OPINI

Demokrasi Harimau dan Konstitusi Ular

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies LAWAN gerakan perubahan yang sesungguhnya ialah kecurangan. Kecurangan yang menumpang pada politik uang, sembako dan survey serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Uang bukan hanya sebagai alat tukar barang. Lebih dari itu uang juga telah menjadi alat tukar jabatan. Bahkan uang juga menjadi alat tukar yang murah bagi suara dan kehormatan. Banyak yang memiliki kesadaran akan nilai-nilai, namun tak sedikit pula yang  mengidamkan material, terpaksa atau sadar menukar harapan dan masa depannya hanya dengan uang.  Demi uang yang tak seberapa, untuk sembako yang sesaat, karena survey yang menyesatkan, tak lagi tekad  dan kuat menyongsong perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Pola pikir dan mentalitas yang demikian menjadi rahim subur bagi tumbuh-kembangnya janin kecurangan dalam sistem demokrasi yang kapitalistik dan transaksional, juga konstitusi yang manipulatif. Satu-satunya kepastian adanya pelaksanaan  pemilu dan pilpres 2024 adalah kecurangan. Maka semua instrumen yang ada mulai dari lembaga penyelenggara, pengawas, persyaratan,  tahapan agenda pemilu dan pilpres sampai pelaksanaan dan hasilnya, hanya menjadi  integrasi kecurangan. Orang, institusi, program dan kerjanya dipastikan diselimuti kecurangan. Mengapa begitu skeptis dan apriori menilai pemilu dan pilpres 2024, bahkan sebelum semua itu dilaksanakan?. Jawabannya sederhana, ada aspek historis dan empiris. Paling antar pemilu dan pilpres 2019, kecurangan begitu telanjang hingga tampak  tetesan   darah dan nyawa yang melayang. Puncaknya melahirkan prahara yang bersemayam dalam kepemimpinan nasional yang buas. Pemilu dan pilpres 2019 bagaikan orkestrasi kejahatan mafia berlabel negara. Pesta demokrasi dengan busana konstitusi yang mahal dan eksklusif,  telah menjadi industri dengan produk kejahatan negara yang legal dan formal. Legislatif, eksekutif dan yudikatif dipenuhi sekumpulan setengah manusia setengah binatang. Menjadi hewan pemangsa berwujud manusia, memburu harta dan jabatan sembari memangsa siapapun yang lemah. Kini, supremasi pilpres 2019 akan diwariskan pada pilpres 2024. Kecurangan yang terstruktur, sistematik dan masif, terus menggejala. Gerombolan para elit jalang itu, tentulah tidak semua yang mewakili rakyat. Ada yang tetap menjadi manusia, ada yang telah menjadi binatang dan ada pula yang menjadi percampuran keduanya. Amanah dan penghianatan terus bertarung, meskipun keganasan yang selalu tampil sebagai pemenang. Lihatlah kebinatangan yang begitu dominan, mewujud KKN dan oligarki hingga politik dinasti. Metamorfosisnya pada eksploitasi bangsa atas bangsa dan eksploitasi manusia atas manusia.  Bagi segelintir orang dan kelompok, harta dan jabatan hanya untuk eskalatif kepuasannya. Bagi yang banyak namun tak berdaya  dan terpinggirkan,  mereka hanya sekadar bertahan dari lapar dan kematian. Kedua habitat yang sama namun berbeda tabiat itu, menjadi pelaku dan korban dari demokrasi. Juga tak luput sebagai subyek dan obyek konstitusi.  Sayangnya pergulatan itu tak bisa terhindar dari konflik dan peperangan, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Memangsa atau dimangsa, menjadi hukum rimba dari geliat demokrasi harimau dan konstitusi ular. Keyakinan dan nilai-nilai yang diagungkan sekaligus berpotensi menjerumuskan dan bukan tidak mungkin mematikan. Demokrasi dan konstitusi kerap dipuja dan menjadi tuntunan, betapapun penderitaan dan kesengsaraan menjadi alat tukarnya. (*)

Pendukung AMIN Dibuat Kagum oleh Anies Baswedan dalam Debat Perdana Capres 2024

Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Anggota Dewan Pakar TIMNAS AMIN) DALAM debat perdana Calon Presiden 2024, Anies Baswedan menonjol sebagai figur yang berada di atas angin.  Dengan penuh keyakinan dan pengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies mampu menyampaikan visi dan misinya secara tegas, menjadikannya fokus perhatian. Pemaparannya yang jelas terhadap isu-isu krusial seperti pemberantasan korupsi, kebijakan lingkungan, dan hak asasi manusia mencerminkan pemahaman mendalam akan tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia. Keunggulan Anies Baswedan terlihat dalam kemampuannya merespons pertanyaan dengan argumentasi yang kuat dan solusi yang konkret.  Gaya retorikanya yang tenang dan persuasif memberikan kesan bahwa ia memiliki kontrol penuh terhadap materi debat. Dalam suasana politik yang penuh dinamika, Anies berhasil mempertahankan diri dan menyampaikan pesan-pesan kunci dengan jelas, menjadikannya calon yang dinilai berada di atas angin dalam perhelatan debat capres 2024 ini. Anies Menampilkan Kenyataan yang Menyedihkan tentang Penegakan Hukum Dalam momentum debat capres 2024, Anies Baswedan menampilkan dirinya sebagai sosok yang berkomitmen untuk mengembalikan Indonesia kepada prinsip-prinsip negara hukum.  Dalam pidatonya, Anies dengan tegas menyampaikan pandangan bahwa hukum harus menjadi rujukan utama, memastikan keadilan, memberikan manfaat, dan memberikan kepastian kepada semua warga negara. Dengan bahasa yang lugas dan tegas, Anies mencerminkan ketegasan dan keyakinannya dalam memegang teguh prinsip negara hukum. Anies tidak hanya menyoroti tantangan dalam pemerintahan saat ini, tetapi juga menekankan perlunya perubahan yang mendalam. Dia mempertanyakan praktik-praktik yang mengarah pada penekukan aturan demi kepentingan kelompok tertentu yang sedang memegang kekuasaan.  Dengan lantang, Anies menyatakan bahwa perubahan ini harus dilakukan untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Selain itu, Anies turut mengangkat isu-isu sosial yang melibatkan generasi muda, terutama milenial dan Generasi Z. Dia memberikan apresiasi kepada mereka yang peduli pada masalah-masalah sosial, meskipun seringkali dihadapi dengan kekerasan dan hambatan. Pidato Anies mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk mengkritik pemerintah, terutama dari kalangan generasi muda. Dalam menyoroti peristiwa-peristiwa kontroversial, seperti kasus kekerasan terhadap Ibu Mega Suryani Dewi, Anies memberikan suara untuk yang tidak terdengar. Ia menekankan urgensi perubahan dalam menanggapi kasus-kasus serius yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari pihak berwenang. Dalam pidato Anies Baswedan, ia juga mengangkat kasus Harun Arrasyid, seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 yang tewas dalam protes hasil pemilu. Anies menyampaikan keprihatinan dan mendedikasikan perhatiannya pada kasus ini, mengkritik ketidakjelasan yang masih mengelilingi kematian Harun Arrasyid sampai dengan hari ini. Dengan memberikan tempat dalam pidatonya untuk membahas kasus Harun Arrasyid, Anies menunjukkan kepekaannya terhadap isu-isu keadilan dan hak asasi manusia.  Ia menegaskan pentingnya menyelesaikan kasus-kasus serius, termasuk ketidakjelasan yang terjadi dalam kasus Harun Arrasyid, sebagai bagian dari perjuangan untuk menjaga martabat dan marwah kehidupan bernegara. Pendekatan ini juga mencerminkan komitmen Anies Baswedan untuk mendedikasikan perhatiannya pada isu-isu yang mungkin terabaikan atau tidak mendapat cukup perhatian dari pihak berwenang. Dengan membawa nama Harun Arrasyid dalam pidatonya, Anies memberikan suara kepada yang tidak terdengar, menyuarakan keadilan bagi korban, dan menegaskan kembali pentingnya penegakan hukum yang adil di Indonesia. Pendekatan Anies yang berfokus pada prinsip negara hukum, keadilan, dan partisipasi aktif generasi muda menggambarkan komitmennya untuk menciptakan perubahan positif dalam kepemimpinan. Dengan menyampaikan visi misinya secara jelas dan lugas, Anies Baswedan mampu meraih dukungan dan apresiasi dari sebagian besar pendengar debat capres tersebut. Statement Menohok Anies Baswedan tentang Konsistensi Oposisi sebagai Posisi Terhormat Dalam debat capres 2024 tersebut Prabowo sempat mengungkit buku lama tentang dukungannya sebagai oposisi dalam pilkada DKI Jakarta dan memenangkan Anies Baswedan. Tapi Anies Baswedan mampu mematahkan argumen tentang pentingnya oposisi dengan kebijaksanaan yang tajam.  Dengan penuh keyakinan, Anies menyatakan bahwa di dalam sistem demokrasi, sebuah pemerintahan yang kuat dan efektif harus mampu menerima kritik, baik dari oposisi maupun masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kritik dari oposisi merupakan instrumen penting untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan perbaikan dalam kepemimpinan.  Anies berhasil membuktikan bahwa pemimpin yang dapat menerima kritik adalah pemimpin yang mampu tumbuh dan menghadapi berbagai tantangan dengan bijaksana, memperkuat citra kepemimpinannya di hadapan pemilih. Selain itu, Anies Baswedan juga sukses menyoroti ketidak konsistenan Prabowo Subianto dalam barisan oposisi, terutama terkait dengan isu bisnis.  Dengan argumen yang terstruktur, Anies menunjukkan bahwa konsistensi dalam sikap dan keputusan bisnis sangat penting bagi seorang pemimpin. Ia menyoroti bahwa keberlanjutan dan konsistensi dalam bisnis mencerminkan kemampuan pemimpin untuk membuat keputusan yang tepat dan memahami dinamika ekonomi.  Dengan pematahan argumen ini, Anies Baswedan berhasil menggambarkan dirinya sebagai calon yang mampu menilai kritis dan menghadapi tantangan kompleks dalam perjalanan politik Indonesia. Prabowo tidak Cukup Kuat untuk Menyudutkan Anies Baswedan Terkait Polusi DKI Jakarta Dalam menghadapi bantahan Prabowo Subianto mengenai isu polusi di Jakarta, Anies Baswedan memberikan tanggapan yang terfokus pada fakta dan data yang mendukung kebijakan dan tindakan pemerintahannya.  Anies menyatakan bahwa pemantauan polusi udara di Jakarta dilakukan secara intensif dengan menggunakan alat pemantau kualitas udara. Ia mengklarifikasi bahwa ketika polusi berasal dari dalam kota, Jakarta secara konsisten melaporkan indeks polusi yang tinggi, sementara pada saat polusi berasal dari luar Jakarta, indeks polusi menurun.  Anies menekankan bahwa ini adalah langkah-langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah polusi dengan memanfaatkan data dan teknologi. Anies Baswedan juga mencatat bahwa pemerintahannya telah menerapkan sejumlah langkah untuk mengendalikan emisi dari kendaraan bermotor, termasuk pengujian emisi yang wajib. Selain itu, upaya elektrifikasi dan konversi kendaraan umum juga telah diterapkan untuk mengurangi dampak polusi udara.  Anies memberikan gambaran bahwa angka pengguna kendaraan umum yang ramah lingkungan telah meningkat dari 350.000 per hari menjadi 1 juta per hari. Dengan menggunakan data dan fakta tersebut, Anies Baswedan berusaha membantah pandangan bahwa pemerintahannya tidak berhasil mengatasi polusi di Jakarta dan menekankan pentingnya langkah-langkah konkret yang diambil untuk mencapai perubahan yang positif. Dalam tanggapannya, Anies Baswedan juga menyuarakan komitmen untuk terus menjalankan program pengendalian emisi dan penanganan polusi. Ia mencatat bahwa langkah-langkah tersebut perlu diterapkan bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di wilayah sekitarnya.  Dengan demikian, Anies Baswedan berhasil membantah pandangan Prabowo Subianto dengan menyampaikan bukti nyata dan data yang mendukung efektivitas langkah-langkah yang diambil dalam mengatasi masalah polusi di Jakarta. Terkait Isu Putusan MK, Anies Berkomentar tentang Ordal (Orang Dalam) Anies Baswedan memberikan tanggapan terkait fenomena \"ordal\" yang dianggapnya menyebalkan di seluruh Indonesia. Menurut Anies, fenomena ordal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti dalam penerimaan kesebelasan, pendaftaran sekolah, pembelian tiket konser, dan sebagainya.  Anies menyebutkan bahwa fenomena ordal ini membuat meritokrasi tidak berjalan dengan baik dan mengakibatkan hilangnya etika. Anies Baswedan memberikan contoh kasus di mana guru-guru di suatu tempat mengalami pengangkatan berdasarkan ordal. Menurutnya, tanpa adanya ordal, seseorang tidak bisa diangkat menjadi guru.  Anies mengungkapkan bahwa atasan di daerah tersebut bahkan menyatakan bahwa di Jakarta pun menggunakan ordal, sehingga mengajukan pertanyaan mengapa mereka di daerah tersebut tidak boleh menggunakan ordal. Tanggapan Anies Baswedan mengindikasikan keprihatinannya terhadap fenomena ordal yang dianggapnya merusak tatanan dan meritokrasi, serta mengakibatkan hilangnya etika dalam berbagai proses di masyarakat. Pernyataan Anies ini di bantah oleh Prabowo bahwa tidak ada kaitannya dengan posisi pasangannya, dan putusan MK tersebut tidak bisa dirubah! Tanggapan telak Anies tentang IKN yang Diipersoalkan Ganjar Pranowo Dalam debat capres 2024, Anies Baswedan berhasil memberikan bantahan dengan argumentasi yang baik terhadap IKN yang dipersoalkan oleh Ganjar Pranowo. Ganjar mempertanyakan manfaat IKN sebagai langkah pemarataan yang Indonesia sentris. Anies menjawab bahwa IKN bukan solusi untuk mengatasi masalah Jakarta, seperti kemacetan, polusi, dan kepadatan penduduk. Ia berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut harus diselesaikan di Jakarta, bukan dengan memindahkan ibu kota. Anies juga mempertanyakan urgensi pembangunan IKN. Ia menilai bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi, seperti pembangunan sekolah, infrastruktur, dan pupuk. Berikut adalah beberapa argumentasi Anies yang dapat menjadi dasar bantahannya terhadap IKN: IKN bukan Solusi untuk Masalah Jakarta Anies berpendapat bahwa IKN hanya akan memindahkan masalah Jakarta, bukan menyelesaikannya. Ia mengatakan bahwa kontribusi aparat sipil negara (ASN) terhadap kemacetan di Jakarta hanya 4-7%. Dengan demikian, memindahkan ASN ke IKN tidak akan mengurangi kemacetan secara signifikan. Selain itu, Anies juga mengatakan bahwa polusi dan kepadatan penduduk di Jakarta tidak akan berkurang dengan memindahkan ibu kota. Hal ini karena bisnis dan keluarga ASN masih akan tetap tinggal di Jakarta. Ada Kebutuhan-kebutuhan yang Lebih Mendesak Anies berpendapat bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi, seperti pembangunan sekolah, infrastruktur, dan pupuk. Ia mengatakan bahwa pembangunan IKN hanya akan menghabiskan anggaran yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Anies juga mengatakan bahwa pembangunan IKN tidak memberikan manfaat langsung bagi rakyat. Ia mengatakan bahwa IKN hanya akan menjadi tempat kerja bagi ASN, bukan pusat perekonomian. Bantahan Anies terhadap IKN dapat diterima oleh publik karena argumentasinya yang kuat dan logis. Anies berhasil menunjukkan bahwa IKN bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah Jakarta, dan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi. Dari debat Capres 2024 perdana tersebut, Anies Baswedan tampaknya berhasil menunjukkan performa yang unggul dengan menyajikan argumen yang berisi dan terfokus. Melalui jawaban-jawabannya yang mendalam, Anies mampu merinci pemikiran dan strategi penanganan berbagai isu dengan baik.  Argumentasinya yang jelas dan on point memberikan gambaran bahwa Anies memiliki pemahaman mendalam terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara. Dalam berdebat, Anies Baswedan menunjukkan kepiawaian dalam merespons pertanyaan dan memberikan solusi konkret dan empiris.  Performa unggul Anies Baswedan dalam debat Capres 2024 menegaskan bahwa ia memiliki kapabilitas dan kesiapan untuk memimpin negara dengan visi yang jelas dan terukur. (*)

Abaikan Pelanggaran Etik Paman MK, Prabowo Capres “Opportunist”

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  KALAU kriteria penilaian debat capres hanya dari sisi patriotisme, maka Pak Prabowo Subianto-lah orangnya. Beliau berapi-api. Antara lain beliau mengatakan, “Saya sudah siap mati untuk negara ini.” Ini sangat patriotis. Tapi, apakah memang murni siap mati untuk negara? Tunggu dulu. Sebab, secara jujur Pak Prabowo menegaskan bahwa dia ingin berkuasa karena selama 20 tahun tanpa kekuasaan menyebabkan bisnis dia tak bisa jalan. Pantas diapresiasi pengakuan yang tulus ini. Ternyata, Pak Prabowo bolak-balik ikut pilpres karena ingin sekali berkuasa untuk menyuburkan kepetingan bisnisnya. Jadi, “Saya siap mati untuk negara ini” artinya dia tak siap mati sebelum bisnisnya hidup kembali. Maaf kepada para “dyie hard” Pak Prabowo. Indonesia tak butuh Bapak ini. Beliau 99% akan mendahului kepentingan diri sendiri dan oligarki bisnis. Dia bergabung ke Jokowi karena “desperate” alias kehilangan harapan untuk menjadi presiden. Prabowo berharap jalan menuju Istana akan terbuka dengan mengabdi di kabinet Jokowi. Harus diakui, memang ada peluang Pak Prabowo. Setahun yang lalu, Jokowi membuat Prabowo berbunga-bunga. Ada janji setengah hati Jokowi bahwa “kali ini giliran Pak Prabowo”. Anda masih ingat apa yang dilakukan Jokowi setelah mengucapkan janji itu? Pasti ingatlah. Dia tetap menunjukkan preferensinya kepada Ganjar Pranowo. Bukan kepada Prabowo. Meskipun Pak Menhan hari-hari memuja-muji Jokowi. Pada saat Jokowi menggadang-gadang Ganjar, kubu PDIP malah membusukkan dia. Sampai Jokowi hilang harapan pada “rambut putih itu memikirkan rakyat”. Setelah itu, Ganjar dirangkul dan dielus-elus kembali oleh Bu Megawati. Kemudian Bu Ketum mendeklarasikan Ganjar sebagai capres PDIP. Setelah itu Jokowi kembali intensif dengan Pak Prabowo. Dan menjadi sangat serius. Jokowi melakukan intervensi alias cawe-cawe. Sampai akhirnya Gibran Rakabuming dibukakan pintu oleh Paman Usman yang pegang kuasa di Mahkamah Keluarga (MK). Pasal batas usia 40 capres-cawapres dirombak. “Minimal berusia 40 dan pernah berpengalaman sebagai kepala daerah,” bunyi revisi pasal 169 UU No. 7/2017. Prabowo dipaksa menerima Gibran sebagai cawapres. Kabarnya, Pak Prabowo tidak sepenuh hati. Tapi, apa daya. Tak bisa ditolak. Belakangan, Prabowo malah senang bersama Gibran. Sebab, ayahanda sangat serius untuk menjadikan dia wapres. Dan para pengamat mengatakan, Jokowi tahu caranya. Dia sudah berpengalaman merebut kemenangan meskipun orang lain menderita. Dari sebelumnya tak menerima Gibran, Prabowo sekarang menikmati langkah Jokowi menempatkan anaknya sebagai cawapres. Prabowo juga menikmati ocehan Gibran. “Tenang Pak Prabowo. Saya sudah ada di sini,” kata ponakan Paman bagaikan boss menenangkan anak buahnya. Sekarang, bagaimana Anda memaknai suasana senang Prabowo bersama Gibran? Sudah pasti Pak Prabowo merasa ini kesempatan besar untuk menjadi presiden. Ada dukungan kuat dan all-out dari Jokowi. Dalam bahasa seberang, “kesempatan” artinya “opportunity”. Dan orang yang mengambil kesempatan disebut “opportunist”. Nah, apakah itu berarti Pak Prabowo seorang “opportunist”? Sekali lagi, dalam arti “pengambil kesempatan”, ya memang disebut “opportunist”. Yang tidak enaknya, “opportunist” itu bisa juga mencakup makna non-literal. Dalam konteks sosial-politik, “opportunist” adalah sifat atau karakter yang tercela. Seseorang disebut “opportunist” ketika dia melakukan langkah-langkah yang menguntungkan dirinya sendiri. Orang sering juga menyebut “opportunist” dalam makna mencari kesempatan dalam kesempitan. Eksploitatif. Tidak ada cerita moral. Nah, jika dikaitkan dengan putusan MK yang membuka jalan untuk Gibran ikut pilpres, maka “opportunist” sangat dekat dengan makna eksploitatif itu. Dari perspektif ini, Pak Prabowo bisa disebut “opportunist”. Kenapa? Karena MKMK memutuskan ada pelanggaran etik berat. Prabowo jalan terus. Sekarang, sudikah Anda dipimpin oleh “opportunist” yang mengabaikan etik dan prinsip moral?[]

Gemoy Jadi Tak Bernyawa, Terlepas Begitu Saja

Oleh: Ady Amar,  Kolumnis GEMOY memang tak bernyawa. Meski sebelumnya diberikan nafas buatan. Jadi gemoy-gemoyan, yang itu tentu tak sebenarnya. Gemoy hanyalah semacam topeng yang disematkan pada Prabowo Subianto--capres yang bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka. Topeng itu, Selasa malam (12 Desember) dibukanya, sekalian nafas buatan pun dicabutnya. Tak ada niat sebelumnya. Dilepas begitu saja. Ternganga melihat adegan itu, meski tak sampai terkaget. Topeng gemoy dibukanya di hadapan publik luas, tanpa disadarinya, itu saat Debat Capres Perdana. Topeng dibuka tentu bukan karena risih dan resah memakainya, karena itu bukan kepribadiannya. Bukan pula tersebab gemoy pakai goyangan segala, itu seolah menyiksanya--meski Prabowo tampak asyik menikmati jogetannya. Semua dilakoni demi jabatan prestisius sebagai presiden yang dikejarnya tanpa lelah. Goyang gemoy itu berkebalikan dengan sikap temperamental, yang itu kepribadian sejatinya seorang Prabowo. Goyang gemoy sekadar pencitraan, satu cara menutup kekurangan yang dipunya. Sah-sah saja itu dilakukan, ikhtiar memoles diri dengan tak sebenarnya. Saat Debat Capres itu, gemoy tak tampak lagi jadi topeng Prabowo. Dibukanya terang benderang. Prabowo tampil dengan yang sebenarnya, yang di sana-sini dimunculkan sikap temperamental-emosional. Ciri khas yang melekat pada dirinya. Mencitrakan diri gemoy-gemoyan, meski coba dikemas sedemikian rupa, tak mampu bisa bertahan lama. Aurat yang dikemas yang coba ditutupinya, dan yang menghabiskan nilai nominal rupiah tidak kecil, itu dalam sekejap bisa terbuka terang benderang. Skenario gemoy-gemoyan yang dimainkan menghadapi pilpres menjadi berantakan. Goyang gemoy diikhtiarkan mampu menyihir kelompok milenial dan Gen Z untuk menutup sikap temperamental yang dimiliki. Berharap bisa tertutup oleh goyang gemoy, yang mengasyikkan generasi muda khususnya. Menyasar generasi yang buta sejarah politik masa lalu--rekam jejak tidak mengenakkan--yang sebisanya ditutup dengan dimunculkan suasana riang gembira. Perwatakan Prabowo yang temperamental memang perlu dipoles. Mengubah perwatakan bukanlah perkara mudah, jika tidak mau disebut sebagai hal mustahil. Apalagi jika lakon itu dimainkan dalam durasi waktu panjang, rasanya tak mungkin. Sebab jika tersentuh sedikit \"syaraf\" kemarahannya, maka watak asli akan muncul tanpa disadarinya. Itulah yang dipertontonkan Prabowo Subianto, calon capres, yang mengikuti kontestasi Pilpres kali ketiganya. Saat pertanyaan dari Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo--2 capres lain yang berkompetisi dalam Pilpres 2024--sedikit menyinggung sensitivitas, yang sebenarnya itu hal biasa, maka emosi pun tersulut. Topeng gemoy yang diikhtiarkan menutup karakter keras seorang Prabowo, seketika itu dicampakkannya. Maka, milenial dan Gen Z yang diharap bisa menyumbang suara besar dari kelompok ini untuk kemenangannya, rasanya sulit bisa didapatnya. Sulit bisa melihat lagi Prabowo sebagai seorang kakek yang menggemaskan, yang tampak justru yang sebaliknya. Debat Capres akan dijalaninya 2 kali lagi, dan jika sikap temperamental terus Prabowo pertontonkan, maka milenial dan Gen Z yang diharap sebagai penyumbang terbesar elektoral, mustahil bisa didapatkannya. Impian menjadi presiden dari waktu ke waktu, itu hanyalah isapan jempol belaka. Dan, gagal maneh... gagal maneh.**

Prabowo Emosional, Ganjar Datar dan Anies Bernas

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  GESTUR tubuh yang memasang kuda-kuda sigap seakan defensif dan  menantang, seperti berusaha menahan dan menutupi amarah Prabowo. Begitupun dengan Ganjar yang main aman meski menyentil Prabowo. Keduanya tetap tersandera oleh citra buruk kepemimpinannya selama ini. Baik Prabowo maupun Ganjar, sama-sama miskin moral, berkebutuhan khusus pada nilai-nilai dan etika. Debat capres perdana yang diselenggarakan tanggal 12 Desember 2023 oleh KPU RI telah mengusik perhatian publik. Tiga capres mengadu visi sembari menguji kapasitas dan integritas masing-masing. Ada capres yang menguasai forum,  ada juga yang kehilangan momentum. Prabowo tampil tegang dan terlihat gagap. Ganjar dinilai terlalu  hati-hati dan datar. Hanya Anies yang perform, tenang dan menguasai materi di seputar perdebatan. Prabowo satu-satunya capres yang terlihat meledak-ledak dan emosional. Prabowo seperti menanggung beban sejarah masa lalu, baik karir militer dan kehidupan rumah tangganya maupun karir  politiknya kekinian. Berada dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dianggap gagal, mungkin  ini menjadi faktor Prabowo tampil tak lepas. Langganan capres dalam beberapa pilpres itu terasa dalam tekanan psikis, faktor usia lanjut dan kondisi kesehatan yang semakin menurun juga memengaruhi penampilannya. Kejahatan HAM berat dan kejahatan lingkungan dalam proyek Food Estate seperti yang dituding PDIP, serta kecenderungan sifat temperamen dan otoriter dalam  kehidupan pribadinya, terus membayangi eksistensi Prabowo.  Prabowo mulai reaksioner saat Ganjar melontarkan pertanyaan soal kejahatan HAM kepadanya. Begitu juga ketika Anies menyinggung kehidupan demokrasi, mantan menantu Soeharto dan Danjen Kopassus yang rumornya pernah dibawa ke pengadilan militer dan dipecat secara tak terhormat itu,  terlihat tensi tinggi dan mulai menyerang pribadi Anies. Prabowo usai dengan angkuhnya menyinggung demokrasi dan perannya saat Anies sebagai gunernur Jakarta. Seketika langsung lemas terkulai dan diam seribu bahasa, saat Anies mengingatkan Prabowo yang tak tahan menjadi oposisi  karena kepentingan bisnis. Prabowo seperti kena mental, tak cukup intelektual dan miskin moral. Ia larut dan terseret dalam keakuan dan sifat berkuasanya terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Sementara Ganjar, berusaha menghindar pembahasan teknis dan menghindari pembahasan terkait kasuistik. Sekonyong-monyong Ganjar sedang menyampaikan dongeng, bukan bicara negara dan kepemimpinan nasional. Berulang kali menyampaikan diksi afirmasi, seakan-akan persoalan bangsa hanya bisa diselesaikan dengan konsep afirmasi dalam metode pembelajaran di sekolah. Ganjar bagai kekeringan gagasan, terlalu umum dalam pembahasan dan seperti sedang curcol, meminjam istilah gen-Z sekarang. Ganjar sepertinya cerdik, untuk menghindari perdebatan sengit soal rekam jejaknya yang buruk karena kasus E-KTP, Wadas dll. yang begitu kuat menempel sosoknya. Boleh jadi untuk menghindari itu, Ganjar lebih sering bersolek di media sosial, membekali diri dengan pencitraan dan terkesan main-main dan gampangan. Hanya Anies yang begitu rigid dan integral holistik membahas masalah-masalah prinsip dan mendasar. Walaupun pembahasan negara begitu terbatas  waktunya dalam debat capres. Secara runut Anies berhasil mengupas sekaligus mampu  melakukan refleksi dan evaluasi kehidupan demokrasi dan konstitusi serta penegakan hukum. Salah satu isu utama yang penting dan utama oleh  Anies yang tidak diangkat Ganjar dan Prabowo, adalah masalah keadilan. Hanya Anies yang cerdas dan lugas  membahas apapun produk politik, ekonomi dan hukum itu, harus mendepepankan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, hanya dengan  itulah negara bisa dianggap memiliki keberadaban, bisa mewujudkan persatuan dan  kesejahteraan. Anies juga mengangkat soal korupsi dan penanganannya, termasuk pemiskinan dan perampasan harta pelakunya. Harus ada nilai-nilai dan etika dalam proses penyelenggaraan negara baik dari kalangan pemerintahan  maupun dari pihak oposisi. Pemerintah  dan oposisi sama-sama terhormat. Tegas  Anies sebagai capres yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang membuatnya tampil memesona dan  percaya diri dalam debat capres tersebut. Debat capres awal telah berlangsung, meskipun bukan satu-satunya tolok ukur kepemimpinan, setidaknya forum itu membantu publik mengenal sifat dan karakter seorang capres. Rakyat bisa menilai langsung, apa yang ada dalam pikiran, kata dan tindakan capres saat itu menunjukan kebiasaannya selama ini. Hanya habit baik yang baik maupun buruk yang mampu menentukan siapa capres yang memiliki kualitas dan kuantitas terbaik kepemimpinannya. Rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi sejatinya telah mendahului apa yang dipikirkan, apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan  seorang capres. Tak bisa terbantahkan dan publik yang langsung menilai, Prabowo emosional, Ganjar datar dan Anies yang bernas.  Pencitraan tak akan mampu menyembunyikan fakta, dalam kepemimpinan hanya jiwa yang layak mengemuka. (*)

Bahaya dan Buruknya Demokrasi Manipulatif

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute) DEMOKRASI yang sejatinya berasal dari kata “demos” (suara) dan “cratos” (rakyat) adalah konsepsi bernegara  sebagai antitesa dari sistem monarki absolut dan diktatorian otoriter. Dimana perbedaannya adalah pada pendistribusian kekuasaan. Dalam monarki absolute dan diktatorianisme, kekuasaanya bersifat tunggal, private/elite dan terpusat, namun pada sistem demokrasi pendistribusian kekuasaan itu dibagi dalam tiga rumpun (bidang) yaitu : Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif yang lazim kita sebut dengan Trias Politika. Sedangkan Trias Politika ini, dibentuk berdasarkan proses politik negara yang bersumberkan pada “kehendak mayoritas rakyat” melalui Pemilihan Umum dan proses rekruitmen karier. Dimana sebuah kepemimpinan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan proses politik praktis, dan organisasi negara pelaksanaannya berdasarkan politik negara sesuai amanat konstitusi. Demokrasi sebagai antitesa kekuasaan absolute/private dalam konteks global banyak melahirkan negara berbentuk Republik. Dimana “re” dan “publik” mengisyaratkan bahwa ada kekuasaan yang diberikan kepada “publik/public” bukan lagi “private”. Namun mirisnya, secara faktual empiris, kontestasi dalam proses politik di dalam sebuah negara, kadang kala kalah oleh design kekuatan “invisible hand” yang konsisten selalu ingin menjadi pemegang tunggal kekuatan hegemoni yang dominan dalam mengendalikan dunia global. Alias elit global atau elite minority. Buktinya, banyak negara yang meski sudah puluhan tahun merdeka, ketika menjalankan demokrasi justru menjadi negara “bebek lumpuh”. Kemajuan yang didapatkan, justru terdistribusi hanya pada sekelompok elit semata. Kesejahteraan masyarakat dimana negara seharusnya menjadi “walfare state” (negara kesejahteraan), menjadi jauh dari harapan nyata. Negara di balik menjadi alat instrumen kekuasaan para kelompok elit. Instrumentasi politik demokrasi, melalui proses “social engineering” (rekayasa sosial) yang seharusnya berkedaulatan rakyat dengan mudah berubah menjadi berkedaulatan partai politik. Sedangkan untuk penunjukkan seorang pimpinan partai politik, mesti “berselingkuh” dengan penguasa dan para cukong. Sebagai sponsorshipnya. Tidak saja hanya sampai di situ, para politisi (produk partai politik) yang seharusnya hadir sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat di legislatif, terpaksa harus tunduk dan patuh kepada pimpinan partai politik. Karena pimpinan partai politik mempunyai kewenangan untuk “me-recall” atau melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap kadernya yang duduk di legislatif. Artinya, rumpun antara eksekutif dan legistalitif sudah bukan sebagai mitra “check and balance” lagi, namun sudah berkulindan dalam rumpun kepentingan yang sama. Lalu bagaimana dengan rumpun eksekutif ? Hampir sama nasibnya. Ketika rumpun eksekutif dalam proses rekruitmennya melalui kekuasaan presidensial yang dibuat oleh legislatif, secara perlahan namun pasti, terkontaminasi oleh proses politik pragmatis dan praktis.  Buktinya, seorang Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan secara tunggal dan kolektif para calon Kapolri, Panglima TNI, Kejaksaan Agung, bahkan para Hakim MA dan MK. Dimana, pihak legislatif hanya ibarat stempel kosong karena apapun keputusannya sudah pasti berdasarkan perintah pimpinan partai politiknya. Nah ketika tiga rumpun Trias Politika ini lumpuh, maka demokrasi yang berjalan di sebuah  negara tersebut boleh dikatakan dengan istilah demokrasi manipulatif. Karena kekuasaan suara rakyat hanya termanifestasi dalam bentuk euphoria Pemilu semata, alias jadi objek bukan subjek politik. Bagaimana suara rakyat akan berdaulat pada negara, sedangkan pemerintahannya hanya dikendalikan oleh sekelompok elit politik yang mencengkram kuat masing rumpun Trias Politika sebagai mesin utama demokrasi. Misalnya, seorang Presiden satu kelompok politik dengan pimpinan legislatif dan menguasai mayoritas kursi di dalamnya. Dan dengan kekuasaannya bersekutu untuk menempatkan orang-orang “dalamnya” menjabat di posisi strategis jabatan yudikatif.  Atau lebih konkritnya lagi sebagai contoh yang sedang terjadi saat ini pada negara kita. Ketika Presidennya dengan pimpinan legislatif satu kelompok partai politik, lalu untuk Kapolri dan Panglima TNI nya adalah diambil dari para mantan sespri Presiden, kemudian untuk para hakimnya dari saudara ipar, dan pejabat di kejaksaan agung dan jajarannya adalah hasil penunjukan dari kerabat tokoh partai politik penguasa.  Bagaimana masyarakat dan kekuatan civil society akan percaya integritas penyelenggara pemerintahan hari ini yang dipimpin Joko Widodo ? Ditambah perilaku otoritarianisme antikritik dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, menjadikan gaya kepemimpinan Joko Widodo saat ini mirip fasisme diktatorian. Buktinya, tak terhitung berapa banyak para tokoh, ulama, aktifis yang dipenjarakan secara sewenang-wenang hanya karena perbedaan pendapat dan berasal dari satu kelompok agama tertentu yang kritis pada pemerintahannya. Reformasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh para mahasiswa dan aktifis 1998, saat ini dikangkangi dan dikhianati oleh Joko Widodo bersama keluarganya. Faktanya lagi, permasalahan KKN, anti perbedaan dan krisis kedaulatan akan sumber daya negara semakin parah dan rusak dalam pemerintahan saat ini, menurut para ahli seperti Begawan Ekonomi Rizal Ramli, Faisal Basri, bahkan mantan ketua KPK Agoes Rahardjo. Ini semua terjadi tentu akibat, keberhasilan seorang Joko Widodo bersama antek-anteknya mengkonsolidasi kekuasaan rumpun Trias Politika menjadi tersentralistik kembali di bawah ketiak istana. Ada yang berani melawan ? Maka akan dimutasi dan dibongkar dosa-dosanya terdahulu melalui tangan aparat hukum. Inilah hasil dari sebuah kamuflase negara otokrasi berbaju demokrasi manipulatif. Tampilan seolah berdemokrasi, padahal negara sudah di kuasai oligarkhi melalui para proxy nya. Akan lebih parah lagi dalam hal Pilpres saat ini. Seorang anak Presiden dengan mudah lenggang kangkung menabrak benteng sakral konstitusi, untuk bisa maju sebagai Cawapres.  Belum lagi mutasi besar-besaran di tubuh TNI/Polri, Kementrian, yang tentu saja hal ini wajar menjadi kecurigaan besar bahwa sebuah skenario akan terjadinya intervensi kekuasaan dalam proses Pemilu di tahun 2024 nanti dari sekarang.  Belum lagi dalam hal perekrutan KPU, KPUD, Panwaslu, seluruh Indonesia, plus penunjukan PJ kepala daerah sebanyak 272 di seluruh Indonesia yang tendensius dan juga bertentangan dengan konstitusi serta azas hukum otonomi daerah. Beginilah dampak buruk dari sebuah negara apabila sudah dikuasai oleh sekelompok elit kekusaan yang ambisius dan rakus. Jangan harap akan ada kepentingan rakyat di dalam dada mereka. Kepentingan rakyat hanya jadi bahasa lip service masa kampanye. Rakyat hanya jadi objek pencitraan manipulasi. Solusinya tentu tidak ada selain kembali lagi kepada rakyat itu sendiri. Apakah akan terus diam, dan berdamai dengan penderitaannya ? Apakah tetap diam ketika negara ini sudah sekarat dijarah, dirampok, dijual dengan murah kepada sekelompok elit semata? Atau bersama bangkit berdiri melawan dan bersatu, secara konkrit melalui hak suaranya memilih pemimpin yang jauh dari lingkar kekuasaan hari ini dan senantiasa mengawasi prosesnya,  agar negeri yang indah dan kaya raya ini memang menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi kita, Pancasila dan UUD 1945. InsyaAllah. Jakarta, 13 Desember 2023.

Harun, KM 50 dan Kanjuruhan adalah Palu Godam

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM debat Calon Presiden 12 Desember 2023 di Gedung KPU muncul permasalahan Hak Asasi Manusia. Anies Baswedan mengangkat kasus pelanggaran HAM yang tidak  diusut tuntas diantaranya penyiksaan dan pembunuhan Harun Al Rasyid bocah 15 tahun pada aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu.  Demikian juga pembantaian 6 Syuhada di Km 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek tanggal 7  Desember 2020 dan tewasnya 135 penonton di Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Seluruhnya dilakukan secara brutal oleh aparat rezim Jokowi.  Harun Al Rasyid bukan Harun Masiku yang disembunyikan atau hilang badan akan tetapi remaja yang hilang nyawa disiksa dan ditembak oleh aparat Brimob. Harun Al Rasyid adalah pendukung Prabowo yang kematiannya  sama sekali tidak dipedulikan. Prabowo menikmati kekuasaan sebagai Menhan dan berjoget-joget di tengah kesedihan keluarga Harun.  Enam pengawal HRS yang dibantai aparat juga bagian dari pendukung Prabowo. Ijtima Ulama diinisiasi oleh Habib Rizieq Shihab. Jangankan simpati atas pembantaian tersebut, sedikit komentar pun tidak ada. Sungguh Prabowo menjadi tidak beradab berada di bawah ketiak Jokowi yang dipuja-puji setinggi dewa-dewi.  Kanjuruhan Malang saksi tragedi kebrutalan aparat Brimob yang menembakan gas air mata ke arah penonton. 135 orang tewas sia-sia. Kasus Kanjuruhan adalah pelanggaran HAM penggunaan aparat berlebihan dan tindakan tidak profesional menembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Kebodohan itu menjadi sorotan dan kutukan dunia.  Analisis Kompas TV menempatkan HAM menjadi persoalan yang mengemuka bahkan utama. Pelanggaran HAM lebih tertuju kepada Prabowo. Peristiwa 1998 selalu dipermasalahkan akibat tidak tuntas dalam penanganan. Kasus Harun Al Rasyid dan Km 50 juga menohok Prabowo yang melakukan sikap \"tidak peduli\" bahkan \"membiarkan\". Ketika Anies bersemangat mengangkat pelanggaran HAM lalu Ganjar merespons siap menuntaskan dan Prabowo menanggapi secara normatif dan konservatif, maka hal itu menjadi catatan ke depan tentang bagaimana cara menangani dosa politik rezim Jokowi.  Harun, Km 50 dan Kanjuruhan merupakan palu godam yang siap meremukkan Jokowi, kroni dan penerusnya. Pabowo Gibran akan ikut remuk bila tidak keluar dari lingkaran.  Agenda Pilpres saat ini ternyata bukan hanya berbicara soal penggantian tetapi juga gerakan untuk penghukuman dan pemenjaraan. Terlalu enak jika hanya turun dan diganti, sementara kerakusan, ketidakpedulian, kemunafikan serta kejahatan kemanusian dibiarkan dan dilupakan begitu saja.  Harun, Km 50 dan Kanjuruhan adalah satu dari seribu kejahatan Jokowi dan rezimnya. (*)

Negara Ini Butuh Patriot bukan Anak Idiot

Oleh Sutoyo Abadi| Koordinator Kajian Merah Putih  (Kami bukan pembangun kuil. Kami hanya pembawa batu. Kita adalah generasi yang harus binasa. Semoga tumbuh generasi lebih baik bangkit dari kubur kita ) - (Henriëtte Roland Holst). Puisi merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Para pejuang bertarung menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” -- sebuah semboyan yang kini terasa absurd, dengan lahirnya generasi yang kosong dari nilai nilai perjuangan para pendahulu kita. Mempertaruhkan nyawa untuk mencapai kemerdekaan, mereka berjuang menempuh bahaya yang sangat besar. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi dan pemimpin yang lebih sempurna....” Dugaan kuat Jokowi apalagi Gibran sangat mungkin tidak mengetahui, bahwa konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik.  Para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”.  Sangat mengerikan akibat kosong nilai dan buta sejarah tingkah para pemimpin kita saat ini  menjadi lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, hanya semata mempertahankan kekuasaan. Akibatnya kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni \"respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya\" Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”.  Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. Musuh masing-masing juga berbeda : Musuh patriotisme adalah _\"segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi\"_. Sementara bagi \"nasionalisme” yang dimusuhi adalah \"pencemaran budaya, ketidak utuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing\" Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda berjiwa patriot, seperti pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan.  Patriotisme  menuntut  khususnya anak muda menjadi calon pemimpin memiliki kepribadian,  peduli dan memahami terhadap denyut kehidupan rakyat,  anti ketidak adilan, penindasan dan penjajahan gaya baru. Bukan anak muda ingusan yang hanya bisa berjoget-joget model _\"gemoy\"_ yang menjijikkan seperti anak editor, terkesan liar dan tidak terdidik.  Bukan anak bodoh yang akan dibesarkan menjadi boneka oligarki. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme. Apa bunyi seruan itu?.  “Your Country Needs You” --Negeri Membutuhkan Anda. Dan anak raja sebelum masuk sebagai bagian pemimpin negara terlebih dahulu di tempa wajib militer bahkan harus terjun di medan perang. Bukan langsung jadi kandidat Cawapres yang tidak terdidik tanpa rekam jejak sebagai pejuang atau patriot. Negara buruh patriot bukan anak ediot. ***

Gemoy yang Tak Sekadar Goyang: Prabowo (Sepertinya) Tengah Belajar dari Bongbong Marcos

Oleh Ady Amar - Kolumnis Tiba-tiba Goyang Gemoy dimunculkan. Tampil bak penyihir mampu melenakan nalar. Tidak sekadar goyang lucu keriangan. Ada kekuatan di baliknya menyasar kalangan tertentu, yang melihat politik cuma dengan sebelah mata. Goyang gemoy tidak sekadar goyang layaknya penari dangdut bergoyang. Goyang gemoy menyimpan kekuatan dahsyat, berharap melenakan kaum milineal dan Generasi Gen Z. Tidak semua memang asyik dengan keriangan sebagai sesuatu mengasyikkan.  Bersamaan pula dengan itu dimunculkan narasi tak berdiri sendiri, bahwa Pilpres 2024 itu layak sebagai ajang pesta riang gembira. Dan, goyang gemoy jadi andalan dalam berhadapan dengan gagasan dan narasi calon pemimpin bangsa, yang coba diketepikan. Yang itu dikesankan tidaklah sebegitu penting dibanding keriangan goyang gemoy. Adalah Prabowo Subianto salah satu kandidat capres, yang diidentikkan dengan gemoy, yang bermakna menggemaskan. Maka, ia tampil kapan saja dengan goyang gemoynya, bahkan di sembarang tempat. Tak perduli di tempat tak biasa sekalipun, ia tak merasa risih memainkan peran yang tak seharusnya. Pada acara serius sekalipun, dan itu saat pengundian nomor urut pasangan calon (paslon), yang diselenggarakan KPU, Prabowo tak segan menunjukkan bakat barunya sebagai penghibur. Tak merasa jengah, meski jadi tertawaan, ia bergoyang gemoy di depan tokoh politik lainnya, setelah beri sambutan sekadarnya. Prabowo muncul sebagai sang penghibur yang menggelikan. Serasa biasa saja saat berganti peran dari yang biasa kita lihat: seorang yang acap dengan sikap temperamental menjadi gemoy. Semua dibuat mafhum, bahwa ia sedang berperan jadi-jadian, peran yang berharap dapat \"menyihir\" kalangan milenial dan Gen Z. Goyang gemoy jelas ingin menyasar kelompok itu, yang memang diperebutkan. Lebih dari 50% elektoral pemilih ada pada kelompok ini, yang melihat politik tidak sebagai hal prinsip. Padahal kebijakan politiklah, yang menentukan masa depan. Tidak bermaksud mengecilkan kelompok yang jadi rebutan ini, tapi zaman memang menciptakan generasi muda yang cuek pada hal yang semestinya lebih disikapi dengan serius. Karenanya, goyang gemoy bisa menyihir kelompok \"rentan\" ini, yang asyik dengan hiburan lucu keriangan. Menjadi pantas seorang Prabowo tak segan menjadikan diri \"gemoy\", meski kita sulit melihat sikap gemoy itu ada pada dirinya. Tapi satu hal memang, tak sembarang orang bisa memutar peran jadi sebalik perangainya, seperti peran yang diperankannya. Peran menantang yang sampai memutus urat malunya. Prabowo hanya melakukan peran yang disodorkan. Peran utama goyang gemoy. Siapa yang menyodorkan peran itu, atau siapa pengatur skenario dan sutradaranya, tentu tidaklah dirangkap Prabowo. Mengubah peran dari tidak mengasyikkan menjadi mengasyikkan, itu mengingatkan pada Ferdinand Marcos, Jr., atau akrab dipanggil Bongbong Marcos, Presiden Filipina saat ini. Generasi milenial dan Gen Z di Filipina memang tidak mengalami era kediktatoran Presiden Ferdinand Marcos, ayah Bongbong. Meski generasi ini melek iptek, tapi jauh dari pemahaman sejarah politik negerinya. Maka, sang diktator itu dipelintir mereka yang bekerja untuk Bongbong, seolah masa keemasan Filipina itu terjadi saat dijabat sang ayah. Padahal pada era itu pengadilan dinjak-injak, pun sektor bisnis, sampai mengontrol media massa. Rezim Marcos pun sampai saat ini tidak mampu mempertanggungjawabkan dana korupsi sebesar USD 10 miliar (Rp 114 triliun). Bongbong pun sebenarnya pernah dijatuhi hukuman sebagai pengemplang pajak (1995). Semua jejak kebusukan rezim ini dan keluarga dikaburkan. Milenial dan Gen Z dikenalkan dari yang sebaliknya. Bongbong yang semula punya perangai tak asyik, dibuat menjadi pribadi mengasyikkan. Itulah kerja konsultan politik, yang meski tak sampai meminta Bongbong untuk bergoyang gemoy seperti saat ini dipertunjukkan Prabowo. Bongbong diminta agar ia tak menghadiri forum perdebatan di muka publik. Agaknya itu kelemahan Bongbong, yang tak ingin ditampakkan. Adalah Brittany Kaiser, mantan karyawan perusahaan konsultan politik Inggris, membocorkan bahwa Bongbong mendatangi perusahaan itu untuk menyulap keluarganya menjadi berkebalikan. Artinya, merombak citra keluarganya. Meski bocoran Kaiser itu ditepis tim kampanyenya. Bongbong tahu persis, konsumsi media sosial di Filipina di atas rata-rata. Bermacam platform yang muncul tak mampu membendung disinformasi yang diciptakan, ini yang dimanfaatkan tim kampanyenya. Pendukung Bongbong tidak sekadar memanipulasi narasi. Mereka pun menernakkan akun-akun anonim, guna menyerang siapa saja yang coba mengungkap kebenaran. Ditambah pula kerja lembaga survei yang memposisikan Bongbong selalu di peringkat atas. Upaya menggiring opini keterpilihan. Persis fenomena yang muncul di negeri ini. Ditambah lagi, kekuatan Bongbong untuk memenangi kontestasi pilpres menjadi lebih perkasa, itu saat ia \"melamar\" Sara Duterte Carpio, perempuan berusia 43 tahun. Sara putri dari presiden petahana, Rodrigo Duterte. Karenanya, tanpa diminta pun sang ayah akan ikut _cawe-cawe_ memenangkan sang putri sebagai wakil presiden. Satu hal, Sara tidak perlu sampai meminta bantuan MK \"mengerek\" umurnya, seperti yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka. Bongbong di Filipina--akhirnya menjadi presiden--dan Prabowo di Indonesia yang juga menggandeng Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, sedang berupaya membangun citra mengasyikkan, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Kelompok yang mesti dijauhkan dari informasi \"dosa\" masa lalu yang menempel, dan berusaha dihapusnya dengan manipulasi narasi, yang dibuat serba berkebalikan. Tidak persis tahu apakah Prabowo memakai jasa konsultan politik yang sama, sebagaimana yang pernah dipakai Bongbong untuk memenangkan pilpres di Filipina. Tidak ada yang tahu, atau setidaknya belum ada yang membocorkannya ke publik. Jika pun memakainya, itu tidaklah mengapa. Tidak ada aturan hukum yang ditabraknya. Maka, tidak masalah pula jika muncul analisa melihat fenomena Bongbong Marcos di Filipina, itu seperti melihat cermin, dan yang muncul wajah Prabowo Subianto. Ada kemiripan yang tak berdiri sendiri. Milineal dan Gen Z mesti disadarkan untuk bisa melihat fenomena yang muncul, yang tidak cukup cuma disikapi dengan keriangan. Itulah yang sepertinya sedang diupayakan kandidat lain saat mendekati kalangan itu, mengajak memilih dengan kritis dengan melihat gagasan dan rekam jejak kebaikan dari kandidat capres yang ada. Dan, memang itu yang mestinya jadi konsen untuk dipilih. Satu hal lagi, negeri ini sudah surplus penghibur, justru darurat munculnya pemimpin berintegtitas, yang akan membawa perubahan negeri ke arah lebih baik.**

Jejak Intervensi Pemberantasan Korupsi oleh Jokowi (Bagian 1): Niat dan Aksi Melumpuhkan KPK

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) 1. Kesaksian Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019, di KompasTV (30/11/23) mengguncang istana dan senayan. Agus Rahardjo memberi kesaksian, Jokowi minta kasus penyidikan korupsi e-KTP Setya Novanto dihentikan. Artinya, Jokowi telah melakukan intervensi terhadap KPK, dan berupaya menghalangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian, DPR mulai menanggapi kemungkinan menggulirkan hak interpelasi. Yaitu hak DPR untuk menyelidiki apakah Jokowi benar melakukan intervensi kasus korupsi. 2. Sebelumnya, Jokowi memang sudah terbaca mempunyai niat (mens rea?) untuk melemahkan pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi, melalui ketetapan (TAP) MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP Anti-KKN), yang kemudian melahirkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 3. Kemudian, TAP MPR Anti-KKN tersebut diperkuat dengan TAP MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 4. Semua itu akhirnya melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diposisikan sebagai lembaga negara yang independen, yang mempunyai tugas khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara tegas terhadap siapapun, termasuk Presiden. Oleh karena itu, KPK tidak boleh berada di bawah, dan tidak tunduk pada, pengaruh kekuasaan Presiden. 5. Hal ini dituangkan di dalam Pasal 3 UU KPK, yang berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” 6. Di dalam Pandangan Umum UU KPK juga dijelaskan: “Penegakan hukum …. Konvensional …. terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan … pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, ...” 7. Dan dipertegas lagi: “Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang …. terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.” 8. Oleh karena itu, pemilihan pimpinan KPK dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang independen, di mana hasil seleksinya kemudian diberikan kepada presiden. Setelah itu, Presiden akan memilih dan menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK (2 kali jumlah pimpinan KPK) kepada DPR. Dari 10 nama calon pimpinan KPK tersebut, DPR akan memilih dan menetapkan 5 pimpinan KPK. 9. Proses rekrutmen pimpinan KPK seperti itu menunjukkan KPK sebuah lembaga negara independen, di mana keanggotaan pimpinannya tidak diangkat oleh Presiden, dan tidak tunduk di bawah kekuasaan manapun, termasuk Presiden. 10. KPK sebagai lembaga independen nampaknya membuat Jokowi kurang nyaman. Jokowi terlihat jelas ingin menguasai KPK, dan membuat KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. 11. Langkah “kecil” pertama yang dilakukan Jokowi adalah menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) pada 18 Februari 2015, yaitu hanya 4 bulan setelah dilantik sebagai Presiden. Isi PERPPU pada dasarnya memberi wewenang kepada Presiden untuk mengangkat pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan jabatan pimpinan KPK. 12. “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebabkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah kurang dari 3 (tiga) orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sejumlah jabatan yang kosong.” 13. Artinya, tata cara pengangkatan pimpinan KPK yang diatur di dalam PERPPU, dilakukan tanpa proses panitia seleksi, tanpa persetujuan DPR, dan tanpa partisipasi masyarakat, jelas melanggar UU KPK, dan melanggar prinsip KPK sebagai lembaga independen yang tidak tunduk terhadap kekuasaan manapun, seperti dimaksud TAP MPR, UU Tipikor, dan UU KPK. 14. Kalau benar sampai terjadi kekosongan jabatan paling sedikit 3 pimpinan KPK, maka Jokowi bisa mengangkat orangnya, dan menguasai mayoritas pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang, sehingga membuat KPK praktis di bawah atau tunduk pada kekuasaan Presiden, secara personalia. 15. Tetapi, upaya awal untuk menguasai KPK tersebut, hanya 4 bulan setelah dilantik, tidak berjalan lancar. Karena sampai 2019 tidak pernah ada kekosongan jabatan pimpinan KPK. 16. Tidak lama kemudian terjadi insiden Agus Rahardjo, yang pada dasarnya membongkar motif atau niat Jokowi untuk menguasai KPK yang sesungguhnya. Sepertinya untuk melindungi dan menghalangi pemberantasan korupsi? Dua peristiwa tersebut di atas, yaitu insiden Agus Rahardjo dan PERPPU KPK tentang pengisian kekosongan jabatan pimpinan KPK, menunjukkan bahwa niat untuk intervensi KPK dan menghalangi pemberantasan korupsi sudah dibuktikan dengan tindakan nyata (actus reus?). Bersambung …. KPK Dalam Cengkeraman Presiden. —- 000 —-