OPINI

BNPT Menyebar Teror, Bubarkan Saja

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan USULAN Ketua BNPT Ricko Amelza Dahniel agar seluruh tempat ibadah berada dalam kontrol Pemerintah dinilai berlebihan dan melanggar Konstitusi. Hanya pada rezim Jokowi ada lembaga yang nekad mengusulkan kontrol Pemerintah atas tempat ibadah. Mungkin BNPT berasumsi bahwa tempat ibadah adalah ruang bagi terorisme.  Sungguh keterlaluan dan melecehkan. BNPT mungkin merasa menjadi lembaga strategis yang mampu menentukan. Jika usulannya direspon maka ini adalah bibit dari etatisme atau tirani. Negara yang anti demokrasi dan menginjak-injak hak-hak asasi manusia. Kebebasan beragama diganggu dan secara sistemik dihancurkan.  Jika negara mengontrol tempat ibadah maka rezim ini adalah telah nyata-nyata menjadi komunis. Pancasila hanya pro forma. Agama ditempatkan sebagai musuh yang harus dikalahkan dan dilumpuhkan. Ketika Masjid, Gereja atau tempat ibadah lain dikontrol oleh Pemerintah maka secara tidak langsung Pemerintah telah mengambil tafsir ibadah menurut kemauannya sendiri. Dapat mengatur, menangkap, menutup bahkan mungkin  merekayasa.  Rezim ini munafik. Di satu sisi meminta agar agama dijauhkan dari politik. Melempar ke arah kelompok keagamaan isu politisasi agama, padahal di sisi lain Pemerintah justru yang  melakukan politisasi agama itu. Menuduh aktivis keagamaan radikal, intoleran bahkan teroris, padahal Pemerintah sendiri yang radikal, intoleran dan teroris.  Mulai muncul usulan BNPT agar dibubarkan. Mungkin usulan tersebut ada benarnya karena bagi rakyat atau masyarakat BNPT itu tidak dirasakan manfaatnya bahkan sepertinya memudaratkan. Kontra produktif. Tiga alasan rasional, yaitu  : Pertama, terorisme sebagai isu global sudah mereda bahkan hilang. Terorisme adalah isu politik Barat untuk melumpuhkan dunia Islam. Islamophobia di AS telah dihentikan. AS adalah pimpinan proyek Islamophobia termasuk terorisme. PBB kini turut mencanangkan pelawanan atas gerakan Islamophibia tersebut.  Kedua, terorisme itu kalaupun ada dilakukan oleh kelompok kecil. Tidak sedikit kelompok itupun adalah peliharaan atau \"binaan\" sebagai pelaksanaan proyek terorisme global. Di Indonesia organisasi teroris tidak pernah terjelaskan bahkan aksi-aksi teror dicurigai sebagai drama buatan atau boleh disebut dengan \"artificial terrorism\". Ketiga, ketika korupsi saja yang daya rusaknya bagi bangsa dan negara sangat dahsyat telah bergeser dari \"extra ordinary crime\" menjadi \"ordinary crime\" maka terorisme yang secara empirik tidak terbukti menjadi perusak besar sudah lebih patut untuk menjadi \"ordinary crime\". Karenanya lembaga khusus seperti BNPT tidak diperlukan lagi.  Ketika BNPT mulai kehilangan pekerjaan maka lembaga ini cari-cari kerjaan. Usul pengawasan tempat ibadah dalam konteks \"radicalism\" dan \"terrorism\" tentu akan menyerahkan \"leading sector\" nya kepada BNPT. Nah berapa banyak di Indonesia itu tempat-tempat ibadah ? Sebanyak itulah pekerjaan atau proyek yang dapat dibuat proposalnya.  Sebagaimana KPK yang kini udah menjadi alat kepentingan politik maka BNPT juga kehilangan obyektivitasnya dalam pelaksana tugas. Alih-alih mencegah terorisme justru menjadi penyebar teror bagi rasa tenang masyarakat. BNPT menjadi lembaga yang mengancam dan menakut-nakuti. Rekomendasi pengawasan tempat ibadah adalah bukti salah satu teror itu.  Aparat penegak hukum Kepolisian sudah cukup memadai untuk mampu menanggulangi terorisme di Indonesia. BNPT dan juga Densus menjadi tidak dibutuhkan. Kecuali kita akan melanjutkan dan membudayakan \"artificial terrorism\" atau terorisme buatan. Rakyat merasakan sulit untuk saat ini menemukan adanya \"natural terrorism\"--terorisme alami.  Apalagi hal itu muncul dari tempat-tempat ibadah.  Rasanya mengada-ada saja.  Bandung, 7 September 2023.

Menguak "Aqidah" Politik

Oleh Irawan Santoso Shiddiq  -  Kolumnis “Pra-modern, Raja adalah wakil Tuhan. Modern state, presiden dianggap wakil rakyat. Post modern, pemimpin adalah wakil oligarki.”   King Louis XVI sesosok muda penuh makna. Dia raja Perancis terakhir. Nasibnya digantung di depan penjara Bastille. Perang aqidah membahana berabad-abad sebelumnya. Antara pengikut ‘kehendak Tuhan’ atau ‘kehendak manusia.’ Tahun 1789 itu, revolusi Perancis pecah di Paris. Pengikut ‘kehendak manusia’ memenangkan massa. Mereka melakukan revolusi besar. Robiespierre pemimpin kaum pengusung ‘kehendak manusia.’ Mereka meneriakkan slogan ‘Liberte, Egalite, Fraternite’ di mana-mana. Liberte, merdeka dari urusan ‘kehendak Tuhan.’ Egalite, bermakna keadilan hukum yang harus dibuat berlandas ‘kehendak manusia.’ Fraternite, persaudaraan sesame pengikut ‘kehendak manusia.’ Revolusi Perancis adalah perang antara dua pengikut aliran itu. Tapi kaum pengusung ‘kehendak manusia’ sebagai pemenang.  Robiespierre tentu merujuk kitab sucinya, buku JJ Rousseau. Dia menafsirkan ‘kehendak manusia’ itu sebagai ‘kehendak rakyat.’ Manusia yang berhak menentukan siapa pemimpinnya. Bukan lagi berlandas ‘wakil Tuhan’ yang merujuk pada ‘kehendak Tuhan.’ Pra revolusi itu, Eropa dilanda dogma ‘Vox Rei Vox Dei.’ Suara Raja Suara Tuhan. Ini yang kemudian dikudeta menjadi ‘Vox Populi Vox Dei.” Suara rakyat, suara Tuhan. Dua adagium itu, pertarungan perihal aqidah. Antara pengikut jabariyya melawan qadariyya. Mereka perang betulan di Paris. Tapi Revolusi Perancis itu, pembantaian pengikut ‘kehendak Tuhan’ oleh kaum fanatik pada paham ‘kehendak manusia.’  Raja Louis XVI, simbolisasi pengikut ‘kehendak Tuhan.’ Begitu selepas digantung di depan Bastille, kepalanya dipenggal dan ditenteng sepanjang jalan Paris. Robiespierre berkata, “Inikah wakil Tuhan itu?” Pertanda Raja bukanlah ‘wakil Tuhan.’ Kalimat Robiespierre itu yang ditiru Kemal Attaturk seabad kemudian. Kala menggulingkan Daulah Utsmaniyya dan mengubah menjadi Republik Turki. Landasan semangatnya sama: pengusung ‘kehendak manusia.’ Selepas menggulingkan Sultan Abdul Hamid II sebagai Sultan Utsmaniyya, Attaturk berpidato keras, “Sekarang kehendak siapa yang berkuasa? Kehendak Tuhan atau kehendak saya?” Gemuruh kaum ‘young Turks’ menyambutnya. Mereka para modernis Islam. Kaum yang ingin duduk sejajar dengan kuffar.  Perihal aqidah ini memang tak biasa. Revolusi Perancis jadi ajang persekusi dan eksekusi. Paris banjir darah. Hanya perbedaan tafsir perihal ‘kehendak.’ Pengusung revolusi, tentu pengikut ‘free will.’ Mereka menafsirkan ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Ini bermula dari ajaran filsafat. Robiespierre hanya anak kandung dari ideologi ‘Robiespierre.’ Dan Robiespierre merupakan anak ideologis dari Jean Bodin. Dia pengusung ‘modern state’ bahwa manusia yang berhak menentukan pemimpinnya. Kekuasaan adalah buah dari ‘kehendak manusia.’ Bodin tentu berada dalam satu millah yang sama dengan Montesquei, Machiavelli, sampai Thomas Hobbes. Mereka inilah pengusung aliran ‘politique’ yang berkembang abad pertengahan di Eropa.  Politiue (politik) ini yang bergema dalam sisi kekuasaan. Buah dari ajaran filsafat. Karena Rene Descartes telah mendeklarasikan ‘cogito ergo sum.’ Manusia sebagai subjek yang mengamati. Manusia bukan objek yang diamati. Jadi manusia sebagai penentu. Descartes berkata, “filsafat adalah ajang dimana manusia, Tuhan, alam semesta dan lainnya menjadi ajang penyelidikan manusia.’ Dari sinilah pemisahan antara akal dan wahyu. Karena Cartesian memberi tunjuk ajar, manusia sebagai sentral point atas segalanya. Mereka menafsirkan ‘idea’- Plato kebablasan. Idea itulah sumber utama untuk menentukan siapa yang berhak sebagai penguasa.  Dogma Gereja Roma, yang hidup abad pertengahan, memberi ajaran bahwa kekuasaan adalah wakil Tuhan. Roma sebagai entitas yang berhak menafsirkan kitab suci. Maka, Raja-Raja haruslah yang mendapat restu dan petunjuk dari Roma. Era itulah Gereja Roma menjadi pusat utama kekuasaan. Karena dalam dinamika itu Raja ditentukan. Sehingga adagium ‘the king can do no wrong’ membahana. Perintah Raja, dianggap perintah Tuhan. Tapi berabad-abad, banyak praktek kerajaan yang keluar dari rasionalitas. Disinilah pengusung filsafat masuk menusuk mulai mencari tanya. “Benarkah raja wakil Tuhan? Jika raja salah, apa itu merupakan kehendak Tuhan?”  Serangan perihal aqidah dari John Calvin dan Luthern menjadi mencuat tajam. Otoritas Roma makin terdegradasi perlahan. Massacre de Paris, 1572, menjadi ajang pembantaian awal dua pengikut. Karena Roma memberikan titah tegas, pengikut Calvin, Huguenot, itu dicap sebagai bid’ah. Dan bid’ah dibolehkan dibunuh. King Charles IX, Raja Perancis, mengikut titah itu. Tapi peristiwa itu dijadikan ajang menyingkirkan pesainya. Karena ibunya King Charles, Chaterine de Medicie, terlalu dominan mengendalikan kerajaan. Disitulah bentuk kerajaan yang tak sehat. Karena Raja tak memimpin.   ‘Massacre de Paris’ itulah ajang pembunuhan besar-besaran atas nama aqidah. Dupplesis Mornay, penasehat kerajaan Perancis, mencatatkan dalam dramanya. Peristiwa kelam pembantaian perihal perbedaan cara pandang terhadap Tuhan.  Pasca “Massacre de Paris’ itulah mencuat dua aliran pemikiran. Pengusung “politque” dan pengusung ‘monarchomach’. Ini dua aliran berbeda. Machiavelli dan turunannya tentu lebih memilih bahwa tafsir atas ‘kekuasaan’ harus diteorikan ulang. Tapi kaum Monarchomach tak begitu. Mereka tetap mengusung kekuasaan adalah ‘kehendak Tuhan.’ Tapi mereka anti monarkhi. Tak setuju dengan praktek kerajaan yang berlangsung di Eropa. Mereka juga menolak ‘the king can do no wrong.’  Bagaimana jika raja melakukan kesalahan? Kaum monarchomachen meniru praktek kekuasaan Romawi kuno. Kala Julius Caesar dianggap melakukan corrupt pada Republik Romawi. 29 Senator berkumpul dalam konspirasi. Mereka melakukan pembunuhan Caesar dalam Senat. Itulah jalan Monarchomach. Raja lalim, bisa dipenggal. Raja berbuat salah, bisa diganti. Tapi peranan Senat haruslah dominan. Masa Romawi. Senat bukan diisi sembarang orang. Bukan dilotere, bak era kini. Melainkan Senat haruslah cerdik pandai, alim ulama. Mereka penyambung lidah rakyat. Demokrasi modern, hanya bak “fiction telling” – seperti kata Ian Dallas --, ulama besar dari Eropa. Karena demokrasi modern, bukanlah demokrasi.  Tapi aliran Monarchomach ini kala tenar dengan pengusung ‘politique.’ Teori Bodin, Hobbes, sampai Rousseaou lebih diminati. Karena persolan tafsir ‘kehendak siapa’ ini menjadi membuncah tajam. Serangan filsafat di Eropa, tak bisa dibendung kaum alim ulama Gereja Roma. Mereka sering menyikapinya bukan dengan ilmiah. Gelileo dihukum, Bruno dibakar sampai filosof dikejar-kejar, pertanda itulah akhir dari peradabannya. Era kini berbalik. Pengusung filsafat berubah menjadi anakis.  Ini yang bisa dilihat pasca Revolusi Perancis. Pengikut ‘kehendak manusia’ berubah menjadi anakhisme. People power digunakan menggulingkan titah Kerajaan dan Gereja Roma. Tapi setelah itu, perubahan drastis terjadi. Jika sebelum Revolusi, Eropa terbagi dalam tiga kelas. Kelas pertama, kaum bangsawan dan agamawan. Kelas kedua, kaum borjuis, para baron. Kelas ketiga, kaum proletar. Rakyat.  Pasca revolusi, kelas bangsawan dan agamawan disingkirkan. Kaum borjuis dan para baron mengambil alih. Mereka menjadi strata teratas. Dan kaum proletar, tetap pada kelasnya. Tak ada kelas kedua.  Robiespierre tak menyadari itu. Dikiranya ‘kehendak manusia’ akan menyelesaikan masalah. Pasca dia memenggal kepala Louis XVI, dikiranya dia adalah Pemimpin Republik Perancis. Beberapa tahun dia bertatha, dia dikudeta. Napoleon didapuk menjadi Kaisar baru. Siapa mengkudeta Robiespierre? Mereka-lah kelompok kelas baru: kaum borjuis dan baron. Mereka yang kemudian mengambil alih kekuasaan secara de facto. Para borjuis, berkumpul menentukan Napoleon sebagai Kaisar. Mereka kemudian memberi Napoleon pinjaman uang berbunga sebesar 75 Juta Franc. Itu dianggap utang nasional. Tapi para borjuis itu menuntut hak untuk mengatur ekonomi Perancis baru. Mereka membentuk ‘Bank de France.’ Inilah bank nasional Perancis. Napoleon wajib membayar utang berbunga setiap tahun. Dia Kaisar, tapi tak berkuasa atas keuangan Perancis.  Stendhal, pakar sejarah Inggris berkata, “Penguasa adalah dia yang mengendalikan harta.” Tragedi Napoleon menjadi bukti, dia sebagai Kaisar hanya boneka. Terbukti, beberapa tahun kemudian dia dibuang ke Pulau Elba. Napoleon merana. Nasibnya tak berbeda jauh dengan Robiespierre. Kaisar berganti, Presiden berganti, tapi kekuasaan tetap dipegang kaum borjuis tadi. Merekalah oligarki.  Kekuaan para oligarki ini rampak pasca Perang Dunia II. Mereka mengumpulkan seluruh pemimpin-pemimpin negara. Tak ada namanya negara adidaya. Bretton Wood, 1944, jadi bukti siapa yang bisa memerintah negara-negara. Mereka berkata, “Mulai sekarang kami menerbitkan uang tak ada lagi back up emas.” Itu pertanda kekuasaan oligarkhi tak bisa dibantah. Tak ada satu head of state-pun bisa membantah. “Siapa saja boleh jadi presiden, asal kami yang mencetak uangnya,” kata Rotschild.  Tentu perpanjangan tangan kaum oligarkhi tadi adalah system rule. Mereka membuat system yang harus dipatuhi. Di situlah mereka berlindung pada positivism. Ini aliran hukum untuk menterjemahkan “kehendak manusia.” Dan mereka memanfaatkan ‘kehendak manusia’ dalam politik. Karena dengan begitu, mereka bisa menentukan sesiapa presiden yang dikehendaki.  Demokrasi modern, mereka berperan bak ‘ahlul halli wal aqdi.’ Yang menentukan sesiapa pemimpin di sebuah negara. Di sinilah esoterisme terjadi. Tentu ini buah adagium ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Karena percaya pada doktrin itu, seolah manusia memiliki ‘kehendak bebas.’ Termasuk ‘kehendak bebas’ dalam memilih pemimpin. Dari ‘kehendak bebas’ itulah oligarki telah mengunci dalam sistem-nya.  Tentu jalan keluar dari ‘lubang biyawak’ ini bukan mengikutinya. Melainkan keluar dari lubang. Islam memiliki pranata lengkap perihalnya. Bagaimana memilih pemimpin, ditentukan kaum alim ulama. Ahlul Halli wal aqdi. Wali Songo mempraktekkannya dalam menentukan Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Utsmaniyya menjalankannya berabad-abad. Para ulama berada digaris depan pemerintahan. Pemimpin bukan dilotere, yang pemenangkan telah dikantongi oligarkhi sejak mula. Sementara massa, hanya disibukkan urusan simbolisasi dan psy war, yang seolah itulah dinamika. Padahal, tak bisa seorang calon tanpa peranan oligarkhi. Karena demokrasi modern berubah menjadi industry. Perlu modal dan kapital. Ini tentu bukan lagi layak disebut demokrasi. Merujuk siklus Polybios, sejarawan i.  Romawi dulu pernah berada dalam fase okhlokrasi. Kala Kaisar dikendalikan sepenuhnya oleh Legiun. Sekelompok militer. Kini, pemimpin dikendalikan kaum elit oligarkhi bankir. Tapi, pasca fase okhlokrasi, maka akan kembali ke monarkhi. Tentu bukan monarki yang “the king can do no wrong.” Melainkan bak Madinah Al Munawarah. Pemimpin yang merujuk pada ‘Kehendak Tuhan.’ Tentu berada dalam jamaah yang tak mengusung aliran ‘qadariyya.’ Inilah jalan keluar dari lubang biawak. Karena perihal kepemimpinan, di situ pula urusan Tauhidullah. (*)

Agaknya PKS Berhitung Ulang Membersamai Anies

Oleh Ady Amar - Kolumnis AKANKAH PKS tengah berhitung kemungkinan menerima tawaran, atau setidaknya menunggu wacana terbentuknya poros baru di luar Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Semua disebabkan adanya dinamika yang muncul dengan begitu cepat memelantingkan satu anggota koalisi, Partai Demokrat, dan menarik PKB sebagai anggota baru koalisi. Dan, itu dilakukan tanpa dibicarakan terlebih dulu dengan anggota koalisi lainnya. Tapi dalam politik semua cara bisa diambil, agar momen yang didapat tidak terlepas jika mesti dirundingkan dengan hasil kasat mata akan terjadi penolakan anggota koalisi lainnya. Membincangkan alternatif cawapres di luar Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dibuat seolah tabu. KPP semacam terkunci pada satu figur, AHY. Munculnya figur lain dinihilkan. Agaknya itu yang jadi pertimbangan NasDem, dan kemudian \"disepakati\" Anies. Melihat suasana KPP yang demikian, muncul wacana pembentukan poros baru.  PPP yang berkoalisi dengan PDIP seperti merasa belum nyaman betul, itu saat kader partai potensialnya Sandiaga Uno, yang disodorkan sebagai Bacawapres untuk Ganjar Pranowo diabaikan PDIP. Gertakan politisi senior PPP Arsul Sani, jika tawaran itu tak diindahkan maka PPP akan hengkang dari koalisi PDIP, itu dijawab PDIP dengan gertakan pula, jika PPP akan hengkang dari koalisi dipersilahkan. Sandiaga Uno memang baru  bergabung dengan PPP--banyak yang menyebut itu karena arahan Presiden Jokowi--mendapat tempat terhormat. Sandi di samping ia salah satu menteri pada kabinet Jokowi-Ma\'ruf Amin--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif-- juga dikenal sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan tajir melintir. Karenanya, Sandi seakan bisa \"mengatur\" PPP sebagaimana ia kehendaki. Elit PPP dibuat manut pada arahannya. Keinginan untuk mengulang peruntungan sebagai Wakil Presiden--Sandi pernah berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres (2019)--adalah sesuatu hal wajar. Maka memilih peruntungan ngegolkan hasratnya, itu yang sampai Sandi mau bergabung dengan PPP. Melihat dinamika yang muncul di KPP, di mana Demokrat hengkang karena kecewa dengan NasDem, kondisi itu tak disia-siakan Sandi. Beberapa kali Sandi menghubungi Demokrat, itu jika menilik apa yang disampaikan SBY, ada menteri aktif beberapa kali membujuk Demokrat untuk membuat poros baru. Kemarahan Demokrat yang bak harimau terluka, itu jadi \"menu\" Sandi mendekat dengan tawaran memunculkan wacana poros baru koalisi. Jika PPP dan Demokrat bergabung, itu belum cukup memenuhi ambang batas parliament threshold yang 20 persen. Maka, menggaet PKS jadi satu keharusan. Agaknya membujuk PKS sudah mulai dilakukan, itu jika melihat munculnya pernyataan salah satu politisi PKS yang \"berani\" mengatakan akan berhitung ulang untuk mengusung Anies. Argumen yang diberikan, itu karena NasDem mengambil keputusan sendiri saat menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres dari KPP, tanpa terlebih dulu membicarakan dengan anggota koalisi lainnya. Maka, benang merah upaya Sandi melobi PKS seperti mendapat jawabannya. Posisi PKS dan PPP hampir serupa, meski serupa tapi tak sama. Adanya PPP dan PKS dalam koalisi yang berbeda, itu tak mampu mengunci atau menyandera keberadaannya menjadi sangat dibutuhkan. PDIP jika ditinggal PPP, dan KPP (NasDem dan PKB) jika ditinggal PKS, tak masalah. Itu karena suaranya cukup untuk bisa mengikuti Pilpres 2024. Godaan membentuk poros koalisi baru seperti mendapat angin, meski untuk PKS jika diibaratkan hembusan angin, itu tidak terlalu terasa tapi setidaknya tampak tidak bulat suara yang ingin membersamai Anies. Putusan PKS tetap bersama KPP versi baru--hilangnya Demokrat dan bergabungnya PKB--itu akan diputuskan lewat putusan Majelis Syuro\', yang entah kapan akan diputuskan. Berlarutnya sidang Majelis Syuro\' untuk memutuskan persetujuan Anies-Muhaimin, itu pun memunculkan spekulasi baru yang bermakna: PKS sedang berhitung ulang membersamai Anies Baswedan. PKS dituntut berpikir lebih jauh plus minus, akan tetap bersama atau melepas dukungan pada Anies. Karena itu tidak lepas dari elektoral pilihan legislatifnya (pileg). Pemilih PKS menurut rilis hampir seluruh lembaga survei yang memilih Anies, itu ada diprosentasi sekitar 70 persen. Artinya, memilih PKS karena mengusung Anies. Angka itu tidak kecil. Ini boleh dibaca, melepas Anies punya konsekuensi PKS ditinggal konstituennya. Pemilih Anies yang tidak saja di PKS, tidak sedikit juga di PPP, PAN, dan bahkan Golkar--koalisi yang menjagokan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto--nantinya akan berdampak juga pada perolehan pilegnya. Sedang pasangan capres terikat dengan pilihan partai. Jika partai memilih pasangan capres tidak sesuai dengan konstituennya, maka partai itu akan ditinggalkan, atau tidak dipilih konstituennya. Maka tidak perlu terkaget jika partai tertentu salah dalam memilih capresnya, karena ambisi elitenya yang tidak mengindahkan suara konstituennya, maka partai itu di 2024 akan diganjar terlempar dari Senayan. Anies punya kekuatan riil mengikat pemilihnya dengan tak melihat siapa cawapres yang mendampinginya. Adagium pemilih Anies--rilis survei Litbang Kompas menyebut pemilih Anies paling militan dibanding kandidat lainnya--siapa pun cawapresnya, terpenting capresnya Anies Baswedan. Spekulasi yang menyebut PKS sedang berhitung ulang dalam membersamai Anies, itu perlu mendapat jawaban sesegera mungkin dan yang sebenarnya, apakah PKS akan tetap bersama Anies, atau justru putusan sebaliknya yang diambil, menghadirkan poros baru jadi pilihan. Apa pun putusan yang diambil pastinya sudah lewat perhitungan yang matang, tentu dengan konsekuensi yang ditimbulkan. Ya monggo saja.**

Bom Itu Bernama Paloh dan Imin

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PARTAI Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa adalah dua partai yang sejak awal menjadi pendukung Jokowi. Duduknya Jokowi menjadi Presiden untuk periode kedua tidak bisa dilepaskan dari peran kedua partai ini. Ketua Umumnya adalah Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar. Sebut saja Paloh dan Imin. Di akhir masa jabatan Jokowi, Paloh dan Imin tidak berada di kubu kepentingan Jokowi. Paloh mendukung Anies Baswedan untuk Capres dan Imin menjadi Cawapres Anies Baswedan. Tentu hal ini berada di luar kalkulasi dan prediksi banyak pihak. Termasuk Jokowi. Pasca deklarasi \"Amin\" Jokowi menggerakkan KPK untuk melakukan serangan pada Imin. Maklum KPK adalah alat kepentingan Jokowi.  Tak peduli yang diangkat adalah kasus di Kemenaker tahun 2012 tepat 11 tahun ke belakang. Di samping orang bertanya ke mana KPK selama 11 tahun itu, juga menjadi bukti KPK bukan Komisi independen tetapi Komisi Pesanan Keperluan. Pilih dan pilah kasus. Walau KPK membantah sebagai langkah politis, tapi apa kata dunia?  Paloh lapor kepada Jokowi sebelum deklarasi sedangkan Imin setelahnya. Bagi Imin mungkin seperti apa yang dipidatokan Anies \"lebih baik minta maaf daripada minta izin\". Entah apakah akan serius KPK memeriksa Cak Imin sehingga cepat berstatus sebagai tersangka? Sungguh merupakan tontonan dan permainan politik yang menarik. Bila ternyata serius, akankah Imin menyerah begitu saja?Juga Paloh yang pasang badan saat menetapkan Imin menjadi pasangan Anies? Inilah peristiwa menarik itu. Perlawanan tentu bukan sekadar soal Imin tidak bersalah, tetapi justru serangan balik kepada Jokowi. Kelemahan Jokowi akan menjadi kekuatan bagi Imin dan Paloh, yakni misteri kecurangan pada Pilpres 2019. Paloh dan Imin termasuk sedikit dari yang diduga mengetahui kecurangan di balik sukses kemenangan Jokowi atas Prabowo. Cak Imin membawa bom yang siap diledakkan sendiri atau di-remote Paloh. Yang jelas jika salah satu atau keduanya sudah berteriak bahwa kemenangan Jokowi-Ma\'ruf Amin itu palsu dan detail kecurangan diungkap, maka meledaklah bom itu. Duaaar..!.  Paloh hingga kini sukses memproteksi Anies cukup dengan ancaman bom low explosive8nya, tinggal kini Imin diuji untuk memproteksi dirinya. Berbeda dengan Ketum lain yang \"plonga plongo\" tersandera oleh Jokowi, Imin tampaknya berprofil sebagai politisi bandel yang akan berani mengancam Jokowi untuk meledakkan bom itu. Apalagi di belakangnya ada massa nahdiyyin yang mungkin siap meneriakkan resolusi jihad. Mulai dari Hotel Yamato Surabaya.  Bukan soal korupsi yang dimasalahkan tetapi politisasi. Hukum yang diperalat untuk kepentingan politik. KPK telah menjadi kapak kekuasaan. Di bawah Firli Bahuri, KPK jadi badut atau ondel-ondel yang bukan untuk menghibur tapi menakut-nakuti.  Jokowi yang juga banyak kasus, termasuk dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi atau lainnya mesti diancam untuk diledakkan agar rakyat paham, berani dan tidak mentoleransi lagi. Cak Imin bisa memulai Paloh menindaklanjuti dan rakyat mengamini.  Momen semakin dekat untuk menghancurkan kekuasaan Jokowi berkeping-keping. Jokowi sebenarnya lemah dan buruk. Kosmetiknya saja yang terlalu tebal. Akibatnya ia berpolitik cemen dan norak.  Rakyat sudah terlalu sering dibohongi, tapi kali ini tidak. Bukan lagi suara serak dalam teriak, tapi saatnya untuk bergerak. Bandung, 6 September 2023

“Pak (Lurah) Raja”

Oleh Agustinus Edy Kristianto - Pemerhati Ekonomi Politik  DUGAAN kuat cawe-cawe Presiden Jokowi semakin terlihat jelas. Bentuk negara kita adalah republik tapi corak politiknya semakin mirip kerajaan.  Apa-apa lapor \"raja\". Apa-apa tegak lurus. Segala dinamika politik yang terjadi bagai sandiwara yang tak ada gunanya buat nasib rakyat. Kemungkinan besar pemenang sudah ditentukan sebelum pertandingan berlangsung. Pilpres terancam buang-buang waktu dan biaya triliunan.  Kedaulatan rakyat adalah omong-kosong. Majalah Tempo edisi pekan ini (3/9/2023) mengungkapkan sejumlah fakta berikut: Saat Surya Paloh MELAPORKAN nama Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil Anies Baswedan kepada Jokowi, \"Jokowi melempar KODE SENYUM kepada Surya.\" Kualitas pertemuan dinilai baik.  Ponten 9.  Artinya \"raja\" senang. Muhaimin sebelumnya ada di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Prabowo Subianto. Ternyata, menurut Tempo, \"... KKIR terbentuk karena PERINTAH Presiden Jokowi.\" Artinya \"perintah terlaksana\". Sementara itu, setelah AHY terdepak, SBY berkata, seorang menteri aktif Kabinet Jokowi melakukan pendekatan kepadanya dan menyatakan langkahnya itu \"SETAHU Pak Lurah.\" Menteri itu adalah Sandiaga Uno! Pak Lurah itu siapa, bisa Anda tebak sendiri-lah. Daun jatuh pun, Lurah kudu tahu. Market jadi sangat timpang. Pengendalian demand & supply oleh Pak Lurah kental sekali. Ia mengendalikan semua lini, hulu ke hilir. Monopoli! Bahkan harga dan mata uangnya bisa ditetapkan atas kemauannya sendiri. Jangan bicara lagi kasus HAM Prabowo, terutama bagi para aktivis goyang-dombret. Sejak setahun lalu, sudah \"beres\". Ibarat kata terjadi IJON politik---yang hanya sedikit orang ketahui. Pada 26 Agustus 2022, terbit Keppres 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Ketua Pengarah adalah Menkopolhukam. Ketua Pelaksana Makarim Wibisono. Pendeknya masalah HAM berat diselesaikan DI LUAR pengadilan. Lewat pemulihan, rehabilitasi, bansos dan sebagainya. Di sisi lain, sejak UU KPK direvisi melalui UU 19/2019, posisi Presiden sebagai Kepala Eksekutif sangat strategis. \"KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif... \" (Pasal 3). Meskipun ada frasa \"independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun\" tapi tetap saja itu mengandung kontradiksi dengan frasa \"dalam rumpun\".  Cawe-cawe (Baca: kunci-mengunci pakai kasus untuk kepentingan politik) Kepala Eksekutif sangat mungkin dilakukan. KPK juga bisa melakukan penghentian penyidikan (SP3), beda dengan aturan sebelumnya. Kasus \"kardus durian\" yang diduga menyeret Cak Imin, misalnya, di-SP3 oleh KPK.  Pada 22 Februari 2023, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melakukan praperadilan atas SP3 itu di PN Jaksel. Putusan keluar pada 10 April 2023: tidak diterima! Di \"kardus durian\", Cak Imin relatif aman.  Tapi lain lagi di kasus korupsi sistem proteksi TKI di Kemnaker zaman Cak Imin menteri. Ternyata, kasus itu naik penyidikan baru-baru ini saja. Surat perintah penyidikan terbit Agustus 2023. Bagaimana dengan kasus Formula E yang diduga menyeret Anies? Per September 2022, masih penyelidikan.  Tapi siapa yang jamin kalau yang bersangkutan \"bandel\" (baca: ngoceh perubahan terus) bakal jadi penyidikan? Sementara, kasus korupsi dan penyalahgunaan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Kementerian Pertanian Tahun 2019-2023, yang diuga melibatkan menteri asal Partai Nasdem Syahrul Yasin Limpo, masih penyelidikan per 16 Januari 2023.  Tapi, sama seperti Formula E, siapa jamin nantinya tak mekar jadi penyidikan. Selain KPK, penegak hukum lain yang jelas secara struktural di bawah Presiden adalah Polri dan Kejaksaan.  Siapa berani macam-macam! Saran saya buat para politisi itu: nikmati saja jadi burung di sangkar emas. Soal pengendalian logistik, jangan ditanya. Tak usah banyak analisis, cukup lihat lumbung BUMN---yang kini di bawah Erick Thohir. Tiga BUMN berstatus Tbk dengan laba bersih terbanyak (Kuartal I 2023) adalah BRI (Rp15,56 triliun), Bank Mandiri (Rp12,6 triliun), dan Telkom (Rp6,42 triliun).  Asal tahu saja, saat ini (per Laporan Keuangan Juni 2023), BRI punya laba ditahan mencapai Rp192 triliun, Bank Mandiri Rp162 triliun, dan Telkom Rp91 triliun. Tak usah repot-repot cari komisi dari sektor lain, misalnya lewat bisnis batu bara atau jual-beli alutsista, potek secuil aja dari laba ditahan BUMN jumbo itu, jangankan buat bikin pasukan medsos atau blocking iklan media, duit triliunan seperti itu sangat cukup buat biaya hore-hore menang pilpres. Pendeknya: ayo dukung Menteri BUMN jadi mendampingi capres yang disenyumi Pak Lurah. Pertanyaannya adalah kepada siapa Presiden Jokowi mengabdi?  Diri dan keluarganya sendiri? Partai? Kongsi bisnis? Konglomerat? Asing? Rekan wedangan? Siapa? Rakyat miskin? Kita butuh sistem kontrol, perangkat, kekuatan politik lain, dan masyarakat yang cerdas-kritis untuk mencegah supaya kekuasaan sebesar Kepala Negara dan Kepala Eksekutif (Presiden) tak digunakan secara berlebihan, sembarangan, dan sewenang-wenang dalam suatu pemilu mahal yang penuh sandiwara (rekayasa?) Salam.

Orasi Kebangsaan, Tiga Tahun Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Oleh Selamat Ginting - Analis Komunikasi Politik dan Militer Universitas Nasional  Kepemimpinan Jokowi  mendapatkan rapor terburuk berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Indeks demokrasi Indonesia terburuk di era reformasi. Demokrasi Indonesia masuk kategori demokrasi cacat. Mengapa? KOALISI Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merupakan sebuah gerakan yang dideklarasikan pada Agustus 2020.  Bagi saya, KAMI pasti berkaitan dengan aktivitas politik.  Saya ingin kita melihat sejarah.  Pertama; kata KAMI mengingatkan saya pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, singkatannya juga KAMI. Sebuah kelompok mahasiswa anti-komunis  yang dibentuk setelah peristiwa 30 September 1965. Organisasi ini dan sejenisnya seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) menjadi oposisi bagi Presiden Sukarno.  Kedua; kelompok oposisi seperti KAMI yang dibentuk pada 2020 ini juga mengingatkan saya pada Kelompok Petisi 50, yang lahir 40 tahun lalu, tepatnya pada 1980. Keberadaan KAMI 2020 ini hampir sama dengan Petisi 50. Saat itu Presiden Soeharto berusia 59 tahun. Soeharto sedang kuat-kuatnya membangun kekuasaan yang otoritarian. Saat KAMI berdiri, usia Presiden Jokowi juga 59 tahun. Sama seperti usia Presiden Soeharto saat berdirinya Petisi 50 pada 1980. Kepemimpinan Jokowi pada 2020 juga mendapatkan rapor terburuk berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Ideks demokrasi Indonesia tercatat menduduki peringkat 64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.48. Pada 2020 itulah Indeks Demokrasi (IDI) Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.  Artinya indeks demokrasi Indonesia di era Presiden Jokowi lebih buruk daripada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal Jokowi berasal dari kalangan sipil dan SBY berasal dari kalangan militer. Biasanya pemimpin berlatar militer dianggap lebih otoriter. Ternyata sipil juga bisa lebih otoriter. Jadi tergantung individu yang bersangkutan. EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim. Pertama: demokrasi penuh (full democracies). Demokrasi penuh merupakan negara-negara dengan kebebasan sipil dan kebebasan berpolitik tidak hanya dihormati, namun juga diperkuat budaya politik yang kondusif dan matang, sehingga prinsip-prinsip demokrasi dapat berjalan dengan baik. Kedua: Demokrasi belum sempurna (flawed democracy). Indonesia masuk dalam kategori ini. Kategori tidak mulus pada aspek-aspek proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil yang dinilai di bawah standar. Ketiga: Rezim hibrida (hybrid regimes). Rezim hibrida adalah negara-negara yang terdapat tindak kecurangan dalam pemilu reguler serta keberadaan negara dirasa sedikit menghalangi rakyatnya untuk mendapatkan demokrasi yang adil dan bebas. Keempat: Rezim otoriter (authoritarian regimes). Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter, yaitu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Sistem rezim otoriter ini kebanyakan menentang demokrasi, sehingga kebanyakan kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melewati sistem demokrasi pemilihan umum.  Kembali pada kesamaan Petisi 50 dengan KAMI.  Ada jejak suara kritis para jenderal dan tokoh nasional. Dibutuhkan orang-orang yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintahan layaknya Jenderal Besar AH Nasution, dan Letjen Marinir Ali Sadikin. Di KAMI ada pula Jenderal Gatot Nurmantyo. Terlepas apa motif di belakangnya, setidaknya publik berharap ada yang berani mengambil sikap sebagai oposisi terhadap pemerintah.  Mengapa perlu ada oposisi terhadap pemerintah? Mari kita lihat pada masa pemerintahan Jokowi jilid kedua pada 2019-2024. Pada awal pembentukan kabinet, publik terkejut ketika Presiden Jokowi menggandeng Partai Gerindra dalam koalisi pemerintahan. Di sini Jokowi menunjukkan pandangan politik yang kontradiktif.  Seolah-olah demokrasi Indonesia mengharamkan pelembagaan oposisi.  Oposisi kembali tereduksi, hanya menyisakan Demokrat, PKS, dan PAN dengan kekuatan politik di parlemen hanya mencapai 148 kursi. Tidak berimbang dengan koalisi pemerintah yang menyentuh 427 kursi dalam parlemen.  Bahkan pada 2019 sudah ada tanda-tanda PAN tidak akan tahan menjadi oposisi. Betul saja pada 2021, PAN sudah masuk dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Sehingga oposisi hanya menyisakan Demokrat dan PKS. Jadi reduksi terhadap oposisi juga terjadi pada rezim Jokowi. Sama seperti era Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno dan Orde Baru Presiden Soeharto. Ketika masa Sukarno dan Soeharto, reduksi oposisi mempunyai tendensi spesifik mengarah pada koersi dengan intervensi langsung terhadap berbagai pihak. Sehingga kekuatan oposisi semakin    terfragmentasi dalam berbagai unit terkecil yang tidak memiliki  daya tekan terhadap pemerintah.    Berbeda dengan rezim Jokowi, reduksi oposisi ditampilkan dalam pola kooptasi. Menempatkan mantan lawan politik dalam kabinet sebagai implikasi transaksi non-pragmatik. Setelah itu barulah intervensi secara sembunyi agar tidak terlihat cawe-cawe terhadap sejumlah partai politik. Padahal pelembagaan oposisi merupakan ruh dari demokrasi. Mestinya partai politik yang kalah dalam pemilu harus mempunyai resistensi dalam menghadapi kekuatan kooptasi penguasa. Mereka harus menjaga jarak, seperti juga media massa dan kaum akademisi. Objek liputan pers maupun penelitian dan kajian kaum akademisi adalah kekuasaan. Menjadi kontrol sosial atau anjing penjaga demokrasi.   Partai oposisi yang mendapatkan suaka dari penguasa akan menjadi   partai yang kehilangan kebebasan, mereka harus memakai topeng kekuasaan yang dikehendaki pemerintah. Di sinilah kita membutuhkan kehadiran KAMI untuk memainkan lakon sebagai oposisi.  Oposisi menjadi salah satu sarana bagi masyarakat dalam membangun konstruksi dasar demokrasi. Dalam realitas politik, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi.  Pemerintah seperti itu sesungguhnya lebih dekat dengan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis. Indonesia, sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi, hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat. Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus diupayakan. Capaian itu dapat diukur dari beberapa indikator, seperti: Kebebasan Sipil (Civil Liberty); Hak-Hak Politik (Political Right); dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).  KAMI yang berisi para intelektual dan tokoh nasional juga harus mengawal setidaknya lima aspek agar Indeks Demokrasi Indonesia tidak semakin turun. Pertama; rasa aman dan nyaman di lingkungan masyarakat untuk mempunyai kebebasan dalam berkumpul, berpendapat dan berkeyakinan.  Kedua; masih banyaknya demonstrasi maupun pemogokan yang dilakukan dengan kekerasan. Ketiga; rendahnya peran partai politik. Keempat; rendahnya peran peradilan sehingga masih terjadi penghentian penyelidikan yang kontroversial.  Kelima; banyaknya kritik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokrasi yang membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Terakhir.  Selamat ulang tahun ketiga bagi KAMI. Teruslah membangun kesadaran masyarakat akan arti oposisi. Hal ini penting agar muncul kesadaran yang lebih tepat dan kualitas demokrasi di Indonesia semakin membaik. Salam kebangsaan. (*)

Mas AHY, Takdir Anda Berada di Koalisi Perubahan

Oleh Radhar Tribaskoro - Anggota Komite Eksekutif KAMI  DUA partai saja, Nasdem dan PKB sudah cukup untuk mengusung paslon pilpres. Demokrat tentu membara, tetapi seiring waktu akan mendingin. PKS menemani Demokrat. Namun semuanya akan segera menyadari bahwa langkah Anies adalah demi pemenangan. Dengan tambahan PKB, Koalisi Perubahan akan memperoleh captive 9 juta suara di Jateng dan Jatim.  Demokrat sebaiknya tidak berkukuh ambil posisi cawapres.  AHY baru seumur jagung menjadi politikus, jangan tiba2 terlontar ke posisi setinggi itu. Walaupun bisa, itu tidak baik untuk demokrasi. Kenapa sih mesti tiru2 Jokowi?  Demokrat sejati mengerti bahwa nature (bakat) dan nurture (pelatihan) harus sejalan. AHY hanya perlu nurture. Belum ada prestasi signifikan yang bisa dipamerkan. Menjadi Ketum partai karena dorongan ayah bukanlah prestasi. Itu menciptakan api dalam sekam yang terus membakar. Bersabarlah. Tunjukkan kenegarawanan. Ambil keputusan tepat dengan mendahulukan kondisi objektif daripada kepentingan subjektif. Tegas dan bijak di tengah badai dan gelombang.  Kalau saya tidak salah, Cak Imin adalah salah satu Ketum partai yang membuktikan memiliki semua kualitas di atas.  Saya harap badai ini berumur singkat. Secepatnya para tokoh di belakang Koalisi Perubahan berkonsolidasi. Kenegarawanan AHY saya kira pantas untuk diganjar posisi Ketua Timses. Ketiganya masih muda - Anies, Muhaimin dan AHY - kalau energi, kecerdasan dan kenegarawanan mereka bersatu, Indonesia pasti bisa menyongsong takdirnya menjadi bangsa yang besar.  Mas AHY, takdir anda berada di Koalisi Perubahan. Koalisi yang cukup untuk memimpin Indonesia seratus tahun ke depan. (*)

Indonesia dan Politik Sandera

Oleh Radhar Tribaskoro - Anggota Komite Eksekutif KAMI  HARI ini Selasa 5 September 2023, sedianya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) akan dipanggil KPK untuk menjadi saksi kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja tahun 2012. Namun Cak Imin minta ditunda. Ketika itu, Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Orang kemudian langsung bereaksi, “Tangan Jokowi bermain lagi.” Ia menghukum orang-orang yang tidak mau mengikuti perintahnya. Hal ini sudah pernah terjadi pada Suharso Monoarfa dan Airlangga Hartarto. Suharso kehilangan partainya, Airlangga hampir saja. Apa yang terjadi pada Suharso, Airlangga dan Muhaimin disebut sebagai politik sandera. Presiden sengaja mengangkat pembantu yang memiliki cacat hukum agar ia bisa menuntut kesetiaan tanpa batas dari mereka. Kalau pembantu-pembantunya itu berjalan di luar arahannya, maka dengan mudah mereka  disingkirkan oleh aparat hukum yang dikuasainya. Bagaimana Politik Sandera menyebabkan karut marut dunia politik kita adalah pokok soal yang ingin saya bahas dalam artikel ini. Dampak Politik Sandera Politik sandera telah sukses menggerakkan para menteri bekerja tanpa hati nurani, meletakkan buruh, masyarakat adat, sumberdaya alam, tanah dan keuangan ke dalam mulut rakus kapitalis. Fakta itu mau ditutupi dengan projek-projek infrastruktur yang dibangun serampangan tidak mengindahkan kelayakan keuangan, sosial dan lingkungan. Lebih celaka lagi, projek-projek itu menimbun utang yang luar biasa besarnya, yang investasinya tidak mungkin dibayar oleh projek itu sendiri.  Semua itu terjadi di depan mata DPR yang dipilih rakyat secara langsung. Dalam hal ini Politik Sandera berhasil membungkam DPR, sehingga fungsi pengawasan lembaga itu lenyap sama sekali. Secara umum, Politik Sandera menyebabkan terjadinya kemunduran demokrasi (democracy backsliding) yang parah. Sistem politik gagal membangun mekanisme check and balance. Selanjutnya, partai politik ikut tersandera dan sebagaimana para ketumnya, mereka terancam kehilangan marwahnya. Backfire Betulkah partai politik pun akan kehilangan marwahnya? Hal ini akan kita lihat dari konfigurasi pilpres 2024, apakah sesuai dengan keinginan presiden? Seperti diketahui, Presiden masih ingin mengendalikan politik setelah kekuasaannya berakhir di 2024. Untuk itu ia ingin mengatur siapa tokoh yang menjadi capres, cawapres dan siapa yang menang. Dalam hal ini presiden ingin partai-partai politik dalam kabinetnya mendukung keinginannya itu. Tetapi hal itu tidak mudah. Keinginannya itu bertabrakan dengan kehendak partai-partai politik di dalam koalisinya yang menganggap kontrak mereka dengan presiden hanya berlaku sampai akhir masa jabatannya. Tidak ada partai yang ingin menggadaikan masa depannya kepada orang yang bahkan tidak punya partai. Tidak ada partai yang mau kandidat capres/cawapresnya ditentukan oleh orang di luar partai. Hanya partai yang telah terkooptasi dan kehilangan integritas (marwah) dapat diperlakukan seperti itu.  Cawe-cawe presiden dalam penentuan capres dan cawapres dapat dikatakan telah menyentuh jantung eksistensial partai politik: marwah mereka. Kooptasi teah terjadi pada diri Suharso Monoarfa, ia dicopot dari jabatan Ketum PPP karena dicurigai menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh oposisi. Tidak ada komplikasi sebab Monoarfa tidak melawan.  Namun ketika Airlangga mendapat ancaman yang sama muncul reaksi tidak terduga. Golkar melawan. Seluruh faksi di Golkar menolak dikooptasi. Namun belakangan Airlangga menyerah. Ia mengikuti arahan presiden untuk mendukung Prabowo Subianto. Apakah kooptasi terhadap Muhaimin akan membuahkan hasil yang sama? Saya menduga bahwa upaya itu malah menjadi backfire. Hasilnya justru akan membakar tangan penguasa. Mengapa? Manuver Muhaimin Muhaimin berbeda dengan Airlangga. Ia seorang dengan latar belakang aktivis. Perbedaan aktivis dengan non-aktivis adalah aktivis bisa melakukan sacrifice. Ia pernah melakukan sacrifice, berontak melawan Gus Dur dan menjadi musuh orang yang sangat dihormati di NU. Dan menang.  Kemenangan Muhaimin tidak menjadikan dirinya senang. Ia dituduh pengkhianat, dan ini pengorbanan dirinya yang kedua. Selama bertahun-tahun orang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya sama sekali tidak berdasar kepada egoisme. Adhie Massardi, mantan jubir Gus Dur, membongkar kenyataan di baik konflik Gus Dur dengan keponakannya itu. Muhaimin melawan Gus Dur karena tidak ingin PKB jatuh ke tangan Sigit HW. Sigit mendominasi PKB ketika itu karena kedekatannya dengan putri tertua Gus Dur. Bila Muhaimin tidak melawan, tidak bisa tidak, Sigit yang sama sekali bukan warga NU akan menguasai PKB.  Muhaimin tidak tenggelam karena caci-maki. Ia memenangkan kasusnya dengan Gus Dur karena alasan objektif. Hakim menilai ia tidak bisa dipecat oleh Gus Dur karena ia dipilih oleh Muktamar secara terpisah dari Gus Dur. Menurut hakim ia hanya bisa dipecat oleh muktamar.  Perjalanan politik Muhaimin selanjutnya menunjukkan kepiawaiannya mengendalikan PKB. Ia mampu mengatasi tokoh-tokoh NU yang jauh lebih senior seperti Matori Abdul Jalil dan Alwi Shihab. Sampai sekarang ia telah memimpin PKB hampir seperempat abad, terlama dibanding ketum partai lain.  Saya menceritakan hal ini untuk menunjukkan Muhaimin bukan ketum partai kaleng-kaleng. Sangat berbeda dengan Airlangga. Dia punya tenaga dan bisa menggigit dengan keras. Ia berani berkorban dan pasti berani melawan. Muhaimin telah menerima pinangan menjadi wakil Anies. Keputusan itu ia rencanakan matang. Ia tahu akan ada yang marah dan mau mengorek-ngorek track recordnya. Namun saya yakin ia telah bersiap. Bintang yang Membakar Muhaimin akan membakar tangan Jokowi karena menghentikan dirinya tidak dapat membatalkan bergabungnya PKB dalam Koalisi Perubahan. Keputusannya sudah menjadi keputusan partai. Kalaulah Muhaimin diangkut oleh KPK, kedudukannya sebagai wakil Anies akan digantikan oleh tokoh PKB yang lain. Hal itu malah semakin membulatkan kader PKB untuk berjuang habis-habisan demi pemenangan pilpres dan kebebasan ketua umum partainya. Selepas itu, Jokowi harus bersiap menghadapi pembalasan dari partai ini. Kedua, politik sandera selama ini ditelan begitu saja oleh para politikus nusantara karena ingin ketum mereka aman. Untuk itu mereka telah memenuhi semua permintaan Jokowi termasuk mengamputasi hak-hak mereka sendiri. Ketika penguasa tetap merudapaksa ketum mereka, rasa muak itu sudah sulit ditelan lagi. Ada satu titik dimana penghinaan demi penghinaan tidak bisa lagi diterima, dan kemarahan akan membludak.  Jangan lupa dua partai, PDI Perjuangan dan Nasdem, dengan berani telah menolak intervensi Jokowi dalam penentuan capres dan cawapres. PKB menjadi partai ketiga. Hanya tersisa sedikit partai saja untuk menjadikan DPR dan MPR lubang kematian bagi Jokowi. Semua langkah Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan, satu demi satu, telah tertutup. Sebaiknya memang, hentikan cawe-cawe itu. Kekuasaan harus punya batas.---

Anies Bersalah

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) ANIES Baswedan membuat banyak orang terkejut. Juga ambyar. Seperti tanpa beban, ia terlihat ceria ketika pada 2 September lalu di Surabaya Ketum Nasdem Surya Paloh mendeklarasikan pasangan Anies dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar sebagai bakal capres-cawapres yg diusung Nasdem, PKB, dan PKS. Sebenarnya, sekitar tiga hari sblm Paloh mengumumkan persandingan Anies dengan Imin itu, ada upaya intensif dari kubu Anies untuk bertemu Ketum Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tujuannya membicarakan perkembangan terbaru terkait tawaran Paloh agar Anies berpasangan dengan Imin saja. Ini bertentangan dengan rencana awal Anies yang telah memilih AHY sbg pasangannya. Upaya Anies gagal. Rupanya PD sengaja menutup pintu komunikasi dengan Anies, yang maksud dan tujuannya beretemu AHY dan SBY sudah mereka ketahui. Keadaan menjadi tidak mudah. Krn opsi-opsi politik yang tersedia untuk memungkinkan Anies bisa ikut kompetisi pilpres tak banyak lagi, sementara waktu nyaris habis, bisa dipahami -- bukan bisa dibenarkan -- bila ia kemudian mengambil jalan tak biasa: menerima tawaran Paloh. Bagaimana pun, ada pelanggaran etika yang mencolok di sini. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu seminggu ia mengambil dua keputusan yang kontradiktif. Pada 25 Agustus, ia menyurati AHY yang menegaskan ia memilih putera SBY itu sebagai cawapresnya. Nyatanya, pada 1 September, ia memilih Imin. Karena Anies tidak dalam posisi untuk bisa menolak desakan  Paloh -- sepanjang ia masih ingin nyapres -- apakah langkah ini bisa dipertanggungjawabkan secara etis? Tidak. Hal ini hanya benar bila kita mengeluarkan norma dan etika dari politik. Tetapi politik tanpa etika akan menghadirkan barbarisme yang membahayakan keadaban, bahkan kelangsungan hidup, suatu bangsa. Pasti Anies terganggu secara psikologis ketika harus meninggalkan AHY. Tetapi bagi sebagian orang, karena peristiwa ini, Anies yang mereka kenal selama ini sekonyong-konyong \"hilang\". Yg muncul justru  sosok yang  seolah membenarkan adagium \"politik itu kotor\". Bagaimana pun, banyak juga yang mendukung langkahnya. Dan melihat respons PD yang menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), disertai tuduhan pengkhianat kepada Anies, sebagai childish. Kekecewaan PD sangat bisa dipahami. Seandainya Anies membuang AHY untuk digantikan tokoh yang sangat berbobot dalam konteks politik elektoral dan berasal dari parpol yang jauh lebih besar daripada PD, mungkin PD bisa memaafkan. Realitasnya, PD dan PKB adalah parpol sekelas. Demikian juga AHY dan Imin. Malah, dari sisi elektabilitas cawapres, AHY jauh lebih tinggi daripada Imin. PD tak mau tahu bahwa PKB memiliki nilai tambah buat Anies yang tidak dimiliki PD. Dalam konteks kecilnya suara Anies di Jawa Timur dan Jawa Tengah meniscayakannya memilih cawapres dari pemilih sosiologis di dua provinsi gemuk ini, yaitu kalangan Nahdliyin. Dan hal itu dianggap hanya bisa dipenuhi oleh PKB, yg memang merupakan partai kaum sarungan itu. Peran cawapres dlm pilpres sgt strategis dan instrumental. Fungsinya menambal kekurangan yg ada pd capres sehingga, dgn sendirinya, ia jg berfungsi sbg vote getter. Apa gunanya memaksakan pasangan Anies-AHY kl potensi menangnya kecil? Kira2 inilah pikiran Paloh. Tp PD tdk bs menerima argumen ini krn beranggapan posisinya di Jatim ckp kuat. Klaim ini hanya bisa benar kl kita merujuk pd pilpres 2004 dan 2009 ketika SBY memenangi Pilpres. Tp sejak pilpres 2014 dan 2019, suara PD di dua provinsi ini terpangkas lbh dpd setengah. Lalu, hasil survey Litbang Kompas periode Agustus mengungkapkan, mayoritas pemilih Anies adalah kelompok terdidik dari kalangan menengah atas. Pemilih ini jg merupakan pemilih PD. Dus, diperkirakan faktor AHY tak punya daya ungkit yg cukup untuk penambahan suara di Jatim dan Jateng. Mengapa? Krn mayoritas populasi di dua wilayah ini merupakan wong  cilik simpatisan PKB, selain PDI-P tentunya. Berpijak pd fakta ini, sejak awal Paloh tak menginginkan AHY mendampingi Anies. Dia sibuk mencari tokoh NU sbg pasangan Anies. Nampaknya dia, jg Anies, sdh mendekati Gubernur Jatim Khofifah dan Yeni Wahid. Namun, tdk membuahkan hasil. Sementara AHY telah memberi ultimatum: awal september KPP -- terdiri dari Nasdem, PD, dan PKS -- sdh hrs mendeklarasikan Anies-AHY sbg bakal capres -cawapres. Pd saat bersamaan, Gerindra yg telah setahun membangun koalisi dgn PKB -- Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) -- menunda-nunda deklarasi Imin sbg bakal cawapres Prabowo Subianto. Sgt mungkin Prabowo berharap ada partai besar lain (PDI-P dan Golkar) yg bersedia bergabung dgn imbalan kursi cawapres. Harapan Prabowo terpenuhi setelah Golkar dan PAN bergabung ke KKIR. Tanpa kehadiran Imin, Gerindra, Golkar, dan PAN mengubah nama koalisi dari KKIR mnjd Koalisi Indonesia Maju. Imin menangkap itu sbg isyarat peluangnya mnjd cawapres Prabowo sirna untuk digantikan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Sbg politisi kawakan, Paloh secara jitu melihat kesempatan bagi KPP untuk merangkul Imin sbg cawapres Anies now or never. Pucuk dicinta ulam tiba. Lamaran Paloh disambut Imin. Sejauh ini PKS ttp bertahan dlm KPP dan mendukung Anies. Kendati demikian, terkait keluarnya PD dari KPP dan Imin mnjd bakal cawapres Anies, Majelis Syuro PKS akan menyelenggarakan sidang terlbh dahulu untuk menerima atau menolak situasi baru ini. Nampak PKS tak punya banyak pilihan kecuali mendukung Anies. Namun, kejutan lain bs sj terjd. Misalnya, PD, PKS, dan PPP membentuk koalisi sendiri. Dinamika politik msh berlangsung dgn intensitas tinggi. Segala sesuatu msh bs trjd. Baru bbrapa hari lalu tdk ada yg menyangka PKB akan mengusung Anies yg dtg dari kalangan Islam modernis sbg capresnya. Bs jd juga PD balik lg ke pangkuan KPP. Krn target AHY hrs mnjd cawapres Prabowo atau Ganjar Pranowo sulit terjd. Kl balik ke KPP peluang kemenangan Anies-Imin terbuka lebar. Meskipun tdk mndpt kursi wapres, PD diberi lima pos menteri. Bgmpun, perpindahan dadakan Anies dari AHY ke Imin mungkin akan menodai citra Anies sbg sosok yg independen, konsisten, berintegriras, dan berkarakter. Insiden ini memperlihatkan Anies manut sepenuhnya pd kemauan Paloh meskipun tdk berarti kemauan Paloh berlawanan dgn kemauannya. Sekiranya tak ada surat Anies kpd AHY mungkin org akan berpikir lain. Insiden ini jg mau tak mau memberi kesan Anies seorg oportunis. Memang kl Anies menolak desakan Paloh agar  berpasangan dgn Imin, maka Anies bakal gagal nyapres. PD dan PKS tak punya cukup suara untuk mencapai 20% presidential threshold kl Nasdem cabut dari KPP. Sebaliknya, bila PD, bahkan juga PKS, cabut dari KPP, Anies ttp bs nyapres krn suara PKB dan Nasdem cukup untuk mengusung capres-cawapres. Anies bs berargumen bhw dia terpaksa mengikuti kemauan Paloh demi trwujud niat mulianya membangun bangsa ini secara berkeadilan. Artinya, dia boleh \"berkhianat\" asalkan tujuannya adalah menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ini janji kemerdekaan yg diulang2 Anies sbg janji yg hrs dipenuhi pemimpin bangsa. Namun, niat baik tak dpt dibenarkan dgn berbuat culas terlbh dahulu. Anies kini mencetak cacat etika yg melemahkan seluruh citra dirinya. Kini tdk mudah lg baginya untuk bicara secara fasih tentang perlunya karakter jujur dan konsisten pd diri pemimpin. Kini rakyat Indonesia dihdpkan pd situasi sulit. Tdk ada lg bakal capres-cawapres yg ideal. Ttp di antara bakal capres yg tersedia hrs diakui Anies msh yg terbaik. Anies, Prabowo, dan Ganjar pernah menduduki posisi strategis di pemerintahan. Ttp hanya Anies yg meninggalkan rekam jejak yg kinclong. Tak ada cacat moral atau korupsi yg dilakukannya. Legacy fisik dan pikirannnya bertebaran di seluruh pojok Jakarta. Sebaliknya, Prabowo dan Ganjar nirintegritas dan nirprestasi. Dan keduanya juga sgt ambisius untuk meraih kursi RI1. Akhirnya, hrs jg dikatakan bhw kekotoran politik Indonesia hari ini bersumber dari dua hal. Pertama, adanya UU Pemilu yg menghrskan capres-cawapres diusung oleh partai atau gabungan parpol dgn suara minimal 20% kursi parlemen. Kedua, cawe2 Presiden Jokowi. Fenomena ini membuat dinamika politik elektoral tak dpt berjln secara transparan dan alami. Rakyat tak dilibatkan dlm keputusan stratrgis parpol. Politik Indonesia mnjd sgt elitis dan pragmatis. Demokrasi bercorak transaksional, bkn substantif. Maka trjd pelanggaran etika oleh semua pihak yg terlibat. Ini jg yg terjadi dlm kasus Anies sekarang ini. Wallahu \'alam bishawab. Tangsel, 5 Sept 2023

Surat Terbuka Kepada Anies Baswedan

Oleh Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)  MAS Anies yang baik, dalam gelisah saya menulis surat ini saat banyak orang sedang terlelap dalam bekap mimpi yang merisaukan. Belum juga dikumandangkan adzan, ajakan berserah diri pada Tuhan, sebelum memulai kehidupan yang rumit. Seringkali berat.  Tadi, saat saya membuka layar HP, berita pertama yang saya temukan adalah deklarasi “Anies for President” di sebuah daerah yang jauh. Berita sejenis telah menjadi rutin belakangan ini: setiap hari ada saja sekumpulan orang dengan wajah masygul penuh harap menginginkan mas Anies memimpin negara ini pada 2024. Saya terharu, tapi takut harapan mereka tak terpenuhi. Wajah mereka mirip orang-orang Madinah yang gelisah menunggu hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah dalam film “The Messenger.\" Bahkan, banyak yang berlomba naik pohon Kurma untuk menjadi orang pertama yang melihat kedatangan tokoh besar yang, di kemudian hari, menjadi pengubah dunia terbesar sepanjang sejarah.  Mas Anies yang baik, tentu mas Anies bukan Nabi.  Tetapi sejarah dunia menunjukkan ikhtiar seorang presiden yang cerdas, ikhlas, dan visioner, bisa menjadi awal bagi lahirnya persatuan , kemakmuran , keadilan sosial, dan lompatan besar sebuah bangsa.  Presiden AS yang pertama, George Washington, adalah salah satu contohnya. Ah, saya tak usah mengatakan ini, toh mas Anies juga sudah lebih dari tahu. Yang ingin saya katakan, orang2 yg mendeklarasikan “Anies for President” yakin mas Anies bisa menjadi salah satu Presiden negarawan yang dapat mengurai berbagai masalah dan tantangan bangsa hari ini. Kasihan, kita sudah merdeka 77 thn, tapi kesejahteraan dan keadilan masih jauh dari mereka. Mereka masih sama seperti rakyat Mesir yang membangun Piramida atau rakyat Cina yang membangun Tembok Raksasa hanya untuk mengejar ambisi pribadi Penguasa yg ingin terlihat perkasa tanpa peduli pada kesengsaraan rakyat. Menyedihkan bukan?  Tapi bukan hanya itu! Bangsa ini sedang menghadapi banyak masalah, yang sepertinya tak mampu diatasi Rezim sekarang karena telah terjerat Oligarki yang punya kepentingan berbeda dgn kepentingan Negara dan Rakyat.  Orang-orang dari tempat-tempat jauh pun sudah mendengar bagaimana mas Anies melawan para Oligarki di Jakarta.  Mereka faham mas Anies tidak melarang orang untuk menjadi kaya, tapi keadilan sosial harus ditegakkan lebih dahulu. Biarkan kekayaan didapat dari kerja keras, kejujuran, dan sesuai aturan main. Itu yang mas Anies inginkan bukan? Itu sebabnya, banyak orang memanggil-manggil namamu dengan suara parau untuk menyelamatkan bahtera Indonesia yang sedang oleng.  Bukan orang memberi tahu, tapi mereka sendiri melihat dgn mata kepala bagaimana mas Anies mengurai benang kusut Jakarta menjadi kota layak huni. Bahkan, kota cerdas, segar, dan boleh dibanggakan bangsa.  Terpapar keindahan di mana-mana yang dapat dinikmati semua org. Tadinya mereka tak percaya kebobrokan klasik Jakarta bisa diubah menjadi kota yang nyaman.  Apalagi ada yg bilang mas Anies tak melakukan apa2, merusak harmoni warga berbeda agama karena mengusung politik identitas, dan pembohong.  Maafkan mereka yang terlambat memahami mas Anies. Orang-orang culas pada awalnya cukup berhasil menghancurkan pribadi agung sebelum kinerja dan moral mas Anies mengoreksi semua itu.  Bukan main kagetnya mereka ketika tahu mas Anies membangun Jakarta International Stadium dan Sirkuit Balap mobil listrik Formula-E. Amboi, bukankah itu mimpi orang Eropa?  Tapi mata mereka tak dapat berdusta. Baru sekarang mereka tahu bahwa ternyata org Indonesia pun bisa bermimpi dan mewujudkan mimpinya itu. Mereka berterima kasih padamu meskipun mas Anies tak membutuhkannya. Ajaib, mas Anies bilang itu hasil kolaborasi banyak pihak utk membagi pujian publik pada banyak orang. Padahal, sudah menjadi tradisi Pemimpin di negeri ini utk memonopoli pujian bagi diri sendiri meski pada kenyataannya dia tak melakukan apa-apa. Mas Anies yang baik, mereka yg ingin mas Anies menjadi Presiden adalah ekspresi kagum padamu. Betapa tidak, ketika tiba di ibukota, mereka tak lagi menemukan bus2 bobrok, Metro mini ugal2an, dan angkot yg ngetem di sembarang tempat. Padahal, baru kemarin aib itu menjadi etalase ibu kota. Huuusss… semuanya telah lenyap ke dalam sejarah usang Jakarta. Kendaraan umum berganti rupa dgn fasilitas yg aduhai. Sistem transportasi terpadu yang mengintegrasikan semua moda transportasi darat telah memudahkan mobilisasi warga dengan biaya murah. Kok bisa? Kenyataannya memang begitu . Yang suka jalan kaki difasilitasi dgn trotoar.  Silakan bersepeda bagi yang hobi karena tersedia jalur yang aman. Pemberhentian bus jadi tontonan yg mengasyikan karena menghadirkan kemoderenan yg dulu hanya terlihat di film-film Hollywood.  Kalau para Gubernur sebelumnya iri hati pada mas Anies, itu lantaran mereka baru tahu bahwa kota bisa disulap dengan ide-ide kreatif. Lebih daripada itu, mas Anies membawa pemahaman baru tentang kota; bahwa kota adalah hunian yg memadukan kebutuhan fisik dan jiwa manusia utk mendapatkan kenyaman hidup maksimal yg, pada gilirannya, membuat manusia dari semua bakat dapat mengaktualisasi diri dan berinovasi utk kebaikan bagi semua.  Tapi itu baru infrastruktur. Belum lagi pelayanan sosial yg mengagetkan sekaligus mengharukan mereka.  Kaum disabilitas, guru, siswa, fakir miskin, mereka yang tergusur, dan orang-orang yang berjasa bagi Jakarta dan negeri dipenuhi hak- hak mereka.  Serentak mereka terkejut karena mas Anies bilang ini hak mereka dan merupakan janji kemerdekaan yg harus dipenuhi pemimpin.  “ Hak? Kami punya hak?” Mereka bertanya sambil berlinang air mata.  Selama ini mereka tahu rakyat hanya punya kewajiban, bukan hak. Kewajiban mengabdi pada penguasa sejak zaman yg tak dapat diingat lagi. Bahkan, mereka mengira menggusur rakyat miskin di bantaran Sungai Ciliwung tanpa kompensasi sudah merupakan takdir dari langit. Tiba-tiba saja mas Anies bilang itu tidak benar.  Terkejutlah mereka bukan kepalang.  Belum lagi habis mereka bertanya apakah mereka tidak sedang bermimpi, mas Anies telah menyodorkan kepada mereka hunian baru yang lebih manusiawi. Mulai hari itu beban hidup mereka terasa lebih ringan di bawah langit biru yg membentang sampai jauh. Syukuran pun mereka gelar sebagai terima kasih kepada Tuhan Maha Pemurah melalui perantaraan-mu. Mas Anies yang baik, sebelum mendeklarasikan “Anies for President”, telah lebih dahulu mereka bergegas menemui para rohaniawan yang sedang berdoa bagi panjang umurmu.  Mereka ingin mendapat konfirmasi apakah benar mas Anies melayani keperluan rumah ibadah semua Agama. Para pemuka tiap Agama itu lalu naik ke mimbar dengan emosi yang membuncah. Dengan suara serak sambil terisak, mereka berkata, \"Sebenarnya kami malu utk menyampaikannya. Tapi kebenaran tak bisa disembunyikan, seperti Matahari di siang bolong. Memang benar Anies telah membantu kami secara adil. Lihat, indahnya rumah ibadah kita hari ini berkat bantuan beliau.”  Mereka mengaku merasa bersalah karena dalam Pilgub dulu tak menyoblos mas Anies.  Tapi mas Anies tak kecewa. Para pemuka Agama itu merasa terhina karena hati dan pikiran tak mampu menuntun mereka pada pilihan yang benar.  Ketika itu benak mereka telah terkontaminasi Propaganda orang-orang jahat. Sekarang mereka bilang, alangkah mulianya mas Anies yang telah juga meningkatkan kerukunan antar Ummat beragama. Mereka mengaku telah menggunakan kaca pembesar utk mencari politik identitas pd dirimu, tapi tak ditemukan. Jakarta di bawah kepemimpinan mas Anies ternyata jauh berbeda dari apa yg mereka bayangkan sebelumnya.  Tak heran, orang menduga kuat para Rohaniwan itu juga ingin mas Anies memimpin Indonesia. (*)