya cipta non-seni yang lain.
“Tak kurang dari 19 jenis ciptaan yang dilindungi undang-undang, tapi musik seperti mendapat tempat paling istimewa. Hal ini karena musik merupakan seni yang sangat mudah diperbanyak dan didistribusikan dengan berbagai sarana,” tulis Kemala Atmojo Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni dalam artikelnya berjudul “Musik dalam Film dan Potensi Konfliknya”.
Di era digital sekarang ini, orang dapat dengan mudah menyalin, memperbanyak, dan mendistribusikan karya musik dalam hitungan detik ke mana saja. Hal ini dapat menyebabkan pencipta bisa kehilangan kendali atas karya mereka dan kehilangan penghasilan yang seharusnya mereka terima.
Alasan lain, musik adalah jenis seni yang sangat populer dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Musik juga memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan serta ekonomi, yang membuat hak cipta menjadi isu penting dalam perlindungan kekayaan intelektual.
Ada banyak orang dan perusahaan yang dapat menghasilkan uang dari karya musik, seperti pencipta lagu, produsen rekaman, distributor musik, penyanyi, dan lain-lain. “Oleh karena itu, perlindungan hak cipta menjadi sangat penting untuk memastikan keberlangsungan industri musik,” tambahnya.
Itu sebabnya, dalam undang-undang hak cipta, selain diakui sebagai Pencipta yang punya hak ekonomi dan hak moral, musisi -- dalam pengertian luas -- juga dimasukkan juga ke dalam Hak Terkait dan Pelaku Pertunjukan.
Bahkan, sebagai konsekuensi dari pasal-pasal yang ada di undang-undang, muncul beberapa peraturan menteri yang berkaitan dengan sistem informasi hak cipta musik, tentang mekanisme pendaftarannya, cara mendapatkan royalti, sampai besaran angka yang harus dibayar oleh para pengguna jasa musik.
Tak sampai di situ. Dan ini yang istimewa. Dalam Pasal 18 UUHC, selain karya tulis, lagu serta dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan atau pengalihan tanpa batas waktu, hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 UUHC, yang berbunyi: “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilkan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Lalu dalam Pasal 122 UUC dirinci bagaimana cara melakukan perhitungan masa 25 tahun itu baik ketika UU No. 28 Tahun 2014 belum berlaku atau sesudah berlaku.
Misalnya saja, perjanjian jual putus pada saat diberlakukannya undang-undang No. 28 tahun 2014 telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, maka dikembalikan hak ciptanya kepada Pencipta 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU tersebut.
Lalu, jika perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UUHC belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, maka dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditanda tanganinya perjanjian jual putus dimaksud dan ditambah 2 (dua) tahun.
Perda
Itu sebabnya, Anang menganggap, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 sudah cukup mengatur masalah hak cipta. “Tinggal implementasinya saja untuk menjalankan aturan ini dengan baik,” katanya.
Dia mengingatkan penarikan royalti harus merata. Jangan hanya di kota-kota besar saja. Kota-kota yang belum terjamah atau jauh harus digarap. Di samping itu, Anang menyarankan agar daerah-daerah tersebut membuat Peraturan Daerah atau Perda tentang penarikan royalti dari tempat yang bersifat komersil.
Menurutnya, dengan dibuatnya Peraturan Daerah akan membantu mensejahterakan para pencipta lagu yang lagunya dimainkan di daerah tersebut, lalu juga dapat membantu LMKN dalam menarik royalti dari tempat-tempat yang bersifat komersil di daerah tersebut.
Lebih jauh lagi, pemahaman pemerintah terhadap Undang-Undang Hak Cipta juga sangat dibutuhkan. Anang berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada para pencipta lagu mengenai sistem penarikan royalti, karena dengan dilakukannya sosialisasi, para pencipta lagu lebih mengerti lagi mengenai peraturan yang ada dan mereka mendapatkan hasil yang maksimal dari lagu-lagu yang dia ciptakan.
Jika peraturan ini berjalan dengan baik dan maksimal, maka akan terjadi kondisi saling menguntungkan bagi orang-orang yang terlibat di industri musik maupun dari pemerintah sendiri.
“Pencipta lagu mendapatkan royalti, pemerintah mendapatkan pendapatan pajak dari penarikan royalti dan pengusaha yang menggunakan lagu-lagu dari pencipta lagu bisa menjalankan bisnisnya sampai kapan pun dengan adanya aturan yang jelas dan membayarkan royalti,” ujarnya.@