OPINI

Menjawab Loyalis Buta Prabowo Yang Menyerang Anies Tanpa Dasar

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior SELESAI debat pertama capres, seorang loyalis buta Prabowo Subianto mencaci maki Anies Baswedan habis-habisan. Dia sebut Anies diangkat Prabowo dari comberan. Anies tidak punya unggah-ungguh, tak beradab, arogan, merendahkan, dan lain sebagainya. Saya sebut Loyalis Buta (LB) karena orang ini sama sekali tidak punya sisi rasional kalau dia menulis tentang Prabowo. Pokoknya, yang hebat itu hanya Prabowo. Si LB mengatakan Prabowo adalah orang yang paing baik. Sudah banyak berbuat untuk rakyat. Banyak membantu pesantren, dan sebagainya. Sampailah dia pada cerita tentang heroisme Prabowo ketika bertugas di Timor Timur (Timor L’Este) pada masa konflik antara TNI dan kelompok perlawanan dari 1975 sampai 1999. Kata LB, Pak Prabowo hampir mati kena tembak musuh. Pokoknya bagi LB, yang pernah menjadi teman saya juga, Pak Prabowo adalah segala-galanya. Orang yang paling baik sedunia. Yang paling ikhlas dan seterusnya. Ini sangat menyesatkan. Dia tidak menceritakan pengkhianatan Pak Prabowo terhadap orang-orang yang mendukung beliau sampai korban nyawa dan babak belur dipukuli aparat keparat demi membela sengketa pilpres 2019. Tanpa peduli perasaan para korban kekerasan aparat itu, Pak Prabowo malah masuk ke kabinet Jokowi. Dan kemudian menikmati hidup nyaman sebagai menteri pertahanan dengan anggaran 134 triliun rupiah untuk 2023. Tentunya ini jumlah yang sangat “gemoy”. Dan belakangan banyak dugaan korupsi anggaran besar ini. Para pendukung Pak Prabowo di pilpres 2019 semakin pedih ketika beliau memuja-muji Jokowi tanpa batas (unlimited). Jokowi presiden terbaik, Jokowi membela rakyat kecil, dan di dalam debat capres pertama dia katakan Jokowi bukan diktator. Benar juga, bukan diktator. Karena semua kesewenangan Jokowi menabrak konstitusi dilakukan oleh orang lain yang menduduki jabatan di berbagai instansi negara. Si LB juga tidak menceritakan tindakan Prabowo dengan Tim Mawar-nya yang sampai sekarang masih dipertanyakan karena tidak jelas penyeleaiannya. Dia juga tidak menceritakan tindakan Prabowo mengepung rumah Presiden BJ Habibie di Kuningan, Jakarta, dan juga mengepung Istana Merdeka sehari setelah Pak Habibie dilantik menggantikan Soeharto pada 22 Mei 1998. Waktu itu, Prabowo bertugas sebagai Pangkostrad. Panglima ABRI waktu itu, Jenderal Wiranto –yang sekarang akhirnya sekubu dengan Pak Prabowo— mengatakan Pangkostrad melakukan pengepungan itu tanpa sepengetahuan dia. Habibie memecat Prabowo dari jabatan Pangkostrad. Dan Dewan Kehormatan Perwira TNI mengeluarkan surat pada 21 Agustus 1998 yang berisi rekomendasi pemecatan Pak Prabowo dari TNI. Apa tujuan pengepungan Presiden Habibie waktu itu? Kata Pak Prabowo untuk mengamankan Presiden. Tapi, dalam buku memoirnya “Detik-detik Yang Menentukan” (2006), Pak Habibie bercerita tentang Prabowo yang menunjukkan sikap melawan dalam pembicaraan empat mata di ruang kerja Presiden. Ketika Habibie mengatakan langsung kepada Prabowo bahwa pengaman presiden adalah tugas Paspampres, dia menjawab sambil marah: “Presiden apa Anda? Anda naïf.” Kembali ke cerita LB tentang kepahlawanan Pak Prabowo di Timor Timur. Bukan Prabowo saja yang hampir mati semasa perang melawan pasukan separatis di sana. Banyak prajurit ABRI (Angakatan Bersenjata RI, sebelum disebut TNI) yang gugur. Banyak pula kisah heroik lainnya yang bahkan jauh lebih dahsyat dari pengorbanan Prabowo.  Ada cerita lain. Tentang arogansi Pak Prabowo. Grace Natalie, mantan ketum PSI, mengatakan bahwa Prabowo menunjukkan penyesalannya pernah dekat dengan umat Islam. Untuk Anda ketahui, Grace ini dulu benci sekali kepada Pak Prabowo tapi sekarang menjilatnya habis-habisan begitu Jokowi mendukung Prabowo. Menyesal didukung umat Islam? Tentu Prabowo berhak menunjukkan sikap tidak lagi suka dengan kalangan Islm, dan Grace Natalie mengkorfimasinya. Ini sebetulnya sangat bagus. Anda telah menarik garis demarkasi ideologi dan asas perjuangan sosial-politik dua pihak. Sekarang tidak abu-abu lagi. Terakhir, soal Prabowo yang digambarkan oleh LB (Loyalis Buta) sebagai figur pembela rakyat. Ini tidak benar seluruhnya. Pak Prabowo tidak mungkin akan mengutamakan kepentingan rakyat kecil. Sebab, untuk ikut pilpres 2024 ini saja dia bergantung pada dukungan Jokowi. Dukung Jokowi itu sama dengan kepentingan oligarki bisnis. Karena itu, kalau Prabowo duduk di kursi presiden maka dia pasti akan mendahulukan agenda para taipan rakus penggarong kekayaan negara. Prabowo sendiri punya kepentingan pribadi dan keluarga besarnya. Ingat, Hashim Djojohadikusumo adalah salah seorang pengusaha besar yang sekaligus adik kandung Pak Prabowo. Hashim mengaku punya sejumlah proyek besar yang terkait dengan IKN atau lokasinya dekat IKN. Satu perusahaan penyediaan air bersih dan satu lagi produksi biofuel (bahan bakar nabati). Kedua proyek ini bernilai sekitar USD700 juta atau setara Rp10 triliun. Binsis Hashim pastilah lebih mulus lagi kalau Prabowo ada di Istana.[]

Sekali Bicara, Gibran Tak Bisa Bedakan Pilpres dan Kontes Joget

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  Semoga debat capres perdana beberapa hari lalu bisa membantu para pemilih yang masih mengambang (swing voters) agar tidak lagi bimbang. Kalau tak sempat lihat siaran langsung, tentu banyak rekamannya di platform Youtube. Saya lanjutkan tulisan yang mangkrak sejak kemarin. Tentang perilaku Gibran Rakabuming, cawapres nomor 2. Lima hari yang lalu, Gibran tampil di kampanye. Lokasinya seperti aula besar. Penuh dengan orang-orang yang tak diketahui persis apakah mereka pendukung Prabowo-Gibran atau massa rekayasa. Seperti biasa, yang menjadi perhatian adalah kualitas bicara anak Jokowi yang menurut sebagian orang dipaksakan menjadi cawapres. Tapi bukan ini yang akan kita bicarakan. Yang kita persoalkan adalah Gibran yang tak mampu membedakan pilpres dengan kontes joget. Ini berawal dari pembawa acara yang bertanya kepada Gibran lebih-kurang begini: “Ada yang mengatakan nomor 2 hanya joget-joget saja, tidak ada gagasan.” Gibran terdiam sejenak dan terlihat tak nyaman. Disertai raut wajah yang kesal, dia menjawab: “Apa yang salah dengan gembira? Sekarang saya tanya ya, boleh-tidak masyarakat hidup gembira? Boleh-tidak masyarakat makin sejahtera? Boleh-tidak masyarakat makin bahagia?” Mana ada orang yang akan menjawab tidak boleh. Tapi, jawaban-jawaban Gibran berupa pertanyaan balik itu tidak pas untuk suasana kampanye yang esensinya adalah proses seleksi calon pemimpin negara. Dari penampilan ini tak terhindarkan kesan bahwa Gibran pelit kalau diminta untuk menunjukkan kapabilitas (kemampuan)-nya. Entah dia sengaja menyembunyikan kapabilitasnya atau ada alasan lain. Seharusnya, inilah saatnya dia menjelaskan tentang kualitas dirinya (personal quality) yang bisa dijadikan “surat jaminan”  kepada publik bahwa dia mampu memimpin di level tertinggi. Kalau Gibran, misalnya, mengganggap pemaparan gagasan tidak penting karena yang lebih penting adalah “action” seperti bagi-bagi susu dan suvenir, itu berarti dia salah alamat. Dia nyasar masuk ke kontestasi pilpres. Kalau mau berjoget-joget, cari saja arena lain. Mendaftar saja ke lomba joget. Jangan di pilpres. Sebab, kontetasi pilpres memerlukan kapabilitas dengan kapasitas besar. Kontestasi pilpres sangat serius. Bukan mencari ketua ormas. Rakyat perlu mendengar gagasan tentang apa yang akan dilakukan oleh seorang capres atau cawapres. Posisi wapres itu tidak sama dengan posisi wakil bupati. Bukan sekali ini Gibran membuat masalah. Sehari sebelumnya, kalau tidak salah di Cilincing, Gibran juga berkampanye. Pembawa acara mempersilakan Gibran menyampaikan pokok pikirannya. Yang terjadi, Gibran bicara sekitar 2 menit. Kemudian dia pamit sambil bilang “yang penting ibu-ibu sehat ya, ibu-ibu bahagia”,. Kemudian dia meinggalkan panggung. Pemandu acara kebingungan. “Cuma segitu aja Mas Gibran, jauh-jauh dari Solo,” kata pembawa acara. Kontestasi pilpres bukan pentas lucu-lucuan. Rakyat ingin mendengarkan apa-apa yang akan dilakukan sekiranya seorang capres-cawapres terpilih menjadi prsiden. Ingat, ini seleksi atau pemilihan orang yang akan memimpin negara sangat besar dengan kompleksitas yang tinggi. Karena itu, kapabilitas yang berkapasitas besar plus integritas adalah persyaratan mutlak. Harga mati. Tidak bisa dikompromikan. Tipu gorong-gorong tidak boleh lagi terjadi. Cukuplah sekali kecelakaan itu. Yang masih berbekas sampai sekarang.[]

Pemakzulan Itu Sebelum Pilpres

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEMANGAT pemakzulan Jokowi semakin menggelora. Meski Pilpres telah memasuki tahap kampanye dimana agenda debat Capres perdana baru saja dilaksanakan, namun kekhawatiran akan brutalnya cawe-cawe Jokowi sebagai Presiden untuk sukses pasangan anaknya menyebabkan pemakzulan tetap menjadi isu dan opsi. Narasinya Pemilu tanpa Jokowi.  Menarik analisis Eep Saefulloh Fatah dalam salah satu acara di Bandung yang menyatakan bahwa terdapat empat krisis pemerintahan Jokowi yaitu krisis moral, krisis politik, krisis kebijakan, dan krisis elektoral. Satu bonus menurutnya adalah krisis konstitusional. Mengingat krisis yang bersifat multi dimensional itu maka Eep Fatah mulai bersemangat melakukan perlawanan atau berjuang untuk \"mengalahkan Jokowi\". Makzulkan Jokowi.  Hanya saja Eep skeptis bahwa pemakzulan dapat dilakukan sebelum Pilpres 14 Februari 2024. Bukan soal waktu pendek yang menjadi alasan skeptisme melainkan faktor substansial yang menurut Eep ada dua hal, yaitu :  Pertama partai-partai politik khawatir pemakzulan akan mengganggu pentahapan Pemilu sehingga jika terjadi penundaan maka Jokowi memperpanjang kekuasaan.  Kedua, terjadi anarkisme yang menyebabkan keluarnya dekrit \"darurat sipil\" yang justru akan memperkuat kedudukan Jokowi sebagai Presiden.  Eep ujungnya menyatakan bahwa Jokowi akan dimakzulkan sebelum habisnya masa jabatan 20 Oktober 2024. Ia juga masih percaya dalam Pilpres Prabowo-Gibran \"bisa dikalahkan\". Ini menurutnya sebagai akibat dari krisis elektoral.  Sebenarnya agak kabur pandangan antara Prabowo Gibran sebagai representasi Jokowi yang \"bisa dikalahkan\" dengan pemakzulan sebelum 20 Oktober 2024. Jika Prabowo Gibran memang kalah ya buat apa Jokowi harus dimakzulkan lagi ? Eep tidak mengaitkan dengan kemungkinan curang Jokowi.  Pemakzulan harus dilakukan sebelum Pilpres 2024 karena: Pertama, agar terhindar dari Pilpres curang yang dimainkan Jokowi demi sukses Prabowo Gibran. Semua \"elemen negara\" mampu dikendalikan oleh Presiden termasuk gelontoran uang haram para pengusaha.  Kedua, mencegah keterpilihan dari kelanjutan rezim Jokowi yang rusak di berbagai bidang baik  ekonomi, politik, hukum maupun agama. KKN dipastikan akan semakin merajalela. Warisan buruk rezim Jokowi sulit untuk diubah oleh pelanjut.  Ketiga, pemakzulan segera adalah awal pembebasan elemen politik, termasuk partai politik, dari penyanderaan Istana. Budaya politik sandera harus ditumpas. Pemakzulan Jokowi lebih cepat adalah deklarasi kemerdekaan. Keempat, pemakzulan sebelum Pilpres meringankan beban dan tanggung jawab Presiden terpilih. Apalagi jika Jokowi diproses hukum dan dipenjara. Presiden hasil Pemilu dapat memimpin rekonstruksi bangsa dengan lebih leluasa.  Kelima, pemulihan kedaulatan rakyat dapat ditata lebih dini. Pilpres adalah awal pengokohan fondasi untuk arah kiblat yang telah diperbaiki. Rakyat menggeliat. Spirit untuk kembali ke UUD 1945 asli dapat direalisasikan.  Bahwa pemakzulan sebelum Pilpres dapat memicu konflik dan anarkisme ternyata tidak memiliki fakta empirik. Peristiwa \"pemakzulan\" Soekarno dan Suharto melalui \"people power\" tidak menciptakan darurat sipil. Tidak ada perpanjangan jabatan dengan konsepsi darurat sipil tersebut. Soekarno diturunkan oleh MPRS dan Soeharto mengundurkan diri.  Pemakzulan yang dilakukan pasca Pilpres adalah keterlambatan. Menunggu prediksi curang Pilpres terbukti dahulu justru membuka konflik dahsyat yang terjadi akibat pro kontra hasil Pilpres. Chaos dan anarkisme terbuka selama Jokowi masih memimpin demokrasi yang termanipulasi.  Mengalahkan Jokowi bukan pasca Pilpres tetapi sebelumnya. Indonesia aman dan damai serta selamat jika Jokowi makzul sebelum 14 Februari 2024. Pemilu itu harus tanpa Jokowi.  Konstitusi telah memanggil rakyat untuk tampil lebih peduli dan berani. Memerdekakan negeri dari penjajahan para pengkhianat demokrasi. Mereka memang harus dibasmi. (*)   Bandung, 15 Desember 2023

Demokrasi Harimau dan Konstitusi Ular

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies LAWAN gerakan perubahan yang sesungguhnya ialah kecurangan. Kecurangan yang menumpang pada politik uang, sembako dan survey serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Uang bukan hanya sebagai alat tukar barang. Lebih dari itu uang juga telah menjadi alat tukar jabatan. Bahkan uang juga menjadi alat tukar yang murah bagi suara dan kehormatan. Banyak yang memiliki kesadaran akan nilai-nilai, namun tak sedikit pula yang  mengidamkan material, terpaksa atau sadar menukar harapan dan masa depannya hanya dengan uang.  Demi uang yang tak seberapa, untuk sembako yang sesaat, karena survey yang menyesatkan, tak lagi tekad  dan kuat menyongsong perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Pola pikir dan mentalitas yang demikian menjadi rahim subur bagi tumbuh-kembangnya janin kecurangan dalam sistem demokrasi yang kapitalistik dan transaksional, juga konstitusi yang manipulatif. Satu-satunya kepastian adanya pelaksanaan  pemilu dan pilpres 2024 adalah kecurangan. Maka semua instrumen yang ada mulai dari lembaga penyelenggara, pengawas, persyaratan,  tahapan agenda pemilu dan pilpres sampai pelaksanaan dan hasilnya, hanya menjadi  integrasi kecurangan. Orang, institusi, program dan kerjanya dipastikan diselimuti kecurangan. Mengapa begitu skeptis dan apriori menilai pemilu dan pilpres 2024, bahkan sebelum semua itu dilaksanakan?. Jawabannya sederhana, ada aspek historis dan empiris. Paling antar pemilu dan pilpres 2019, kecurangan begitu telanjang hingga tampak  tetesan   darah dan nyawa yang melayang. Puncaknya melahirkan prahara yang bersemayam dalam kepemimpinan nasional yang buas. Pemilu dan pilpres 2019 bagaikan orkestrasi kejahatan mafia berlabel negara. Pesta demokrasi dengan busana konstitusi yang mahal dan eksklusif,  telah menjadi industri dengan produk kejahatan negara yang legal dan formal. Legislatif, eksekutif dan yudikatif dipenuhi sekumpulan setengah manusia setengah binatang. Menjadi hewan pemangsa berwujud manusia, memburu harta dan jabatan sembari memangsa siapapun yang lemah. Kini, supremasi pilpres 2019 akan diwariskan pada pilpres 2024. Kecurangan yang terstruktur, sistematik dan masif, terus menggejala. Gerombolan para elit jalang itu, tentulah tidak semua yang mewakili rakyat. Ada yang tetap menjadi manusia, ada yang telah menjadi binatang dan ada pula yang menjadi percampuran keduanya. Amanah dan penghianatan terus bertarung, meskipun keganasan yang selalu tampil sebagai pemenang. Lihatlah kebinatangan yang begitu dominan, mewujud KKN dan oligarki hingga politik dinasti. Metamorfosisnya pada eksploitasi bangsa atas bangsa dan eksploitasi manusia atas manusia.  Bagi segelintir orang dan kelompok, harta dan jabatan hanya untuk eskalatif kepuasannya. Bagi yang banyak namun tak berdaya  dan terpinggirkan,  mereka hanya sekadar bertahan dari lapar dan kematian. Kedua habitat yang sama namun berbeda tabiat itu, menjadi pelaku dan korban dari demokrasi. Juga tak luput sebagai subyek dan obyek konstitusi.  Sayangnya pergulatan itu tak bisa terhindar dari konflik dan peperangan, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Memangsa atau dimangsa, menjadi hukum rimba dari geliat demokrasi harimau dan konstitusi ular. Keyakinan dan nilai-nilai yang diagungkan sekaligus berpotensi menjerumuskan dan bukan tidak mungkin mematikan. Demokrasi dan konstitusi kerap dipuja dan menjadi tuntunan, betapapun penderitaan dan kesengsaraan menjadi alat tukarnya. (*)

Pendukung AMIN Dibuat Kagum oleh Anies Baswedan dalam Debat Perdana Capres 2024

Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Anggota Dewan Pakar TIMNAS AMIN) DALAM debat perdana Calon Presiden 2024, Anies Baswedan menonjol sebagai figur yang berada di atas angin.  Dengan penuh keyakinan dan pengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies mampu menyampaikan visi dan misinya secara tegas, menjadikannya fokus perhatian. Pemaparannya yang jelas terhadap isu-isu krusial seperti pemberantasan korupsi, kebijakan lingkungan, dan hak asasi manusia mencerminkan pemahaman mendalam akan tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia. Keunggulan Anies Baswedan terlihat dalam kemampuannya merespons pertanyaan dengan argumentasi yang kuat dan solusi yang konkret.  Gaya retorikanya yang tenang dan persuasif memberikan kesan bahwa ia memiliki kontrol penuh terhadap materi debat. Dalam suasana politik yang penuh dinamika, Anies berhasil mempertahankan diri dan menyampaikan pesan-pesan kunci dengan jelas, menjadikannya calon yang dinilai berada di atas angin dalam perhelatan debat capres 2024 ini. Anies Menampilkan Kenyataan yang Menyedihkan tentang Penegakan Hukum Dalam momentum debat capres 2024, Anies Baswedan menampilkan dirinya sebagai sosok yang berkomitmen untuk mengembalikan Indonesia kepada prinsip-prinsip negara hukum.  Dalam pidatonya, Anies dengan tegas menyampaikan pandangan bahwa hukum harus menjadi rujukan utama, memastikan keadilan, memberikan manfaat, dan memberikan kepastian kepada semua warga negara. Dengan bahasa yang lugas dan tegas, Anies mencerminkan ketegasan dan keyakinannya dalam memegang teguh prinsip negara hukum. Anies tidak hanya menyoroti tantangan dalam pemerintahan saat ini, tetapi juga menekankan perlunya perubahan yang mendalam. Dia mempertanyakan praktik-praktik yang mengarah pada penekukan aturan demi kepentingan kelompok tertentu yang sedang memegang kekuasaan.  Dengan lantang, Anies menyatakan bahwa perubahan ini harus dilakukan untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Selain itu, Anies turut mengangkat isu-isu sosial yang melibatkan generasi muda, terutama milenial dan Generasi Z. Dia memberikan apresiasi kepada mereka yang peduli pada masalah-masalah sosial, meskipun seringkali dihadapi dengan kekerasan dan hambatan. Pidato Anies mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk mengkritik pemerintah, terutama dari kalangan generasi muda. Dalam menyoroti peristiwa-peristiwa kontroversial, seperti kasus kekerasan terhadap Ibu Mega Suryani Dewi, Anies memberikan suara untuk yang tidak terdengar. Ia menekankan urgensi perubahan dalam menanggapi kasus-kasus serius yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari pihak berwenang. Dalam pidato Anies Baswedan, ia juga mengangkat kasus Harun Arrasyid, seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 yang tewas dalam protes hasil pemilu. Anies menyampaikan keprihatinan dan mendedikasikan perhatiannya pada kasus ini, mengkritik ketidakjelasan yang masih mengelilingi kematian Harun Arrasyid sampai dengan hari ini. Dengan memberikan tempat dalam pidatonya untuk membahas kasus Harun Arrasyid, Anies menunjukkan kepekaannya terhadap isu-isu keadilan dan hak asasi manusia.  Ia menegaskan pentingnya menyelesaikan kasus-kasus serius, termasuk ketidakjelasan yang terjadi dalam kasus Harun Arrasyid, sebagai bagian dari perjuangan untuk menjaga martabat dan marwah kehidupan bernegara. Pendekatan ini juga mencerminkan komitmen Anies Baswedan untuk mendedikasikan perhatiannya pada isu-isu yang mungkin terabaikan atau tidak mendapat cukup perhatian dari pihak berwenang. Dengan membawa nama Harun Arrasyid dalam pidatonya, Anies memberikan suara kepada yang tidak terdengar, menyuarakan keadilan bagi korban, dan menegaskan kembali pentingnya penegakan hukum yang adil di Indonesia. Pendekatan Anies yang berfokus pada prinsip negara hukum, keadilan, dan partisipasi aktif generasi muda menggambarkan komitmennya untuk menciptakan perubahan positif dalam kepemimpinan. Dengan menyampaikan visi misinya secara jelas dan lugas, Anies Baswedan mampu meraih dukungan dan apresiasi dari sebagian besar pendengar debat capres tersebut. Statement Menohok Anies Baswedan tentang Konsistensi Oposisi sebagai Posisi Terhormat Dalam debat capres 2024 tersebut Prabowo sempat mengungkit buku lama tentang dukungannya sebagai oposisi dalam pilkada DKI Jakarta dan memenangkan Anies Baswedan. Tapi Anies Baswedan mampu mematahkan argumen tentang pentingnya oposisi dengan kebijaksanaan yang tajam.  Dengan penuh keyakinan, Anies menyatakan bahwa di dalam sistem demokrasi, sebuah pemerintahan yang kuat dan efektif harus mampu menerima kritik, baik dari oposisi maupun masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kritik dari oposisi merupakan instrumen penting untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan perbaikan dalam kepemimpinan.  Anies berhasil membuktikan bahwa pemimpin yang dapat menerima kritik adalah pemimpin yang mampu tumbuh dan menghadapi berbagai tantangan dengan bijaksana, memperkuat citra kepemimpinannya di hadapan pemilih. Selain itu, Anies Baswedan juga sukses menyoroti ketidak konsistenan Prabowo Subianto dalam barisan oposisi, terutama terkait dengan isu bisnis.  Dengan argumen yang terstruktur, Anies menunjukkan bahwa konsistensi dalam sikap dan keputusan bisnis sangat penting bagi seorang pemimpin. Ia menyoroti bahwa keberlanjutan dan konsistensi dalam bisnis mencerminkan kemampuan pemimpin untuk membuat keputusan yang tepat dan memahami dinamika ekonomi.  Dengan pematahan argumen ini, Anies Baswedan berhasil menggambarkan dirinya sebagai calon yang mampu menilai kritis dan menghadapi tantangan kompleks dalam perjalanan politik Indonesia. Prabowo tidak Cukup Kuat untuk Menyudutkan Anies Baswedan Terkait Polusi DKI Jakarta Dalam menghadapi bantahan Prabowo Subianto mengenai isu polusi di Jakarta, Anies Baswedan memberikan tanggapan yang terfokus pada fakta dan data yang mendukung kebijakan dan tindakan pemerintahannya.  Anies menyatakan bahwa pemantauan polusi udara di Jakarta dilakukan secara intensif dengan menggunakan alat pemantau kualitas udara. Ia mengklarifikasi bahwa ketika polusi berasal dari dalam kota, Jakarta secara konsisten melaporkan indeks polusi yang tinggi, sementara pada saat polusi berasal dari luar Jakarta, indeks polusi menurun.  Anies menekankan bahwa ini adalah langkah-langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah polusi dengan memanfaatkan data dan teknologi. Anies Baswedan juga mencatat bahwa pemerintahannya telah menerapkan sejumlah langkah untuk mengendalikan emisi dari kendaraan bermotor, termasuk pengujian emisi yang wajib. Selain itu, upaya elektrifikasi dan konversi kendaraan umum juga telah diterapkan untuk mengurangi dampak polusi udara.  Anies memberikan gambaran bahwa angka pengguna kendaraan umum yang ramah lingkungan telah meningkat dari 350.000 per hari menjadi 1 juta per hari. Dengan menggunakan data dan fakta tersebut, Anies Baswedan berusaha membantah pandangan bahwa pemerintahannya tidak berhasil mengatasi polusi di Jakarta dan menekankan pentingnya langkah-langkah konkret yang diambil untuk mencapai perubahan yang positif. Dalam tanggapannya, Anies Baswedan juga menyuarakan komitmen untuk terus menjalankan program pengendalian emisi dan penanganan polusi. Ia mencatat bahwa langkah-langkah tersebut perlu diterapkan bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di wilayah sekitarnya.  Dengan demikian, Anies Baswedan berhasil membantah pandangan Prabowo Subianto dengan menyampaikan bukti nyata dan data yang mendukung efektivitas langkah-langkah yang diambil dalam mengatasi masalah polusi di Jakarta. Terkait Isu Putusan MK, Anies Berkomentar tentang Ordal (Orang Dalam) Anies Baswedan memberikan tanggapan terkait fenomena \"ordal\" yang dianggapnya menyebalkan di seluruh Indonesia. Menurut Anies, fenomena ordal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti dalam penerimaan kesebelasan, pendaftaran sekolah, pembelian tiket konser, dan sebagainya.  Anies menyebutkan bahwa fenomena ordal ini membuat meritokrasi tidak berjalan dengan baik dan mengakibatkan hilangnya etika. Anies Baswedan memberikan contoh kasus di mana guru-guru di suatu tempat mengalami pengangkatan berdasarkan ordal. Menurutnya, tanpa adanya ordal, seseorang tidak bisa diangkat menjadi guru.  Anies mengungkapkan bahwa atasan di daerah tersebut bahkan menyatakan bahwa di Jakarta pun menggunakan ordal, sehingga mengajukan pertanyaan mengapa mereka di daerah tersebut tidak boleh menggunakan ordal. Tanggapan Anies Baswedan mengindikasikan keprihatinannya terhadap fenomena ordal yang dianggapnya merusak tatanan dan meritokrasi, serta mengakibatkan hilangnya etika dalam berbagai proses di masyarakat. Pernyataan Anies ini di bantah oleh Prabowo bahwa tidak ada kaitannya dengan posisi pasangannya, dan putusan MK tersebut tidak bisa dirubah! Tanggapan telak Anies tentang IKN yang Diipersoalkan Ganjar Pranowo Dalam debat capres 2024, Anies Baswedan berhasil memberikan bantahan dengan argumentasi yang baik terhadap IKN yang dipersoalkan oleh Ganjar Pranowo. Ganjar mempertanyakan manfaat IKN sebagai langkah pemarataan yang Indonesia sentris. Anies menjawab bahwa IKN bukan solusi untuk mengatasi masalah Jakarta, seperti kemacetan, polusi, dan kepadatan penduduk. Ia berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut harus diselesaikan di Jakarta, bukan dengan memindahkan ibu kota. Anies juga mempertanyakan urgensi pembangunan IKN. Ia menilai bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi, seperti pembangunan sekolah, infrastruktur, dan pupuk. Berikut adalah beberapa argumentasi Anies yang dapat menjadi dasar bantahannya terhadap IKN: IKN bukan Solusi untuk Masalah Jakarta Anies berpendapat bahwa IKN hanya akan memindahkan masalah Jakarta, bukan menyelesaikannya. Ia mengatakan bahwa kontribusi aparat sipil negara (ASN) terhadap kemacetan di Jakarta hanya 4-7%. Dengan demikian, memindahkan ASN ke IKN tidak akan mengurangi kemacetan secara signifikan. Selain itu, Anies juga mengatakan bahwa polusi dan kepadatan penduduk di Jakarta tidak akan berkurang dengan memindahkan ibu kota. Hal ini karena bisnis dan keluarga ASN masih akan tetap tinggal di Jakarta. Ada Kebutuhan-kebutuhan yang Lebih Mendesak Anies berpendapat bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi, seperti pembangunan sekolah, infrastruktur, dan pupuk. Ia mengatakan bahwa pembangunan IKN hanya akan menghabiskan anggaran yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Anies juga mengatakan bahwa pembangunan IKN tidak memberikan manfaat langsung bagi rakyat. Ia mengatakan bahwa IKN hanya akan menjadi tempat kerja bagi ASN, bukan pusat perekonomian. Bantahan Anies terhadap IKN dapat diterima oleh publik karena argumentasinya yang kuat dan logis. Anies berhasil menunjukkan bahwa IKN bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah Jakarta, dan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi. Dari debat Capres 2024 perdana tersebut, Anies Baswedan tampaknya berhasil menunjukkan performa yang unggul dengan menyajikan argumen yang berisi dan terfokus. Melalui jawaban-jawabannya yang mendalam, Anies mampu merinci pemikiran dan strategi penanganan berbagai isu dengan baik.  Argumentasinya yang jelas dan on point memberikan gambaran bahwa Anies memiliki pemahaman mendalam terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara. Dalam berdebat, Anies Baswedan menunjukkan kepiawaian dalam merespons pertanyaan dan memberikan solusi konkret dan empiris.  Performa unggul Anies Baswedan dalam debat Capres 2024 menegaskan bahwa ia memiliki kapabilitas dan kesiapan untuk memimpin negara dengan visi yang jelas dan terukur. (*)

Abaikan Pelanggaran Etik Paman MK, Prabowo Capres “Opportunist”

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  KALAU kriteria penilaian debat capres hanya dari sisi patriotisme, maka Pak Prabowo Subianto-lah orangnya. Beliau berapi-api. Antara lain beliau mengatakan, “Saya sudah siap mati untuk negara ini.” Ini sangat patriotis. Tapi, apakah memang murni siap mati untuk negara? Tunggu dulu. Sebab, secara jujur Pak Prabowo menegaskan bahwa dia ingin berkuasa karena selama 20 tahun tanpa kekuasaan menyebabkan bisnis dia tak bisa jalan. Pantas diapresiasi pengakuan yang tulus ini. Ternyata, Pak Prabowo bolak-balik ikut pilpres karena ingin sekali berkuasa untuk menyuburkan kepetingan bisnisnya. Jadi, “Saya siap mati untuk negara ini” artinya dia tak siap mati sebelum bisnisnya hidup kembali. Maaf kepada para “dyie hard” Pak Prabowo. Indonesia tak butuh Bapak ini. Beliau 99% akan mendahului kepentingan diri sendiri dan oligarki bisnis. Dia bergabung ke Jokowi karena “desperate” alias kehilangan harapan untuk menjadi presiden. Prabowo berharap jalan menuju Istana akan terbuka dengan mengabdi di kabinet Jokowi. Harus diakui, memang ada peluang Pak Prabowo. Setahun yang lalu, Jokowi membuat Prabowo berbunga-bunga. Ada janji setengah hati Jokowi bahwa “kali ini giliran Pak Prabowo”. Anda masih ingat apa yang dilakukan Jokowi setelah mengucapkan janji itu? Pasti ingatlah. Dia tetap menunjukkan preferensinya kepada Ganjar Pranowo. Bukan kepada Prabowo. Meskipun Pak Menhan hari-hari memuja-muji Jokowi. Pada saat Jokowi menggadang-gadang Ganjar, kubu PDIP malah membusukkan dia. Sampai Jokowi hilang harapan pada “rambut putih itu memikirkan rakyat”. Setelah itu, Ganjar dirangkul dan dielus-elus kembali oleh Bu Megawati. Kemudian Bu Ketum mendeklarasikan Ganjar sebagai capres PDIP. Setelah itu Jokowi kembali intensif dengan Pak Prabowo. Dan menjadi sangat serius. Jokowi melakukan intervensi alias cawe-cawe. Sampai akhirnya Gibran Rakabuming dibukakan pintu oleh Paman Usman yang pegang kuasa di Mahkamah Keluarga (MK). Pasal batas usia 40 capres-cawapres dirombak. “Minimal berusia 40 dan pernah berpengalaman sebagai kepala daerah,” bunyi revisi pasal 169 UU No. 7/2017. Prabowo dipaksa menerima Gibran sebagai cawapres. Kabarnya, Pak Prabowo tidak sepenuh hati. Tapi, apa daya. Tak bisa ditolak. Belakangan, Prabowo malah senang bersama Gibran. Sebab, ayahanda sangat serius untuk menjadikan dia wapres. Dan para pengamat mengatakan, Jokowi tahu caranya. Dia sudah berpengalaman merebut kemenangan meskipun orang lain menderita. Dari sebelumnya tak menerima Gibran, Prabowo sekarang menikmati langkah Jokowi menempatkan anaknya sebagai cawapres. Prabowo juga menikmati ocehan Gibran. “Tenang Pak Prabowo. Saya sudah ada di sini,” kata ponakan Paman bagaikan boss menenangkan anak buahnya. Sekarang, bagaimana Anda memaknai suasana senang Prabowo bersama Gibran? Sudah pasti Pak Prabowo merasa ini kesempatan besar untuk menjadi presiden. Ada dukungan kuat dan all-out dari Jokowi. Dalam bahasa seberang, “kesempatan” artinya “opportunity”. Dan orang yang mengambil kesempatan disebut “opportunist”. Nah, apakah itu berarti Pak Prabowo seorang “opportunist”? Sekali lagi, dalam arti “pengambil kesempatan”, ya memang disebut “opportunist”. Yang tidak enaknya, “opportunist” itu bisa juga mencakup makna non-literal. Dalam konteks sosial-politik, “opportunist” adalah sifat atau karakter yang tercela. Seseorang disebut “opportunist” ketika dia melakukan langkah-langkah yang menguntungkan dirinya sendiri. Orang sering juga menyebut “opportunist” dalam makna mencari kesempatan dalam kesempitan. Eksploitatif. Tidak ada cerita moral. Nah, jika dikaitkan dengan putusan MK yang membuka jalan untuk Gibran ikut pilpres, maka “opportunist” sangat dekat dengan makna eksploitatif itu. Dari perspektif ini, Pak Prabowo bisa disebut “opportunist”. Kenapa? Karena MKMK memutuskan ada pelanggaran etik berat. Prabowo jalan terus. Sekarang, sudikah Anda dipimpin oleh “opportunist” yang mengabaikan etik dan prinsip moral?[]

Gemoy Jadi Tak Bernyawa, Terlepas Begitu Saja

Oleh: Ady Amar,  Kolumnis GEMOY memang tak bernyawa. Meski sebelumnya diberikan nafas buatan. Jadi gemoy-gemoyan, yang itu tentu tak sebenarnya. Gemoy hanyalah semacam topeng yang disematkan pada Prabowo Subianto--capres yang bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka. Topeng itu, Selasa malam (12 Desember) dibukanya, sekalian nafas buatan pun dicabutnya. Tak ada niat sebelumnya. Dilepas begitu saja. Ternganga melihat adegan itu, meski tak sampai terkaget. Topeng gemoy dibukanya di hadapan publik luas, tanpa disadarinya, itu saat Debat Capres Perdana. Topeng dibuka tentu bukan karena risih dan resah memakainya, karena itu bukan kepribadiannya. Bukan pula tersebab gemoy pakai goyangan segala, itu seolah menyiksanya--meski Prabowo tampak asyik menikmati jogetannya. Semua dilakoni demi jabatan prestisius sebagai presiden yang dikejarnya tanpa lelah. Goyang gemoy itu berkebalikan dengan sikap temperamental, yang itu kepribadian sejatinya seorang Prabowo. Goyang gemoy sekadar pencitraan, satu cara menutup kekurangan yang dipunya. Sah-sah saja itu dilakukan, ikhtiar memoles diri dengan tak sebenarnya. Saat Debat Capres itu, gemoy tak tampak lagi jadi topeng Prabowo. Dibukanya terang benderang. Prabowo tampil dengan yang sebenarnya, yang di sana-sini dimunculkan sikap temperamental-emosional. Ciri khas yang melekat pada dirinya. Mencitrakan diri gemoy-gemoyan, meski coba dikemas sedemikian rupa, tak mampu bisa bertahan lama. Aurat yang dikemas yang coba ditutupinya, dan yang menghabiskan nilai nominal rupiah tidak kecil, itu dalam sekejap bisa terbuka terang benderang. Skenario gemoy-gemoyan yang dimainkan menghadapi pilpres menjadi berantakan. Goyang gemoy diikhtiarkan mampu menyihir kelompok milenial dan Gen Z untuk menutup sikap temperamental yang dimiliki. Berharap bisa tertutup oleh goyang gemoy, yang mengasyikkan generasi muda khususnya. Menyasar generasi yang buta sejarah politik masa lalu--rekam jejak tidak mengenakkan--yang sebisanya ditutup dengan dimunculkan suasana riang gembira. Perwatakan Prabowo yang temperamental memang perlu dipoles. Mengubah perwatakan bukanlah perkara mudah, jika tidak mau disebut sebagai hal mustahil. Apalagi jika lakon itu dimainkan dalam durasi waktu panjang, rasanya tak mungkin. Sebab jika tersentuh sedikit \"syaraf\" kemarahannya, maka watak asli akan muncul tanpa disadarinya. Itulah yang dipertontonkan Prabowo Subianto, calon capres, yang mengikuti kontestasi Pilpres kali ketiganya. Saat pertanyaan dari Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo--2 capres lain yang berkompetisi dalam Pilpres 2024--sedikit menyinggung sensitivitas, yang sebenarnya itu hal biasa, maka emosi pun tersulut. Topeng gemoy yang diikhtiarkan menutup karakter keras seorang Prabowo, seketika itu dicampakkannya. Maka, milenial dan Gen Z yang diharap bisa menyumbang suara besar dari kelompok ini untuk kemenangannya, rasanya sulit bisa didapatnya. Sulit bisa melihat lagi Prabowo sebagai seorang kakek yang menggemaskan, yang tampak justru yang sebaliknya. Debat Capres akan dijalaninya 2 kali lagi, dan jika sikap temperamental terus Prabowo pertontonkan, maka milenial dan Gen Z yang diharap sebagai penyumbang terbesar elektoral, mustahil bisa didapatkannya. Impian menjadi presiden dari waktu ke waktu, itu hanyalah isapan jempol belaka. Dan, gagal maneh... gagal maneh.**

Prabowo Emosional, Ganjar Datar dan Anies Bernas

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  GESTUR tubuh yang memasang kuda-kuda sigap seakan defensif dan  menantang, seperti berusaha menahan dan menutupi amarah Prabowo. Begitupun dengan Ganjar yang main aman meski menyentil Prabowo. Keduanya tetap tersandera oleh citra buruk kepemimpinannya selama ini. Baik Prabowo maupun Ganjar, sama-sama miskin moral, berkebutuhan khusus pada nilai-nilai dan etika. Debat capres perdana yang diselenggarakan tanggal 12 Desember 2023 oleh KPU RI telah mengusik perhatian publik. Tiga capres mengadu visi sembari menguji kapasitas dan integritas masing-masing. Ada capres yang menguasai forum,  ada juga yang kehilangan momentum. Prabowo tampil tegang dan terlihat gagap. Ganjar dinilai terlalu  hati-hati dan datar. Hanya Anies yang perform, tenang dan menguasai materi di seputar perdebatan. Prabowo satu-satunya capres yang terlihat meledak-ledak dan emosional. Prabowo seperti menanggung beban sejarah masa lalu, baik karir militer dan kehidupan rumah tangganya maupun karir  politiknya kekinian. Berada dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dianggap gagal, mungkin  ini menjadi faktor Prabowo tampil tak lepas. Langganan capres dalam beberapa pilpres itu terasa dalam tekanan psikis, faktor usia lanjut dan kondisi kesehatan yang semakin menurun juga memengaruhi penampilannya. Kejahatan HAM berat dan kejahatan lingkungan dalam proyek Food Estate seperti yang dituding PDIP, serta kecenderungan sifat temperamen dan otoriter dalam  kehidupan pribadinya, terus membayangi eksistensi Prabowo.  Prabowo mulai reaksioner saat Ganjar melontarkan pertanyaan soal kejahatan HAM kepadanya. Begitu juga ketika Anies menyinggung kehidupan demokrasi, mantan menantu Soeharto dan Danjen Kopassus yang rumornya pernah dibawa ke pengadilan militer dan dipecat secara tak terhormat itu,  terlihat tensi tinggi dan mulai menyerang pribadi Anies. Prabowo usai dengan angkuhnya menyinggung demokrasi dan perannya saat Anies sebagai gunernur Jakarta. Seketika langsung lemas terkulai dan diam seribu bahasa, saat Anies mengingatkan Prabowo yang tak tahan menjadi oposisi  karena kepentingan bisnis. Prabowo seperti kena mental, tak cukup intelektual dan miskin moral. Ia larut dan terseret dalam keakuan dan sifat berkuasanya terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Sementara Ganjar, berusaha menghindar pembahasan teknis dan menghindari pembahasan terkait kasuistik. Sekonyong-monyong Ganjar sedang menyampaikan dongeng, bukan bicara negara dan kepemimpinan nasional. Berulang kali menyampaikan diksi afirmasi, seakan-akan persoalan bangsa hanya bisa diselesaikan dengan konsep afirmasi dalam metode pembelajaran di sekolah. Ganjar bagai kekeringan gagasan, terlalu umum dalam pembahasan dan seperti sedang curcol, meminjam istilah gen-Z sekarang. Ganjar sepertinya cerdik, untuk menghindari perdebatan sengit soal rekam jejaknya yang buruk karena kasus E-KTP, Wadas dll. yang begitu kuat menempel sosoknya. Boleh jadi untuk menghindari itu, Ganjar lebih sering bersolek di media sosial, membekali diri dengan pencitraan dan terkesan main-main dan gampangan. Hanya Anies yang begitu rigid dan integral holistik membahas masalah-masalah prinsip dan mendasar. Walaupun pembahasan negara begitu terbatas  waktunya dalam debat capres. Secara runut Anies berhasil mengupas sekaligus mampu  melakukan refleksi dan evaluasi kehidupan demokrasi dan konstitusi serta penegakan hukum. Salah satu isu utama yang penting dan utama oleh  Anies yang tidak diangkat Ganjar dan Prabowo, adalah masalah keadilan. Hanya Anies yang cerdas dan lugas  membahas apapun produk politik, ekonomi dan hukum itu, harus mendepepankan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, hanya dengan  itulah negara bisa dianggap memiliki keberadaban, bisa mewujudkan persatuan dan  kesejahteraan. Anies juga mengangkat soal korupsi dan penanganannya, termasuk pemiskinan dan perampasan harta pelakunya. Harus ada nilai-nilai dan etika dalam proses penyelenggaraan negara baik dari kalangan pemerintahan  maupun dari pihak oposisi. Pemerintah  dan oposisi sama-sama terhormat. Tegas  Anies sebagai capres yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang membuatnya tampil memesona dan  percaya diri dalam debat capres tersebut. Debat capres awal telah berlangsung, meskipun bukan satu-satunya tolok ukur kepemimpinan, setidaknya forum itu membantu publik mengenal sifat dan karakter seorang capres. Rakyat bisa menilai langsung, apa yang ada dalam pikiran, kata dan tindakan capres saat itu menunjukan kebiasaannya selama ini. Hanya habit baik yang baik maupun buruk yang mampu menentukan siapa capres yang memiliki kualitas dan kuantitas terbaik kepemimpinannya. Rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi sejatinya telah mendahului apa yang dipikirkan, apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan  seorang capres. Tak bisa terbantahkan dan publik yang langsung menilai, Prabowo emosional, Ganjar datar dan Anies yang bernas.  Pencitraan tak akan mampu menyembunyikan fakta, dalam kepemimpinan hanya jiwa yang layak mengemuka. (*)

Bahaya dan Buruknya Demokrasi Manipulatif

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute) DEMOKRASI yang sejatinya berasal dari kata “demos” (suara) dan “cratos” (rakyat) adalah konsepsi bernegara  sebagai antitesa dari sistem monarki absolut dan diktatorian otoriter. Dimana perbedaannya adalah pada pendistribusian kekuasaan. Dalam monarki absolute dan diktatorianisme, kekuasaanya bersifat tunggal, private/elite dan terpusat, namun pada sistem demokrasi pendistribusian kekuasaan itu dibagi dalam tiga rumpun (bidang) yaitu : Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif yang lazim kita sebut dengan Trias Politika. Sedangkan Trias Politika ini, dibentuk berdasarkan proses politik negara yang bersumberkan pada “kehendak mayoritas rakyat” melalui Pemilihan Umum dan proses rekruitmen karier. Dimana sebuah kepemimpinan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan proses politik praktis, dan organisasi negara pelaksanaannya berdasarkan politik negara sesuai amanat konstitusi. Demokrasi sebagai antitesa kekuasaan absolute/private dalam konteks global banyak melahirkan negara berbentuk Republik. Dimana “re” dan “publik” mengisyaratkan bahwa ada kekuasaan yang diberikan kepada “publik/public” bukan lagi “private”. Namun mirisnya, secara faktual empiris, kontestasi dalam proses politik di dalam sebuah negara, kadang kala kalah oleh design kekuatan “invisible hand” yang konsisten selalu ingin menjadi pemegang tunggal kekuatan hegemoni yang dominan dalam mengendalikan dunia global. Alias elit global atau elite minority. Buktinya, banyak negara yang meski sudah puluhan tahun merdeka, ketika menjalankan demokrasi justru menjadi negara “bebek lumpuh”. Kemajuan yang didapatkan, justru terdistribusi hanya pada sekelompok elit semata. Kesejahteraan masyarakat dimana negara seharusnya menjadi “walfare state” (negara kesejahteraan), menjadi jauh dari harapan nyata. Negara di balik menjadi alat instrumen kekuasaan para kelompok elit. Instrumentasi politik demokrasi, melalui proses “social engineering” (rekayasa sosial) yang seharusnya berkedaulatan rakyat dengan mudah berubah menjadi berkedaulatan partai politik. Sedangkan untuk penunjukkan seorang pimpinan partai politik, mesti “berselingkuh” dengan penguasa dan para cukong. Sebagai sponsorshipnya. Tidak saja hanya sampai di situ, para politisi (produk partai politik) yang seharusnya hadir sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat di legislatif, terpaksa harus tunduk dan patuh kepada pimpinan partai politik. Karena pimpinan partai politik mempunyai kewenangan untuk “me-recall” atau melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap kadernya yang duduk di legislatif. Artinya, rumpun antara eksekutif dan legistalitif sudah bukan sebagai mitra “check and balance” lagi, namun sudah berkulindan dalam rumpun kepentingan yang sama. Lalu bagaimana dengan rumpun eksekutif ? Hampir sama nasibnya. Ketika rumpun eksekutif dalam proses rekruitmennya melalui kekuasaan presidensial yang dibuat oleh legislatif, secara perlahan namun pasti, terkontaminasi oleh proses politik pragmatis dan praktis.  Buktinya, seorang Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan secara tunggal dan kolektif para calon Kapolri, Panglima TNI, Kejaksaan Agung, bahkan para Hakim MA dan MK. Dimana, pihak legislatif hanya ibarat stempel kosong karena apapun keputusannya sudah pasti berdasarkan perintah pimpinan partai politiknya. Nah ketika tiga rumpun Trias Politika ini lumpuh, maka demokrasi yang berjalan di sebuah  negara tersebut boleh dikatakan dengan istilah demokrasi manipulatif. Karena kekuasaan suara rakyat hanya termanifestasi dalam bentuk euphoria Pemilu semata, alias jadi objek bukan subjek politik. Bagaimana suara rakyat akan berdaulat pada negara, sedangkan pemerintahannya hanya dikendalikan oleh sekelompok elit politik yang mencengkram kuat masing rumpun Trias Politika sebagai mesin utama demokrasi. Misalnya, seorang Presiden satu kelompok politik dengan pimpinan legislatif dan menguasai mayoritas kursi di dalamnya. Dan dengan kekuasaannya bersekutu untuk menempatkan orang-orang “dalamnya” menjabat di posisi strategis jabatan yudikatif.  Atau lebih konkritnya lagi sebagai contoh yang sedang terjadi saat ini pada negara kita. Ketika Presidennya dengan pimpinan legislatif satu kelompok partai politik, lalu untuk Kapolri dan Panglima TNI nya adalah diambil dari para mantan sespri Presiden, kemudian untuk para hakimnya dari saudara ipar, dan pejabat di kejaksaan agung dan jajarannya adalah hasil penunjukan dari kerabat tokoh partai politik penguasa.  Bagaimana masyarakat dan kekuatan civil society akan percaya integritas penyelenggara pemerintahan hari ini yang dipimpin Joko Widodo ? Ditambah perilaku otoritarianisme antikritik dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, menjadikan gaya kepemimpinan Joko Widodo saat ini mirip fasisme diktatorian. Buktinya, tak terhitung berapa banyak para tokoh, ulama, aktifis yang dipenjarakan secara sewenang-wenang hanya karena perbedaan pendapat dan berasal dari satu kelompok agama tertentu yang kritis pada pemerintahannya. Reformasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh para mahasiswa dan aktifis 1998, saat ini dikangkangi dan dikhianati oleh Joko Widodo bersama keluarganya. Faktanya lagi, permasalahan KKN, anti perbedaan dan krisis kedaulatan akan sumber daya negara semakin parah dan rusak dalam pemerintahan saat ini, menurut para ahli seperti Begawan Ekonomi Rizal Ramli, Faisal Basri, bahkan mantan ketua KPK Agoes Rahardjo. Ini semua terjadi tentu akibat, keberhasilan seorang Joko Widodo bersama antek-anteknya mengkonsolidasi kekuasaan rumpun Trias Politika menjadi tersentralistik kembali di bawah ketiak istana. Ada yang berani melawan ? Maka akan dimutasi dan dibongkar dosa-dosanya terdahulu melalui tangan aparat hukum. Inilah hasil dari sebuah kamuflase negara otokrasi berbaju demokrasi manipulatif. Tampilan seolah berdemokrasi, padahal negara sudah di kuasai oligarkhi melalui para proxy nya. Akan lebih parah lagi dalam hal Pilpres saat ini. Seorang anak Presiden dengan mudah lenggang kangkung menabrak benteng sakral konstitusi, untuk bisa maju sebagai Cawapres.  Belum lagi mutasi besar-besaran di tubuh TNI/Polri, Kementrian, yang tentu saja hal ini wajar menjadi kecurigaan besar bahwa sebuah skenario akan terjadinya intervensi kekuasaan dalam proses Pemilu di tahun 2024 nanti dari sekarang.  Belum lagi dalam hal perekrutan KPU, KPUD, Panwaslu, seluruh Indonesia, plus penunjukan PJ kepala daerah sebanyak 272 di seluruh Indonesia yang tendensius dan juga bertentangan dengan konstitusi serta azas hukum otonomi daerah. Beginilah dampak buruk dari sebuah negara apabila sudah dikuasai oleh sekelompok elit kekusaan yang ambisius dan rakus. Jangan harap akan ada kepentingan rakyat di dalam dada mereka. Kepentingan rakyat hanya jadi bahasa lip service masa kampanye. Rakyat hanya jadi objek pencitraan manipulasi. Solusinya tentu tidak ada selain kembali lagi kepada rakyat itu sendiri. Apakah akan terus diam, dan berdamai dengan penderitaannya ? Apakah tetap diam ketika negara ini sudah sekarat dijarah, dirampok, dijual dengan murah kepada sekelompok elit semata? Atau bersama bangkit berdiri melawan dan bersatu, secara konkrit melalui hak suaranya memilih pemimpin yang jauh dari lingkar kekuasaan hari ini dan senantiasa mengawasi prosesnya,  agar negeri yang indah dan kaya raya ini memang menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi kita, Pancasila dan UUD 1945. InsyaAllah. Jakarta, 13 Desember 2023.

Harun, KM 50 dan Kanjuruhan adalah Palu Godam

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM debat Calon Presiden 12 Desember 2023 di Gedung KPU muncul permasalahan Hak Asasi Manusia. Anies Baswedan mengangkat kasus pelanggaran HAM yang tidak  diusut tuntas diantaranya penyiksaan dan pembunuhan Harun Al Rasyid bocah 15 tahun pada aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu.  Demikian juga pembantaian 6 Syuhada di Km 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek tanggal 7  Desember 2020 dan tewasnya 135 penonton di Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Seluruhnya dilakukan secara brutal oleh aparat rezim Jokowi.  Harun Al Rasyid bukan Harun Masiku yang disembunyikan atau hilang badan akan tetapi remaja yang hilang nyawa disiksa dan ditembak oleh aparat Brimob. Harun Al Rasyid adalah pendukung Prabowo yang kematiannya  sama sekali tidak dipedulikan. Prabowo menikmati kekuasaan sebagai Menhan dan berjoget-joget di tengah kesedihan keluarga Harun.  Enam pengawal HRS yang dibantai aparat juga bagian dari pendukung Prabowo. Ijtima Ulama diinisiasi oleh Habib Rizieq Shihab. Jangankan simpati atas pembantaian tersebut, sedikit komentar pun tidak ada. Sungguh Prabowo menjadi tidak beradab berada di bawah ketiak Jokowi yang dipuja-puji setinggi dewa-dewi.  Kanjuruhan Malang saksi tragedi kebrutalan aparat Brimob yang menembakan gas air mata ke arah penonton. 135 orang tewas sia-sia. Kasus Kanjuruhan adalah pelanggaran HAM penggunaan aparat berlebihan dan tindakan tidak profesional menembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Kebodohan itu menjadi sorotan dan kutukan dunia.  Analisis Kompas TV menempatkan HAM menjadi persoalan yang mengemuka bahkan utama. Pelanggaran HAM lebih tertuju kepada Prabowo. Peristiwa 1998 selalu dipermasalahkan akibat tidak tuntas dalam penanganan. Kasus Harun Al Rasyid dan Km 50 juga menohok Prabowo yang melakukan sikap \"tidak peduli\" bahkan \"membiarkan\". Ketika Anies bersemangat mengangkat pelanggaran HAM lalu Ganjar merespons siap menuntaskan dan Prabowo menanggapi secara normatif dan konservatif, maka hal itu menjadi catatan ke depan tentang bagaimana cara menangani dosa politik rezim Jokowi.  Harun, Km 50 dan Kanjuruhan merupakan palu godam yang siap meremukkan Jokowi, kroni dan penerusnya. Pabowo Gibran akan ikut remuk bila tidak keluar dari lingkaran.  Agenda Pilpres saat ini ternyata bukan hanya berbicara soal penggantian tetapi juga gerakan untuk penghukuman dan pemenjaraan. Terlalu enak jika hanya turun dan diganti, sementara kerakusan, ketidakpedulian, kemunafikan serta kejahatan kemanusian dibiarkan dan dilupakan begitu saja.  Harun, Km 50 dan Kanjuruhan adalah satu dari seribu kejahatan Jokowi dan rezimnya. (*)