OPINI

Membaca Aura Politik Anies

Tampaknya aura politik Anies akan terus menyala nyalang tak terkirakan dalam menyuarakan suara perubahan. Oleh: Ady Amar | Kolumnis Anies Baswedan memang tak melaju di Pilkada DKJ. Anies diganjal. Dijegal keras begal nomor wahid. Mulyono namanya. Modal kuasa yang dimiliki mampu menutup peluang partai politik mencalonkannya. Meski elektabilitas keterpilihan Anies tak terkejar dari paslon yang disiapkan istana (KIM Plus), Ridwan Kamil dan Suswono, tetap saja tak ada partai yang bernyali mengusungnya. Keterpilihan Anies tak bisa dibandingkan pula dengan paslon yang diusung PDIP, Pramono Anung dan Rano Karno. Apalagi dengan paslon independen yang disiapkan sebelum putusan MK--PDIP saat itu tidak bisa mengusung calonnya sendiri--agar paslon yang didukung istana tidak kehilangan muka jika harus melawan kotak kosong. Putusan MK 60 dan 70 itu menyelamatkan PDIP untuk bisa ikut dalam Pilkada DKJ. Partai yang hasil pilegnya mendapat suara pemilih 7,5% bisa mencalonkan sendiri calonnya. Karenanya, PDIP terselamatkan. Mestinya putusan MK itu juga berdampak pada Anies Baswedan.  Lain nasib PDIP lain pula nasib Anies, yang memang harga mati tak boleh diusung partai manapun. PDIP yang semula ingin mengusungnya dibuat berpikir ulang. Istana menyodorkan Pramono Anung sebagai _win win solution_. Pramono memang kader senior PDIP. Namun Pramono terlalu lama menyusu di istana. Hampir sepuluh tahun. Karenanya, ia calon yang diikutkan untuk sekadar ikut. Tidak sampai diharapakan bisa memenangkan kontestasi. Sebagai begal politik, tentu tak ada kamus rasa malu dinalar Mulyono. Berbangga partai politik bisa jadi sanderanya. Dibuat tak berkutik. Tak berani bersikap dengan independensi selayaknya. Tapi ada juga partai yang luput dari sanderanya, namun justru menyodorkan diri untuk disandera. Memilih masuk dalam lingkar kekuasaan, meski dengan meninggalkan suara konstituennya. Anies yang sedianya diusung PDIP, Senin (26 Agustus) lalu sudah hadir di kantor DPP PDIP untuk diumumkan namanya. Rencana pukul 13.00 namanya diumumkan Megawati Soekarno Putri. Tapi urung dilakukan. Konon sejam sebelum PDIP mengumumkan nama Anies dan Rano Karno, muncul sprindik ancaman dilayangkan Mulyono. Jika PDIP tetap nekat maka kasus korupsi BTS yang menyeret Hapsoro Sukmonohadi, suami Puan Maharani akan diangkat. Sprindik yang mampu buat nyali PDIP _mingsrut_. Pengumuman paslon PDIP untuk Pilkada DKJ pun ditunda. Agar tak mencolok Pilkada PDIP beberapa wilayah lain pun diundur. Keesokan harinya nama Pramono Anung dan Rano Karno resmi diusung PDIP. Sekali lagi Anies terkunci. Pintu yang dibuka MK tak mampu buat partai bisa mengusung calonnya sendiri tergerak mencalonkannya. Partai yang tergahung dalam KIM Plus, yang karena putusan MK disinyalir bisa jalan sendiri-sendiri menentukan paslonnya lalu bergeming. Partai-partai itu layak dicatat dalam benak publik telah melakukan persekongkolan jahat membunuh Anies. Aura politik Anies coba dimatikan dengan dipaksa tak bisa mengikuti Pilkada DKJ. Tak ingin Anies jadi pemenangnya. Bahkan Anies diharap tak lagi bisa bersuara menghangatkan atmosfer perpolitikan. Anies dicukupkan sampai disitu saja. Di 2029 Anies diharapkan tak lagi jadi ancaman. Belum juga Prabowo Subianto dilantik pada 20 Desember 2024, sebagai Pesiden RI ke-8, panitia persiapan agar ia terpilih kembali di 2029 sudah bekerja dengan rapi. Maka, tak boleh ada Anies yang bisa jadi penghalangnya. Lantas apakah aura politik Anies menjadi redup? Belum tentu. Bahkan bisa jadi sebaliknya. Di mana Anies mampu membuat sendiri panggung besarnya  mengorkestrasi rakyat yang berharap perubahan.  Rakyat pendukungnya, setidaknya yang memilihnya pada Pilpres 2024, menuntut dihadirkannya partai baru yang dinahkodainya. Partai yang membawa semangat perubahan. Tampaknya aura politik Anies akan terus menyala nyalang tak terkirakan dalam menyuarakan suara perubahan.**

Timnas Garuda dengan 14 Pemain Naturalisasi: Kita Bangga atau Malu?

Oleh Jon A.Masli, MBA | Diaspora di USA & Corporate Advisor BANYAK Diaspora di AS menonton siaran ulangan Timnas Garuda yang menahan seri Timnas Australia. Kami bangga di satu sisi, tetapi ketika membaca tweet senior tokoh masyarakat eks Dubes Polandia, Pak Peter Gontha yang galau mengekspresi rasa malunya dengan fakta bahwa 9 orang dari skuad Garuda adalah pemain naturalisasi. Ketika dicek lagi ternyata ada 14 orang yang tadinya warga negara Belanda, Belgia, Spanyol dan lainnya (silahkan di cek lagi), jadi teringat waktu Shin Tae Yong (STY) mulai merekrut pemain-pemain asing, banyak orang merasa galau seperti Pak Peter tadi.  Mungkin sekali ada jutaan penggemar sepakbola yang merasa malu karena nasionalisme martabat sebagai bangsa Indonesia terusik ketika di setiap Timnas bertanding, bintang-bintang pemain naturalisasi yang turun berperan. Tapi perasaan  ini belum terungkap selama ini. Baru ketika tweet pak Peter Gontha viral dengan ekspresi galau, netizen-netizen pun sadar. Sebagai eks pemain sepak bola di waktu kuliah di Amerika Serikat dan  pembina tim sepak bola anak-anak mahasiswa Indonesia di Los Angeles, saya merasa berhak memberikan kritik membangun kepada PSSI yang kita cintai dan kepada Ketumnya Pak Erick Thohir yang kita hormati. Betul kita kagum dan angkat topi dengan upaya-upaya Pak Erick Thohir yang merestrukturisasi PSSI. Gebrakan-gebrakan positif  beliau banyak sudah dalam membenahi PSSI, termasuk merekrut STY. Corporate restructuring di PSSI itu memang sukses di bawah kepemimpinan sang superman, yang juga Menteri BUMN. Tapi selalu ada ruang kritik membangun, yaitu kritikan yang tidak dapat dipungkiri bahwa mengapa Timnas kita itu didominasi pemain-pemain asing yang dinaturalisasi? Salahkah kebijaksanaan itu? Tentu tidak, karena tidak  melanggar AD/RT PSSI. Tapi ini miris dan tidak logis karena sebagai bangsa yang besar dengan 275 juta jiwa seakan kita tidak punya harga diri  harus mengimpor pemain-pemain dari Eropa dan negara lain. Bukankah Indonesia itu gudangnya talenta sepak bola  terutama di Papua dan daerah-daerah Indonesia Timur yang belum terjamah? Mungkin tim pencari talenta PSSI belum percaya dengan talenta dan IQ orang-orang kita yang memang masih rendah menurut lembaga survei? Atau mungkin PSSI ingin mendapat hasil restructuring yang lebih instan dengan merekrut pemain-pemain asing seperti di semua klub sepak bola dunia. Tapi ketika yang namanya Timnas, kita mempertaruhkan martabat kita sebagai bangsa Indonesia yang besar dengan kibaran merah putih. Eporia kemenangan Timnas Garuda baru-baru ini, dapat dilihat termasuk ketika skuad Garuda menahan Timnas Australia yang disambut gegap gempita di Gelora Bung Karno (GBK) dengan bendera merah putih dimana mana. Tapi miris  ketika kita menyaksikan Presiden Jokowi turun ke lapangan menyalami para pemain-pemain naturalisasi yang berwajah ganteng berkulit putih. Terlihat beliau bangga dan wajahnya berseri seri. Kamera-kamera TV sepertinya kurang menayangkan momen serupa kepada pemain-pemain yang berkulit sawo matang. Penonton di GBK-pun terpaksa ikut arus merayakan pesta keberhasilan Timnas dengan setengah sadar mengelu-elukan Timnas skuad Garuda yang 9 pemainnya yang turun berlaga tadi adalah pemain-pemain naturalisasi. Mereka ikut bereporia, bahkan senyap-senyap terdengar memuji Jokowi dengan teriakan-teriakan \"Mulyono, Mulyono...\" berkali-kali entah apa maksud teriakan itu. Yang jelas excited bangga bisa menahan seri Australia. Kita kerap tidak sadar membohongi diri sendiri, bahwa Timnas kita hebat. Hebat dan bangga bila mayoritas pemain-pemain itu putra-putra Indonesia yang berkulit sawo matang  atau hitam seperti anak-anak Papua atau Indonesia Timur.Lebih kaget lagi ketika menonton video bagaimana Pak Erick Thohir menyemangati para pemain Timnas dengan bahasa Inggris sepotong-potong. Ini aneh. Bukankah Bahasa indonesia yang seharusnya yang dipakai berkomunikasi dengan Timnas? Cetus tetanggaku Jason, orang Texas yang nikah dengan mbak  Sumiyati “This is weird, why didn\'t Erick speak in Bahasa Indonesia? Yet he spoke  broken English\".Sepontan saya jawab, “Because those players are naturalised Indonesians.They are in fact Europeans.” Langsung kamipun lanjut membahas fenomena bagaimana STY dan Erick Thohir dapat berkomunikasi efektif dengan para pemainnya dengan maksimal dan efektif dengan bahasa Inggris logat Korea dan Indonesia. Bayangkan si pelatih Korea bahasa Inggris dan Indonesianya terbatas. Para pemain naturalisasi tidak fasih Bahasa Indonesia. Terus pemain asli Indonesianya juga terbatas bahasa Ingrisnya. Luar biasa memang. Amazing they can do it terutama Coach STY. Sehingga iapun laris ditawarin menjadi bintang iklan di berbagai produk dalam negeri. Sementara pelatih-pelatih Indonesia yang pernah sukses membawa tim U 18 tidak berkesempatan beriklan. Memang Indonesia is a land of opportunity bagi STY yang kalau di Korea dia tidak akan punya fasilitas expat semewah yang dia dapat dari PSSI.Pokok kritikan ke PSSI dan Erick Thohir adalah kita cinta PSSI dan ingin negeri kita bermartabat di mata dunia. Phenomena corporate restructuring PSSI adalah contoh klasik kelemahan bangsa kita yang terkadang kurang menghargai bangsa sendiri. Kalau boleh dikatakan belum sempurna melaksanakan praktek Good Corporate Governance. Jadi saran untuk PSSI, adalah pergilah ke Papua dan daerah-daerah Indonesia lainnya, burulah talenta-talenta sepakbola nasional kita. Mungkin mereka anak-anak orang miskin tapi ingat Messi, Pogba, Pele dll itu juga anak-anak kampung orang miskin.   STOP merekrut talenta asing. Jangan menelantarkan talenta-talenta bibit sepak bola di daerah-daerah  seperti Papua, Maluku, dan  provinsi-provinsi di Indonesia Timur. Mereka bangsa Indonesia asli yang kita patut banggakan. (*).

Jokowi Akan Bunuh Diri

Oleh  Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEJAK menjadi Panglima TNI, dan selama Jokowi nasih berkuasa, Gatot sering menyoroti isu kebangkitan PKI, agar semua waspada Pada tahun 2017 jelang peringatan G30S/PKI, ia memerintahkan seluruh jajarannya untuk memutar film p ehengkhianatan G30S/PKI. Semua prajurit, mulai dari tingkat Kodim, Korem, hingga Babinsa, wajib menonton film buatan tahun 1980-an itu. Jenderal Gatot sekalipun sudah purnawirawan masih mendidih ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, memuat isi ingin permintaan maaf kepada PKI, mengadakan rehabilitasi dan bantuan sosial kepada pelanggaran HAM, arahnya untuk membela dan melindungi PKI Agar semua lebih peka dan waspada dengan statemen Jokowi mengatakan bahwa dirinya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, Jokowi dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Afiliasi Jakowo terpapar PKI sangat fulgar, ini tersanbung dengan pernyatan Bambang Tri ( Jokowi Under C weover II ) bahwa Jokowi terpapar PKI. Rencana aksi pasukan sesumbar  berani mati pembela Jokowi dan keluarganya tanggal 22 September 2024 di Tugu Proklamasi Jakarta. Jokowi memilih September ( biasa menghindar itu bukan perintahnya ), jelas memberi isyarat terkait dengan peristiwa G 30 S PKI. Peristiwa ini sangat mungkin masih tersambung dengan semangat Aidit setelah mendapatkan arahan MaoTse Tung. Mengingatkah kita dialog Mao Tse Tung dengan Aidit  tanggal 5 Agustus 1965 di Zhongnanhai - Peking , menjelang meletusnya PKI  : Mao : Kamu harus bertindak cepatAidit : Saya khawatir AD akan menjadi penghalangMao : Baiklah, lakukan apa yg yang saya nasihatkan kepadamu - habisi semua jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikuti mu.Aidit : Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.Mao : Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja. Rencana aksi pasukan bergaya sesumbar berani mati pembela Jokowi dan keluarganya tanggal 22 September 2024 di Tugu Proklamasi Jakarta, yang berbau narasi perjuangan PKI, akan nyasar kemana. Konon Konsolidasi Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi (yang akan lengser dari kekuasaannya) dilakukan 22 September ini akan berkulminasi pada kebulatan tekad tanggal 22 September 2024, tekad untuk apa. Jokowi silahkan unjuk keberanian tetapi semua harus sadar bahwa Tugu Proklamasi adalah monumen perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia bukan monumen pembela pada PKI. Tampaknya Jokowi benar benar sudah limbung, nanar, berjalan tanpa arah, seolah olah masih akan terus berkuasa, di balut ketakutan yang acut resiko hukum yang sudah mengintai diri dan keluarganya.   Semua rekayasa politiknya sudah buntu dan mentok, terkesan seperti tidak siap lengser dari kekuasaannya. Peringatan waspada dari Jenderal ( Purn ) Gatot Nurmantyo  tetap relevan. Kalau aksi akan membuat  kebulatan tekad tanggal 22 September 2024, ada niat akan menggangu rencana pelantikan Prabowo Subianto 20 Oktober mendatang, sama artinya Jokowi akan bunuh diri. (*)

KPK Periksa Pimpinan dan Anggota Baleg DPR RI

Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional BELUM lama berselang terjadinya proses legislasi yang super kilat dengan akrobat politik Baleg DPR RI bersama Mendagri, Menkum HAM. UU Pilkada yang tidak masuk dalam RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2024, mendadak dibahas. Dalam (1×24) jam pasca putusan MK 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan, Baleg DPR RI gelar rapat super cepat.  DPR RI dan pemerintah sangat reaktif bahkan agresif atas putusan MK 60 dan 70 tersebut. Berbeda sikap dengan  saat Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden/ wakil presiden dibacakan. DPR RI bersama pemerintah pasif, namun memberi ruang bagi KPU untuk proaktif. KPU merevisi PKPU demi memuluskan “raja jawa muda” maju di Pilpres. Dengan menabrak hukum, etika, moral, asas kepantasan, dan kepatutan, Baleg DPR RI bersama pemerintah memaksa melakukan revisi UU Pilkada. KIM Plus membabi buta merevisi UU Pilkada tanpa memedomani putusan MK. DPR RI dan Pemerintah secara sengaja mengabaikan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, demi keinginan melahirkan UU Pilkada baru yang dapat mengakomodasi “raja jawa muda kedua” maju di Pilkada. Namun permufakatan jahat antara DPR RI yang dimotori KIM Plus bersama pemerintah kandas. Mahasiswa, buruh, artis, komika, siswa SMA/SMK, dan kelompok masyarakat pro demokrasi lainnya turun ke jalan. Massa aksi dengan tegas menolak rencana DPR RI dan pemerintah merubah UU Pilkada. KIM Plus akhirnya mengalah, karena takut berhadapan dengan rakyat. Massa aksi marah jika UU Pilkada diubah berbeda dengan putusan MK. Massa aksi bergerak di seluruh kota- kota besar dengan tagar #kawalputusanmk. MK yang namanya sempat diplesetin menjadi “mahkamah keluarga” akibat putusan MK 90, akhirnya mendapat dukungan moral ( kembali ) dari publik pasca Putusan MK 60 dan 70 dibacakan. Pembangkangan hukum, pembegalan konstitusi, pembelokan arah reformasi, dan perusakan demokrasi kandas. Parpol anggota KIM Plus buru- buru cuci tangan, memilih sejalan dengan aspirasi rakyat. Pimpinan DPR RI, Sufmi Ahmad Dasco putar haluan 180 derajat mengumumkan sidang paripurna pengambilan keputusan revisi UU Pilkada tidak dapat dilanjutkan. Aksi nekat DPR RI bersama pemerintah tersebut berdampak buruk bagi masa depan Indonesia sebagai negara hukum. Namun risiko besar tersebut diduga tidak gratis, sebab ada pengaruh kekuasaan politik yang dapat melakukan bujuk rayu. Ada intervensi dan transaksi politik yang melampaui kekuasaan hukum dan politik DPR RI sehingga berani melawan putusan MK. Maka untuk membongkar para sutradara, aktor intelektual dari aksi pembegalan hukum, pembangkangan konstitusi, serta pembelokan arah reformasi tersebut, perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:  Pertama, bahwa untuk tindakan pembegalan konstitusi diduga telah terjadi suap, pemberian hadiah atau janji, baik berupa uang, atau bentuk lain. Maka diminta kepada KPK untuk memeriksa semua pihak yang terlibat dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Keuangan RI, dan DPD RI pada Rabu (21/8/2024). Kedua, bahwa seluruh pimpinan dan  anggota Baleg DPR RI harus dipanggil dan diperiksa Mahkamah Kehormatan DPR RI (MKD) atas rapat yang diduga tidak sesuai tata tertib DPR RI. Memeriksa dugaan pelanggaran kode etik DPR RI, terkait rapat kerja Baleg bersama pemerintah hingga rencana sidang paripurna yang mengakibatkan kemarahan publik. Ketiga, bahwa MKD harus memanggil dan memeriksa pimpinan dan anggota Baleg DPR RI atas dugaan pelangaran etik terkait sikap arogansi membenturkan sesama lembaga negara, DPR RI Vs MK. Baleg DPR RI diduga melakukan pelecehan harkat dan martabat MK lewat upaya revisi UU Pilkada tanpa dasar putusan MK. Keempat, bahwa Komisi ASN harus memeriksa seluruh ASN yang terlibat dalam rapat Baleg DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM. Kehadiran ASN dalam rapat yang sengaja melawan putusan MK adalah pelangaran UU ASN.  Kelima, bahwa seluruh biaya yang timbul akibat rapat kerja Baleg DPR RI tersebut tidak dapat dibebankan kepada anggaran Setjend DPR RI. Maka seluruh biaya yang timbul akibat rapat tersebut di atas menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pimpinan dan Anggota Baleg DPR RI. Dari peristiwa tersebut di atas, bangsa ini harus belajar untuk tidak sembarangan menggunakan lembaga negara secara ugal- ugalan. Lembaga negara seperti DPR RI seharusnya menciptakan kesejukan, bukan kegaduhan yang memancing kemarahan rakyat. (*)

Indonesia Darurat, Tidak Sudi Dijajah Cina - 15

Oleh  Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  DALAM sejarah  perjalanan politik di  Nusantara sejak era kolonial etnis Cina adalah bagian dari penjajah. Sejarah tersebut sangat dipahami oleh Soekarno maka sepanjang Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno, warga Cina sangat dibatasi dalam pergaulan politik, ekonomi dan hukum.  Diawasi, dikendalikan  dan dikontrol sangat ketat, Presiden Soekarno sampai mengeluarkan PP No.10 Tahun 1959 yang berisi melarang warga Cina melakukan kegiatan ekonomi masuk di pedesaan. Begitupun eksistensi keturunan Cina dalam politik dan pemerintahan, Soekarno tak memberi kesempatan dan panggung untuk mereka. Soekarno dan Soeharto  sama-sama membatasi warga Cina, baik dalam soal keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Begitupun  dalam soal ekonomi dan politik, termasuk membatasi etnis Cina dalam wilayah pemerintahan.  Pasca peristiwa G 30 S PKI warga Cina  semakin dikekang dengan Inpres No. 14 Tahun1967 tentang larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Orde Baru mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengendalikan dan mengawasi gerak gerik etnis Cina. Bahkan pergerakan masyarakat Cina  dikontrol melalui Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Soekarno maupun Soeharto  menganggap, etnis Cina masih berorientasi pada negeri leluhurnya. Masih sangat eksklusif, primordial dan sektarian. Etnis Cina merupakan masyarakat yang memiliki kultur agresif dan ofensif secara ekonomi dan politik. Sehingga rezim pemerintahan keduanya melakukan proteksi  masyarakat pribumi dari ancamannya etnis Cina. Pengawasan dan pengendalian terhadap etnis Cina mulai dijebol pada masa pemerintahan Habibie keluar Inpres dikeluarkan Presiden Habibie no. 26 tahun 1998  kita dilarang nyebut \"Pribumi\". Beruntun pada masa pemerintahan Gus Dur keluar Keppres No. 6 Tahun 2000,  menghapus apa yang dianggap sebagai diskriminasi terhadap etnis Cina. Beruntun rezim  sesudahnya berlomba menjadi budak etnis Cina dan puncaknya pada rezim Jokowi sempurna menjadikan boneka sembilan naga. Benar apa yang dikhawatirkan Soekarno dan Soeharto tentang pembatasan ruang gerak etnis Cina di Indonesia. Tak cukup terkait betapa kuatnya kesetiaan pada negara leluhurnya. Kehadiran etnis Cina sebagai pengkhianat sudah terjadi sejak masa pergerakan kemerdekaan, pergolakan dan situasi genting NKRI dalam Orde Lama, Orde Baru, dan Orde  selanjutnya. Bukan sekadar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan etnis Cina juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan. Terlebih setelah beternak penguasa berjalan mulus defakto sebagai penguasa Indonesia  Etnis Cina yang minoritas sudah berhasil menguasai rakyat mayoritas. Saat ini sudah pada puncak kekuasaanya bahkan dengan jumawa setelah berhasil membeli jabatan presiden di Indonesia. Semakin kuat posisinya menjadi \"inner circle\" kekuasaan penyelenggaraan negara.  Prabowo tidak ada jaminan akan bisa  keluar dari \"inner circle\" karena kekuasaan yang dimiliki hakekatnya milik sembilan naga. Sama dengan Presiden Jokowi tidak lebih hanya sebagai pelaksana ( boneka ) kebijakan sembilan naga. \"Indonesia darurat benar benar sudah terjadi\". Kemarahan rakyat  sudah menyatu dengan geramnya mahasiswa sudah pada titik klimaks, hanya ada satu jalan  yaitu \"Revolusi untuk menghentikan, menghukum, dan membersihkan para pengkhianat negara\" (*)

Dari Penjajahan Bangsa Asing ke Penjajahan Bangsa Sendiri 

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Refleksi sejati keindonesiaan adalah kesadaran bahwasanya negeri ini  hanya merdeka dan berdaulat satu hari saja yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum dan sesudah itu, bangsa ini hanya hidup dari penjajahan ke penjajahan berikutnya, bahkan hingga saat ini. Indonesia dengan visi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sesungguhnya adalah mitos. Faktanya dalam 79 tahun usia republik, Indonesia menjadi negara yang semu kemerdekaannya. Hanya formalitas menggengam legalitas dan legitimasi, namun kenyataannya negara merdeka dan berdaulat hanya sebatas utopi atau mimpi atau sekedar ilusi. Sebelum kelahiran negara yang bernama Republik Indonesia hingga sekarang ini. Rakyat tetap hidup di alam feodalisme dan kolonialisme. Kemerdekaan yang hakiki dan substansi hanya ada pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan makna lain, Indonesia hanya merdeka sehari saja.  Sebelum dan sesudah peristiwa proklamasi kemerdekaan yang historis dan heroik itu, rakyat hanya menjadi populasi jajahan.  Sebelum 17 Agustus 1945, jauh berabad-abad lamanya rakyat berada dalam cengkeraman sistem kerajaan, kongsi dagang VOC, Portugis, Belanda dan Jepang.  Dari Monarki, perdagangan dan ekspansi wilayah, hingga akhirnya nusantara kala itu berada dalam cengkeraman koloni dan imperium asing.  Sungguh pesona kekayaan alam dan wilayah strategis secara ekonomi dan politik, nusantara layak dijadikan bumi jajahan. Indonesia hanya terus menjadi langganan negara jajahan, bedanya dulu oleh bangsa asing, sekarang oleh bangsanya sendiri, oleh pemimpin dan elit politik. Tak terkecuali dengan oligarki dan politik dinasti. Sehari setelah 17 Agustus 1945, Republik Indonesia kembali dalam pangkuan penjajahan. Kehilangan kemerdekaan dan kedaulatan, yang ironisnya dilakukan oleh bangsanya sendiri meski tak lepas dari hegemoni dan dominasi bangsa asing. Soekarno-Hatta dan para pendiri bangsa lainnya terjebak dalam konflik berlarut-larut. Bahkan hanya berselang sehari, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia perlahan tapi pasti telah lepas. Pemberontakan, kudeta dan saling membunuh sesama anak bangsa kerap terjadi hingga saat ini. Ambisi, kebencian dan dendam sekaligus hasrat materialisme menyeruak pada sesama pemimpin. Seiring itu rakyat terpapar penderitaan berkepanjangan dan kekayaan negara terus dieksploitasi bangsa asing dan segelintir bangsa sendiri. Di penghujung satu dekade rezim yang feodal, fasis dan  tiran. Para pemimpin, elit politik bersama korporasi kapital mengukuhkan kelompoknya sebagai penganut neo kolonialisme dan neo imperialisme meski tetap menjadi sub ordinat globalisme. Bukan hanya presiden dan para menteri, semua lembaga tinggi negara, ada sebagian TNI-Polri, ada sebagian ulama dan intelektual, ada sebagian mahasiswa dan aktifis pergerakan yang telah ikut bergabung dalam satu paduan suara kejahatan konstitusi dan demokrasi. Begitu banyak yang terhipnotis oleh tipu daya dan hasrat duniawi. Kehancuran nilai-nilai dan bangkitnya materialisme pada bangsa Indonesia, sejauh ini bukan semata karena pemimpin yang repredif dan dzolim. Bukan karena kekuatan dan keperkasaan elit, melainkan karena malas, penakut dan lemahnya rakyat.    Kelompok terdidik dan tercerahkan yang sedikit tak mampu membangkitkan kesadaran rakyat mayoritas. Rakyat yang bodoh, miskin dan lapar telah menjadi senjata ampuh bagi elit politik untuk terus mencabik-cabik dan memangsanya. Tak cukup upaya perlawanan kaum sadar kritis dan perlawanan, untuk melawan penjajahan dan perbudakan modern. Sejatinya, hidup bangsa pada hari ini dan masa depan anak-cucunya turun temurun sangat ditentukan oleh keberanian dan mental baja rakyat itu sendiri. Perubahan hanya datang dari yang susah payah mencari makan, susah payah mendapat pendidikan, susah payah mendapat pelayanan kesehatan dan pelbagai kesusahan untuk kelayakan hidup. Rakyat yang terpinggirkan yang papa dan nestapa itu yang menjadi korban-korban ketamakan struktural.  Semua mungkin sudah sadar dan kini termanggu. Apa yang harus dan bisa dilakukan? Masihkan layak  rakyat menyebut dirinya sebagai warga negara? Hidup terjajah dan menjadi budak di negara sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Atau harus bangkit merebut kembali kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang telah lama hilang. Merdeka sekali lagi dan selamanya  setelah sehari pada tanggal 17 Agustus 1945. Ayo, merdeka sekali lagi. (*)

Jakarta, dan Gerakan Coblos Semua: Sebuah Perlawanan

Oleh: Ady Amar | Kolumnis SEGALA cara merampas keikutsertaan Anies Baswedan dalam Pilkada DKJ 2024 berhasil dilakukan. Anies yang dicintai warga Jakarta dibuat  tak bisa berlaga.  Meski elektabilitas Anies tinggi, jauh melampaui pasangan calon gubernur yang diusung KIM Plus--koalisi partai-partai minus PDIP yang direstui istana lama dan baru--juga Pramono Anung-Rano Karno pasangan yang diusung PDIP. Pasangan ini belum masuk radar bisa dilihat elektabilitasnya. Pramono Anung pun disebut calon yang direstui istana. Juga kemunculan pasangan independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, yang boleh dilihat sebelah mata, atau bahkan boleh tidak dilihat sebagai pesaing yang menguatirkan pasangan yang diusung KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono, yang sepertinya akan melenggang mulus sesuai harapan istana. Skenario menghentikan Anies agar tak ada partai politik berani mengusungnya berhasil dilakukan. Anies dihentikan dengan cara menyelisih demokrasi dengan tak menganggap mayoritas suara konstituen Jakarta, yang menghendaki ia memimpin Jakarta untuk periode ke-2 nya. PDIP pun \"dipaksa\" untuk tak coba-coba nekat mengusungnya. Lalu Pramono jadi pilihan. Melihat Anies diperlakukan  dengan tak sepantasnya memunculkan konstituennya melakukan perlawanan dengan caranya. Muncul \"Gerakan Coblos Semua\". Itulah protes. Bentuk perlawanan warga Jakarta memilih dengan tidak memilih ketiga pasangan yang dimunculkan. Pasangan calon yang lebih pada suka-suka penguasa. Tanpa ada yang mengorkestrasi. Digerakkan oleh perasaan yang sama. Gerak perlawanan yang sama. Mereka tetap datang ke tempat pemungutan suara. Tetap mencoblos. Dengan mencoblos semua pasangan yang ada. Mau menunjukan, bahwa ketiga paslon itu bukan pilihannya. Pilihan mencoblos semuanya, itu jika melihat lembaga media berlomba membuat polling. Memunculkan pilihan ketiga nama paslon, dan satu lagi pilihan untuk tidak memilih. Hasilnya, pilihan tidak memilih dipilih di atas 70%. Luar biasa. Pemilih polling itu tentu tidak semua warga Jakarta, tapi diikuti juga warga luar Jakarta. Menandakan pilkada Jakarta jadi perhatian warga seluruh negeri. Apa yang dirasakan warga Jakarta terhadap Anies, itu juga dirasakan warga seluruh negeri. Menandakan spektrum cakupan Anies tidak hanya sebatas Jakarta. Kemarahan mayoritas warga Jakarta diekspresikan lewat perlawanan gerakan coblos semua. Itu sama dengan tidak memilih ketiga paslon yang ada. Mencoblos semuanya itu tanda ketidakpercayaan pada paslon yang diusung partai politik yang ada. Tidak mustahil gerakan coblos semua akan merembet ke provinsi lain, ke kabupaten kota di seluruh negeri. Rezim menghentikan Anies mengikuti Pilkada DKJ, itu berhasi dilakukan. Anies menjadi tak bisa berlaga. Namun rezim mustahil bisa mencegah bergulirnya gerakan coblos semua. Rakyat berhak tidak memilih pasangan calon gubernur yang bukan pilihannya. Itu pun hak konstitusional. Pilkada DKJ dengan \"mematikan\" Anies Baswedan itu tengah disorot berbagai media internasional. Menyebutnya absurd. Bagaimana Anies yang punya elektabilitas tinggi tidak ikut berlaga. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika nantinya gerakan coblos semua, itu yang justru keluar sebagai pemenang pilkada DKJ. Tak mustahil media-media itu akan mengangkatnya jadi berita yang mengundang gelak tawa terbahak.**

Bambrod Sebut Minum Air Kemasan Bisa Jatuh Miskin, Anthony: Konyol

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Bambang Brodjonegoro memberi pernyataan, bahwa konsumsi air galon atau air kemasan menjadi salah satu faktor kelas menengah jatuh miskin. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240830130611-4-567764/air-galon-jadi-sebab-kelas-menengah-jatuh-miskin-ini-penjelasannya Pernyataan dan pendapat mantan menteri keuangan rezim Jokowi ini sungguh menyedihkan, tidak masuk akal sama sekali, absurd. Pernyataan Bambang jelas sebagai upaya mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi menyalahkan masyarakat karena kebiasaan konsumsi air kemasan. Bambang berkilah, konsumsi air kemasan tidak terjadi di semua negara. Menurut Bambang, masyarakat kelas menengah di negara maju terbiasa konsumsi air minum (dari kran) yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Niatnya mau membela kegagalan pemerintahan Jokowi, dengan mencari kambing hitam “konsumsi air kemasan”. Tetapi yang didapat justru sebaliknya. Pernyataan Bambang justru mengungkap fakta dan sekaligus validasi, bahwa pemerintahan Jokowi selain telah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, tetapi juga telah gagal dalam penyediaan air siap minum di tempat-tempat umum.  Karena, masyarakat hanya bisa konsumsi air siap minum dari keran-keran di tempat umum kalau pemerintah mampu menyediakan fasilitas tersebut. Faktanya, pemerintah tidak mampu menyediakan fasilitas air siap minum di tempat-tempat umum, sehingga masyarakat tidak bisa mengkonsumsinya. Artinya, masyarakat mengkonsumsi air kemasan karena tidak ada pilihan lain, karena pemerintah telah gagal menyediakan air siap minum yang aman, di tempat-tempat umum. —- 000 —-

Raja Jawa atau Raja Dedemit, Sih?

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MASIH terngiang pidato bahlul Bahlil di depan pimpinan dan kader Golkar soal Raja Jawa yang ngeri-ngeri sedap dan berbahaya. Bisa celaka jika main-main sama barang itu. Bahlil tidak membantah dugaan bahwa Raja Jawa itu adalah Jokowi. Jokowi sendiri \'cicing wae\' mungkin mesam mesem. Baru pidato perdana, Bahlil sudah bikin gara-gara. Terma Raja Jawa langsung meraja lela di jagad maya.  Raja Jawa atau Raja Dedemit, sih ? Ini pertanyaan tidak serius banget. Tapi lumayan bahan renungan saja. Sejak awal pelantikan periode kedua Jokowi bulan Oktober tahun 2019 atas kemenangan kontroversialnya, area pelantikan dipenuhi banyak dedemit. Menurut \'pakar\' dedemit Ki Sabdo hadir Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong dan dedemit lain termasuk Jin Kahyangan.  Menurut Mbah Yadi paranormal Pati, Jokowi itu ahli laku spiritual dan sosok gaib pelindungnya bukan asal-asalan. Ada penguasa laut Nyi Roro Kidul, Khadam Soekarno, demit burung Garuda hingga pasukan Prabu Siliwangi. Presiden ditemani tokoh-tokoh gaib dilihat dari sehari-harinya, ujarnya. Konon Jokowi suka semedi. Di IKN dulu di samping upacara kendi dan tanah, juga menyengaja bertenda. Dulu Raja Jawa Brawijaya dari Kerajaan Majapahit memiliki \'teman\' Sabdo Palon. Saat Brawijaya masuk Islam, ia mengajak Sabdo Palon masuk Islam tetapi ia menolak. \"Kulo mboten angrasuk agomo Islam\", katanya. Ia mengaku harus \"momong marang anak putu\" melindungi anak cucu. Dedemit Sabdo Palon mengakui kemenangan Islam, tapi ia berjanji nanti akan mengganti Islam dengan ajaran budi.  Sumpahnya \"Jangkep gangsal atus taun awit dinten puniko, kulo gentos ing agami, gami budi kulo sebar tanah Jawi\". Ia menyatakan lima ratus tahun sejak hari ini, ia akan ganti agama dengan agama budi. Entah yang Sabdo Palon ramalkan adalah sipritualitas atau pedukunan yang tersebar ? Faktanya meski beragama Islam banyak yang perilakunya tidak berbasis syari\'at. Kuat pengaruh mistik atau paranormalisme. Jokowi berlindung pada dedemit, para tokoh politik justru berlindung pada Jokowi. Partai politik berantakan di bawah kendali Presiden Jokowi. Hampir semua Ketum seperti berada di bawah ketiaknya. Bahlil dengan percaya diri mengancam pimpinan dan Kader Golkar atas \"kesaktian\" sang Raja. Mungkin Bahlil sudah pernah  diizinkan melihat Khadam Jokowi. Seorang beriman tidak boleh berlindung kepada Jin. Jin bawaannya menyesatkan. Berlindung kepada Allah adalah perlindungan  yang kokoh, sebaliknya berlindung kepada selain Allah itu perlindungan lemah bagai berlindung pada sarang laba-laba. Dari jauh terlihat laba-laba itu membuat jaringan yang hebat. Tetapi jika kita tahu, maka dengan sedikit sentuhan saja sudah putus.  Qur\'an mengingatkan hal itu dalam Surat Al Ankabuut (Laba-Laba) Ayat 41. Ketum partai yang berlindung kepada Jokowi seperti kuat demikian juga jika Jokowi berlindung pada dedemit, kelak akan terbukti bahwa semua itu adalah perlindungan yang lemah. Bahkan dari kaca mata iman, berlindung pada selain Allah dapat dikategorikan musyrik. Menurut syari\'at Islam percaya dan mengikuti jalan paranormal merupakan perilaku syirik. Jika ia tidak bertobat, maka dosanya tidak akan diampuni.  Indonesia sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjaga kebersihan beragama. Para pemimpin lazim memberi teladan. Jangan sampai muncul pertanyaan apakah Jokowi itu Raja Jawa atau Raja Dedemit ? Celaka bangsa ini jika pempimpinnya tidak rasional atau selalu mengikuti petunjuk Jin dan Jun. (*)

Ingin Bubarkan DPR? Ya Revolusi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KEKECEWAAN atas peran partai politik yang tidak menjadi alat perjuangan rakyat berimbas pada fungsi DPR yang mandul, seremonial dan banyak gaya ketimbang kerja. Gaya hidup hedonis di tengah rakyat yang semakin sulit untuk hidup. Harga melambung, pajak mendera dan phk meningkat. Segala penyelesaian harus pakai uang.  DPR tidak mampu menjadi pengawas efektif bagi pemerintah, budgeting berbau komisi bahkan korupsi, fungsi legislasi membaguskan narasi tapi buruk aspirasi. Mengabdi pada kepentingan pragmatis. Rakyat tidak merasakan sentuhan kerja nyata DPR. Pelesetan bagi DPR adalah Dewan Perwakilan Rezim bahkan Dewan Penindas Rakyat.  Untuk menjadi anggota DPR harus berbiaya tinggi. Miskin tak mungkin. Akibatnya muncul spirit bagaimana mengembalikan \"political cost\" yang tinggi tersebut. Jadilah DPR sebagai institusi kerja, dagang atau usaha. Diisi oleh mereka yang kaya, pengusaha atau anak-anak pejabat negara. Istri juga ada. Wajar jika kesehariannya tidak berada pada ruang masyarakat bawah.  Kekecewaan rakyat menimbulkan pengkritisan pada keburukan sistem pemilu, budaya otorirarian partai politik, cuanisme, maupun oligarki. Muncul celetukan sudah bubarkan saja DPR toh negara tidak akan bubar tanpa DPR, ada pula pernyataan perlunya berpolitik tanpa partai politik, ataupula ganti DPR dengan syuro. Mulai muncul berbagai fikiran nakal yang membuli kesakralan DPR. Semestinya pengambil kebijakan sadar akan kekecewaan tersebut lalu melakukan upaya perbaikan. Akan tetapi hal itu tidak mudah bahkan cenderung normatif. Prakteknya justru menganggap saatnya untukmenikmati \"hasil berjuang\" selama ini. DPR menjadi tempat yang nikmat untuk bersenang-senang dan masuk dalam komunitas borjuasi. Secara hukum membubarkan DPR seperti juga membangun negara tanpa partai tentu tidak bisa. Hukum tatanegara mengakui eksistensi \"lembaga demokrasi\" ini. Jadi, jika rakyat ingin  membubarkan jalan satu-satunya adalah revolusi. Revolusi akan mampu membongkar akar formalisme dan dogmatisme hukum. Kekuasaan otoriter yang memperalat DPR dan partai politik biasanya diruntuhkan dengan jalan politik Revolusi.  Revolusi Amerika, revolusi Perancis, revolusi Rusia, revolusi Iran, revolusi Indonesia dan revolusi-revolusi lain di dunia selalu menggusur totalitarian dan membuat fondasi kenegaraan yang memperbaharui kebusukan sistem dan praktek kenegaraan yang telah jauh  disimpangkan.  Jadi bagi yang sedang berdiskursus tetang pembubaran DPR atau partai politik maka ia harus memulai dengan diskursus Revolusi atau pemberontakan Rakyat Semesta. Agar semua tidak hanya berkhayal atau berada dalam ruang romantisme tentang idealitas.  (*)