Perang Baratayuda Mega-Jokowi Tapi Malu-Malu
Oleh Djony Edward | Wartawan Senior Forum Keadilan
Suhu politik nasional makin panas, terutama dipicu oleh romantisme hubungan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Jokowi mulai pupus. Saat ini api permusuhan itu bak api dalam sekam, ke depan bisa saja menjelma menjadi api dalam tunggu politik yang memanas.
Banyak kalangan memperkirakan permusuhan itu sifatnya pura-pura agar masing-masing menjadi pemicu naiknya pamor politik kubu Mega dan kubu Jokowi. Tapi tak sedikit yang mengatakan permusuhan itu sungguhan, hanya saja eksalasinya sengaja ditahan agar tidak menjadi marketing gratis pihak seberang.
Mana yang akan menjadi kenyataan, apakah permusuhan itu pura-pura atau permusuhan serius. Benar kata orang bijak, dalam politik tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan abadi.
Ada yang mengatakan Jokowi memendam dendam lantaran sering digembar-gemborkan oleh Mega sebagai petugas partai. Lalu Jokowi membalas dengan mundurnya satu persatu anak Jokowi dari PDIP, yakni Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka. Dilanjutkan oleh sikap tegas mantu Jokowi, yakni Bobi Nasution yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka..
Sementara kubu Mega sendiri sudah memutuskan mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahud MD
Berawal Dari 3 Periode
Menurut Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP, Adian Napitupulu mengungkapkan awal masalah antara Mega-Jokowi yang menolak permintaan Jokowi untuk memperpanjang jabatan.
"Dulu ada yang datang minta rekomendasi walikota dikasih. Lalu minta jadi gubernur, minta rekomendasi dikasih lagi. Lalu minta jadi calon presiden, minta rekomendasi dikasih lagi. Kedua kali dikasih lagi. Lalu minta untuk anaknya dikasih lagi. Lalu minta untuk menantu lalu dikasih lagi. Banyak benar," kata Adian.
Ia mengatakan saat Jokowi minta dukungan untuk maju sebagai Presiden untuk ketiga kalinya, termasuk minta perpanjangan masa kepresidenan, PDIP dengan tegas menolak.
"Ketika kemudian ada permintaan tiga periode (dan perpanjangan masa kepresidenan), kita tolak. Ini masalah konstitusi, ini masalah bangsa, ini masalah rakyat, yang harus kita tidak bisa setujui," ujar Adian lewat keterangannya, Rabu (25/10).
Mega menolak tegas perpanjangan masa jabatan presiden, karena hal tersebut melanggar konstitusi. Sebab dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
"Kemudian, ada pihak yang marah ya terserah mereka. Yang jelas kita bertahan untuk menjaga konstitusi. Menjaga konstitusi adalah menjaga republik ini, menjaga konstitusi adalah menjaga bangsa dan rakyat kita," ujar Adian.
"Kalau ada yang marah karena kita menolak penambahan masa jabatan tiga periode atau perpanjangan, bukan karena apa-apa, itu urusan masing-masing. Tetapi memang untuk menjaga konstitusi. Sederhana aja," sambungnya.
Lucunya, cerita Adian dibantah oleh Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Menurut Puan, Presiden Jokowi tidak pernah meminta kepada Megawati terkait tiga periode masa jabatan presiden.
"Nggak, nggak pernah setahu saya. Nggak pernah beliau meminta untuk perpanjangan tiga periode," ujar Puan di Kantor Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Jakarta, Rabu (25/10).
Namun, ia menegaskan bahwa masa jabatan presiden adalah maksimal selama dua periode. Konstitusi tidaklah mengatur tiga periode ataupun perpanjangan masa jabatan presiden selama tiga tahun.
"Kalau kemudian ada perpanjangan itu mekanismenya dari mana? Kemudian seperti apa? Waktu itu kan tidak ada mekanisme yang kemudian memungkinkan untuk kita melakukan perpanjangan atau melakukan tiga periode," ujar Puan.
Permusuhan Pura-Pura
Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi angkat bicara melihat hubungan Jokowi dengan Megawati yang tidak harmonis lagi.
Pasalnya berbagai pemberitaan belakangan ini menyebut hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja karena putra sulung Jokowi, Gibran, menjadi bakal cawapres pendamping Prabowo.
"Desas-desus keretakan di internal PDIP kalau dicermati dapat ditelusuri sejak Jokowi masuk DKI," kata Muslim .
Saat itu, kata Muslim, Prabowo banyak berperan meyakinkan Megawati untuk menerima Jokowi sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Meski saat itu tersebar desas-desus PDIP dukung Fauzi Bowo sebagai cagub.
Tapi akhirnya atas perjuangan Prabowo meyakinkan Megawati, Jokowi dicagubkan oleh PDIP dan berhasil sebagai Gubernur DKI pada 2012.
Setelah jadi gubernur, lanjut Muslim, Jokowi mau maju sebagai capres, dan akhirnya terpilih sebagai presiden periode 2014-2019.
"Dugaan terjadi pengkhianatan politik dilakukan oleh Jokowi dan juga PDIP terhadap Prabowo. Dari perjanjian Batu Tulis, Megawati akan dukung Prabowo pada Pilpres 2014-2019. Nyatanya Megawati dan PDIP tetap dukung Jokowi, bukan dukung Prabowo," Muslim menjelaskan.
Hal tersebut menurut Muslim, dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Prabowo. Akan tetapi, PDIP dianggap menikmati pengkhianatan tersebut. Atas pengkhianatan itu, PDIP pun saat ini juga merasakannya ketika dikhianati oleh Jokowi.
"Itulah barangkali sebagai pokok ketegangan dan keretakan antara Megawati-PDIP vs Jokowi. Karena saat ini nampaknya Jokowi memanfaatkan Prabowo dengan memajukan Gibran sebagai cawapres. Bisa jadi sikap Jokowi mau obati luka pengkhianatan pada Prabowo yang juga telah ikut membesarkan Jokowi saat Pilgub DKI," ungkapnya.
Menurut Muslim, dengan mendukung Prabowo dan tidak mendukung Ganjar Pranowo, adalah pengkhianatan Jokowi terhadap Megawati dan PDIP yang all out dukung Jokowi 2 periode.
Sehingga kata Muslim, jika Megawati dan PDIP merasa dikhianati, maka dapat menggalang kekuatan di parlemen untuk memakzulkan Jokowi segera mungkin.
"Kalau cuma viralkan opini dan berita di media PDIP bermusuhan, itu dianggap sandiwara belaka. Jika tidak dilakukan Megawati dan PDIP memakzulkan Jokowi, maka dianggap berpura-pura berkelahi. Karena bisa jadi musuh politik yang sebenarnya adalah Anies-Imin," jelas Muslim.
Melihat latar belakang itu, sambung dia, nampak adanya pura-pura menciptakan ketegangan dan keretakan yang dengan maksud sesungguhnya untuk mengeroyok pasangan Anies-Cak Imin alias Amin.
"Seolah-olah berkelahi betul, tapi bisa jadi cipta kondisi sedang berkelahi kalau tidak ada tindakan politik terhadap Gibran maupun Jokowi yang langgar garis partai, yakni berada di kubu Prabowo. Kalau Megawati dan PDIP tidak pecat Jokowi dan Gibran yang telah langgar konsitusi partai, maka dugaan di atas benar adanya," tutur Muslim.
Media Singapura The Straits Times mengutip sumber dari dalam partai, Megawati telah 'mengesampingkan' peran Jokowi dalam memilih cawapres untuk Ganjar. Hal tersebut disebut telah menimbulkan rasa tak nyaman bagi Jokowi.
Adapun, Jokowi yang tak lama lagi menyelesaikan periode kedua pemerintahannya tak bisa lagi maju sebagai capres. Hal itu menimbulkan kekhawatiran sejumlah kebijakan yang telah dimulai tidak berlanjut.
Alhasil, Jokowi sangat 'berkepentingan' untuk terlibat dalam pemilihan cawapres yang diusung partainya, PDIP.
"Dua tokoh yang diunggulkan Jokowi menjadi cawapres Ganjar disikapi dingin oleh Megawati," kata politisi senior PDIP yang tak mau disebutkan namanya itu, sebagaimana dikutip The Strait Times.
Kedua tokoh tersebut adalah Menteri Pariwisata Sandiaga Uno yang berperan penting dalam membantu menantu Jokowi, Bobby Nasution, memenangkan pemilihan Wali Kota Medan pada 2020. Seorang lagi adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang keluarganya disebut donatur utama kampanye kepresidenan Jokowi pada 2019.
Menurut politisi lain, hal ini memperparah ketidaknyamanan Jokowi, yang sebelumnya juga kaget dengan waktu pengumuman Ganjar sebagai capres dari PDI-P pada 21 April.
Politisi, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan hal ini dapat mendorong Jokowi yang tidak senang untuk mendukung kandidat saingan partainya, Prabowo, yang ia tunjuk sebagai menteri pertahanan empat tahun lalu.
"Ibu [Megawati] menganggap Jokowi mencampuri urusan parpol. Itu bukan urusan eksekutif yang harus ditangani," kata politisi PDIP itu kepada The Straits Times.
Pilihan Megawati dan PDI-P menggantungkan status Gibran tampaknya lebih karena kepentingan elektoral. Megawati tidak ingin salah langkah dengan membuat ‘perang terbuka’ dengan trah Jokowi. Anak Presiden ke-1 RI Soekarno itu belajar dari pengalaman ketika ‘perang bubat’ dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004.
Sebagai pengingat, SBY sebagai pembantu Megawati—Menkopolhukam--ternyata diam-diam menyusun strategi untuk ikut kontestasi. Megawati pun murka. Perang urat syaraf pun dilakukan. Megawati dan kader PDI-P menyerang habis-habisan SBY.
Publik justru bersimpati kepada SBY sehingga mendorong jenderal bintang itu duduk di tampuk kekuasaan. Hal tersebut dibenarkan Kennedy Muslim. Pengamat politik dari Indikator itu menilai sikap menggantung yang dilakukan Megawati ini lebih kepada kalkulasi elektoral. Menurutnya, PDIP berada di posisi dilematis karena tersandera secara elektoral oleh popularitas Jokowi.
“Jokowi yang approval rating-nya masih sangat tinggi. Konflik terbuka dengan Jokowi hanya akan menggerus suara PDIP di Pileg [pemilihan legislatif],” ujarnya kepada Bisnis.
Pengkhianatan vs Dizolimi
Selain itu, sambungnya, ada perang narasi ‘pengkhianatan vs dizolimi’ yang sedang berlangsung antara PDIP dan Jokowi-Gibran. Menurut Kennedy, antara opsi mengundurkan diri dan dipecat framing narasi depan akan sangat berbeda.
“Perang bubatnya underground dan pake proxy. Kita enggak pernah tau. Bu Mega kan susah ditebak. Mungkin saja nanti jadi konflik terbuka. Meskipun dari kacamata Jokowi konflik terbuka juga tidak menguntungkan,” terangnya.
Kennedy mencium strategi pilpres putaran kedua dengan sikap Megawati dan Jokowi yang tidak melakukan perseteruan secara terbuka. “Bisa repot kalau bergabung kelompok anti-Jokowi di putaran kedua melawan Prabowo-Gibran. Dan sinyal dari mbak Puan sejauh ini ke arah sana.”
Kemungkinan untuk kembali menyatu setelah pilpres pun terbuka. Pasalnya, irisan dari masing-masing partai penguasa saat ini ada di tiga paslon. Usai pilpres, opsi bagi-bagi keuasaan pun sangat terbuka, ucap Kennedy.
Tiga Skenario ke Depan
Lepas dari dugaan ketidakharmonisan pura-pura atau sungguhan, sebenarnya untuk memastikan kebenarannya bisa kita lihat ke depan. Yakni apakah Jokowi melakukan reshuffle atas tujuh menteri PDIP atau justru Megawati yang menarik tujuh menterinya dari Kabinet Indonesia Maju.
Paling tidak ada tiga sekanario yang akan terjadi ke depan terkait hubungan sosial politik Indonesia.
Pertama, kasak-kusuk politik menyebutkan, jika permusuhan itu benar-benar terjadi, maka reshuffle tujuh menteri PDIP di kabinet itu tidak bisa dihindarkan. Tujuh menteri PDIP yang dimaksud adalah Mensekab Pamono Anung, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Mensos Tri Risma Harini, Menkop UMKM Teten Masduki, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Manpan RB Abdullah Azwar Anas, dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Selain itu dikabarkan akan ada empat menteri profesional yang juga ingin mundur karena melihat arah angin yang tidak kondusif, bahkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga akan ikut mundur jika itu terjadi. Wallahu a’lam.
Ketujuh menteri PDIP tersebut dikabarkan akan direshuffle ataupun akan mengundurkan diri lebih awal. Tahap selanjutnya, menurut rumors yang berkembang, akan terjadi kerusuhan di kantung-kantung PDIP seperti Solo, Medan dan Bali sebagai respon ketidakpuasan atas peristiwa tersebut.
Setelah terjadi kerusuhan yang meluas, maka kader PDIP di DPR menggerakkan isu pemakzulan. Walaupun syarat pemakzulan itu tidak mudah, namun tetap bisa dilakukan. Menurut kalkulasi politik yang pro dan kontra pemaksulan, kekuatannya cukup meyakinkan.
Kalkulasi kekuatan di DPR menunjukkan kekuatan pro pemakzulan mencapai 314 kursi, sedangkan yang kontra pemakzulan mencapai 216 kursi. Perhitungan angka itu berasal dari gabungan Fraksi PDIP, PPP, PKS, Nasdem dan PKB sebanyak 314 kursi. Sementara kubu kontra pemakzulan 216 kursi terdiri dari Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN dan Golkar.
Dalam praktiknya, menurut rumors tadi, bisa saja sebagian anggota Fraksi Golkar, PAN dan Demokrat menyeberang ke kubu pemakzulan. Tapi rumors itu juga mengatakan, para pihak sedang berunding memikirkan dampak positif dan negatif dari pemakzulan.
Kedua, bisa jadi dampak dari pemakzulan tersebut, Presiden Jokowi membalas dengan menerbitkan Dekrit Presiden, seperti halnya Soekarno dan Gus Dur dimasa lalu. Masalahnya Soekarno dan Gus Dur akhirnya jatuh juga karena arah arus politik sudah tidak mendukung lagi.
Pertanyaannya, apakah Dekrit Presiden Jokowi akan ampuh melawan arus pemakzulan? Apakah Jokowi lebih kuat dan lebih kredibel dari Soekarno dan Gus Dur? Inilah soalnya, kalau tidak lebih kuat dan tidak lebih kredibel, sudah bisa dipastikan Jokowi akan ikut lengser ke prabon.
Ketiga, rakyat Indonesia tidak mempedulikan apakah hubungan Megawati dan Jokowi tersebut tidak harmonis lagi, baik sungguhan maupun pura-pura. Rakyat lebih penuh konsentrasi adanya perubahan dalam politik Indonesia, itu artinya rakyat fokus memenangkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).
Rakyat seperti tidak mempedulikan lagi kisah mereka apakah masih harmonis atau tidak harmonis lagi. Rakyat fokus untuk mengurangi himpitan ekonomi yang dialami mereka akibat buruknya iklilm makro ekonomi, sehingga sulit bagi rakyat melanjutkan hidup yang serba mahal.
Itu sebabnya ada harapan pada pemimpin baru, pemimpin perubahan yang ditunggu-tunggu.
Mana dari tiga skenario tersebut yang akan mewujud jadi kenyataan? Andalah, rakyat Indonesia, yang menentukan!