OPINI

Gibran Gate dan Momentum Selamatkan Konstitusi, Batalkan UU Inkonstitusional: PT20, UU IKN, UU Cipta Kerja?

Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MK Gate, atau Gibran Gate, membuka kotak pandora. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik. Gibran Gate merupakan upaya Mahkamah Konstitusi memberi privilege kepada Gibran, keponakan Ketua Mahkamah Konstitusi, agar bisa dicalonkan sebagai wakil presiden, dengan cara diduga melanggar hukum pasal 17 ayat (5) UU tentang Kekuasaan Kehakiman, terkait konflik kepentingan dan kode etik. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, sekaligus pendiri dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pertama (2003-2008) merasa sedih. Kehormatan Mahkamah Konstitusi mencapai titik nadir, titik tergelap sepanjang masa keberadaannya. Peran Mahkamah Konstitusi begitu sangat vital bagi bangsa dan negara. Mahkamah Konstitusi sebagai garda utama, dan satu-satunya, penjaga dan penegak konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi harus diselamatkan dari tangan-tangan pengkhianat konstitusi, yang bisa menghancurkan bangsa ini melalui kejahatan Mahkamah Konstitusi. Gibran Gate hanya merupakan salah satu contoh. Gibran Gate merupakan wujud nyata aksi “kudeta” konstitusi dan wewenang DPR oleh Mahkamah Konstitusi. Selain Gibran Gate, banyak undang-undang yang diduga kuat melanggar konstitusi tetapi dibiarkan dan tetap diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak permohonan uji materi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pemohon tidak memenuhi legal standing. Kesedihan dan keprihatinan Jimly Asshiddiqie atas prahara “Gibran Gate” di Mahkamah Konstitusi harus dapat menjadi momentum penting untuk mengembalikan kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif independen penjaga Konstitusi. Reposisi fungsi Mahkamah Konstitusi harus diawali dengan penggantian sebagian atau semua sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, yang dapat memenuhi persyaratan seperti tertuang di pasal 24C ayat (5) UUD. Yaitu, memiliki integritas, berkepribadian tidak tercela, adil dan bersikap negarawan. Setelah Mahkamah Konstitusi dapat menjadi lembaga yudikatif yang independen dan mandiri kembali, silakan masyarakat mengajukan permohonan uji materi untuk undang-undang yang diduga melanggar konstitusi. Antara lain, undang-undang pemilu terkait ambang batas minimum pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen, undang-undang tentang Ibu Kota Negara (IKN), undang-undang Cipta Kerja, undang-undang kesehatan, dan lainnya. Semoga, dengan jiwa dan roh Mahkamah Konstitusi yang baru, undang-undang yang melanggar konstitusi dapat ditertibkan. Kalau terbukti presiden dengan sengaja membuat undang-undang dengan melanggar konstitusi, presiden bisa diminta pertanggungjawabannya. Semoga prahara “Gibran Gate” Mahkamah Konstitusi dapat menjadi momentum penegakan konstitusi. —- 000 —-

Jokowi Main Hukum Rimba, Anda Masih Keluar-Masuk Pengadilan?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  AWALNYA memang menyenangkan. Presiden Jokowi melakukan efisiensi birokrasi. Memangkas peraturan yang melambatkan pekerjaan. Semua orang tepuk tangan.  Dia batalkan sekian banyak perda provinsi dan perda kabupaten-kota. Terutama perda-perda yang dinilai menghambat investasi. Atau yang membuat ekonomi biaya tinggi.  Jokowi berjanji akan menegakkan keadilan. Dia bersumpah akan memperkuat KPK. Memberantas korupsi tak pandang bulu. Mengutamakan kepemilikan lahan untuk rakyat kecil, dan seterusnya. Tapi, apa yang terjadi? Jokowi yang semula bertekad menegakkan hukum dan menjalankan peraturan dengan tegas, bergeser jauh ketika kekuasaanya memasuki tahun kedua-ketiga.  Mulailah berlaku hukum tebang-pilih. Lihat-lihat siapa yang melanggar aturan. Kalau konglomerat dan orang-orang kuat, tidak masalah. Proyek reklamasi Teluk Jakarta melanggar berbagai peraturan, dibiarkan tanpa koreksi. Karena milik para taipan.  Begitu kepresidenan pertamanya mau berakhir, Jokowi ingin periode kedua. Di titik inilah Jokowi mencoba tindakan sesuka hati. Dia memulai petualangan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa.  Dia bisa dapat periode kedua dengan segala macam kontroversi. Banyak yang percaya bahwa Jokowi merampas kemenangan lawannya di pilpres 2019. KPU diduga kuat melakukan kecurangan. Kubu yang kalah membawa ke MK. Jokowi menang. Banyak yang percaya ini tulen praktik ukum rimba. Ada pula jejak penyalahgunaan Polri agar memihak Jokowi di pilpres 2019. Polisi menjadi timses Jokowi. Bukan rahasia lagi. Seorang Kapolsek di Garut, Jawa Barat, buka suara tentang instruksi untuk memenangkan Jokowi.  Memulai periode kedua, Jokowi merasa semakin enak di kursi presiden. Hukum bisa dikendalikan sesuai keinginan. Tidak ada yang berani menentang. Semua pejabat senior membebek. Jokowi memaksakan pembentukan Omnibus Law (OBL) Cipta Kerja. OBL dinyatakan melanggar konstitusi. Kalangan buruh memprotes. Karena OBL memihak pemodal, menindas pekerja. Hukum rimba semakin menancap. Bersamaan dengan itu, Jokowi mengebiri KPK. Lembaga antikorupsi ini pun menjadi tebang pilih.  Dalam spektrum yang lebih luas, penegakan hukum dan keadilan semakin parah. Pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap enam anak muda di KM-50, dipaksa menjalani proses hukum rimba. Pembunuhan ini diyakini terkait dengan penguasa level tinggi. Dalam proses KM-50, hukum rimba sangat mencolok. Semua lembaga negara bekerja sama rapi mengikuti panduan penerapan hukum rimba. Keseluruan proses di semua tahap terkesan dijalankan sesuka hati penguasa.  Contoh lain bukum rimba adalah kasus Harun Masikhu. Kader PDIP ini dengan entengnya dinyatakan menghilang. Tak bisa dicari. Pernyataan aparat keamanan, dan juga KPK yang ikut “mengejar” Masikhu, kemudian menjadi titah hukum yang berlaku. Yaitu hukum rimba.  Hampir dua tahun yang lalu, dosen UNJ Dr Ubedilah Badrun melaporkan ke KPK dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan anak Jokowi. Tetapi laporan itu tidak ditindaklanjuti hingga sekarang. Ini pun bisa dilihat sebagai contoh sesuka hati alias hukum rimba.  Sekarang ini para pendukung Jokowi mengeluhkan sepak-terjang Pak Presiden yang mau mengukuhkan dinasti keluarganya. Republik rasa kerajaan, kata para buzzer Jokowi sendiri.  Ada betulnya republik rasa kerajaan. Karena Jokowi semakin menjadi-jadi melakukan tindakan sesuka hati —tindakan hukum rimba.  Jokowi melakukan campur tangan alias cawe-cawe untuk menentukan siapa capres dan cawapres. Juga menentukan siapa yang berkoalisi dengan siapa.  Gibran Rakabuming diputus oleh MK bisa ikut sebagai cawapres. Sulit membantah bahwa Jokowi pribadi berperan melahirkan putusan ini. Inilah puncak hukum rimba di era Jokowi.  Sementara itu, rakyat biasa dan yang beradab tetap menghormati hukum positif nasional. Rakyat bertekad untuk ikut menegakkan keadilan. Mereka menyelesaikan sengketa di pengadilan. Mereka berperkara di ruang sidang. Rakyat terus setia menempuh proses peradilan yang ada. Sangat miris. Sekaligus geram. Kadang muncul pertanyaan: Jokowi main hukum rimba, kok Anda masih keluar-masuk pengadilan?[]

Menimbang Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Logical Fallacy dan Konsekuensi

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kejar target. Harus bekerja ekstra keras. Pemeriksaan pelanggaran kode etik sembilan hakim Mahkamah Konstitusi harus selesai 7 November minggu depan. Untuk memastikan pilpres 2024 terlaksana dengan baik, sesuai peraturan perundang-undangan dan konstitusi. Bravo. Pemeriksaan pelanggaran kode etik selesai sesuai target. MKMK akan membacakan kesimpulan atau putusan terkait pelanggaran kode etik pada Selasa depan, 7/11/2023. Masyarakat antusias menanti putusan MKMK. Apakah Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009? \"Iyalah,\" kata Jimly menjawab pertanyaan wartawan apakah Anwar Usman bersalah. https://nasional.tempo.co/read/1792281/anwar-usman-terbukti-bersalah-mkmk-umumkan-putusan-besok-selasa https://nasional.sindonews.com/newsread/1242583/13/anwar-usman-paman-gibran-terbukti-bersalah-jimly-cs-kantongi-bukti-bukti-1699006291 Pembuktian untuk ini memang tidak sulit. Karena pelanggaran kode etik ini begitu jelas dan sangat transparan. Kalau ternyata benar, MKMK memutuskan Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, pertanyaan berikutnya, apa yang akan terjadi dengan putusan MK No 90, yang memberi jalan kepada Gibran untuk bisa dijadikan cawapres. Apakah putusan kontroversial tersebut akan batal? Atau tetap berlaku? Kalau Anwar Usman terbukti bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, maka putusan MK No 90 yang diambil berdasarkan pelanggaran kode etik menjadi tidak sah, seperti diatur secara jelas di ayat (6) pasal yang sama: “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Apa arti “putusan dinyatakan tidak sah”? Artinya, putusan tersebut harus dianggap tidak ada secara hukum. Dengan kata lain, batal demi hukum. Artinya, kalau Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, maka putusan MK No 9 wajib dimaknai tidak ada secara hukum. Tetapi, ada yang berpendapat, menurut pasal 24C ayat (1) UUD, putusan MK bersifat final (meskipun tidak sah menurut UU!). Mereka berpendapat, putusan tidak sah pasal 17 ayat (6) UU No 48/2009 tidak bisa membatalkan pasal 24C ayat (1) UUD.  Pendapat seperti ini, bahwa putusan MK No 90 akan terus berlaku, karena bersifat final (menurut UUD pasal 24C ayat (1)), meskipun tidak sah secara hukum karena putusan diambil dengan cara melanggar UU, merupakan kesalahan berpikir yang sangat serius. Logical fallacy. Sesat pikir. Bagaimana bisa, UUD mempertahankan perbuatan melawan hukum? Ini jelas sebuah logical fallacy, atau sesat pikir, yang sangat serius. Pasal 24C ayat (1) UUD yang menyatakan putusan MK bersifat final harus dimaknai bahwa putusan MK tersebut diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga sah secara hukum, bukan berdasarkan tindakan melawan hukum. Kalau KPU juga berpendapat bahwa putusan MK No 90 tetap berlaku meskipun dinyatakan tidak sah oleh UU No 48/2009, sehingga KPU menetapkan capres dan cawapres pada 13 November yang akan datang berdasarkan  putusan MK No 90 yang dinyatakan tidak sah tersebut, maka niscaya akan terjadi konflik politik besar. Karena, di satu sisi putusan MK No 90 dinyatakan tidak sah, tetapi di lain sisi, putusan tidak sah tersebut dijadikan dasar untuk menetapkan capres-cawapres. Dalam hal ini, Indonesia bukan lagi menghadapi krisis konstitusi. Tetapi, Indonesia sedang menghadapi prahara estafet pembajakan konstitusi dari Mahkamah Konstitusi ke KPU. Suhu politik akan menjadi sangat panas. Masyarakat tidak bisa menerima putusan tidak sah dijadikan dasar untuk keputusan hukum penguasa. Masyarakat tidak bisa menerima pemerintah melakukan tindakan melanggar hukum. Kalau logical fallacy ini dipaksakan menjadi dasar keputusan penguasa, maka Indonesia akan chaos, bisa memicu pembangkangan dan perlawanan sosial. —- 000 —-

Ke Mana Arah Pemilu 2024

Oleh Dr. Anton Permana | Pengamat Geopolitik dan Direktur TDM Institute SEDARI awal proses penyelenggaraan Pemilu 2024 sebenarnya sudah banyak melahirkan keganjilan dan kontroversial. Dimulai dari penunjukan dan pemilihan para komisioner KPU nya di pusat, hingga prilaku moral dan beberapa keputusan/keputusan yang di lahirkan juga mengundang banyak tanda tanya publik. Dugaan bau aroma ada “campur tangan” kekuasaan istana di dalam penetapan komisioner KPU tersebut seakan terkolerasi dengan berbagai kebijakannya setelah menjabat. Dimulai dari figur, isu skandal pengakuan Ketua Partai Republik Satu Hasnaini yang videonya sempat viral. Lalu diskriminasi mana partai politik yang kolos verifikasi dan tidak. Partai yang cenderung bersebrangan dengan pemerintah, sulit sekali lolosnya dengan berbagai alasan. Seperti Partai Masyumi. Namun ada partai yang wujudnya jarang kita lihat tiba-tiba lolos seperti Partai Garuda. Terlepas apapun alasannya, namun itu fakta yang kita lihat saat ini. Tidak saja sampai di situ. Berbagai produk aturan PKPU nya juga banyak di pertanyakan para aktifis dan pegiat politik. Mulai dari hasil DPT, dimana banyak di temukan nama-nama ganda, yang tidak logis. Seperti yang di sampaikan aktifis Surabaya Agoes Maksum dalam sebuah tulisannya, di perkirakan ada 52 juta DPT bermasalah yang perlu di verifikasi kembali.  Proses pencoblosannya juga menimbulkan keanehan dan termasuk dalam lembaran kartu pemilih yang tidak ada lagi memperlihatkan photo para caleg hanya nama saja.  Di dalam daftar nama pemilih di KPPS nanti tidak lagi mencantumkan lengkap nama, NIK KTP, dan kewajiban kartu pemilih. Cukup pakai surket (surat keterangan) saja bisa. Ini sungguh sangat berbahaya karena bisa membuka pintu kecurangan masuknya pemilih siluman seluas-luasnya. Terakhir yang monumental itu adalah, di terimanya Gibran dalam proses pendaftaran Capres kemaren. Karena PKPU nya belum di rubah, dan putusan MK pun masih kontroversial sampai saat ini (tulisan ini di tulis). Rangkaian kisruh dan manuver politik ini kalau di gabung lagi dengan sirkulasi politik pencalonan dan adanya upaya upaya penjegalan terhadap calon tertentu, sungguh ini semua ibarat sebuah rangkaian aurora indah permainan politik yang tentu saja hanya bisa di lakukan oleh “tangan kekuasaan”. Artinya, istilah “cawe-cawe” yang di utarakan seorang Presiden yang sedang menjabat, bisa saja di artikan pemain utama dari semua skenario ini. Karena, hanya Presiden lah yang “berpotensi” melakukan semua itu dengan power kekuasaan yang dia miliki. Apalagi, dalam dunia politik segala kemungkinan bisa saja terjadi. Selanjutnya. Setelah upaya perpanjangan masa jabatan Presiden kandas di tengah jalan. Upaya membangun estafet kekuasaan bergaya “dynasti” juga sedang dimainkan. Meski menabrak panji suci konstitusi.  Majunya Gibran sebagai Cawapres nya Prabowo, tidak akan masalah kalau, secara gentleman Jokowi selaku Presiden dan Ayah kandung dari Gibran sebagai Cawapres mundur dari jabatan Presiden. Itu baru akan fair dan bermartabat. Atau, majunya Gibran sebagai Cawapres memang sesuai aturan hukum yang berlaku tidak mesti melalui akrobatik hukum menggunakan pintu putusan MK yang notabonenya salah satu hakim yang memutuskan dan sekaligus ketua MK nya juga adalah pamannya Gibran selaku Cawapres. Artinya adalah, permasalahan utama dari pencalonan Gibran sebagai Cawapres ini bukan karena “sentimen” personal individunya. Tetapi karena ada aturan hukum, azas, norma dan etika pemerintahan yang di labrak dan di kangkangi atas nama kekuasaan. Anehnya lagi, semua hal itu seakan di amini, oleh para tokoh, negarawan, guru besar hukum, bahkan tokoh aktifis yang terkenal idealispun akhirnya lidahnya pun “patah-patah” berputar balik mencari kata-kata pembenaran. Karena saat ini sedang berada dalam satu kapal koalisi untuk menuju satu tujuan pulau indah kekuasaan? Jadi wajar, masyarakat akhirnya mulai bertanya. Kemana sebenarnya arah Pemilu 2024 ini ? Betulkah akan ada sebuah Pemilu/Pilpres bisa terselenggara secara jujur dan adil di tengah berbagai polemik dan skandal politik seperti ini? Apakah bisa, sebuah penyelenggaraan Pemilu, dimana sejak awalnya sudah terjadi kerusakan, skenario politik partisan, dan terbaca sebuah “niat” untuk berbuat curang, akan bisa melahirkan pemimpin yang memang sesuai dengan pilihan rakyat? Atau sebaliknya. Ada pihak dan kelompok yang sebenarnya tidak ingin ada Pemilu, karena begitu berat dan cintanya dengan kekuasaannya saat ini sehingga tak mau melepaskannya? Seharusnya, semua pertanyaan diatas bisa di jawab oleh institusi dan aparat Keamanan, Pertahanan negara dan inteligent. Namun, apakah bapak/bapak aparat kita juga steril dari intervensi tangan kekuasaan politik? Karena, jabatan yang mereka dapatkan, sudah jadi rahasia umum juga karena kekuasaan politik yang menunjuknya? Sungguh kondisi bangsa kita saat ini sangat dilematis menuju alieanis. Demokrasi yang kita harapkan sebagai proses perekrutan kepemimpinan nasional yang baik berdasarkan suara rakyat, saat ini sudah di rusak oleh ambisi kekuasaan suatu kelompok saja. Reformasi yang 25 tahun yang lalu kita perjuangkan memberikan angin segar perubahan yang lebih baik, sekarang juga sudah kandas di tengah jalan. Permasalahan korupsi, nepotisme, kedaulatan, krisis ekonomi, dan sikap otoritarisme lebih parah lagi saat ini di banding masa orde baru.  Hutang menggunung, harga sembako semakin mahal, sumber kekayaan alam bocor keluar, dan keharmonisan dan stabilitas sosial politik amburadul saat ini.  Akhirnya, semua kembali kepada masyarakat Indonesia itu sendiri. Apakah masih tidur dan diam melihat kondisi bangsa kita saat ini ? Pemilu/Pilpres 2024, adalah salah satu cara saat ini untuk memilih kepemimpinan nasional selanjutnya. Yang tentu kita harapkan lebih baik dan berpihak kepada rakyat.  Dan untuk itulah mari kita semua bersama menjaga agar proses Pemilu ini tetap berjalan, kita lawan setiap upaya prilaku curang dari pihak siapapun, mari bersuara lantang dan kumandangkan bahwa kedaulatan itu masih berada ditangan rakyat. Semua harus berani, kompak dan serempak. Karena kalau tidak ? Maka hak hak kita masyarakat akan di rampas dan di permainkan pihak atau kelompok politik oligarkhi yang jelas sangat haus akan ambisi kekuasaan untuk terus berkuasa mengeruk sumber kekayaan negeri ini. Wallahu’alam. Batam, 04 November 2023.

Serudukan Banteng Itu (Sepertinya) Akan Disegerakan

Oleh | Ady Amar - Kolumnis ADA yang berharap gigi banteng itu masih utuh dan setajam tanduknya, sehingga bisa berfungsi \"menggigit\" lawannya. Meski kodrat gigi banteng lebih untuk mengunyah makanan. Berharap berlebih agar gigi banteng juga bisa berfungsi mengggigit lawannya, itu harapan yang tidak salah, meski kurang tepat. Itu lebih pada harapan agar perlawanan bisa segera dimulai. Setidaknya itu perasaan mengganjal dari komunitas penyayang banteng pada umumnya. Banteng memang lebih mengandalkan tanduknya saat bertarung, ketimbang giginya. Maka ungkapan, banteng tak lagi bertanduk, itu bermakna banteng sudah selesai dengan kodratnya dengan tak lagi mengandalkan tanduknya. Seperti pasrah dengan kondisi yang menimpanya saat ini. Meskipun sebenarnya ia masih mampu melawan dengan sekali tanduk musuh akan rubuh menggelepar. Entah mengapa kemampuan menanduknya saat ini tak digunakan. Pertimbangan teknis strategis agaknya yang membuat sementara itu tak dilakukan. Tapi mau tidak mau banteng mesti hadir melawan. Memangnya siapa yang mesti dilawan, itu tak lain dari anak kandungnya sendiri, tapi merasa tak lagi sebagai entitas banteng. Tanda-tanda perlawanan dari banteng itu memang tampak. Meski lebih sebagai signal. Jika itu tak diindahkan, maka jalan satu-satunya memberi perlawanan mesti diambil. Kesabaran banteng ada batasnya, dan pada saatnya akan direspons balik. Perlawanan banteng diprediksi akan terjadi, dan itu tidak lama lagi. Banteng ingin menyudahi permainan anak kandung yang menjelma jadi musuh terang-terangan. Tak sedikit lalu yang menyebut anak kandung itu sebagai penghianat, meski itu debatable. Penyebutan banteng, itu bermakna harfiah untuk menyebut  PDIP, yang memakai banteng sebagai simbol partainya. Memang tidak terang-terangan atas nama institusi partai, tapi lewat beberapa elit partai, yang menyebut adanya penghianatan. Dan, itu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), seorang yang dikenal dan dibesarkan PDIP. Perjalanan Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan lalu menjadi Presiden, itu lewat PDIP. Karenanya, meski menjabat sebagai presiden, ia tetaplah sebagai petugas partai. Maknanya itu lebih pada seseorang yang ditugaskan angon banteng, dimana pun ia bertugas. Ini sudah jadi kesepakatan, dan menjadi aneh jika kesepakatan sebagai petugas partai di akhir masa jabatannya sebagai presiden, itu justru dipertentangkan. Seakan kecamuk dramatisasi dalam diri dimainkan, seolah perlawanan antara presiden versus petugas partai, itu terjadi. Alasan itu setidaknya yang menjadikan diri melawan-menolak, bahwa ia bukan petugas partai, ia presiden. Karenanya, dalam soal estafet kepemimpinan nasional, Jokowi menunjukan sikap perlawanan terang-terangan, sebuah upaya melepaskan diri sebagai petugas partai. Jokowi punya pilihan sendiri, siapa yang akan menggantikannya kelak. Pilihan yang berbeda dengan pilihan PDIP. Jokowi tampil mengeras  berhadap-hadapan dengan partai yang membesarkannya. Seakan mampu membuang jejak sejarah panjang dengan PDIP. Pilihan Jokowi jatuh pada Prabowo Subianto, yang lalu digandengkan dengan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka. Sebuah perlawanan penuh kekecewaan yang menyesakkan hati Bunda Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP. Jelas melawan PDIP, yang telah sepakat memasang Ganjar Pranowo, yang lalu digandengkan dengan Prof Mahfud MD. Perlawanan head to-head menentukan siapa penggantinya kelak yang akan jadi presiden, ini dimaknai menggembosi jagoan dari PDIP. Segala cara membuat jarak dengan PDIP senyatanya ditampakkan. Petugas partai yang sebelumnya angon banteng, itu merasa digdaya. Karena merasa mampu \"merantai\" partai-partai besar kecil untuk membantunya, bahkan bekerja untuk merealisasikan mimpi-mimpi besar, yang itu sebenarnya terlarang boleh diwujudkan di negara yang memilih azas demokrasi. Apa itu? Hadirnya politik dinasti, yang memaksa konstitusi mencarikan celah--meski inkonstitusional--agar sang putra Gibran, yang belum cukup umur tetap bisa tampil diperhelatan Pilpres 2024. Sokongan 7 partai politik, baik partai yang memiliki kursi di parlemen, atau partai yang non parlemen, itu yang menguatkan tekat Jokowi melawan ibu kandungnya sendiri, PDIP. Sikap diri merasa kuat; jumawa, dan karenanya bisa berbuat apa saja. Sokongan partai-partai itu, tentu bukan sebab berada dalam satu frekuensi yang sama dengan Presiden Jokowi, tapi lebih oleh berbagai sebab kepentingan. Ada ketua umum partai yang tersandera politik, jika tak turut ajakan Jokowi, maka tak mustahil kasusnya akan dibuka. Ancaman menakutkan. Ada pula partai gurem non parlemen yang berharap ada sedikit bantuan logistik, agar bisa ikut bernafas dalam pemilu. Sejatinya suara konstituen dari partai-partai itu, mayoritas tidak sepakat dengan pilihan elit partainya. Karenanya, pilihan politik konstituen itu bisa jadi akan disalurkan pada kandidat yang diyakininya mampu menghadirkan keadilan dan kesetaraan. Serudukan banteng, meski belum sebagai suara resmi PDIP, tapi setidaknya Masinton Pasaribu anggota Fraksi PDIP di DPR RI, jelas-jelas telah melakukan gerilya mewacanakan Hak Angket oleh DPR untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat Capres/Cawapres. Wacana ini sebagai jalan masuk pemakzulan atas Presiden Jokowi. Dan, itu disambut oleh PKS. Babak kemarahan banteng untuk memberi pelajaran keras, bahkan sampai penyudahan kekuasaan, itu sepertinya tengah dimulai. Dan, akan terus bergulir dengan cepatnya. Jokowi yang seolah (merasa) bukan lagi bagian dari PDIP--Gibran pun bersikap demikian dengan tak perlu pamit baik-baik jika ingin maju dalam Pilpres, dan mengembalikan KTA partai--menampakkan perlawanannya. Tidak mustahil PDIP pun akan memperlakukan hal yang sama. Memperlakukan lewat sikap politiknya, dan itu lewat parlemen. Semua punya hitungan-hitungannya sendiri. Dan, suara yang bermuara pada pemakzulan dari kader PDIP, itu memunculkan keyakinan, bahwa serudukan banteng agaknya akan disegerakan... Wallahu a\'lam.**

Jokowi Menjadi Jadi

Oleh Muhammad Chirzin | Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta  SEBAGAI petugas partai, Jokowi meminta kepada Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarnoputri, untuk menjadi presiden tiga periode. Beberapa Menteri Jokowi mempromosikan keinginan Jokowi untuk menjadi presiden sekali lagi dengan dalih rakyat menghendaki. Permintaan tersebut ditolak Megawati demi menegakkan konstitusi.    Ketika harapan untuk menjadi presiden tiga periode tertutup para pendukung Jokowi mengalihkan agenda memperpanjang masa jabatannya. Agenda ini pun kandas pula. Jokowi mengambil langkah seolah mendukung Ganjar Pranowo untuk menjadi penerus kepemimpinan nasional sebagai presiden, sekaligus melanjutkan program-programnya.  Pada kesempatan lain Jokowi memberikan sinyal dukungan kepada Prabowo Subianto untuk menjadi bakal calon presiden. Barangkali ide Jokowi sejalan dengan kemauan para pengusaha maupun oligarki agar peserta pemilihan presiden dua pasang calon saja, dan itu tidak lain adalah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto beserta bakal calon wakil presiden masing-masing.  Megawati mendadak memutuskan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden dari PDI Perjuangan. Jokowi pun mengambil sikap cawe-cawe dalam urusan pemilihan presiden yang akan datang. Netizen menduga-duga macam apa cawe-cawe Jokowi. Walaupun Jokowi menyatakan akan cawe-cawe untuk mensukseskan pemilihan presiden, sebagian rakyat terdoktrin ungkapan, bahwa memahami ucapan Jokowi itu dengan yang sebaliknya. Bagi Jokowi peluang yang tersisa untuk melanggengkan kekuasaan dinastinya ialah dengan mempromosikan anaknya menjadi wakil presiden. Beberapa manuver politik dilakukan untuk mewujudkan keinginan itu. Setelah PDIP memasangkan Mahfud MD sebagai bakal calon wakil presiden Ganjar Pranowo, Jokowi mengatur siasat bagaimana caranya supaya Gibran Rakabuming Raka, sekalipun masih berusia 36 tahun, bisa dipromosikan untuk menjadi bakal calon wakil presiden. Munculllah beberapa permohonan, agar batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden diturunkan, dari 40 tahun menjadi 35 tahun.  Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Anwar Usman, paman Gibran akhirnya menerima opsi untuk calon presiden dan wakil presiden yang belum berusia 40 tahun dengan syarat sudah pernah/sedang memegang jabatan melalui pemilihan sebagai kepala daerah. Dari sinilah gempa MK bermula. Para pakar, akademisi maupun praktisi di bidang hukum bersuara lantang atas keputusan yang melanggar konstitusi, dan adanya konflik kepentingan. Di tengah hiruk pikuk keputusan kontroversial MK yang memungkinkan Gibran melenggang menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto, Presiden Jojowi mengundang tiga bakal calon presiden, Prabowo, Ganjar, dan Anies untuk makan siang di istana. Komentar-komentar pun bertebaran di sana dan di sini, bahwa makan siang bersama ketiga bakal calon presiden tersebut tidak lain adalah untuk membangun opini bahwa Presiden Jokowi netral dalam pencapresan mendatang. Sebagian berpendapat itu cuma basa-basi.  Presiden Joko Widodo mengumpulkan ratusan penjabat kepada daerah Gubernur, Bupati, dan Walikota di Istana Kepresidenan pada Senin (30/10). Dalam pertemuan itu salah satu arahan Jokowi meminta para penjabat kepala daerah untuk menjaga netralitas dalam perhelatan Pipres 2024. Namun, eks tim hukum Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, Sirra Prayuna menduga kuat ada kepentingan politik pemenangan Pilpres dalam pengumpulan para Pj Kepala daerah tersebut.       Dr. Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, menulis kata pengantar “Rubuhnya MK Kami” untuk buku Yance Arizona et al. 2023. Skandal Mahkamah Keluarga: Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai Batas Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden. Yogyakarta: Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM sebagai berikut. Di antara sekian banyak Putusan MK yang pernah ada, inilah yang paling menimbulkan keriuhan. Sebabnya, bukan hanya karena publik membacanya aneh, tetapi juga karena para hakim sendiri, beberapa di antaranya yang meneriakkan keanehan tersebut. Keriuhan Putusan MK kali ini sebenarnya bagus untuk publik, yakni menjadi cermin untuk semua, bahkan untuk hakim MK bahwa betapa rusak wajah kita.   Hal-hal yang aneh di dalam Putusan MK kali ini, pertama, MK tidak konsisten dengan legal standing. MK yang biasanya lebih ketat dengan legal standing, tiba-tiba menerima legal standing \"hanya\" dengan alasan pemohon adalah seorang pengagum Walikota Solo yang menurut pemohon telah memajukan daerah Solo, sehingga patut diperjuangkan untuk lebih memperjuangkan negeri ini melalui posisi presiden atau wakil presiden.  Kedua, MK berdiri di atas kaki yang teramat rapuh. Hanya dengan membedakan antara penyelenggara negara dengan elected official. Ketatnya MK yang menolak mengesampingkan hal-hal yang berkaitan dengan open legal policy, tetiba MK berubah dengan mengabulkan dengan alasan elected official.  Ketiga, inkonsistensi dari putusan-putusan sebelumnya. Semisal penguatan open legal policy yang dilakukan di putusan lain, tetiba menjadi hilang dan dengan gamblang dan sengaja, MK mengambil Putusan menerabas hal-hal yang seharusnya merupakan kewenangan pembentuk UU.  Keempat, berkaitan dengan prinsip hukum, hal-hal yang berpotensi mengubah masa jabatan dan hal tertentu, harusnya dilakukan dengan cara menghindari kepentingan politiknya. Misalnya dengan memberlakukan di Pemilu berikutnya, bukan langsung pada pemilu saat ini.  Putusan hakim tentu adalah putusan yang harus dihormati setelah dibacakan, tetapi bukan berarti tidak dapat dilakukan eksaminasi oleh publik. Eksaminasi ini sekaligus menjadi penanda kuat apakah memang ada alasan hukum yang memadai, atau ternyata hakim MK memang telah bersalin rupa menjadi para pemain politik.  Jokowi soal Pemilu 2024: Kalau Senangnya yang Ndeso Kayak Saya, Gimana? (Reporter Daniel A. Fajri, Kamis 2 November 2023) Jokowi jamin IKN Terus Dilanjutkan setelah Pemilu 2024 (Reporter Daniel A. Fajri, Kamis, 2 November 2023) Tunggu trik Jokowi lagi! (*)

Usman Tamat, Jokowi Kiamat

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Dua Undang-undang akan membuat Ketua MK Anwar Usman terkapar. Pertama, Undang Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 17 ayat (5) dan (6). Kedua, Undang Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN yaitu Pasal 22. Pasal 17 ayat (5) berbunyi: \"Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan  perkara yang sedang diperiksa baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara\". Pasal 17 ayat (6) berbunyi: \"Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5) Putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai ketentuan perundang-undangan\". Sedangkan Pasal 22 Undang Undang No. 17 tahun 1999 berbunyi: \"Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat untuk 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)\". Nah, Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus Hakim Ketua Perkara No 90/PUU-XXI/2023 yang menyidangkan perkara yang mempunyai \"kepentingan langsung atau tidak langsung\" atas keponakannya Gibran Rakabuming Raka patut untuk mendapat sanksi administratif maupun sanksi pidana.  Putusan Majelis Hakim MK pun dapat dikategorikan gila. Pendukung mutlak bagi lolosnya Gibran hanya 3 (tiga) Hakim Konstitusi sedangkan 6 (enam) lainnya \'concurring\' dan \'dissenting\'. Substansinya adalah tidak setuju pada Putusan yang meloloskan Gibran yang \"hanya\" Kepala Daerah tingkat Kota/Kabupaten. Sangat tidak waras jika ternyata 3 (tiga) dapat menang atas 6 (enam). Ini namanya MK-U \"Matematika Kacau\" Usman. Presiden Jokowi itu melakukan nepotisme karena menjadi bagian tidak terpisahkan dari Putusan yang membuka peluang Gibran untuk diajukan sebagai Cawapres. Telah dilakukan pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran ke KPU. Karenanya Jokowi yang \"sangat terlibat\" melakukan tindakan nepotisme tersebut menjadi patut untuk dipidana pula sebagaimana ketentuan Pasal 22 UU No 28 tahun 1999. Maksimum ancaman hukuman 12 tahun.  Rasanya tidak perlu mendapat penjelasan ebih lanjut atas hal ini karena persoalan dan ketentuan hukumnya sudah sangat jelas.  Kesimpulan sederhana, pasti, dan tidak dapat diinterpretasi lain adalah bahwa : Anwar Usman tamat, Jokowi menyusul tamat.  Adik dan kakak ipar sedang berlomba untuk melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu : Nepotisme, nepotisme dan nepotisme.  Tangkap lalu tahan Anwar Usman dan Jokowi. (*)

Pilpres 2024 Sudah Pasti Curang, Anda Akan Lakukan Apa?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  WAKIL Menteri Desa Paiman Raharjo memimpin rapat pemenangan Gibran Rakabuming menjadi wakil presiden. Paiman terekam ketika mengatakan agar jangan dirinya yang tampil di permukaan karena dia pejabat negara. Paiman berkilah bahwa dia adalah ketua umum relawan Sedulur Jokowi.  Ini adalah salah satu contoh pelibatan semua pejabat di bawah rezim Jokowi untuk memenangkan Gibran di pilpres 2024. Dopastikan semua pejabat yang berada di posisi kunci tak mungkin lepas dari arahan untuk membantu Gibran. Anda masih percaya dan berharap pilpres 2024 akan bersih? Tidak mungkin! Pilpres akan dicurangi demi Gibran. Para pelaksana tugas (Plt) gubernur, bupati dan walikota yang diangkat oleh Mendagri Tito Karnavian, diminta atau tidak diminta hampir pasti akan ikut berusaha memenangkan Gibran. Semua mereka ditunjuk untuk tujuan merealisasikan keinginan Jokowi.  Kepada Anies Baswedan sewaktu makan siang bersama caores (30/10/2023), Presiden Jokowi berbasa-basi menjawab Anies bahwa dia akan mengumpulkan semua pejabat pemerintah untuk diberitahu supaya netral dalam pilpres. Anda percaya kepada Jokowi? Anda percaya dia akan netral? Kalau Anda percaya Jokowi akan netral, boleh jadi itu pertanda kiamat sudah dekat. Kita semua yang menginginkan perubahan haruslah berasumsi bahwa polpres 2024 akan dicurangi supaya Gibran bisa menjadi wakil presiden. Berdasarkan fakta yang kita saksikan di lapangan dan di media sosial, Anies adalah capres yang sangat mereka takuti bakal menang. Karena itu, gunakanlah asumsi ini untuk mempersiapkan diri agar suara Anies jangan sampai dicurangi. Waktu pilpres tidak lama lagi. Tim pemenangan Anies dan ratusan kelompok relawan yang tersebar di seluruh Indonesia perlu mimikirkan bagaimana cara mencegah kecurangan dalam penghitungan suara pilpres. Salah satu yang kini banyak dipikirkan adalah soal saksi di setiap TPS. Ada 820,161 TPS yang tersbar di 83,731 desa dan kelurahan. Tim Anies memerlukan minimal satu saksi di tiap TPS. Para saksi itu haruslah orang yang terlatih dan memiliki stamina. Dan mereka haruslah militan dalam melakukan pengawalan di TPS. Apakah cukop saksi yang militan dan terlatih? Tidak cukup. Kubu AMIN perlu menyiapkan perangkat yang cekatan untuk menghadapi sengketa di MK dan MA. Cukup? Juga masih belum. Kenapa? Karena pencurangan pilpres 2024 diperkirakan akan dilakukan jauh kebih dahsyat dari 2019. Karena bagi Jokowi, Gibran wajib menang. Sehingga, kecurangan akan lebih masif dan dilakukan dengan lebih “sofisticated” —lebih canggih. Plus, dana yang tidak terbatas. Selain prinsip Jokowi bahww Gibran tak boleh kalah, ada satu lagi yang tidak boleh terjadi. Yaitu, Anies menang. Bagi Jokowi, Anies harus padam di pilpres. Nah, apakah Jokowi saja yang punya prinsip tak boleh kalah? Tentu tidak. Para pendukung Perubahan juga keras dalam sikap. Pendukung kubu Perubahan siap berjuang matathon di level apa pun. Bagi mereka, kecurangan tidak akan diterima begitu saja. Kali ini, rakyat siap menghdapi segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan penyelesaian di luar julur hukum. Diperkirakan, massa yang selama ini menunjukkan antusias dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan, akan siap melawan skenario jahat para penguasa. Terima kasih telah membaca tulisan ini. Tapi, ada satu pertanyaan. Yaitu, kalau pilpres sudah pasti curang, Anda akan lakukan apa?[]

Tidak Akan Dipecat, Megawati Perlu Gibran di Kubu Prabowo

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  Publik masih menunggu-nunggu apakah Gibran Rakabuming akan dipecat dari PDIP. Kalau dia dipecat, barulah publik yakin bahwa kemarahan Bu Mega dan jajaran PDIP kepada Gibran —dan juga Jokowi— sangat serius. Bukan sandiwara. Andaikata jadi dipecat, berarti Mega serius menganggap Gibran berkhianat. Berarti Gibran melecehkan Mega, PDIP, dan segenap jajaran Banteng.  Pengkhianatan biasanya dibalas dengan hukuman terberat berupa pemecatan. Tetapi, pemecatan itu belum juga terjadi. Mengapa? Padahal, kesalahan Gibran sangat fatal. Tidak ada sanksi lain kecuali pemecatan dan pengusiran dari PDIP.  Kenyataanya? Para senior Banteng hanya berteriak-teriak kepanasan. Kebakaran jenggot. Kecolongan dan sebagainya. Tidak ada tindakan serius terhadap Gibran.  Beberapa hari, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan PDIP kecewa, sedih, dan sakit hati ditinggal oleh Gibran dan juga Jokowi.  Menurut Hasto, PDIP telah memberikan restu dan dukungan kepada keluarga Jokowi berkali-kali. Hanya permintaan tiga periode yang ditolak Bu Mega.  Nah, mengapa Gibran masih belum juga dipecat? Mengapa Megawati seperti gamang memecat Gibran? Inilah yang akan kita telusuri.  Sebetulnya, semua orang bisa melihat secara kasat mata mengapa pengkhianatan besar Gibran itu aman-aman saja. Ada rasionalitas di balik itu. Ada sesuatu yang sangat besar bagi Mega dan PDIP.  Intinya, mustahil Mega akan memecat Gibran. Tidak seperti Budiman Sudjatmiko yang juga menyeberang ke kubu Prabowo Subianto. Kenapa mustahil? Karena percaturan yang sesungguhnya adalah bahwa Bu Mega dan PDIP sangat memerlukan Gibran berada di posisi penting di kubu Prabowo. Inilah jawabannya. Gibran sebagai wapres lewat kecurangan pilpres tahun depan akan tetap dianggap sebagai kader PDIP. Walaupun Girban dibajak oleh Golkar yang mencawapreskan dia. Dengan tidak memecat Gibran, berarti dia menjadi wakil Mega dan PDIP di kubu Prabowo. Sewaktu-waktu Gibran bisa menemui Bu Mega ketika nanti dia duduk sebagai wapres. Ada keuntungan lain Gibran berada di kubu Prabowo. Yaitu, PDIP terhindar dari tudingan mengacak-acak konstitusi lewat MK. Kalau Gibran dipasangkan dengan Ganjar Pranowo, maka parpol lain tidak akan mau ikut koalisi karena Ganjar dan Gibran berasal dati satu partai. Sekarang, bagaimana dengan Jokowi? Dia pun belum dipecat oleh Mega? Mengapa dipertahankan? Tidak lain karena Gibran dan Jokowi itu satu paket. Tidak bisa dijadikan dua hal yang terpisah.[]

Jangan Berharap Jokowi Bersikap Netral

Oleh Yarifai Mappeaty | Pemerhati Politik Anies, Prabowo, dan Ganjar, Bacapres 2024, telah makan siang bareng di istana bersama Presiden Jokowi. Suatu kabar baik. Setidaknya, Jokowi melanjutkan tradisi positif yang diwariskan SBY pada Pilpres 2014. Secara simbolik, Jokowi bemaksud mengungkapkan bahwa ia akan bersikap netral pada Pilpres 2024. Tetapi, apakah dengan begitu kita lantas percaya bahwa Jokowi benar-benar akan bersikap netral? Rasa-rasanya sulit. Sebab bagaimana mau percaya, sedangkan Jokowi sendiri sejak jauh-jauh hari sudah menskenariokan “all the president’s men”, seperti diungkapkan oleh Romahurmuzy pada Tvonenews.com, 1 Mei 2023. Melalui skenario itu, Jokowi menghendaki semua Capres yang bakal muncul adalah orangnya. Sehingga siapapun yang kemudian terpilih menjadi presiden, juga adalah orangnya. Rommy, begitu mantan Ketua Umum DPP PPP itu dipanggil, kurang lebih menyebutnya sebagai Capres boneka.  Ada banyak spekulasi yang berkembang terkait hal itu. Namun yang paling mengemuka adalah bahwa agar legacy yang bakal ditinggalkan Jokowi dapat berkelanjutan. Kedengarannya “indah” memang, tapi sebenarnya sumir, sebab setiap generasi adalah milik zamannya. Kelak mau diapakan negara ini, tergantung kebutuhan mereka. Lagi pula, jika memang itu alasannya, mengapa tidak memilih tetap bersama Megawati dan PDIP untuk mendukung Ganjar Pranowo? Padahal, memang kurang apa PDIP mendukung kebijakan Jokowi selama ini sehingga harus pindah ke lain hati? Oleh karena itu, penulis malah lebih condong pada pendapat yang tak kalah spekulatifnya, bahwa sebenarnya, Jokowi cawe-cawe karena demi kebutuhan pribadi dan keluarganya pasca lengser dari kekuasaan. Yaitu, kebutuhan akan rasa aman dan nyaman. Mungkin Jokowi merasa bahwa kebutuhan akan kedua hal itu tidak didapatkan jika tetap bersama dengan PDIP. Atau paling tidak PDIP dapat memberinya rasa aman, namun tetap saja tidak bisa mendapatkan rasa nyaman, karena statusnya terlanjur sebagai petugas partai. Bahkan sebetulnya, ide membangun dinasti, boleh jadi justeru lahir dari tuntutan akan kebutuhan tersebut. Faktanya, kita pun menyaksikan pada periode kedua Jokowi menjabat presiden, Gibran sang pangeran menjadi Walikota Solo, dan Bobby sang menantu menjadi Walikota Medan, begitu mudahnya. Lalu, sembari menunggu mereka matang, tentu saja melalui proses pematangan yang dipercepat, wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode pun digulirkan. Jika itu berhasil, maka Gibran, khususnya, sudah 42 tahun pada 2029, sudah melampaui syarat batas minimun usia Capres dan Cawapres. Akan tetapi, menyadari wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode menemui jalan buntu, terutama karena ditolak oleh PDIP, maka rencana B pun dijalankan. Yaitu, skenario all the president’s men. Siapapun Bacapresnya, tetap saja Gibran didorong menjadi Bacawapres sebagai jaminan bagi Jokowi untuk memenuhi kebutuhan aman dan nyaman pasca lengser.  Masalahnya, sang pangeran belum cukup umur. Ah, itu bukan masalah. Solusinya adalah judicial review terhadap Undang-Undang yang mengatur batasan minimum usia Bacawapres di Mahkamah Konstitusi (MK). Apa lagi di sana sudah ada Paman Anwar menanti. Bahkan boleh jadi posisi Anwar Usman selaku Ketua MK, sebenarnya, juga bukan suatu kebetulan. Untuk memastikan skenario itu berjalan sesuai yang diharapkan, menurut pengakuan Jokowi sendiri, semua Parpol yang memiliki hak untuk mengusung Bacapres, diinteli, menggunakan badan intelijen negara. Para ketua umum Parpol yang pada dasarnya sudah tersandera oleh kasus hukum, pun dibuatnya tak berkutik. Tindakan Jokowi menginteli Parpol itu lantas mengingatkan kita pada skandal penyadapan yang dilakukan oleh Richard Nixon terhadap lawan politiknya. Meskipun Presiden Amerika Serikat itu tidak menggunakan intelijen negara, namun tindakan tersebut tetap dinilai sebagai kejahatan politik, yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi Nixon meletakkan jabatannya.  Skandal itu kemudian dikenal sebagai “Watergate”, dan telah diangkat ke layar lebar dengan judul “All the president’s men”. Film yang dirilis pada 1976 itu, dibuat berdasarkan novel “All the president’s men” karya Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua orang jurnalis Washington Post yang berhasil membongkar skandal Watergate tersebut.   Sekalipun Jokowi bukan Nixon, tetapi skenario all the president’s men Jokowi tetap saja berantakan di tengah jalan, lantaran Partai Nasdem ‘mbalelo” mengusung Anies Baswedan sebagai Bacapres. Lalu Ganjar Pranowo yang semula ditenteng Jokowi, tiba-tiba di-take over oleh Megawati, untuk kemudian dijadikan sebagai Bacapres PDIP. Namun, kehilangan Ganjar tak lantas membuat langkah Jokowi terhenti. Tidak ada Ganjar, masih ada Prabowo. Kita pun kemudian menyaksikan cawe-cawe Jokowi demikian masif meng-endorse Ketua Umum Partai Gerindra itu. Ketua Umum Partai Golkar dan PAN pun dibuat tak berkutik, sehingga terpaksa menyerahkan dukungannya kepada Prabowo tanpa syarat. Buktinya, Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang ketahuan membangun komunikasi secara diam-diam dengan Anies Baswedan, pun dipaksa balik kanan dengan kasus eskpor CPO. Sedangkan Anies dan Muhaimin beruntung bisa lolos dari upaya penjegalan sampai berhasil mendaftar di KPU, meski dengan tertatih-tatih. Mengapa Jokowi lebih memilih Prabowo? Dibandingkan dengan Erick Thohir dan Airlangga, Prabowo dinilai lebih berpotensi memenangkan Pilpres. Dan, selain sebagai pemilik Partai Gerindra, mungkin juga Prabowo lebih mampu meyakinkan Jokowi bahwa dirinya berjanji akan memenuhi rasa aman dan nyaman yang dibutuhkan Jokowi dan keluarganya setelah lengser. Apakah Jokowi percaya begitu saja? Tentu tidak. Untuk itulah Gibran dipaksakan menjadi Cawapres Prabowo sebagai pengikat, agar janji tak mudah diingkari. Sedangkan bagi Prabowo, dipasangkan dengan Gibran bukan soal, meskipun tak memiliki dampak elektoral yang siginifikan. Tetapi jangan lupa, Gibran adalah putra Jokowi.  Bahkan, Prabowo yang amat terobsesi menjadi presiden, mendapat endorse Jokowi, seperti mendapatkan durian runtuh. Dan, boleh jadi memang itu yang diharapkan sehingga memilih menyerah untuk menjadi pembantu Jokowi. Padahal, tadinya ia adalah pemimpin utama oposisi dan rival sejati Jokowi. Menyadari bahwa setelah keluar dari istana, harapan Jokowi hanya disandarkan pada Prabowo – Gibran, maka dengan segala kekuasaan yang masih ada di tangannya, apakah Jokowi hanya diam dan membiarkan Prabowo – Gibran, kalah?  Oleh karena itu, jangan berharap Jokowi akan bersikap netral. Tetapi, jangan juga mau Pilpres sampai dicurangi [ym] Jakarta, 03 November 2023.