Mungkinkah PKS Rujuk?
Oleh Bayu Anggara | Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam
Baru saja kita menyaksikan sebuah pelajaran berharga dalam politik Indonesia—bahwa kehendak rakyat dapat mengalahkan kecanggihan kongkalikong para elit politik. Kehendak rakyat telah terbukti menjadi kekuatan yang tak terbendung saat berhadapan dengan kehendak para elit politik yang manipulatif. Peristiwa ini menunjukkan bahwa, sebesar apa pun kekuatan elit politik, ketika berhadapan dengan kehendak rakyat, mereka harus beradaptasi atau tersingkir.
Namun, bukan berarti para elit politik akan dengan mudah mengubah haluan. Mengingat perjalanan yang telah terbangun sejak Pilpres dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), wajar jika mereka masih bersikukuh bertahan dengan pendiriannya. Mereka telah berinvestasi banyak dalam koalisi ini, baik secara politik maupun materi. Akan tetapi, harapan mereka untuk mensiasati proses Pilkada tampaknya telah pupus. Kini, mereka dihadapkan pada satu pilihan: bertarung!
Yang kini menjadi pusat perhatian adalah sikap partai-partai yang sebelumnya bukan bagian dari KIM. Bagaimana mereka akan bersikap di tengah dinamika politik yang terus berkembang? Apakah mereka akan tetap bertahan di kapal KIM atau justru memanfaatkan peluang yang ada untuk melakukan manuver politik yang lebih menguntungkan? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama ketika kita melihat situasi di Jakarta.
Sebagai partai pemenang di Jakarta, PKS sebaiknya mengubah haluan politiknya. Memilih untuk tetap berlayar bersama KIM bukan lagi langkah yang menguntungkan, baik bagi PKS maupun KIM itu sendiri. Bagi KIM, PKS sudah tidak lagi relevan, dan bagi PKS, bertahan dalam KIM hanya akan semakin menjauhkan mereka dari basis pemilihnya. Putusan MK terkait UU Pilkada sebenarnya telah menyelamatkan "muka" PKS di hadapan para pemilihnya yang tidak setuju dengan keputusan PKS untuk bergabung dengan KIM.
Sebaliknya, jika PKS kembali memilih berlayar bersama Anies Baswedan, ini akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk merebut kembali dukungan dari para pemilihnya. PKS masih memiliki waktu untuk membuka kembali komunikasi dengan Anies dengan mengedepankan aspirasi dari para pemilihnya. Biarlah peristiwa politik kemarin menjadi bahan evaluasi bagi kedua belah pihak. Yang paling penting momentum ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali kepercayaan dan relevansi politik mereka.
Pilkada Jakarta, yang berpotensi diikuti oleh lebih dari dua pasang calon, membuka peluang bagi berbagai kekuatan politik untuk bersaing. Jika KIM mengusung kandidatnya sendiri, PDIP juga akan mengajukan kandidat kuat, PKS memilih untuk berlayar bersama Anies, ditambah kandidat independen, maka kalkulator politik tampaknya lebih berpihak kepada PKS dan Anies. PKS, sebagai partai pemenang di Jakarta dengan perolehan 18 kursi DPRD, dipadukan dengan Anies, yang memiliki elektabilitas teratas menurut hasil survey SMRC 8-12 Agustus 2024 (Anies 42,8% vs RK 34,9% dan Anies 37,8% vs Ahok 34,3%), menjadi kombinasi yang sulit untuk dikalahkan.
Dalam dinamika politik yang terus berubah ini, PKS harus segera menentukan haluan. Apakah mereka akan tetap bersama KIM, atau kembali kepada basis pemilihnya dan berlayar bersama Anies? Pilihan ini tidak hanya menentukan masa depan PKS, tetapi juga masa depan Pilkada Jakarta dan arah politik nasional ke depan. (*)