Gibran Menjadi Awan Mendung Demokrasi

Eep Syaifullah Fatah

Oleh Djony Edward | Wartawan Senior Forum Keadilan

PERISTIWA  masuknya anak Presiden Jokowi, Gibrab Rakabuming Raka, dalam kontestasi calon wakil presiden 2024 belakangan ini menimbulkan kontroversi. Sampai-sampai keterlibatan Gibran di saat Jokowi masih berkuasa digambarkan sebagai awan mendung dalam demokrasi Indonesia. Betapa tidak?

Sebab prosesnya melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang juga adalah paman Gibran, lewat Keputusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sementara yang mengajukan gugatan uji materi soal usia minimal 40 tahun adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang Ketua Umumnya adalah adik Gibran, yakni Kaesang Pangarep. Sehingga posisi Gibran dianggap sebagai bentuk politik dinasti. Benarkah?

Jebakan Politik Dinasti

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. 

Apa yang terjadi seandainya negara atau daeah menggunakan politik dinasti?

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem, dalam menimbang prestasi. 

Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. 

Menurut pengamat dan konsultan politik Eep Saefullah Fatah saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah berada dalam upaya membangun dinasti politiknya. Pendiri dan CEO PolMark Indonesia (Political Marketing Consulting) itu menilai politik dinasti telah lama dibangun Presiden asal Surakarta itu bahkan sebelum putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka resmi diusung menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. 

“Ada beberapa orang yang mengatakan, kalau seorang presiden menunjuk anak atau menantunya untuk jabatan politik tertentu baru itu dinasti. Namun, kalau anak atau menantu itu dipilih oleh rakyat, itu bukan dinasti. Saya mau luruskan itu,” katanya dalam youtube Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Kamis (26/10). 

Dia menilai bahwa dalam berjalannya demokrasi yang sehat terdapat tiga tahapan yang perlu dilakukan, yaitu proses seleksi, eleksi, dan delivery.

Eep mencontohkan, apabila presiden menurunkan semua ketua umum (ketum) partai untuk meminta mengusung anak atau menantunya yang akan mencalonkan sebagai kepada daerah, maka itu adalah bagian dari membangun dinasti. 

“Karena yang disebut tidak membangun dinasti bukan pada bagian eleksi [pemilihan] saja, tetapi pas seleksi juga. Ini adalah upaya membangun dinasti, karena dia potong proses politiknya, karena sebelumnya ada seleksi,” ucapnya.

Lebih lanjut, Eep menyebut bahwa demokrasi yang sehat dalam tahapan proses seleksi itu ada disebut meritokrasi berbasis integritas, sehingga kompetensi tetap harus ditimbang. Oleh sebab itu, saat proses itu tidak ditimbang atau melalui upaya kekuasaan dan otoritas mampu memaksakan keluarga untuk lolos dalam seleksi dan menghancurkan peluang orang lain yang lebih kompeten dan integritas, maka sebenarnya tokoh tersebut sedang membangun sebuah dinasti. 

Begitu juga dengan proses delivery, dia melanjutkan ketika seseorang menjadi pejabat publik, kemudian menciptakan kebijakan atau membuat langkah-langkah pemerintahan melakukan tindakan-tindakan kekuasaan sehingga membantu keluarga mendapatkan tempat khusus, maka sempurnalah siklus pembangunan dan pengelolaan dinasti itu. 

“Jadi tidak benar kalau orang mengatakan bukan dinasti kalau tidak dipilih rakyat, karena sebelum dipilih ada proses, apalagi melibatkan MK sampai MK membuat keputusan yang tidak memenuhi syarat dan kebetulan orang tersebut memiliki hubungan keluarga, itu bagian dari praktik pembentukan dinasti,” tandas Eep.

Lantas, apa dampak dari praktik politik dinasti seperti ini?

Pertama, adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan. 

Kedua, adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok. 

Ketiga, adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi.

Keempat, adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi. 

Akibat dari praktik politik dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan. 

Menurut mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah, dampak negatif apabila politik dinasti ini diteruskan adalah, pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance--CGG). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme 

Dengan penerapan praktik politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. 

Maka Dari itu Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Konsolidasi Demokrasi

Sementara mantan Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto berpendapat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPIP) saat ini sedang sedih karena "ditinggal" Presiden Jokowi dan keluarga. Keluarga Jokowi yang selama ini dianggap maju di garis merah, kini terlihat lebih banyak merapat dengan capres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto.

Bagaimana tidak, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya maju sebagai Wali Kota Solo dengan diusung PDIP, kini malah menjadi cawapres Prabowo. Adik bungsunya, Kaesang Pangarep, yang kini jadi Ketum PSI juga ikut mengusung Prabowo.

"Walaupun ada petir dan gluduk di depan kami, karena mendungnya akan menjadi hujan, yang kami lakukan siapkan payung merah putih, ayo jalan. Sampai nanti demokrasinya cerah kembali. Itu suasana kebatinan PDIP," tegas Andi.

Andi sendiri mengaku sudah izin kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri sebagai Gubernur Lemhanas. Dia mengatakan, bergabungnya dirinya di TPN Ganjar tak lepas dari ideologi politiknya yang dekat dengan PDI-P. 

"Secara politik, saya ini 'merah'. Dan selalu mengikuti arah kebijakan PDI Perjuangan dalam membuat keputusan politik, terutama pemilu bukan suatu keputusan yang sulit bagi saya," kata Andi.

Kegalauan Andi sehingga menyebut demokrasi Indonesia sedang diliputi awan gelap bisa berdampak pada konsolidari demokrasi mundur kembali. Padahal untuk mencapai konslidasi demokrasi membutuhkan waktu tujuh kali Pemilui. Indonesia sudah menjalani lima Pemilu,  yakni tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019.

“Jadi seharusnya tinggal dua Pemilu lagi demokrasi Indonesia sudah terkonsolidasi, yakni tahun 2024 dan 2029, tapi karena praktik politik dinasti, konsolidasi demokrasi Indonesia bisa mundur lagi,” sesalnya.

Karena itu sangat disayangkan konsolidasi demokrasi ini berjalan lambat dan bahkan terancam molor lantaran praktik politik dinasti. Pelakunya kebetulan orang yang sangat dekat dengan Andi, yakni Presiden Jokowi dan keluarga.

Sejak Jokowi mempermaklumkan politik dinasti, dengan menggadang-gadang anaknya menjadi cawapres, padahal ia sedang berkuasa, Andi  menilai Jokowi sudah sangat berbeda. 

Antara Jokowi yang dulu bertekad membangun konsolidasi demokrasi, tapi dengan menyeberang ke kubu Prabowo dan mempermaklumkan politik dinasti, maka Jokowi hari ini dengan sendirinya telah berubah 180 derajat.

Bahkan kalau tidak berlebihan kita bisa menempatkan Gibran sebagai anak Jokowi, hari ini telah menjadi awan mendung demokrasi Indonesia.

 

637

Related Post