OPINI

Anwar Usman Pergi Saja dari MK, Rakyat Muak Lihat Anda

Oleh Asyari Usman | Jurnalisme Senior  BEKAS Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, tidak mau mundur sebagai hakim MK. Padahal, putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyebutkan dia melakukan pelanggaran etik berat. Sungguh luar biasa tabiat tebal muka mantan orang terhormat ini. Sudah tegas dikatakan pelanggaran etik berat, dan kemudian dia dipecat dari posisi ketua, masih saja bertahan.  Hancurlah Indonesia dipimpin oleh orang-orang seperti Anwar ini. Sudahlah melanggar etika kehakiman, dia malah merasa tak bersalah.  Hebatnya lagi, Anwar bercuap-cuap di depan media dengan membawa-bawa nama Allah SWT dalam narasi pembelaan dirinya. Anwar mengatakan ada yang melalukan pembunuhan karakter terhadap dirinya. Terus, dia katakan bahwa istilah Mahkamah Keluarga adalah fitnah. Repot rakyat dibikin oleh orang-orang yang tidak waras. Banyak waktu, pikiran dan energi yang terbuang sia-sia.  Sudah terang-benderang putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan jalan kepada Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres dikutuk oleh dua hakim MK sendiri —bukan oleh netizen— tetap saja Anwar Usman mencari-cari argumen. Demi mempertahankan jabatan. Pak Anwar, Anda tidak lihat berita tentang celaan para pakar hukum tatanegara kepada Anda? Yang kedua, apakah Anda tidak paham apa itu nepotisme? Anda tidak mengerti “conflict of interest” atau “konflik kepentingan”? Yang Anda lakukan itu nepotisme, Pak Anwar. Sedangkan posisi Anda sebagai ketua MK dan ikut menyidangkan perkara No. 90 masuk ke konflik kepentingan. Tak mungkin Anda tidak paham. Sekarang Anda merasa sebagai korban pembunuhan karakter. Supaya Anda tahu, karakter nepotisme Anda itu memang wajib dibunuh. Karakter ini membuat bangsa dan negara rusak berat.  Yang tidak boleh dibubuh itu adalah karakter integritas, karakter yang menyuburkan keadilan, karakter antikorupsi, dan karakter-karakter mulia lainnya. Kalau karakter nepotisme tidak boleh hidup di Indonesia. Negara ini bukan milik keluarga Jokowi, Pak Anwar. Tindakan Anda sangat semberono. Mengabaikan akal sehat. Anda main akal-akalan untuk meloloskan Gibran —ponakan Anda itu— agar bisa menjadi cawapres untuk Prabowo Subianto. Anda, Pak Anwar, tidak merasa malu ditelanjangi oleh Wakil Ketua MK Prof Saldi Isra. Gugatan yang sudah dicabut kok diajukan lagi. Dengan cara yang licik. Siapa di MK yang berkepentingan melakukan ini kalau bukan Anda? Karena itu, Anda seharusnya dan sebaiknya tidak ada lagi di MK. Rakyat sudah muak dengan Anda, sebagaimana mereka muak dengan Jokowi.  Anda memberikan teladan yang buruk sebagai pejabat tertinggi di lembaga yang mengawal konstitusi. Yang Anda berikan kepada generasi muda adalah bimbingan koruptif. Contoh akal-akalan. Mencarikan celah agar keluarga Jokowi bisa membangun dinasti untuk mempertahankan kekuasaan. Sekali lagi Pak Anwar, rakyat sudah muak melihat Anda. Lebih baik Anda pergi saja dari MK. Anda tak layak lagi menjadi hakim konstitusi.[]

Kejanggalan Putusan Majelis Kehormatan MK dan Sanksi Kepada Anwar Usman

Oleh: Anthony Budiawan |  Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) TUGAS Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik, selesai dibacakan Selasa lalu, 7/11. Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dan diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.  Ada beberapa kejanggalan terkait putusan Majelis Kehormatan MK dan sanksi yang dikenakan kepada Anwar Usman. Pertama, Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara spesifik pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anwar Usman. Sehingga sanksi yang diberikan kepadanya menjadi tidak jelas, karena tidak mengacu pada kesalahan spesifik pasal berapa, peraturan dan atau undang-undang mana.  Tentu saja, hal seperti ini sangat tidak lazim dan mencurigakan. Kenapa Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara eksplisit pelanggaran hukum Anwar Usman? Ada apa?  Kedua, sanksi yang diberikan kepada Anwar Usman tidak sesuai dengan sanksi yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK No 1/2023) maupun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 7/2020), yang secara eksplisit menyatakan, sanksi pelanggaran berat untuk hakim konstitusi hanya satu, yaitu “diberhentikan tidak dengan hormat”. Tetapi, Anwar Usman tidak diberhentikan dari hakim konstitusi, apalagi tidak dengan hormat. Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.  Sanksi ini secara nyata melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi dan UU. Ketiga, pelanggaran berat kode etik Anwar Usman secara nyata melanggar Pasal 17 ayat (5) mengenai konflik kepentingan yang diatur di dalam UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 17 ayat (5) berbunyi, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Anwar Usman tidak melakukan perintah pasal dimaksud, sehingga melanggar. Sebagai konsekuensi, putusan yang diambil berdasarkan pelanggaran pasal 17 ayat (5) wajib dinyatakan tidak sah (pasal 17 ayat (6)), dan perkara harus diperiksa kembali (pasal 17 ayat (7)). Tetapi Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, mengatakan, pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48/2009 tidak berlaku untuk putusan MK. Karena pasal 24C ayat (1) UUD mengatakan, putusan MK bersifat final. Sehingga pasal dimaksud tidak bisa membatalkan atau menyatakan tidak sah putusan MK yang bersifat final menurut UUD. Penjelasan Jimly Asshiddiqie sulit diterima akal sehat masyarakat. Mungkin akal sehat masyarakat awam non-hukum beda dengan akal “sehat” ahli hukum. Bagaimana mungkin, putusan yang jelas-jelas cacat hukum dan moral masih bisa tetap berlaku? Bagaimana bisa masuk akal sehat? Gambaran bahwa hakim konstitusi sebagai manusia yang sangat terhormat, manusia sempurna, tidak akan melakukan pelanggaran hukum, apalagi dengan sengaja, dalam menangani perkara, sehingga putusannya dinyatakan final dan tidak bisa diganggu gugat, ternyata hanya ilusi. Gambaran palsu. Faktanya, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, mungkin secara sadar. Tapi putusannya masih dianggap sebagai putusan manusia sempurna, tidak bisa dibatalkan. Ironi. Aneh, tapi nyata. Masyarakat harus menerima kenyataan pahit, harus menerima pasal 17 ayat (6) tersebut tidak berlaku untuk putusan MK. Masyarakat tidak berdaya menghadapi hakim yang dipercaya sebagai utusan Tuhan. Yang dalam hal ini malah berperilaku sebaliknya: Indonesia dalam cengkeraman tirani dan iblis berkedok hakim. Tetapi, meskipun putusan MK tidak bisa dibatalkan, meskipun pasal 17 ayat (6) tidak berlaku bagi putusan MK, tetapi pelanggaran berat kode etik Anwar Usman harus bisa diproses dan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pasal 17 ayat (6) berbunyi, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Artinya, selain putusan dinyatakan tidak sah, hakim yang melanggar pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi administratif atau bahkan dipidana. Pasal 24C ayat (1) UUD mengenai putusan final tentu saja tidak bisa menghilangkan pelanggaran berat Anwar Usman, dan tidak bisa menghapus sanksi administratif, apalagi pidana. Majelis Kehormatan MK juga tidak bisa menghilangkan pelanggaran dan sanksi kepada Anwar Usman. Karena itu, Majelis Kehormatan MK seharusnya menyebut secara eksplisit, Anwar Usman melanggar apa saja. Tanpa melakukan itu, Majelis Kehormatan MK terkesan sedang melindungi kepentingan Anwar Usman dan kroni-kroninya, serta mendegradasi sanksi yang diberikan kepadanya. —- 000 —-

Gibran Menjadi Awan Mendung Demokrasi

Oleh Djony Edward | Wartawan Senior Forum Keadilan PERISTIWA  masuknya anak Presiden Jokowi, Gibrab Rakabuming Raka, dalam kontestasi calon wakil presiden 2024 belakangan ini menimbulkan kontroversi. Sampai-sampai keterlibatan Gibran di saat Jokowi masih berkuasa digambarkan sebagai awan mendung dalam demokrasi Indonesia. Betapa tidak? Sebab prosesnya melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang juga adalah paman Gibran, lewat Keputusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara yang mengajukan gugatan uji materi soal usia minimal 40 tahun adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang Ketua Umumnya adalah adik Gibran, yakni Kaesang Pangarep. Sehingga posisi Gibran dianggap sebagai bentuk politik dinasti. Benarkah? Jebakan Politik Dinasti Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.  Apa yang terjadi seandainya negara atau daeah menggunakan politik dinasti? Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem, dalam menimbang prestasi.  Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. \"Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.\" Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.  Menurut pengamat dan konsultan politik Eep Saefullah Fatah saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah berada dalam upaya membangun dinasti politiknya. Pendiri dan CEO PolMark Indonesia (Political Marketing Consulting) itu menilai politik dinasti telah lama dibangun Presiden asal Surakarta itu bahkan sebelum putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka resmi diusung menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto.  “Ada beberapa orang yang mengatakan, kalau seorang presiden menunjuk anak atau menantunya untuk jabatan politik tertentu baru itu dinasti. Namun, kalau anak atau menantu itu dipilih oleh rakyat, itu bukan dinasti. Saya mau luruskan itu,” katanya dalam youtube Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Kamis (26/10).  Dia menilai bahwa dalam berjalannya demokrasi yang sehat terdapat tiga tahapan yang perlu dilakukan, yaitu proses seleksi, eleksi, dan delivery. Eep mencontohkan, apabila presiden menurunkan semua ketua umum (ketum) partai untuk meminta mengusung anak atau menantunya yang akan mencalonkan sebagai kepada daerah, maka itu adalah bagian dari membangun dinasti.  “Karena yang disebut tidak membangun dinasti bukan pada bagian eleksi [pemilihan] saja, tetapi pas seleksi juga. Ini adalah upaya membangun dinasti, karena dia potong proses politiknya, karena sebelumnya ada seleksi,” ucapnya. Lebih lanjut, Eep menyebut bahwa demokrasi yang sehat dalam tahapan proses seleksi itu ada disebut meritokrasi berbasis integritas, sehingga kompetensi tetap harus ditimbang. Oleh sebab itu, saat proses itu tidak ditimbang atau melalui upaya kekuasaan dan otoritas mampu memaksakan keluarga untuk lolos dalam seleksi dan menghancurkan peluang orang lain yang lebih kompeten dan integritas, maka sebenarnya tokoh tersebut sedang membangun sebuah dinasti.  Begitu juga dengan proses delivery, dia melanjutkan ketika seseorang menjadi pejabat publik, kemudian menciptakan kebijakan atau membuat langkah-langkah pemerintahan melakukan tindakan-tindakan kekuasaan sehingga membantu keluarga mendapatkan tempat khusus, maka sempurnalah siklus pembangunan dan pengelolaan dinasti itu.  “Jadi tidak benar kalau orang mengatakan bukan dinasti kalau tidak dipilih rakyat, karena sebelum dipilih ada proses, apalagi melibatkan MK sampai MK membuat keputusan yang tidak memenuhi syarat dan kebetulan orang tersebut memiliki hubungan keluarga, itu bagian dari praktik pembentukan dinasti,” tandas Eep. Lantas, apa dampak dari praktik politik dinasti seperti ini? Pertama, adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.  Kedua, adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.  Ketiga, adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Keempat, adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi.  Akibat dari praktik politik dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.  Menurut mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah, dampak negatif apabila politik dinasti ini diteruskan adalah, pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance--CGG). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme  Dengan penerapan praktik politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.  Maka Dari itu Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Konsolidasi Demokrasi Sementara mantan Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto berpendapat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPIP) saat ini sedang sedih karena \"ditinggal\" Presiden Jokowi dan keluarga. Keluarga Jokowi yang selama ini dianggap maju di garis merah, kini terlihat lebih banyak merapat dengan capres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto. Bagaimana tidak, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya maju sebagai Wali Kota Solo dengan diusung PDIP, kini malah menjadi cawapres Prabowo. Adik bungsunya, Kaesang Pangarep, yang kini jadi Ketum PSI juga ikut mengusung Prabowo. \"Walaupun ada petir dan gluduk di depan kami, karena mendungnya akan menjadi hujan, yang kami lakukan siapkan payung merah putih, ayo jalan. Sampai nanti demokrasinya cerah kembali. Itu suasana kebatinan PDIP,\" tegas Andi. Andi sendiri mengaku sudah izin kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri sebagai Gubernur Lemhanas. Dia mengatakan, bergabungnya dirinya di TPN Ganjar tak lepas dari ideologi politiknya yang dekat dengan PDI-P.  \"Secara politik, saya ini \'merah\'. Dan selalu mengikuti arah kebijakan PDI Perjuangan dalam membuat keputusan politik, terutama pemilu bukan suatu keputusan yang sulit bagi saya,\" kata Andi. Kegalauan Andi sehingga menyebut demokrasi Indonesia sedang diliputi awan gelap bisa berdampak pada konsolidari demokrasi mundur kembali. Padahal untuk mencapai konslidasi demokrasi membutuhkan waktu tujuh kali Pemilui. Indonesia sudah menjalani lima Pemilu,  yakni tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. “Jadi seharusnya tinggal dua Pemilu lagi demokrasi Indonesia sudah terkonsolidasi, yakni tahun 2024 dan 2029, tapi karena praktik politik dinasti, konsolidasi demokrasi Indonesia bisa mundur lagi,” sesalnya. Karena itu sangat disayangkan konsolidasi demokrasi ini berjalan lambat dan bahkan terancam molor lantaran praktik politik dinasti. Pelakunya kebetulan orang yang sangat dekat dengan Andi, yakni Presiden Jokowi dan keluarga. Sejak Jokowi mempermaklumkan politik dinasti, dengan menggadang-gadang anaknya menjadi cawapres, padahal ia sedang berkuasa, Andi  menilai Jokowi sudah sangat berbeda.  Antara Jokowi yang dulu bertekad membangun konsolidasi demokrasi, tapi dengan menyeberang ke kubu Prabowo dan mempermaklumkan politik dinasti, maka Jokowi hari ini dengan sendirinya telah berubah 180 derajat. Bahkan kalau tidak berlebihan kita bisa menempatkan Gibran sebagai anak Jokowi, hari ini telah menjadi awan mendung demokrasi Indonesia.  

Persaudaraan Indonesia-Palestina adalah Perjuangan Aqidah

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Kalau saja umat Islam di Indonesia menginsyafi  kesadaran solidaritas muslim sedunia, maka apa yang terjadi pada bangsa Palestina, pada hakekatnya juga dirasakan bangsa Indonesia. Tidak hanya perang Palestina melawan Israel, Indonesia juga sedang mengalami pertarungan kebenaran melawan kejahatan. Di negeri Pancasila yang rakyatnya mayoritas muslim, telah terjadi pergumulan  antara hak dan batil.  Perjuangan rakyat Palestina dipastikan sebagai gerakan jihad melawan tentara Zionis Israel yang didukung Amerika dan sekutunya.  Hampir sama, di Indonesia umat Islam sedang menghadapi rezim kekuasaan tirani yang ditopang kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi. Bedanya, di Gaza muslim Palestina menghadapi aneksasi dan berjuang di antara hidup dan mati, syahid yang menjaminnya.  Sementara rakyat Indonesia khususnya umat Islam harus menghadapi gerakan Islamophobia dan pendangkalan akidah. Baik Palestina maupun Indonesia secara substansi keduanya sedang menghadapi kekuatan anti Islam. Palestina dan Indonesia sama-sama dalam kemelut perang agama, dan seiring itu penguasaan kekayaan sumber alam sebagai bonusnya. Kalau umat Islam di Indonesia prihatin dan ikut merasakan penderitaan rakyat Palestina terlebih yang terjadi pada anak-anak dan perempuan, yang berguguran menghadapi kekejaman dan kekejian pasukan Zionis Israel. Tidak hanya perang Palestina melawan Israel, bangsa Indonesia juga sedang mengalami pertarungan kebenaran melawan kejahatan. Di negeri Pancasila yang rakyatnya religius, telah terjadi pergumulan  antara hak dan batil.  Perjuangan rakyat Palestina dipastikan sebagai gerakan jihad melawan tentara Zionis Israel yang didukung Amerika dan sekutunya. Hampir sama, di Indonesia umat Islam sedang menghadapi rezim kekuasaan tirani yang ditopang kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi. Bedanya, di Gaza muslim Palestina menghadapi aneksasi dan berjuang di antara hidup dan mati, syahid yang menjaminnya.  Sementara di bumi nusantara khususnya umat Islam, harus menghadapi gerakan Islamophobia dan pendangkalan akidah. Baik Palestina maupun Indonesia secara substansi keduanya sedang menghadapi kekuatan anti Islam. Palestina dan Indonesia sama-sana dalam ancaman perang agama dan memiliki kekayaan sumber alam sebagai bonusnya. Kalau rakyat Indonesia prihatin dan ikut merasakan penderitaan rakyat Palestina termasuk anak-anak dan perempuan berguguran menghadapi kekejaman dan kekejian pasukan Zionis Israel. Sejatinya, apa yang dialami bangsa Palestina juga dirasakan sama oleh bangsa Indonesia. Negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia itu telah menjadi satu tubuh satu jiwa  karena hubungan historis dan emosional serta solidaritas sesama muslim. Maka selayaknya dan sepatutnya perjuangan negara Palestina menjadi perjuangan negara Indonesia, menghadapi kapitalisme dan komunisme global yang bermuara pada pengingkaran agama Tauhid, yakni Islam.  Tak cukup sekedar aksi bela Palestina di Monas yang diikuti jutaan rakyat Indonesia, kepeduliannya juga harus bisa membantu dalam tenaga, harta dan jiwa sekalipun. Sama halnya dengan persoalan umat Islam di Indonesia yang sedang menghadapi masalah internalnya, maka masalah Palestina menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara bangsa Indonesia. Hubungan yang saling mengikat itu, menjadikan persaudaraan Indonesia-Palestina adalah perjuangan aqidah.  Karena sesungguhnya setiap darah dan nyawa seorang muslim adalah darah dan nyawa umat muslim sedunia. (*)

Jokowi Akan Diadili Mahkamah Pengadilan Rakyat

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  SEJARAH kekuasaan di muka bumi, untuk seorang penguasa tiran yang sadis dan kejam kepada rakyatnya, di akhir kekuasaan dipastikan akan berakhir tragis. Rintihan  Raja Louis XVI di akhir kekuasaannya akan dipenggal kepalanya oleh rakyatnya sendiri masih membela diri, sekilas di ulang ceritanya oleh DR. Mulyadi dosen politik UI, bahwa : \"Aku akan mati dalam keadaan tak bersalah terhadap semua tuntutan yang diarahkan padaku\".  Aku memaafkan semua yang bertanggungjawab dalam kematianku. Di ujung kematiannya masih membela diri\" \"Aku berdoa pada Tuhan supaya darah yang akan tumpah ini tidak akan pernah menodai negeri Prancis\", kata Raja Louis XVI    sesaat sebelum dipenggal kepalanya\" Ketika masih hendak melanjutkan pidatonya, namun suara drum memotongnya. \"Tepat pukul 10:22 pagi, di 21 Januari 1793, sang algojo mengayunkan pedangnya dan sang raja pun mati. Si pembantu algojo mengambil kepala raja yang berdarah-darah dan mengangkatnya supaya bisa dilihat orang-orang\". \"Awal makna hak konstitusi dan hak Rakyat memenggal kepala Raja\". Rakyat yang berkerumun  sontak  menyahut \"Hidup Negeri ini - Hidup Republik\" Lalu beberapa tembakan meletus. Badan sang raja, termasuk kepalanya, dipindahkan dengan kereta ke pemakaman Madeleine. Setelah upacara keagamaan singkat, tubuh Louis dilempar ke kuburan yang dalam dengan alas kapur. Kepalanya diletakkan di sebelah kakinya. Kuburannya lalu diisi dengan tanah dan ditutup dengan lapisan kapur. Pada Januari 1815, sisa-sisa tubuh Louis XVI dan kepalanya dipindahkan ke Basilika Santo Denis. Apa belum cukup pelajaran dari Soekarno dan Soeharto dimana keduanya memiliki kekuasaan yang sangat besar tapi tetap saja harus terhina di ujung hidupnya. Sepuluh tahun Jokowi gagal mensejahterakan rakyatnya, bahkan karena ketidakmampuannya mengelola negara hanya mengandalkan hutang, di mana-mana terjadi kekejaman kepada rakyat berdalih untuk investasi. Rakyat tidak buta dan tuli, Jokowi hanya ingin memenuhi kemauan, kehendak dan memenuhi rakusnya oligarki di era kapitalis dan penjajahan baru saat ini mengabaikan hak hak hidup rakyat bahkan menimbulkan menyiksanya kepada rakyatnya. Rakyat teriak antri minyak goreng, teriak harga daging mahal, teriak harga beras mahal. Penguasa  dengan pongah, sombong dan kejam, mengatakan  \"silahkan merebus pisang , silahkan makan keong sawah, silahkan makan ubi, silahkan masak enceng gondok\" Dosa apa lagi yang lebih besar jika rakyat dibuat miskin lalu kalau mereka teriak ditanggapi dengan hinaan. Melawan kekuasaan, tidak nasionalis, rasis, ketika rakyat hanya meminta keadilan dan kebutuhan perut bisa terisi untuk bisa bertahan hidup. Cepat atau lambat rakyat akan melawan dan mahkamah pengadilan rakyat akan mengadili Jokowi kalau tidak hati hati dan tetap kejam dan sadis kepada rakyatnya. *****

Indonesia Berduka: Majelis Kehormatan MK Menjadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Majelis Kehormatan MK) menyatakan Anwar Usman, hakim konstitusi terlapor dugaan pelanggaran kode etik, terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Dengan hanya menyebut “melanggar kode etik Sapta Karsa Hutama”, Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahan Anwar Usman dari pelanggaran berat menjadi “tidak berat”. Karena Sapta Karsa Hutama hanya dokumen berisi deklarasi yang mengatur butir-butir kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dimuat di dalam lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006. Peraturan ini sendiri tidak mengatur sanksi atas pelanggaran kode etik dimaksud. Seharusnya, Majelis Kehormatan MK menyatakan secara jelas dan spesifik, Anwar Usman melanggar pasal apa, di peraturan yang mana, atau undang-undang yang mana. Tanpa menyebut itu semua, masyarakat tidak bisa mengukur bobot dari pelanggaran berat Anwar Usman, dan sanksi yang pantas diberikan kepadanya. Upaya mendegradasi atau meringankan pelanggaran berat Anwar Usman ini juga terlihat dari pengenaan sanksi kepadanya. Anwar Usman hanya dikenakan sanksi “diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi”. Tetapi tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi. Pemberian sanksi “ringan” ini melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No 1/2023, pasal 47 butir b, yang menyatakan secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat wajib “diberhentikan dengan tidak hormat”. Pasal 47 PMK 1/2023: “Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan, terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan menyatakan: a. Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat; b. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Selain itu, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan kepada Anwar Usman juga melanggar Pasal 23 ayat (1) huruf h UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi: “Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila, melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.” Anggota Majelis Kehormatan, Bintan Saragih, juga berpendapat sama. Bintan Saragih menyampaikan dissenting opinion atas pemberian sanksi yang tidak sesuai peraturan dan undang-undang. Bintan Saragih: Sanksi terhadap “pelanggaran berat” hanya “pemberhentian tidak dengan hormat”, dan tidak ada sanksi lain, sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie dan Wahiduddin Adams, dua anggota Majelis Kehormatan  MK lainnya, yang masing-masing merangkap sebagai Ketua dan Sekretaris Majelis Kehormatan, tentu saja mengerti sepenuhnya. Jimmy Asshiddiqie memberi dua alasan pembenaran atas pemberian sanksi yang melanggar peraturan dan UU tersebut. Pertama, Jimly Asshiddiqie berpendapat, pemberian sanksi harus mempertimbangkan ukuran proporsionalitas, seperti pada kasus pidana. Jimly Asshiddiqie memberi perbandingan, pada kasus pidana, majelis hakim wajib memperhatikan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau justru memperberat sanksi yang akan dijatuhkan. Alasan yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie tidak tepat dan tidak relevan untuk kasus pelanggaran berat kode etik hakim. Karena, “jumlah” sanksi pada kasus pidana tidak diatur di dalam UU. Yang diatur hanya batas sanksi “maksimum”, sehingga majelis hakim mempunyai hak subyektif dalam menjatuhkan sanksi hukuman kepada terpidana, sepanjang tidak bertentangan dengan UU. Sepanjang sanksi tidak lebih dari batas “maksimum” setinggi-tingginya, maka putusan majelis hakim tidak melanggar UU.  Tetapi, sanksi pelanggaran berat hakim konstitusi hanya satu, seperti diatur sangat jelas di dalam PMK dan UU. Yaitu, pemberhentian tidak dengan hormat. Kalau memang mau mempertimbangkan hal yang meringankan, seharusnya dilakukan sewaktu menentukan bobot pelanggaran, apakah Anwar Usman melakukan pelanggaran berat atau tidak. “Vonis” bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat harus dimaknai sudah melalui semua pertimbangan, dan tidak ada hal yang bisa meringankan lagi. Alasan kedua, Jimly Asshiddiqie mengatakan, hakim konstitusi yang “diberhentikan tidak dengan hormat” dapat mengajukan banding, sehingga sanksi tersebut bisa membuat penyelesaian perkara menjadi berlarut-larut dan tidak pasti. Terutama mengingat agenda pilpres sudah sangat dekat. Alasan kedua ini juga tidak masuk akal. Sanksi kepada Anwar Usman tidak pengaruh pada agenda dan jadwal pilpres, karena Majelis Kehormatan tidak mengubah putusan MK No 90 terkait syarat batas usia calon wakil presiden. Sehingga, upaya banding Anwar Usman, seandainya ada, tidak mempunyai dampak sama sekali terhadap agenda pilpres. Sebaliknya, sanksi Majelis Kehormatan yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan memberi dampak sangat negatif. Sanksi ini membuat reputasi MK terpuruk, dan kepercayaan masyarakat hilang. Hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran berat dianggap masih layak menjadi hakim konstitusi. Ini contoh (yuris prudensi) yang sangat buruk. Bagaimana masyarakat bisa percaya MK? Dengan masih menjabat hakim konstitusi, Anwar Usman masih menyandang “yang mulia, yang terhormat”, padahal tidak. Karena seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat. Oleh karena itu, tidak salah kalau masyarakat beranggapan, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan MK kepada Anwar Usman, yang hanya memberhentikannya dari jabatan Ketua MK, sejatinya untuk mempertahankan dan menyelamatkan kehormatan Anwar Usman. Dengan cara melanggar undang-undang. —- 000 —-

Kecurangan, bahkan Sebelum Pilpres 2024 Dilaksanakan

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  KECURANGAN demi kecurangan pilpres 2024 bahkan sebelum dilaksanakan, begitu percaya diri dan melenggang mulus menginjak-injak harga diri dan martabat bangsa. Tak adakah secuil keberanian rakyat Indonesia untuk menghentikannya? Skandal KKN yang melibatkan Mahkamah Kostitusi sesungguhnya bukan yang pertama dan satu-satunya terjadi jelang pilpres 2024. Selama terkait Jokowi sebagai capres ataupun ikut cawe-cawe dalam pilpres, maka sesungguhnya pilpres telah dipenuhi kecurangan bahkan sebelum dilaksanakan. Mulai dari pilpres 2014, 2019 terlebih 2024 yang sebentar lagi dilaksanakan, aroma rekayasa untuk memenangkan calon presiden tertentu kental terasa.  Kemunculan Jokowi dari Solo yang mengandalkan jabatan walikota begitu terkesan mendadak tanpa pengenalan publik yang luas, tanpa guratan prestasi yang membanggakan. Jokowi tiba-tiba menjadi media darling (semua media menjadi paduan suara yang membagus-baguskan Jokowi), sokongan ekonomi dan politik mengalir deras baik dari oligarki dunia usaha maupun partai politik. Tak cukup sekedar itu, keluguan, kesan merakyat dan kejujuran dipoles sedemikian hebatnya, hingga  rakyat terhipnotis meski hanya dari keluar masuk gorong-gorong dan kawasan kumuh serta makan di warteg. Paling prinsipil juga tatkala kontroversi ijazah palsu  menerpanya. Sungguh memalukan dan menjadi kejahatan yang tak bisa dimaafkan jika itu benar terbukti. Kemunculannya memang seperti sihir, kepalsuan dan tidak nyata, melenyapkan logika dan akal sehat, yang kemudian melekat kuat pada eksistensinya hingga menjadi presiden. Tanpa bekal pengetahuan dan kapasitas yang memadai, Jokowi percaya diri meski memerankan jabatan presiden sebagai sekedar boneka. Dalam pengendalian korporasi dan partai politik, Jokowi juga terkenal manut pada perorangan semacam Luhut Binsar Panjaitan. Dengan jabatan presiden yang terhormat dan mulia yang digenggamnya, Jokowi justru nyaman sebagai petugas partai dan jongos pengusaha. Begitu banyak dan kentara upaya-upaya kecurangan dan main kayu dipertontonkan Jokowi dan yang mendukungnya semenjak terlibat dalam bursa capres. Publik belum amnesia saat kematian 894 orang petugas KPPS yang mendadak dan terjadi serentak di pilpres 2019. Jumlah kematian yang tidak sedikit dan tidak biasa tanpa diketahui jelas penyebabnya saat melaksanakan kegiatan pilpres. Belum lagi pada saat menjelang pilpres mulai dari menghambat kinerja saksi, sabotase logistik hingga kecurangan perhitungan suara yang merugikan pasangan capres lainnya. Kecurangan yang menegasikan aspek-aspek terbuka, jujur dan adil begitu terasa dan rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Seperti sedang merencanakan kecurangan pilpres seperti sebelumnya pada tahun 2014 dan 2019.  Jokowi dan kroni mulai merancang skenario busuk mereduksi konstitusi dan demokrasi guna memenangkan pilpres 2024. Kegagalan perpanjangan jabatan presiden 3 periode dan manuver menunda pemilu, membuat Jokowi harus pasrah melaksanakan pilpres 2024, tentunya pasti dengan strategi  culas dan konspirasi jahat. Berhasil memanfaatkan KPK untuk menjegal capres lain yang potensial, menaklukan para ketua umum partai politik menjadi budak belia, Jokowi juga memasang lembaga-lembaga survei menuruti pesanan hingga terlibat politik uang dan kejahatan informasi. Contohnya ada capres yang didukung rakyat dengan antusias dan euforia atas kehadirannya namun surveinya rendah, sebaliknya capres bermasalah KKN dan tidak populis justru angka surveinya tinggi. Kebohongan mana lagi yang Jokowi perbuat? Tak cukup dari pelbagai kebobrokan yang telanjang dan hina itu, kini Jokowi memainkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tanpa rasa malu, tanpa kehormatan dan tanpa ada beban, Jokowi begitu percaya diri memaksakan keluarganya tampil dalam panggung politik dan institusi negara. Ketua MK yang notabene adik iparnya, sukses memainkan peran memuluskan pencalonan anaknya menjadi cawapres dengan merubah persyaratan usia cawapres meski cacat hukum. Tak ada urusan dengan “Fasted of interest” atau “konflik of interest”, bagi Jokowi yang penting bisa mencapai tujuan walau menghalakan segala cara. Plintat-plintut Jokowi termasuk berulang-ulang tidak konsisten menegaskan ikut cawe-cawe atau netral, sejatinya menjadi bentuk kebingungan dan rasa frustrasi Jokowi hingga menjadikan MK sebagai senjata pamungkas dan andalannya ikut memengaruhi pilpres 2024.  Mari kita lihat apakah Jokowi mulus menjalankan ambisi dan syahwat kekuasaannya dalam pilpres 2024?. Apakah fenomena MK menjadi antiklimaks dari rangkaian kejahatan konstitusi dan demokrasi, yang dilakukan Jokowi dan kroninya untuk pilpres kali ketiga yang melibatkannya?. Atau ini menjadi babak baru pergumulan konflik moral dan etika yang berhadapan dengan pseudo demokrasi. Jawabannya sederhana, rakyat diam maka ketertindasan akan melekat selamanya, begitupun sebaliknya rakyat melawan maka kejahatan konstitusi dan demorasi akan berpikir ulang untuk memaksakannya. Tinggal rakyat yang bersikap akankah membiarkan kecurangan bahkan sebelum pilpres 2024 dilaksanakan. Atau pilpres akan berlumuran darah dan nyawa hanya untuk memilih Presiden yang jauh dari kepantasan dan kelayakan. Rasa malu dan sungkan menegakan kebenaran, lambat laut menjadi bibit subur kejahatan dan kemunafikan. (*)

Jokowi Punya Segalanya, Mungkin Kecuali Tuhan?

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  REPUBLIK Indonesia telah menjadi tanah air mata, tanah darah dan tanah meregang nyawa. Tak terhitung korban rakyat berjatuhan akibat distorsi dan destruktif perilaku kekuasaan. Perampasan tanah, penggusuran rumah, kekerasan disertai penganiayaan hingga kematian dan beragam kejahatan kemanusiaan lainnya, kental mewarnai rezim Jokowi selama hampir satu dekade. Segala daya telah dilakukan, semua opini dan gerakan terus dikerjakan. Oposisi tak pernah berhenti ingin menjungkalkan rezim pemerintahan Jokowi. Namun apa gerangan, presiden dengan gelar King of Lip Service dan boneka oligarki itu, tetap bertengger sebagai orang nomor satu di Indonesia dan semakin masif menggalang kekuatan mempertahankan sekaligus melanggengkan kekuasaannya. Tak cuma berdampak pada kondisi fisik dan materil, upaya meniadakan akal sehat dan nurani kerap mewarnai kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan dan menyebabkan penderitaan rakyat. Kebohongan, kecurangan, memaksakan kehendak, mendobrak etika dan aturan, semakin menegaskan para penyelenggara negara tersebut memang miskin ahlak. Sebuah tolok-ukur fundamental yang harus dimiliki pemimpin jika tidak mau disebut bobrok dan dzolim. Tak cukup pegiat institusi negara, para penjaga moral yang menghuni tempat ibadah, kampus dan pelbagai ruang-ruang keberadaban lainnya, nyaris semuanya terkooptasi perilaku rezim. Kebanyakan manut karena harta, jabatan, ketakutan atau bahkan sekedar menyelamatkan dirinya dari beragam skandal yang bisa memastikan penjara sebagai tempat yang pantas buat mereka. Jokowi dan pemerintahan yang dipanggulnya, sejak awal dicurigai sebagai anasir dari ideologi komunis dan sangat agresif terhadap hasrat kapital. Tak peduli pada persoalan kemanusiaan dan kesejahteraan umum yang diamanatkan rakyat, Jokowi justru dianggap publik menjelma menjadi pemimpin dari rezim yang korup, berwatak maling dan menindas. Bukan sekedar konstitusi dan demokrasi, ia bahkan cenderung menjadi musuh religi. Ukurannya tak tahu malu dan menghalalkan segala cara. Ya, sejarah seakan mengingatkan dan menanti-wanti bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Bahwasanya setiap zaman akan ada manusia dan pemimpin yang absolut kekuasaannya dan absolut pengingkarannya terhadap kekuasaan Tuhan. Dunia mengenal Raja Namrud dan Firaun juga beberapa pemimpin lainnya yang menganggap diri dan kelompoknya tak tertandingi, larut pada kesombongan dan perilaku keji yang meniadakan Tuhan sebagai pemilik dan penguasa jagat semesta yang hakiki. Akhirnya kandas dan berakhir tragis, karena sesungguhnya betapapun menguasai negara dan dunia, tetaplah kecil dan tak berarti di hadapan Tuhan. Begitupun di Indonesia, Jokowi dan kroninya memaksakan diri sebagai rezim yang ingin menguasai negara dan seluruh rakyat Indonesia hanya untuk hasrat dan kepuasan duniawinya sendiri. Tega membuat rakyatnya menderita kehilangan harapan dan daya juang bertahan hidup. Begitu ramah dan tunduk kepada bangsa asing, hingga rela menjual murah kekayaan alam dan sumber-sumbernya yang harusnya dikelola berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Jokowi dan kroni sepertinya telah melampau batas, bertindak laksana dirinya sebagai Tuhan. Atau boleh jadi, Jokowi punya segalanya, mungkin kecuali Tuhan. Yakinlah pada perjuangan yang berlandaskan keimanan, tiada kekuatan dan pertolongan selain hanya dari Allah azza wa jalla. (*)

Gibran Tetap Berada di Ujung Tanduk

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK) pada hari Selasa 7 Nopember 2023 telah mengakhiri sidang pemeriksaan terhadap Hakim MK dengan membacakan Putusan yang pada pokoknya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, menyatakan Saldi Isra tidak melanggar soal dissenting opinion, memberi sanksi teguran tertulis kepada Arif Hidayat serta sanksi teguran lisan kepada enam hakim lainnya.  Seluruhnya secara kolektif dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik meski dengan tingkat pelanggaran beragam dan bertingkat.  Di samping itu MKMK menyatakan tidak berwenang untuk menilai Putusan MK dan menegaskan bahwa Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Saldi Isra ditetapkan untuk memimpin pemilihan Ketua MK baru. Perubahan Putusan menjadi kewenangan MK bukan MKMK.  Putusan MKMK dinilai lunak karena untuk kategori \"pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim\" semestinya Anwar Usman bukan hanya diberhentikan dari jabatan Ketua MK tetapi sesuai UU No 48 tahun 2009 dan PMK No 1 tahun 2023 Pasal 41 c dan 47 maka sanksi yang layak adalah \"diberhentikan dengan tidak hormat\".  Putusan MKMK dinilai inkonsisten di satu sisi tidak berwenang menilai Putusan MK akan tetapi di sisi lain MKMK menilai dan menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Darimana kewenangan MKMK yang berada di area \"etik\" masuk ke penafsiran UU tentang Kekuasaan Kehakiman? Meski demikian Gibran tetap dberada diujung tanduk karena: Pertama, jika Pasal 17 ayat (5) berlaku dan menjadi alasan konflik kepentingan Anwar Usman terhadap Gibran, mengapa ayat (6) tidak berlaku, padahal kedua ayat tersebut berada dalam \"satu paket\" atau sangat berkaitan erat ?Hakim MK dapat mengabaikan Putusan MKMK.  Kedua, MK dengan komposisi baru nanti berhak untuk melakukan pemeriksaan ulang untuk membatalkan Putusan 90/PUU-XXI/2023 apalagi Putusan tersebut sangat kontroversial karena \"hanya\" didukung oleh 3 (tiga) hakim dari 9 (sembilan) hakim. Putusan demikian adalah rekor Putusan terburuk di dunia.  Gibran tetap berada di ujung tanduk karena rakyat tetap mengkritisi lolosnya Gibran atas rekayasa dan peran paman Anwar Usman. Nepotisme itu sangat terang benderang terjadi di depan mata. Anwar Usman sendiri di samping terkena sanksi administrasi juga terancam sanksi pidana sebagaimana ketentuan UU No 28 tahun 1999 Pasal 22. Gibran yang berada di ujung tanduk membawa konsekuensi bahwa Prabowo pun berada di ujung tanduk. Jika MK \"baru\" melakukan perubahan pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 maka akan berakibat rontok atau batal pasangan Prabowo-Gibran.  Rakyat akan terus mendesak MK \"baru\" untuk segera mengoreksi putusan kontroversial, memalukan dan memilukan tersebut. Kembalikan kewarasan cara berhitung bahwa 3 (tiga) lawan 6 (enam) itu yang menang adalah 6 (enam) bukan 3 (tiga) !  Bandung, 8 Nopember 2023

Jokowi Akan Terhina

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"Penguasa paling celaka adalah penguasa yang membuat rakyatnya sengsara\". (Umar bin Khathab) Keruntuhan etika yang melanda Mahkamah Konstitusi tidak terlalu mengejutkan saat kekuasaan, para politisi dan law makers sudah bersekutu mencampakkan standard etika nya ke tong sampah. Saat jagad politik sudah diawaki oleh hukum kekuasaan yang dijalankan oleh boneka atas remote bandit, badut dan bandar politik, berjalan digdaya di negara ini. Demi perintah kekuasaan MK dengan jumawa bisa merubah UU yang bukan wewenangnya. Ketika hiruk pikuk rakyat, aktifis, dan pakar hukum di seluruh Nusantara bereaksi protes, DPR buru buru ambil posisi melaksanakan perintah MK segera menyesuaikan UU tentang syarat anak ingusan agar lolos sebagai cawapres. Jokowi seperti memiliki ilmu gendam dari warisan nenek moyangnya dengan pengawalan para suhu Oligargi begitu digdaya DPR hanya sendiko dawuh melaksanakan titas majikannya. Negara sudah tidak ada lagi  aturan atau konstitusi yang mengikat ketaatan para penguasa dan kekuasaan, semua bisa di rekayasa sesuai syahwat,  birahi, nafsu,  kepentingan dan kekuasaan politiknya. Republik ini sudah membusuk sejak UUD 45 diganti UUD 2002. Jagad politik nasional  diperankan oleh perampok politik yang membuat hukum demi penguasa  untuk melegalisasi perampokan kekuasaan secara berjamaah.  Lagi lagi publik tanpa kecuali yang merasa sebagai para pendekar hukum dan pakar politik  tenggelam, harus setia sebagai jongos politik, menelan kegalauan dan kepiluan berkepanjangan.  Sebagian aktifis oposisi siuman sadar  ketidak keberadaannya selalu keok ketika main dadu. Sesekali tetap cuap cuap, marah marah, gusar, mengeluh tanpa arah dan kanal yang tidak jelas. Kesadaran merasa hina dan dihinakan mereka dipaksa harus menjadi budak, bahkan akan digembalakan anak ingusan. Harapan tinggal pada kesadaran dan keberanian rakyat semesta Indonesia, negara sudah diujung senja bubar atau masih bisa dipertahankan ketika  penguasaan sudah liar, bebas berdansa pesta mabok kepayang ala UUD 2002. Para penguasa saat ini mau sadar atau tidak, jangan pernah berpikir sedikit pun bahwa rakyat dalam monarki, teokrasi dan aristokrasi,  demokrasi, taat hukum tak ada artinya. Semua sudah terbukti bahwa penguasa yang berkuasa di punggung harimau ia akan jatuh menyedihkan. Apa belum cukup pelajaran dari Soekarno dan Soeharto dimana keduanya memiliki jasa besar dan kekuasan yang besar dalam waktu yang panjang tapi tetap saja harus terhina diujung hidupnya. Jokowi sudah sangat dekat akan mengalami kehinaan dan kepedihan di ujung kekuasaannya.****