OPINI

Catatan Debat Cawapres 22/12/23, Segmen Dua (2)

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Di segmen dua dan tiga, setiap cawapres mendapat pertanyaan yang sudah disiapkan oleh panelis, dan dibacakan moderator. Cawapres diberi waktu dua menit untuk menjawab. Kemudian dua cawapres lainnya memberi tanggapan, masing-masing satu menit, yang kemudian harus ditanggapi lagi oleh cawapres yang mendapat pertanyaan awal. Pertanyaan pertama kepada Mahfud tentang Ekonomi Kerakyatan dan Digital: *Digitalisasi membuka akses pasar lebih luas tetapi berpotensi merugikan usaha mitra dan konsumen karena rawan penyalahgunaan data digital. Bagaimana kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.* Jawaban Mahfud cukup baik. Indonesia mempunyai dua UU terkait data digital, PDP (Pengendalian Data Pribadi) dan ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), tetapi belum digunakan sebagaimana mestinya. Mahfud juga memberi contoh, kasus pinjol (pinjaman online) yang meresahkan dan tidak tersentuh hukum akhirnya bisa ditangkap berkat kegigihannya dalam menegakkan hukum. Artinya, penyalahgunaan dan kebocoran data digital harusnya dapat ditangani dengan baik kalau penegakan UU PDP dan UU ITE dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk itu, Mahfud layak mendapat kredit. Cak Imin pada prinsipnya setuju dengan Mahfud. Selain itu, Cak Imin menambahkan perlunya kebijakan digital untuk kepentingan UMKM, antara lain meningkatkan literasi digital. Sedangkan Gibran menyoroti pentingnya cyber security untuk mengatasi masalah pencurian data. Secara normatif terdengar sangat bagus. Tetapi, permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah “penyalahgunaan data digital”. Artinya, data tersebut sengaja dibocorkan dan “dijual” oleh orang dalam kepada pihak ketiga. Bukan dicuri orang luar atau hackers. Dalam hal ini, Mahfud lebih cermat dalam mengidentifikasi masalah dan memberi solusi. Penyalahgunaan data konsumen juga terjadi di tingkat global. Facebook didenda 5 miliar dolar AS terkait skandal Cambridge Analytica pada pertengahan 2019 karena melanggar UU perlindungan data konsumen. Facebook (Meta) juga didenda 1,2 miliar euro pada pertengahan 2023 oleh Uni Eropa karena melanggar peraturan perlindungan data pengguna. Kasus ini merupakan contoh penegakan hukum terhadap peraturan yang sudah ada, di mana cyber security dalam kasus ini bukan solusi sama sekali. Gibran juga menambahkan, cyber security bisa memecahkan masalah price dumping dan barang-barang cross border yang bisa “membunuh” UMKM. Tentu saja, pernyataan ini sangat spekulatif dan tidak nyambung. Price dumping dan barang impor merupakan masalah perdagangan. Tidak ada hubungannya dengan cyber security!? Pertanyaan kedua ditujukan kepada Cak Imin tentang investasi: *Kontribusi usaha menengah terhadap ekonomi sebesar 13 persen. Sedangkan Thailand mencapai 18 persen dan Singapura 22 persen. Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan investasi untuk usaha menengah, dan mendorong usaha kecil naik kelas.* Cak Imin menjawab sangat baik, menyoroti permasalahan investasi ke inti permasalahan, yaitu membangun kepercayaan investor dengan memberi kepastian hukum. Cak Imin menambahkan investasi harus diperluas ke sektor-sektor lainnya khususnya sektor padat karya, artinya usaha menengah dan kecil, jangan hanya menumpuk di sektor padat modal saja, yaitu perusahaan besar. Cak Imin juga menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas produk UMKM agar bisa naik kelas. Gibran kemudian menanggapi, perlunya menurunkan ICOR untuk bisa meningkatkan investasi. ICOR diharapkan turun ke angka 4 sampai 5 persen. Tanggapan Gibran ini sangat salah kaprah. Pertama, metrik ICOR bukan dalam persentase. Tetapi dalam rasio. Kedua, tidak ada hubungan antara ICOR dengan investasi. ICOR turun, bukan berarti investasi naik! Gibran sepertinya terjebak dalam permasalahan yang tidak dia kuasai. Gibran sepertinya mau memberi kesan bahwa dia mempunyai pengetahuan luas dalam bidang ekonomi, dengan menggunakan istilah tinggi, yang kebanyakan penonton debat juga tidak paham dan hanya bisa mengangguk dan terdiam saja. Untuk pencitraan? Menurunkan ICOR untuk meningkatkan investasi merupakan kesalahan teori yang fatal. ICOR (Incremental Capital-Output Ratio) adalah rasio tambahan kapital (atau investasi) yang diperlukan untuk meningkatkan setiap satu rupiah ekonomi. ICOR 4 artinya, diperlukan tambahan kapital (investasi) Rp400 triliun untuk meningkatkan ekonomi sebesar Rp100 triliun. Sedangkan ICOR 5 artinya, diperlukan tambahan kapital Rp500 triliun untuk meningkatkan ekonomi sebesar Rp100 triliun. Dengan kata lain, ICOR menggambarkan tingkat efisiensi faktor produksi ekonomi. Semakin rendah ICOR, semakin efisien faktor produksi ekonomi. Misalnya, sebuah negara mempunyai ICOR 4. Kalau tahun ini investasi yang masuk mencapai Rp100 triliun, maka ekonomi bertumbuh Rp25 triliun. Bisa saja investasi tahun depan turun menjadi Rp80 triliun, dan ekonomi hanya bertumbuh Rp20 triliun. Oleh karena itu, pendapat Gibran terkait investasi dan ICOR sangat janggal dan menyesatkan. Lagi pula, bagaimana Gibran dapat menurunkan ICOR? Apakah Jokowi selama ini menaikkan ICOR? Selain itu, Gibran menggarisbawahi pentingnya akses logistik yang terkoneksi untuk menurunkan biaya distribusi. Gibran sepertinya kurang paham apa yang dimaksud dengan efisiensi ekonomi dan investasi. Infrastruktur dan akses logistik tentu saja sangat penting bagi ekonomi. Tetapi bukan merupakan faktor penentu investasi. Banyak negara maju mempunyai konektivitas dan infrastruktur logistik sangat baik (dan ICOR rendah), tetapi investasi yang masuk relatif rendah, sehingga pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju juga rendah, sekitar 2 sampai 4 persen saja. Di lain sisi, banyak perusahaan di negara maju tersebut mencari peluang investasi di negara berkembang, atau emerging market, antara lain Indonesia, meskipun negara berkembang mempunyai infrastruktur logistik lebih buruk dan ICOR lebih rendah dari negara maju. Tanggapan Mahfud, Mahfud menyoroti fakta lapangan permasalahan birokrasi yang bisa menghambat investasi. Mahfud menanyakan kepada Cak Imin, instrumen hukum apa yang bisa mengatasi hambatan investasi tersebut. (*)

Pilpres Bisa Dibatalkan

Oeh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"The ballot is stronger then the bullet\" kata Presiden Abraham Lincoln. Ya, dalam pemilu, suara lebih kuat dari peluru. Baik dengan cara yang syah atau kecurangan. Tragis benar, otoritas \'hak-hak rakyat\' terpenjara sistem yang buruk, yang tak \'bermodal kesalehan sosial, demokratis untuk tegaknya daulat rakyat, ber-\'good governance - melayani rakyat\' & berkeadilan!\'. Kekuatan dan rekayasa oligarki terasa sangat dahsyat, termasuk proses adu domba, macam macam rekayasa   penyesatan sampai terjadi kekuatan masyarakat  hanyut tersesat tanpa mengetahui ketersesatan yang sedang terjadi (ultra modern slavery system). Kekacauan menjelang Pilpres 2024 sedang terjadi karena ada potensi kekuasaan tidak ingin kehilangan kendali kekuasaannya. Oligarki tidak tinggal diam dalam mengendalikan dan tetap harus memegang kendali kekuasaan di Indonesia. Intimidasi dan politik uang sedang terjadi secara fulgar tanpa kendali apapun caranya salah satu Capresnya harus menang. Saat bersamaan terbaca ketika skenario kemenangan Capresnya dalam ancaman dan membayakan, kekuasaan dan oligargi  terasa ada skenario baru akan berbelok arah. Diduga akan menciptakan kekacauan menjelang Pilpres , sekaligus sedangkan mengirim pesan bahwa selain Capres milik Oligargi tidak akan bisa menang dalam Pilpres 2024. Target politik kekuasaa bersama kekuatan Oligarki munculnya keyakinan keputusasaan paslon lain yang dipastikan kalah, menyatakan mundur karena dipastikan percuma dan akan sia sia hanya jadi permainan dan dagelan Oligarki. Kerusuhan masal bisa terjadi  setiap saat, situasi yang di  diciptakan dan skenario  penguasa untuk dijadikan alasan Pilpres harus ditunda dengan mengeluarkan instrumen konstitusi Kepres atau instrumen konstitusi lainnya yang mereka anggap syah. Dalam proses politik semua opsi dan kemungkinan bisa saja terjadi, opsi memperpanjang jabatan memang masih hidup.  Kalau itu terjadi bisa saja penguasa bisa salah strategi _\"penguasa dan Oligarki bukan mendapatkan kekuasaan tetapi kekuasaan akan diambil alih rakyat\"_ Apabila ada chaos yang berkepanjangan TNI bisa saja menyatu dengan kekuatan rakyat ambil alih kekuasaan. Atas segala kemungkinan yang bisa terjadi rakyat harus waspada tidak boleh berdiam diri karena itu  pengkhianatan terbesar pada diri sendiri. Rakyat harus dibangkitkan untuk berjuang membangun jalan setapak yang mampu menembus bayang -  bayang suram masa depan bangsa Runtuhnya sebuah negara, tidak selalu dari hukum sebab akibat. Melainkan ada fenomena yang tidak tak terbaca. Indonesia saat ini ada dalam kendali Oligarki yang bisa membatalkan Pilpres sekalipun tinggal berhitung hari. **

Desak Anies dan Kualitas Capres

*H Shamsi Ali, Imam Besar Masjid New York, AS*     Oleh Shamsi Ali | Imam Besar Masjid New York, USA DALAM sejarah perpolitikan dunia, khususnya dalam konteks pemilihan presiden Indonesia bahkan dunia, baru kali ini saya mendapatkan ada capres yang sangat terbuka, tidak saja dalam melayani calon pemilih untuk bertatap muka dan silaturrahim, tetapi sekaligus bersedia untuk bertatap pikiran dan bersilatur fikri dengan para konstituen. Berbagai acara pertemuan dan diskusi yang diadakan hampir di semua daerah yang dikunjungi dan dengan segala lapisan masyarakat, dari guru besar dan akademisi, pebisnis dan pelaku ekonomi, para pelajar dan mahasiswa, hingga dengan para perwakilan negara lain dilayani dengan sepenuh hati dan dengan profesionalitas yang tinggi.  Salah satu acara kampanye Amin (Anies-Muhaimin) adalah Acara Dialog terbuka dengan para konstituen (pemilih) yang disebut “Desak Anies” dan “Slepet Muhaimin”. Acara ini sangat unik dan Istimewa karena belum pernah terjadi dalam sejarah pilpres di Indonesia, bahkan kemungkinan di negara lain juga.  Dimana capres-cawapres begitu terbuka dan berani menghadapi calon pemilih secara langsung dan tanpa memilih-milih (reservasi). Saya melihat acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini memiliki makna penting, sekaligus penggambaran sesungguhnya tentang sang capres dan cawapres. Kalau kita semua penuh antusias dengan debat Presiden dan Wakil presiden yang diselenggarakan KPU sebagaj ajang untuk menggali siapa dan apa tentang calon, sesungguhnya acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini jauh lebih berkwalitas dan efektif. Debat capres atau cawapres sangat formal dan penuh dengan batasan-batasan keprotokolan. Semua serba terbatas. Dibatasi waktu, dibatasi oleh pertanyaan tertentu, dibatasi oleh siapa yang terlibat, dan juga dibatasi oleh subyek tertentu yang dibahas. Namun, acara Debat Anies dan Slepet Muhaimin berbeda dan istimewa.  Mereka yang hadir tidak diatur secara protokoler. Misalnya ditentukan oleh KPU atau institusi yang mengadakan. Jika itu di universitàs maka semua mahasiswa punya hak untuk hadir dan dapat menyampaikan ide/pertanyaan jika kesempatan memungkinkan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan panitia mempersilahkan dari kalangan yang jelas menyatakan mendukung calon yang lain. Pertanyaan juga tidak dibatasi untuk isu atau subyek tertentu, tetapi bersifat spontan dari para hadirin untuk menyampaikan ide, pendapat, pertanyaan, bahkan kritikan sekalipun. Semua itu akan dijawab dengan sepenuh hati dan kejujuran, dan apa adanya oleh capres Anies Baswedan.  Acara Desak Anies di berbagai kota saya yakin telah mengubah wajah pencapresan. Dari Jakarta, ke Bandung, ke Samarinda, ke Pontianak, ke Medan, lalu ke Jogja, bahkan yang terakhir di Banyuwangi semuanya berjalan dengan penuh semangat dan keinginan masyarakat untuk langsung bertatap muka dan bertatap pikiran dengan calon pemimpinnya. Acara Desak Anies di Banyuangi (juga di Lombok beberapa hari lalu) menjadi unik karena tidak seperti selama ini yang biasanya diadakan khusus untuk para pemuda/pemudi dan mahasiswa/mahasiswi. Justru acara di Banyuwangi ini dihadiri bahkan hampir oleh seluruh unsur masyarakat, khususnya para petani dan nelayan  yang menjadi masyarakat luas di daerah itu. Barangkali yang paling menarik dari acara Desak Anies atau Slepet Muhaimin adalah ketika berhadapan dengan para pelajar dan mahasiswa di universitas. Kita mengetahui bahwa Mahasiswa itu adalah unsur masyarakat yang sangat kritis dan pastinya dengan keterbukaan media banyak memahami realita yang sedang terjadi di negeri tercinta. Sehingga kehadiran Anies dan juga Muhaimin, seperti di Universitàs Andalas Padang, menunjukkan sesuatu yang istimewa.  Kehadiran Anies dan Muhaimin itu juga menunjukkan bahwa mereka adalah paslon yang tidak saja punya kapasitas, wawasan dan penguasaan berbagai masalah bangsa dan negara,  sekaligus keberanian menghadapi warga, apapun dan siapapun mereka. Sekritis apapun mereka akan dihadapi dengan sikap bijak dan karakter kedewasaan yang merangkul dan solutif.  Dengan catatan singkat ini saya hanya ingin menyampaikan satu lagi kelebihan paslon Amin.  Kita tunggu paslon yang lain, keberanian turun ke masyarakat mendengarkan dan merespon berbagai pertanyaan dan harapan warga, termasuk berdialog langsung dan terbuka dengan para mahasiswa dan aktifis. Sehingga berbagai “concerns” dan keluhan warga yang selama ini membebani minimal mendapat jawaban yang memuaskan dan membawa harapan.  Acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini menjadi pembeda yang jelas dan tegas dalam kampanye pilpres kali ini. Kalau kita lihat paslon lain masih saja senang dan nampak menikmati lempar-lempar kaos, bahkan bagi-bagi beras dan uang. Anies-Muhaimin memilki metode kampanye yang lebih profesional dan berintegritas. Cara kampanye dengan lempar baju atau bagi sembako atau uang, selain melanggar aturan kampnye, juga sesungguhnya merendahkan sekaligus melecehkan minimal dua pihak. Satu, merendahkan masyarakat yang masih dinilai dengan hitungan rupiah di saat kampanye. Dua, melecehkan nilai demokrasi yang harusnya mengedepankan kapasitas dan integritàs. Yang pasti, satu lagi catatan penting dalam sejarah perjalanan bangsa bahwa dalam pilpres kali ini ada calon yang telah meruntuhkan mitos bahwa memilih itu hanya dengan alasan murah (tsmanan qaliila). Rakyat selama ini seringkali dianggap akan memilih karena disuap dengan harga yang sangat murah.  Dengan “Desak Anies dan Slepet Muhaimin“, marwah dan kemuliaan rakyat lebih terjaga dan dihormati. InsyaAllah!  Manhattan, USA 28 Desember 2023

Menyelami Tipis-tipis Pikiran Fahri Hamzah (Tanggapan atas "Membongkar Klaim Suara Umat")

Oleh: Ady Amar,  Kolumnis FAHRI Hamzah seperti asyik ngelantur sekenanya. Seperti dikhususkan untuk Paslon 01: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan terkhusus lagi pada capres Anies. Tiada hari tanpa ngelantur dibuatnya. Meski ngelanturnya itu tidak sampai ia bisa disebut terjangkit gejala psikosis. Sebenarnya, sedikit pun saya tak berhasrat mengomentarinya. Meski banyak kawan mendorong agar ngelanturnya itu perlu juga disikapi. Kamis (28 Desember) kemarin, seorang kawan mengirimkan tulisan Fahri, yang ditulis di fb-nya. Judulnya gagah, \"Membongkar Klaim Suara Umat\". Saat membaca pikirannya, kepala dibuat menggeleng. Bukan geleng takjub, bukan pula terkejut. Tapi lebih pada keheranan. Bisa-bisanya seorang Fahri berubah sikap dengan tak tanggung-tanggung. Ia menjadi total berubah. Perubahan sikap, yang itu tentu bukanlah perkara mudah. Membaca tulisannya, sambil terbayang betapa sulitnya Fahri bisa menuliskan pikiran sederhana, dan yang sebenarnya mudah dipatahkan. Tampak di sana-sini keraguan saat ia menuliskan pikirannya. Tapi terpaksa tetap ditulisnya, meski bertolak belakang dengan seorang Fahri yang dulu kita kenal. Jika lalu banyak orang tidak percaya melihat perubahan pilihan politik yang diambilnya, itu menjadi pantas. Pula pun tak bisa membayangkan suasana psikologis yang boleh jadi dirasakan Fahri, yang bisa jadi ia pun merasa heran bisa memilih jalan berkebalikan. Jalan yang tak ada di pikirannya beberapa tahun lalu, terlebih saat berjuang bersama PKS di parlemen, di mana Fahri lantang menyuarakan suara umat. Gelegar suaranya saat itu selalu dinanti umat, dan kita masih mengingat satu per satu sikap politiknya yang jelas menolak politik bersandar pada nepotisme. Hari-hari ini sikapnya berubah, justru menjadi pendukung politik dinasti. Fahri Hamzah memang telah berubah, ia memainkan peran berkebalikan dengan peran yang pernah dimainkannya. Dari peran membela umat menjadi pembela rezim dengan segala pernak-perniknya. Hilang sudah kegarangannya mengkritisi rezim, bersamaan saat ia dan kawan-kawannya, Anis Matta di antaranya, mendirikan partai Gelombang Rakyat (Gelora). Mari kita sedikit mengulik tulisan Fahri, yang seperti sikap bimbang namun terpaksa mesti disampaikan sebagai argumen keberatan klaim atas monopoli suara umat. Sikap berkeberatan, meski ia ragu karena ia paham benar, itu bagian dari demokrasi yang tak mungkin dihalanginya, saat para ulama memutuskan lewat Ijtima\' Ulama, memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Begitu pula saat Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang secara resmi menyatakan memilih AMIN. Dalam kebimbangannya ia menyatakan, itu hak demokrasi seseorang atau kelompok dalam menyuarakan aspirasinya. Tapi tetap saja dalam tulisannya tersirat ia utarakan keberatannya. Lucu juga sikap inkonsistensi dalam tulisannya itu, utamanya saat ia tak bersikap yang sama saat Habib Lutfi bin Yahya berdiri di barisan Paslon 02: Prabowo-Gibran. Fahri dan Partai Gelora memang memilih sebagai pendukung Prabowo-Gibran. Fahri membungkus ketidaksukaannya pada para ulama yang mendukung Anies-Muhaimin (Paslon 01), yang diumumkan secara demonstratif. Seperti yang dilakukan Ijtima\' Ulama, dan UAS. Ketidaksukaan Fahri ini terbilang aneh, atau boleh jika disebut menggelikan. Memangnya kenapa jika mesti diumumkan. Itu sekadar cara yang dipilih, mau terang-terangan atau memilih dengan diam-diam. Tersirat pula keberatannya atas klaim memakai nama Ijtima\' Ulama, yang itu pun disampaikan dengan sangat berhati-hati, dan dibalut dengan nada tanya, Entah sesiapa ulama yang ikut dalam Ijtima\' Ulama itu? Belum terdengar dukungan dari Ustadz Adi Hidayat dan Aa Gym... Kita digiring seolah jika tidak ada 2 nama ustadz populer itu, maka klaim Ijtima\' Ulama menjadi patut diragukan. Fahri juga membandingkan \"ribut-ribut\" ulama yang secara demonstratif mengumumkan pemihakannya pada Anies-Muhaimin, itu dengan Gus Miftah, yang menurutnya tak kalah populer dengan ustadz yang disebutnya tadi. Tanyanya dengan aneh, Entahlah apakah Gus Miftah bisa digolongkan sebagai ustadz? Tambahnya dengan menyimpulkan, meski ada di kalangan umat tertentu tidak menganggapnya sebagai ustadz. Fahri yang berangkat dari aktivis dakwah kampus mendadak keluh otak, tidak paham kriteria siapa yang layak disebut ustadz. Kalau menurutnya Gus Miftah itu ustadz, ya ustadz-lah ia. Tak ada yang berkeberatan. Fahri sampai perlu memuji sikap Gus Miftah, yang katanya memang sejak lama dikenal sebagai pendukung Jokowi, dan kali ini mendukung Prabowo. Menurutnya, dukungan yang tak menuai kontroversi, tak pakai pengumuman seperti ustadz-ustadz yang memilih mendukung Anies-Muhaimin. Kontroversi versi Fahri tadi tentu lebih pada pernyataan politis akan ketidaksukaannya saja pada para ustadz populer yang disebutnya tadi, yang itu lebih karena pemihakan pada paslon rivalnya. Tapi buru-buru Fahri mengoreksi pikiran yang dibangunnya itu dengan narasi susulan, Sah-sah saja para ustadz populer tadi jika mesti harus mengumumkan secara terbuka, itu hak politik mereka yang dijamin negara dan agama--mungkin maksudnya dijamin undang-undang. Menyertakan agama di sana, karena Fahri ingin pakai dalil ijtihad memilih dalam agama, bahwa salah memilih saja masih dapat satu pahala. Fahri tanpa sadar tengah membuat tameng buat dirinya, jika ijtihad pilihannya dan Partai Gelora salah dalam memilih Prabowo-Gibran, ia masih dapat satu pahala. Lucu juga memaknai jalan pikirannya. Tapi lagi-lagi Fahri masih ngengkel, dan itu khas sikapnya. Ia sisipkan ketidaksetujuannya, jika ulama mesti memihak dengan cara demonstratif. Tentu yang dimaksudkannya itu ulama yang memihak Anies-Muhaimin. Untuk menutupi ketidaksetujuannya ia sampai perlu buat narasi bijak, belajar dari pilpres sebelumnya mestinya ustadz populer itu berpikir 7 kali lipat untuk menyatakan dukungan secara terbuka, seperti kesalahan yang pernah dibuat dua pilpres sebelumnya. Katanya, luka dalam pilpres yang lalu belum sembuh betul. Tentu argumen yang dibangun Fahri, itu mengada-ada. Luka pilpres yang lalu jika dirasanya masih ada, itu sama sekali tidak ada korelasi dengan dukungan ulama. Tapi luka itu, sekali lagi meminjam jalan pikiran Fahri, memang diciptakan oleh rezim menstigma mana ulama istana, dan mana ulama umat. Menarik persoalan \"luka\" itu pada dukungan ulama pada pilpres yang lalu, itu playing victim yang coba dimainkan Fahri. Fahri memang tengah menjajakan Prabowo Subianto, yang katanya, tak ada yang berubah dalam visi-misinya. Dan, kita membaca pikiran Fahri jadi merasa heran, kenapa Ijtima\' Ulama dan para ustadz populer yang disebutnya tadi berubah dengan tidak memilih Prabowo. Justru memilih Anies-Muhaimin. Fahri mendadak lupa, dan (seolah) tak mampu menerjemahkan pikiran umat mengapa tak lagi memilih Prabowo. Padahal sebelumnya--silahkan cari jejak digital Fahri tentang kekecewaannya pada Prabowo yang bergabung dengan Jokowi--ia pun termasuk bagian dari itu. Namun jika Fahri lalu dianggap berubah, tentu itu pilihan politik yang mau tidak mau dipilihnya. Itu hak politiknya. Tidak seorang pun boleh menyerang atas pilihannya. Tapi jika ada yang kecewa melihat pilihannya, itu pun boleh-boleh saja, bagian dari perasaan suka-tidak suka yang sulit dikontrol. Dalam tulisannya itu jelas Fahri tengah \"menjual\" Prabowo, yang memang telah ditinggal mayoritas umat yang sebelumnya--Pilpres 2014 dan 2019--memilihnya. Saat ini mayoritas umat memilih Anies-Muhaimin. Maka, Fahri semacam punya tugas untuk menjajakan ulang Prabowo yang maju dengan Gibran bin Joko Widodo sebagai cawapresnya. Meski Gibran distempel dengan sebutan sebagai anak haram konstitusi, itu tak masalah buat politisi sekelas Fahri, yang mau tidak mau mesti berpikir pragmatis. Dalam tulisannya itu juga Fahri mengklaim, karena Jokowi dan Prabowo berkoalisi, itu yang menyembuhkan luka akibat benturan pada Pilpres yang lalu. Katanya, bagaimana bisa dikatakan Prabowo yang bersalah? Jangan di balik demikian, tambahnya. Fahri sisipkan pernyataan bijaknya, ia berharap ketenangan yang sudah terbina ini dipertahankan, agar luka tidak terulang. Sebaiknya para ustadz populer itu bersikap netral berada di tengah. Tidak memihak satu paslon, pintanya. Sayang Fahri tidak bicara yang sama pada Habib Lutfi, atau Gus Miftah, agar bersikap netral. Fahri menutup tulisannya dengan keberatan, bahwa suara umat tidak boleh diklaim sepihak hanya untuk kepentingan elektoral sesaat semata. Tuduhnya, apalagi suara umat ini semacam \"dipakai\" atau \"dimanfaatkan\" kelompok tertentu--meski tidak menyebut kelompok mana, semua paham bahwa itu ditujukan pada paslon 01 Anies-Muhaimin. Dipakai atau dimanfaatkan yang diberinya tanda kutip, itu sekadar penegas saja bahwa itu negatif. Dipakai dan dimanfaatkan dalam konteks apa, Fahri tak menyebutkannya. Fahri seperti asal saja berargumen. Memangnya Prabowo-Gibran tidak juga \"memakai\" dan \"memanfaatkan\" umat, yang itu bisa lebih tampak negatif, jika mau dikulik disebutkan satu per satu. Satu pertanyaan saja untuk menutup tulisan tanggapan atas tulisan Fahri, apakah ia juga berpikir, atau terlintas di pikiran, bahwa ia pun sebenarnya tengah ditinggalkan umat. Apa juga ia mau protes? Bagus jika protesnya ditujukan pada diri sendiri sambil bertanya, apa yang tengah kulakukan sehingga umat tidak membersamaiku lagi. Sekian, dan maaf.🙏🙏

Kecurangan, Senjata Pamungkas Kekuasaan

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies  Pasangan AMIN  itu sarat kapasitas dan integritas. Pasangan lainnya identik dengan isi tas. Mengalir dan seiring waktu, uang dan jabatan  yang menggerakan aparat untuk melakukan kecurangan, agar Pasangan Amin bisa dikalahkan. Apa yang dimiliki Pasangan AMIN, dipastikan tidak dimiliki capres-cawapres yang lain. Begitupun sebaliknya, yang tidak ada pada pasangan AMIN sudah pasti melekat pada kompetitornya. Lantas apa perbedaan yang prinsip dan substansi pada masing-masing paslon capres-cawapres dalam kontestasi pilpres 2024 itu? Publik menyadari, faktor kapasitas dan integritas yang membedakan Pasangan  AMIN dan dua pasang capres-cawapres lainnya. Keunggulan dan keistimewaan capres dan cawapres nomor urut satu tersebut, begitu kontradiktif dengan realitas dua pasang saingannya. Saking berjaraknya, Pasangan AMIN berusaha disalip dengan pelbagai cara oleh kedua paslon lainnya agar bisa dikalahkan.  Upaya penjegalan, mulai dari penyalahgunaan wewenang, aturan yang kebablasan hingga para buzzer dan survey yang menyesatkan, terus dilakukan aparat pemerintahan. Mengalahkan Pasangan AMIN, jika perlu dihancurkan hingga kematian menjadi cara sekaligus tujuan  dari rezim dalam upaya mempertahankan kekuasaan.  Tampak nyata, rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi pada Pasangan AMIN tak mungkin dikejar kompetitornya. Alih-alih mengimbangi kapasitas dan integritas Pasangan AMIN. Kedua paslon lainnya yang identik sebagai budak oligarki dan boneka pemerintahan, malah kental dihiasi KKN dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Ditambah lagi tuna susila dan miskin etika,  menempel begitu  kuat pada kedua paslon yang menjadi rival Pasangan AMIN. Setelah uang dan jabatan, juga intimidasi, ancaman dan teror dari aparat yang berusaha menggagalkan pencalonan capres Anies khususnya dan pasangan AMIN memenangkan pilpres 2024 pada umumnya. Rezim kekuasaan terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya, yakni menggunakan kecurangan. Semua sumber daya dan semua cara digunakan untuk menjadikan kecurangan bisa mengalahkan Pasangan AMIN.  Rezim kekuasaan yang membonceng oligarki, sepertinya sudah tidak punya pilihan. Bertarung habis-habisan, bagaikan perang hidup atau mati dalam menghadapi pilpres 2024. Keberlanjutan atau perubahan harus dimaknai kecurangan atau kejujuran. Jika terus memaksakan kecurangan dalam pilpres 2024. Rezim kekuasaan tinggal menunggu sedikit waktu,  kembali meneruskan kejayaan atau mengalami kehancuran?. Merasa nyaman berkuasa dengan konspirasi jahat atau tiba waktunya menjalani pengadilan rakyat?. Kejujuran maupun kecurangan akan sama-sama mendapatkan balasan yang setimpal. (*)

Gibran Kontroversi Cawapres

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Gibran adalah \"Nepo of the Year\" melengkapi gelar a Al Jazeera \"Nepo Baby\". Nepotisme merupakan tragedi sejarah bangsa Indonesia. Gibran menjadi ocehan masyarakat bukan konten prestasi atau harapan melainkan lecehan dan keprihatinan. Sulit berharap dari figur Gibran bagi kemajuan bangsa ke depan, apalagi untuk canangan 2045.  Gibran adalah anak muda, tetapi lebih tepat jika disebut anak Presiden. Sungguh tidak punya malu Jokowi memaksakan anak bergelar banyak itu sebagai Capres. Ada Samsul, Belimbing Sayur, Bocil, Anak Haram Konstitusi dan kini Nepo Baby. Nepo of the Year juga dapat disematkan padanya untuk wujud bangunan rezim keluarga yang gencar dan vulgar diperjuangkan selama tahun 2023.  Tidak ada benci pada pribadi, akan tetapi sebagai pejabat publik wajar mendapat penilaian kritis. Pada jabatan tingkat lokal Walikota misalnya, sentilan atau kritikan halus sudahlah cukup, akan tetapi untuk jabatan Wapres maka selayaknya mendapat sorotan yang lebih tajam. Sungguh negara Indonesia dipertaruhkan. Gibran belum cukup matang dan pantas menjadi  Wakil Presiden. Ketimbang jadi tuntunan akan lebih berpeluang jadi tontonan.  Gibran dan pasangannya bisa saja menang dengan bermodal kekuasaan ayahnya. Kelicikan dapat dilakukan. Ini yang dikhawatirkan pada Pilpres saat ayah berkepentingan untuk sukses anak. Kasus MK yang meloloskan Gibran menjadi bukti kuat bahwa kelicikan berhasil dan telah dimulai. Belum lagi Gibran yang baru 2 tahun lebih menjabat Walikota kemudian maju menjadi Cawapres tanpa melepaskan jabatan Walikota.  Tidak menyelesaikan jabatan lima tahun Walikota adalah lompat kodok (leapfrog). Cara kerja yang tidak bertanggungjawab bahkan tamak atau haus kekuasaan. Tidak ada kebaikan dari ketamakan. Bahkan agama Islam menggambarkan bahaya tamak pada kekuasaan. Dalam QS Muhammad 22-23 ditegaskan bahwa orang tamak pada kekuasaan itu akan melakukan kerusakan di muka bumi, hilang rasa kasih sayang dan buta tuli pada kebenaran. Mereka dilaknat Allah SWT.  Kita tidak bicara Prabowo-Gibran yang bisa dikalahkan, melainkan anggapan bahwa kecurangan atau menghalalkan segala cara berhasil memenangkan pasangan rentan itu. Apakah rakyat akan bisa menerima begitu saja ? Belum tentu. Perlawanan hukum skeptis karena akan diganjal sahabat dan keluarga MK. Perlawanan politik lebih memungkinkan. Bukan hanya pendukung Anies-Muhaimin yang mungkin bakal ngamuk tetapi juga  pendukung Ganjar-Mahfud. Slogan curang perang berkumandang.  Bisa saja bukan Prabowo magnet kecurangan itu akan tetapi Gibran. Meskipun demikian sebagai obyek kepentingan besar Jokowi, Prabowo tetap ikut andil atas peracunan demokrasi tersebut. Prabowo adalah katalisator.  Gibran disebut \"Nepo Baby\" oleh Jazeera dengan makna bersayap tetapi tetap negatif. Nepo Baby memang lucu atau imut-imut, tetapi ketika berada dalam asuhan \"elder or eldest family\" yang buas, maka ia bisa berubah menjadi Baby Shark, Baby Snake atau Baby Wolf. Dan ketika dewasa maka hewan itu pasti menjadi predator pemangsa sesama.  Gibran senang berada di kebon binatang sebagaimana saat debat. Berburu pajak.  Ketika orang tua senang pada kodok (Frog) maka  sang anak suka pula pada anak kodok (Baby Frog).  Es itu sedang menetes ke bawah. Indonesia dalam bahaya.  Kebodohan politik ada di depan mata. (*)

Kartelis dan Pluralis: Sebuah Perspektif Menjelang Pilpres 2024

Oleh Mego Widi Hakoso, S.IP, M.Si - Dosen FISIP UTA ’45 Jakarta / Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional PASCA-penetapan Gibran sebagai Cawapres pendamping Prabowo, muncul dua perspektif politik yang bisa dimanfaatkan sebagai penarikan asumsi. Pertama perspektif pluralis, yang memandang keluarga Jokowi sedangkan mengalami konflik dengan PDIP khususnya Ketum Megawati. Kedua perspektif kartelis, yang memandang Jokowi dan Megawati melakukan kesepakatan implisit untuk melakukan investasi kekuasaan dipihak oposisi.  Pespektif pluralis bersifat konflik terbuka karena beragam kepentingan, dalam perspektif ini konflik dan persaingan adalah kata kuncinya. Setiap petugas partai dengan tegas mengakui diri dan kelompoknya sedang berkonflik untuk memenangkan kontestasi pemilu, sehingga petugas partai dan simpatisan dengan tegas bisa memberikan gambaran perbedaan antara pihak dan pihak lain atau lawannya.  Perspektif  kartelis bersifat tertutup, dalam perspektif ini wajib untuk menaruh kecurigaan terhadap hasil keputusan elit – elit partai politik. Perspektif ini memang kesulitan mencari data empiris perilaku elit yang hanya ada di belakang layar atau panggung publik, tetapi perspektif ini bisa mengajukan pertanyaan kritis, terhadap kondisi – kondisi gejala kartelis. Pertanyaan yang bisa ajukan adalah, “mengapa elit partai PDIP tidak melakukan pemecatan terbuka terhadap Gibran?”  Kedua perspektif ini muncul di dalam argument petugas partai, simpatisan dan elit – elit partai dalam pertemuan-pertemuan diskusi terbuka. Perpsektif kartelis akan memandang konflik dalam rangka kontestasi demokrasi adalah semu, karena oligarki sukar diberantas dan telah hidup berdampingan dengan demokrasi Indonesia. Sedangkan perspektif pluralis akan memandang perspektif kartelis adalah kaum skeptis dan tidak optimis dengan demokrasi.     Dalam perspektif kartelis, sukar melihat perbedaan program dan ideologi antara pasangan Granjar Mahfud dengan Pasangan Prabowo Gibran. Karena keduanya sama-sama pro untuk melanjutkan nilai-nilai Jokowi dalam Pemerintahan. Kemudian pada tataran elit, Ketum PDIP Megawati masih menganggap Jokowi adalah kader terbaik, dan Ketum Gerindra Prabowo menganggap bahwa Jokowi adalah mentor politiknya pada 5 tahun belakangan ini yang akan terus menjadi mentor dan mitra politik pada kontestasi 2024.  Dalam perspektif pluralis,  selain perbedaan program terlihat dari masing-masing capres-cawapres, perspektif ini diperkuat oleh beberapa, figur politisi, salah dua diantaranya adalah Budiman Sujatmiko (di pihak Ganjar Mahfud) dan FX Rudy PDIP (di pihak Prabowo Gibran) sebagai figur yang tegas menyampaikan perbedaan-perbedaan dan menonjolkan keunggulan masing-masing pasangan. Perspektif pluralis juga meyakini bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh PDIP dan partai – partai didalam koalisi Pemerintahan Jokowi memiliki hak untuk melawan PDIP.        Kedua perspektif ini bagaikan dua sisi mata uang yang benama politik Indonesia.

Jadilah Capres Pemberani bukan Pengecut

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  CERITA lama, Thomas Hobbes adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme - materialisme\" Demikian juga prinsip Machiavelli. \"Ia  dikenal sebagai politikus yang tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan\" Itulah wajah Oligargi di Indonesia, mereka telah mendapatkan momentumnya  \"Indonesia Emas\" seperti ucapan para Capres di forum debatnya.  Tidak ada satupun Capres yang berani mengatakan Indonesia dalam guncangan hebat akibat negara sudah menggunakan UUD 2002 segala akibatnya . Dan Pancasila sudah di singkirkan. Tidak sadar bahwa Haluan Hobbesian dan Machiavellian, itu jalan tol para penguasa  bebas bergerak tidak lagi peduli sudah  salah arah dan makin keterlaluan setelah berhasil membangun sinergis dengan  kekuatan politik baru berupa _\"bandit dan bandar Oligarki\"_ , yakni sekelompok orang yang mencari suaka politik dan ekonomi di lingkaran kekuasaan dengan cara manipulasi, mobilisasi, hedonis, dan semua kesurupan . Indah sekali karena kedunguannya mereka mengatakan inilah  jalan menuju \"Indonesia Emas\"m Itulah yang muncul di layar kaca debat Capres seperti pahlawan bangsa, mereka memburu kekuasaan untuk metamorfosa menjadi despotis yaitu penguasa yang arah politiknya akan menganggap rakyat sebagai budak atau pembantu. Rakyat dianggap kambing congek tidak tahu apa-apa, yang siap digiring ke mana saja sesuai kehendak penguasa yang menganggap dirinya sebagai tuan atau majikan.  Praktik politik seperti inilah yang akhirnya menjelma menjadi diktator, dan melahirkan para bandit politik di negeri yang menganggap rakyatnya sebagai budak. Mengumbar janji janji kosong karena hanya mengejar menjadi penguasa abdi dalem korporasi oligarki ( para bandar dan bandit politik ) yang ada didepan matanya mereka pura pura tidak melihat bahkan tidak berani menyebut mereka adalah bangsat dan perusak  negara  Pilpres 2024, mutlak sempurna manjadi milik Oligargi . \"Para pemilik modal ( Oligargi ) dan para perampok  predator, menjadi pemegang kekuasaan dan pengendali Pilpres 2024,  Jangan berharap rakyat meminta keadilan, atau merengek agar Pilpres berjalan jujur, langsung, umum dan rahasia, tidak akan pernah terjadi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran  politik lokal. Dengan jabatan Pelaksana   Tugas  Kepala Daerah yang diangkat oleh Mendagri cq Presiden. Diduga kuat akan menjelma  menjadi kelompok predatoris yang kuat mengendalikan kemenangan Pilpres calon boneka Oligargi. Rakyat  hanya dijadikan objek mobilisasi dan alat legitimasi hak kekuasaannya hanya selesai di bilik suara.  \"Para aktor politik  yang berkolaborasi dengan bandar politik itu mengatur irama permainan kekuasaan dalam setiap Pemilu dan Pilpres  2024! sebenarnya sudah selesai.  Oligarki akan berperan dominan dalam mengaktualisasikan permainannya dalam bentuk distribusi uang atau barang sebagai bentuk mobilisasi untuk mengelola dan menentukan pilihan politik masyarakat sesuai skenarionya.  Demi keselamatan bangsa dan negara seorang capres harus berani mengatakan negara dalam krisis konstitusi. Tidak hanya cuap cuap *Indonesia Emas* , tapi justru negara akan hancur berantakan.

Zulhas dari Penjual Panci menjadi Penista Agama

Oleh Abu Ihya | Pemerhati Politik Nasional \"Kacang lupa akan kulitnya\". Barangkali itulah yang pantas dikenakan kepada Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (Zulhas). Betapa tidak, Zulhas dulunya hanyalah seorang penjual panci keliling yang tak jelas penghasilannya. Namun ketika Reformasi dan masuk ke PAN serta bertemu dengan Deklarator PAN Amien Rais bahkan sempat menjadi besannya, nasib Zulhas berubah menjadi orang nomor satu di PAN. Setelah itu ia sempat menjabat Menteri Kehutanan di bawah Presiden SBY dan sekarang Menteri Perdagangan di bawah Presiden Jokowi. Rupanya berbagai jabatan tersebut menjadikan Zulhas tak kuat memikulnya, sehingga dirinya takabur. Zulhas lupa akan jasa besar Amien Rais sebagai guru politiknya yang membesarkannya sekaligus besannya, sehingga sampai tega-teganya Amien Rais di-\"persona non-gratakan\" dari PAN serta dampaknya  menyebabkan anaknya (Futri Zulya Savitri) dan anak Amien Rais (Ahmad Mumtaz Rais) bercerai, meski sempat memiliki dua anak. Tidak hanya itu, 3 anak Amien Rais yakni Hanafi juga ikut \"dipersona non-gratakan\" dari DPR RI dan 2 adiknya dari DPRD DIY. Dalam istilah Jawanya: ditulung malah menthung. Tidak hanya sampai di situ, setelah sukses menendang Amien Rais dari PAN, ketakaburannya semakin menjadi-jadi. Terakhir dengan gagahnya Zulhas menistakan ibadah sholat dan Surat Al Fatihah sebagai bahan dagelan pada pembukaan Rakernas APPSI di Semarang (19/12/2023). Bayangkan, sholat adalah ibadah paling utama dalam Islam dan Surat Al Fatihah adalah surat pertama dalam Kitab Suci Al Qur\'an. Menghina Surat Al Fatihah berarti menghina Al Qur\'an, menghina Sholat berarti menghina Islam, naudzubillah min dzalik. Sholat tidak akan sah tanpa membaca Surat Al Fatihah. Sedangkan \"garis merah\" antara muslim dan kafir adalah mengerjakan sholat wajib lima waktu.  Penistaan agama yang dilakukan Zulhas ini jauh lebih dahsyat dari pada penistaan agama yang  dilakukan Ahok tahun 2016 lalu, sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi berjilid-jilid dan terbesar di dunia yang pernah tercatat dalam sejarah. Seharusnya umat Islam protes lebih keras kepada Zulhas daripada Ahok.  Kalau Ahok sampai dilaporkan ke polisi dan diseret ke pengadilan dan dihukum 2 tahun, mengapa Zulhas adem ayem dan tenang-tenang saja sambil memikirkan dinasti politik yang sedang dibangunnya? Apa karena dalam menista sholat dan Surat Al Fatihah itu, Zulhas menyebut-nyebut nama Prabowo yang berpasangan dengan Gibran dan didukung Presiden Jokowi serta menjadi capres dari PAN? \"Kalau sholat Maghrib baca Al Fatihah, ada yang diam sekarang, saking cintanya sama pak Prabowo. Ada yang duduk Tahiyat Akhir dalam Sholat dengan menunjuk menggunakan 2 jari bukan 1 jari,\" kata Zulhas dengan takaburnya. Seperti Prabowo usai debat perdana dengan mengatakan \"Ndasmu Etik\" yang sengaja ditujukan kepada Anies silahkan, Anies hanya manusia biasa. Tetapi kalau  Zulhas ingin membebek Prabowo dengan menistakan dan melecehkan sholat dan Surat Al Fatihah di negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, maka dampaknya akan sangat besar dan luar biasa. Pertama, tidak menutup kemungkinan akan terjadi protes besar-besaran umat Islam dan Zulhas akan diseret ke pengadilan serta menjadi penghuni Hotel Prodeo sebagaimana Ahok. Kedua, sekarang sudah memasuki tahun politik dan Pemilu serta Pilpres tinggal menghitung hari. Meski setiap hari kampanye besar besaran dengan biaya sangat mahal di televisi, PAN suaranya diprediksi akan jeblok anjlok dan jutaan warga Muhammadiyah yang semula sebagai pemilih tradisionil PAN akan mengalihkan dukungannya kepada Partai Ummat yang didirikan Amien Rais yang juga mantan Ketum PP Muhammadiyah. Ketiga, kalau PAN sekarang menjadi partai parlemen ke 8 dengan 44 kursi (6,84 persen), maka pasca blunder Zulhas ini, PAN bisa menjadi partai non- parlemen dengan perolehan kursi dan suara dibawah PPP, Partai Ummat, Perindo dan PSI. Apalagi selama dipimpin Zulhas, perolehan kursi PAN paling sedikit jika dibandingkan dengan kepemimpinan Amien Rais, Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Jadi Zulhas telah gagal memimpin PAN. Keempat, Prabowo Gibran sebagai Capres Cawapres yang didukung PAN juga akan terkena dampaknya. Umat Islam ogah memilih Prabowo yang emosional dan Gibran yang karbitan demi melanggengkan Dinasti Politik Jokowi. Rakyat akan menolak bentuk Negara Kerajaan Republik Indonesia (NKRI) seperti Korea Utara (DPRK) yg saat ini dipimpin cucu Kim Ill Sung dan anak Kim Jong Ill, Kim Jong Un. Kelima, ribuan Caleg PAN dari DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI, juga akan terkena dampaknya akibat ketakaburan Ketumnya. Umat Islam terutama jutaan warga Muhammadiyah tidak akan mau mencoblos mereka meski digerojok sembako setiap kampanye selama Zulhas masih Ketum PAN.  Umat Islam dan warga Muhammadiyah akan beranggapan, kalau memilih Caleg PAN, berarti memilih partai yg dipimpin si penista agama, penghina Sholat, penghina Surat Al Fatihah dan penghina Al-Qur\'an. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan PAN mumpung masih ada waktu 2 bulan adalah digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mencopot Zulhas dari kursi Ketum  dan menggantinya dengan tokoh PAN yang bisa diterima warga Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.  Jika kursi Zulhas tetap dipertahankan, saya haqqul yaqin, PAN tidak akan lolos PT dan akan berubah dari partai menengah menjadi partai kecil. Maka akan tamatlah riwayat politik PAN. (*)

Zulhas Menambah Panik Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di luar dugaan Jokowi dan pendukung Prabowo, Ketum PAN yang sekaligus Mendag Zukifli Hasan atau Zulhas membuat blunder. Akibat pendewaan kepada Prabowo, candaan soal fatihah dan tahiyyat menimbulkan reaksi dahsyat. Zulhas dianggap menista agama. Pengaduan ke aparat penegak hukum pun dilakukan. Hal ini buruk bagi Zulhas, PAN, Prabowo dan tentu saja bagi Jokowi.  Sejak PAN masuk menjadi koalisi Pemerintah maka Zulhas menjadi bagian aliran darah Jokowi. Imbalan bagi Zulhas di samping terhindar dari status pasien rawat inap juga jatah Menteri didapat. PAN bersama Golkar dan Gerinda adalah pendukung utama Prabowo-Gibran. Zulhas ikut menjadi penari Gemoy. Serangan pada Zulhas atas kasus penistaan agama menjadi kepanikan baru Jokowi.  Sejak mengambil pilihan ikut campur terang terangan dalam Pilpres sebenarnya Jokowi mulai memasuki \"Panic Room\". Ruang dimana ketakutan menjadi kondisi diri. Melihat kamera ke luar akan gerak gerik dari pengancam yang mencarinya. Sebagaimana dalam film \"Panic Room\" ruangan itu sebenarnya terlindungi dengan sistem keamanan ekstensif berdinding beton dan baja, namun upaya-upaya untuk menerobos membuat Meg dan Sarah ketakutan hebat.  Sebelum mendeklarasikan \"cawe cawe\" Jokowi merasa telah kehilangan Ganjar yang tercuri di Batu Tulis. Dengan memegang Prabowo maka Jokowi mengambil risiko buruk. Megawati ngambek. Risiko buruk terberat adalah memaksa anaknya Gibran berpasangan dengan Prabowo. Kini musuh Jokowi bukan hanya PDIP dan Megawati tetapi juga oposisi dan rakyat yang anti KKN. Rakyat sudah muak dengan suguhan korupsi kekuasaan dan nepotisme.  Pasangan Ganjar-Mahfud yang \"berkoalisi\" dengan pasangan Anies-Muhaimin melawan Prabowo-Gibran tidak bisa dianggap enteng bagi Jokowi. Meskipun kecurangan telah dirancang. Sadar atau tidak Prabowo Gibran telah distempel menjadi pasangan yang \"paling menyebalkan\", \"paling mengada-ada\" dan \"paling tidak diharapkan\". Di samping terakhir kasus \"penistaan agama\" yang menimpa Zulhas,  ada lima isu dan masalah politik yang terus bakal membuat Jokowi panik, yaitu  :  Pertama, politik dinasti atau nepotisme. Ketika Jokowi, Gibran,  Kaesang,  Anwar Usman dan Bobby Nasution diserang sebagai keluarga musuh rakyat, maka beban sangatlah berat. Proteksi dan penyelamatan keluarga menjadi prioritas. Akibatnya hancur reputasi dan konsentrasi.  Kedua, pembuktian ijazah palsu yang sulit diantisipasi. Pengadilan sudah menjadi tontonan rakyat bahwa betapa berbelit dan sulit untuk menyembunyikan kebenaran. Ijazah Jokowi semakin lusuh dan sudah dekat untuk \"dirobek\" dan dibuang ke tempat sampah. Jokowi mulai melamun dan menangisi nasib.  Ketiga, gunjingan pada Gibran akan terus berlanjut dan menghebat. Kampanye buruk akibat kebodohan dan, meminjam istilah Rocky, kedunguan. Debat esok ditunggu. Kejutan apa yang terjadi ? Yang jelas upaya menghilangkan sesi debat telah gagal. Ayah bunda Jokowi dan Iriana panik. Anak jadi dagelan bergelar sarjana domestik \"bocil\", \"belimbing sayur\" dan \"samsul\". Keempat, Prabowo jagoan Jokowi semakin tidak berwibawa. Faktor emosi dan tingkah gemoy geboy menunjuk pada usia yang semakin senja. Soal \"endasmu etik\" telah menjadi etika baru dalam berpolitik jahiliyah. Sementara pak Ketum Zulhas mulai belepotan. Pendewaan Prabowo berakibat ketauhidan terganggu. Fatihah dan tahiyyat diobrak-abrik. Ahok barukah?  Kelima, kepanikan global menghadapi \"plototan\" China. Pengabdian total Jokowi tidak menghasilkan bukti. Rempang gagal, IKN masih taruhan, Prabowo Gibran bukan kekuatan. \"Gender\" Prabowo dipetanyakan antara China dan Amerika. China membawa pecut sanksi untuk Jokowi. Ini kepanikan hakiki yang dapat membuat frustrasi bahkan bunuh diri.  Menuju proses Pilpres ketenangan, kemantapan dan keyakinan akan kemenangan diragukan. Eep Fatah menyebut Prabowo Gibran dapat kalah dan Jokowi akan jatuh. Itu bukan mimpi apalagi halusinasi, tetapi mendekati realita atau kondisi nyata.  Panik Jokowi bukan karena akan selesai jabatan pada bulan Oktober 2024 tetapi Pilpres Februari 2024 hasil dan suasana yang dapat tidak sesuai dengan misi dan prediksi. Kepanikan Jokowi membuat langkah semakin membabi buta.  Akhirnya Pilpres 2024 justru tanpa keberadaan Jokowi. Jokowi lengser lebih dini. (*)