Waspadai KPU, Ikut Putusan MK atau Putusan MA?
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
RAPAT pengesahan PKPU di DPR RI yang semula direncanakan pada Senin (26/8/2024) akhirnya dimajukan hari ini, Minggu (25/8/2024), Pukul 10.00 WIB. DPR RI dan Pemerintah yang awalnya ngotot “melawan” putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 akhirnya memilih jalan aman. Partai Politik (Parpol) anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang terdiri dari Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, Nasdem, PKB, PKS, PPP yang sepakat mengeroyok PDIP pun akhirnya cuci tangan. KIM Plus yang tidak pernah peduli rakyat, tidak berdaya saat akan ditinggal rakyat.
Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Ketua Komisi II DPR RI, Fraksi Partai Golkar pun tidak mau mengambil risiko melawan rakyat. Terutama pasca nama Doli tidak masuk dalam daftar pengurus inti DPP Partai Golkar (PG) yang baru saja diumumkan Bahlil Lahadalia, Ketum Partai Golkar. Doli yang sebelumnya Wakil Ketua Umum DPP PG, dan namanya santer sebagai calon Sekjend baru, ternyata tidak masuk dalam struktur utama Bahlil pencetus istilah “Raja Jawa”. Maka Doli akhirnya menampilkan sosok “Raja Sumatera”, ikuti.putusan MK secara utuh.
Namun rapat percepatan pengesahan PKPU hari ini harus tetap diwaspadai. Elit politik kita sulit dipercaya, sebab terbiasa menampilkan perbedaan kata dengan laku. Kita patut menduga bahwa rapat sengaja digelar hari Minggu, saat aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi sedang istirahat, tiba- tiba diambil keputusan yang bertentangan dengan putusan MK. Segala hal masih mungkin terjadi saat pertandingan masuk “injury time”. Jika DPR RI dan Pemerintah mengaku tunduk pada aspirasi rakyat, KPU RI belum tentu mengikutinya. Maka rakyat harus tetap “standby” hingga PKPU yang diputuskan hari ini, mematuhi putusan MK secara utuh.
Selain memantau rapat pengesahan PKPU, kita pun harus tetap memantau pergerakan pemerintah. Peluang untuk bermain di tikungan, dengan politik bibir jurang masih mungkin terjadi. Pemerintah masih memiliki senjata pamungkas melalui Perpu Pilkada. Selain itu, jika aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi semakin meluas, pemerintah dapat melakukan manuver mengundur jadwal Pilkada hingga batas usia minimal 30 tahun saat penetapan calon sesuai putusan MK terpenuhi. Politik masih sangat dinamis, dan segala kemungkinan masih mungkin terjadi.
Kita harus memastikan bahwa KPU akan mematuhi putusan MK, tidak melakukan pembangkangan konstitusi, pembegalan hukum, dan mengubah arah reformasi. KPU yang bersifat nasional dan mandiri hendaknya merdeka dari pengaruh apa dan siapa pun. KPU sebagai produk reformasi harus dan hanya boleh tunduk pada konstitusi, dan kehendak rakyat. KPU harus ikuti langkah MK yang akhirnya memutuskan patuh dan tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat. Satyam Eva Jayate, Merdeka! (*)