OPINI

Anak Songong

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  DALAM percapakan sehari-hari songong sering diartikan sombong, suka meninggikan diri, dan suka merendahkan orang lain,  dalam KBBI songong artinya adalah tidak tahu adat. “Arti songong adalah sombong atau tinggi hati.” “Asal kata songong dari bahasa gaul anak-anak remaja.” Dalam waktu tidak kurang dari 24 jam \"songong\" langsung merajai media sosial. \"Songong\" dibahas sebanyak 13.500 lebih. Topik ini melampaui tagar debat Cawapres. Banyak nitizen yang menyayangkan sikap Gibran yang seakan-akan paling pintar dan menguasai materi debat Cawapres  Seperti ingin tampil lebih prima dari cawapres lainnya yang pasti lebih senior dalam keilmuan dan jam terbangnya di belantara politi  Tentor Timses yang memandu Gibran dalam persiapan masuk dalam debat Cawapres ada kesan terlalu memaksakan diri  agar  Gibran harus bisa tampil prima, yang muncul jutsru kesan anak ideot atau songong.  Tampilan tingak tinguk seakan akan mencari barang hilang untuk mengcounter Cawapres Machfud MD adalah contoh paling fulgar atas kesombongan, songong dan ideotnya. Bagi Timses atas kejadian tersebut sangat berat untuk mengembalikan citra Gibran yang memang masih dalam keterbatasan kemampuannya yang sangat minim (bahkan kosong) untuk masuk dalam dunia politik yang sangat ganas dan keras. Rentetan stigna hitam, busuk dan negatif terus menerpannya dari sebutan anak haram konstitusi, lahir sungsang sampai anak songong dan sangat mungkinkah akan muncul stigma lainnya karena kebodohan dan ketololannya akan muncul di kemudian hari. Stigma dengan predikat anak \"songong\" sangat dekat dengan kalimat tokoh komunis \"Stalin\' tentang \"useful ideot\" (si dungu yang bermanfaat).  Inilah akibat anak yang masih ingusan di paksakan untuk menempati posisi sebagai Cawapres yang sangat tidak logis dan melanggar nilai nilai kepatutan dan hanya akan merusak harga diri bangsa dan kerusakan negara. Ada saudara kandung dari \"useful ideot\" (si dungu yang bermanfaat) yaitu \"fellow traveller\" (kawan seperjalanan) suka pasang badan kelompok ini sebenarnya sama sama ideot dan tolol. Bisa jadi saudara kandung ini ada pada peran Tim Suksesnya karena harus berperan hanya sebagai kawan seperjuangan atau seperjalanan. Modal aksinya kesetiaan total tanpa reserve asal pasang badan,  tugasnya adalah membuat skenario asal asalan  dengan semangat membabi buta. Inilah dampak pemaksaan dari praktek  politik dinasti yang membabi buta. Role model para pejabat pemburu jabatan untuk memuaskan syahwat berkuasa harus tampil totalitas malah terjerembab di got dan kubangan comberan. Dusta, bohong, licik, menipu menjadi menu  hariannya sebagai kawan seperjalanan dan  seperjuangan. Mereka beternak para ediot, tolol dan dungu bersekongkol sebagai peliharaan para bandar dan bandit politik yang harus terus berkuasa secara absolut ... bagi kehancuran bangsa dan NKRI..***

Jokowi Berkhianat, Mega dan PDIP Paling Sakit Hati

Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS JOKO Widodo “dibesarkan” Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Siapa yang bisa bantah? Menjadi Walikota Solo dua periode, dicalonkan oleh PDIP. Menjadi Gubernur Jakarta, juga dicalonkan oleh PDIP. Menjadi Presiden dua periode, juga dicalonkan oleh PDIP. Tidak hanya Joko Widodo, anak dan mantunya juga mulai dibesarkan PDIP. Gibran, anak belum cukup umur, bisa menjadi Walikota Solo karena PDIP. Begitu juga Bobby Nasution, menjadi Walikota Medan juga karena PDIP. Memang tidak salah pernyataan Megawati, ketua umum PDIP. Tanpa PDIP, Joko Widodo bukan siapa-siapa. Benar. Joko Widodo bukan tokoh nasional, bukan tokoh pemikir, bukan pemuka agama. Joko Widodo, memang bukan siapa-siapa. Joko Widodo hanya penikmat reformasi, penikmat demokrasi hasil reformasi. Tetapi, Joko Widodo lupa daratan. Pepatah Indonesia bilang, kacang lupa kulit. Tidak ingat asal-usulnya. Joko Widodo kini berkhianat. Berkhianat terhadap reformasi dan demokrasi, terhadap rakyat, terhadap partai politik yang membesarkannya. Joko Widodo cawe-cawe politik, cawe-cawe pemilu dan pilpres, mematikan demokrasi, untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Joko Widodo mau minta perpanjangan masa jabatan presiden, sampai 2027, tapi untungnya kandas. Mau tambah periode jabatan menjadi tiga periode, juga kandas. Terakhir, Gibran dijadikan calon wakil presiden dengan cara memanipulasi dan melanggar konstitusi, melalui bantuan adik ipar Jokowi di Mahkamah Konstitusi, dengan melanggar hukum, etika dan moral. Gibran dicalonkan sebagai wakil presiden oleh Golkar, mendampingi Prabowo, melawan calon presiden dari PDIP, partai yang membesarkannya. Padahal status Gibran ketika itu masih sebagai anggota PDIP, dan masih sebagai Walikota dari PDIP. Apa namanya kalau bukan pengkhianat? Bahkan Bobby Nasution menyatakan mendukung Prabowo-Gibran. Sehingga dipecat dari PDIP. Lengkap sudah pengkhianatan Joko Widodo  dan keluarga terhadap PDIP. Joko Widodo juga menjadi musuh sebagian besar rakyat Indonesia. Banyak kebijakannya yang menyusahkan rakyat, khususnya kelompok bawah. Tingkat kemiskinan naik. Tapi Joko Widodo “membeli” popularitas dengan bantuan sosial!? Joko Widodo juga menjadi musuh sebagian besar partai politik. Karena mau mengatur urusan internal partai, dengan memasang ketua umum boneka yang bermasalah korupsi untuk mendukungnya. Pilpres 2024, Joko Widodo mendukung Prabowo sebagai calon presiden 2024. Bukan hanya mendukung, bahkan terkesan menjadi tim pemenangan, dengan memberdayakan kekuasaannya. Dukungan kepada Prabowo tentu saja bukan untuk kepetingan Prabowo atau rakyat Indonesia. Tetapi, untuk kepentingan Joko Widodo dan keluarganya sendiri. Prabowo mungkin hanya alat saja untuk menjadikan Gibran sebagai calon wakil presiden, dan untuk melindungi dirinya setelah tidak menjabat lagi. Prabowo juga pernah dikhianati Joko Widodo. Prabowo dan Gerindra ikut mendukung Joko Widodo sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2012. Tapi akhirnya Joko Widodo melawan Prabowo di pilpres 2014. Ketika itu, Joko Widodo baru menjabat 2 tahun sebagai gubernur DKI Jakarta. Memang Joko Widodo sekarang mendukung Prabowo, meninggalkan Megawati. Itu karena Joko Widodo tidak ada pilihan lain. Prabowo saat ini dianggap paling menguntungkan untuk dirinya. Pada saatnya, kalau tidak menguntungkan lagi, Prabowo akan ditinggal Joko Widodo lagi. Karena politik Joko Widodo sepertinya hanya untuk kepentingan dirinya saja. Tanda-tanda kesitu mulai nampak. Setelah ditinggal banyak pihak, Joko Widodo sekarang terlihat melemah. Banyak partai politik mulai bangkit meninggalkan Jokowi. Bahkan partai politik yang tergabung Koalisi Indonesia Maju terlihat setengah hati mendukung Prabowo-Gibran. Hampir semua baliho dan papan reklame partai politik pendukung Prabowo-Gibran tidak memasang gambar mereka. Bahkan ada baliho yang hanya menampilkan gambar Prabowo sendiri, tanpa Gibran. Semua ini menunjukkan Gibran tidak populer. Kalau populer, pasti gambar Gibran dipasang di mana-mana, di setiap sudut baliho dan papan reklame. Tetapi, anehnya, sudah tidak populer, pendukungnya malah teriak menang satu putaran. Ilusi. Joko Widodo paham sekali, kontestasi pilpres kali ini tidak menguntungkan posisinya. Prabowo-Gibran, pada akhirnya, diperkirakan akan kalah di putaran kedua pilpres. Untuk mencari selamat, Joko Widodo berupaya mendekati Megawati lagi. Seperti diungkap Tempo, dan Bocor Alus. Demi kepentingannya sendiri, mungkin Prabowo akan ditinggal lagi, untuk kedua kalinya, oleh Joko Widodo. Mungkin juga, upaya bertemu dengan Megawati sekaligus untuk memohon agar PDIP tidak menerima permintaan pemakzulan Joko Widodo yang sedang bergaung sampai pelosok Indonesia. Kali ini, Megawati sepertinya menolak untuk bertemu Joko Widodo. Pengkhianatan Joko Widodo kepada PDIP sudah di luar batas normal. Bagaimana selanjutnya? Rakyat berharap DPR dapat segera mengevaluasi keberlanjutan jabatan Joko Widodo: lanjut atau diberhentikan? https://nasional.tempo.co/read/1823650/jokowi-minta-politikus-pdip-untuk-dimediasi-bertemu-megawati?utm_source=WhatsApp Jakarta, 22 Januari 2024. (*)

Tujuh Catatan Debat Cawapres

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle Debat Cawapres 21/1/24 dengan tema: pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Ada 7 (tujuh) catatan penting yang perlu dipahami, yakni: 1. Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD berusaha serius membahas tema debat dalam tingkat \"policy debate\", sementara Gibran terlihat belum cukup mengerti dan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk debat tingkat kebijakan. Misalnya ketika Gibran menyinggung soal istilah Litium, tidak jelas pertanyaan Gibran dalam konteks persoalan dan solusi yang dibutuhkan pada level kebijakan nasional.  Begitu pula pada isu \"Greenflation\" yang ditanyakan pada Prof. Mahfud, tidak jelas persoalan apa yang ditunjukkan, apakah degradasi lingkungan dalam konteks ekonomi lingkungan atau konteks apa. Mahfud kecewa dengan Gibran yang sangat \"recehan\", tidak berkelas dalam  berdiskusi. Satu hal lagi isu bio-regional yang diangkat Muhaimin sebagai basis pembangunan, dijawab Gibran dengan isu pemerataan Indonesia secara umum, bukan \"bio-regional based Planning\". 2. Muhaimin dan Mahfud MD. menyoroti kegagalan pembangunan Jokowi. Keduanya mengatakan Jokowi  gagal dalam kemandirian pangan, redistribusi lahan, menjaga kemandirian desa dan mengejar transisi energi.  Mahfud dan Muhaimin sepakat terjadi kegagalan dalam pembangunan agraria, baik merujuk pada UUPA maupun fakta terjadinya konflik agraria yang semakin besar.  Muhaimin mempersoalkan agenda redistribusi lahan yang tidak ada, Mahfud menyinggung kesenjangan kepemilikan lahan konglomerat dibandingkan petani. Namun, Gibran menjawab kesuksesan Jokowi dengan pembagian sertifikat (sertifikasi lahan). Tentunya ini bukan jawaban Reformasi Agraria.  Untuk persoalan agraria, Muhaimin dan Mahfud, sama-sama menyarankan agar dibuat badan khusus  di bawah presiden untuk mengatasi dan menyelesaikan isu reformasi agraria. Muhaimin  menambahkan persoalan hak-hak adat yang harus dilindungi dengan mempercepat UU terkait hukum adat. Jangan seperti rezim  yang selalu menampilkan seremonial penggunaan baju adat secara periodik, namun masyarakat adat disingkirkan.  3. Mahfud dan Muhaimin setuju perusakan hutan atau deforestasi terjadi sangat buruk di era Jokowi. Sampai saat ini Jokowi tidak melakukan upaya serius mencegah deforestasi. Jumlah penggundulan hutan mencapai 12 juta Ha selama 10 tahun terakhir.  Bahkan, menurut Mahfud, saat ini aktifis lingkungan ditangkap jika mengkritik pemerintah.  4. Mahfud MD. menyoroti kegagalan Jokowi dalam kemandirian pangan. Hal itu bertentangan dengan janji Jokowi pada debat capres 2014 bahwa tidak ada lagi impor pangan jika dia presiden. Mahfud mengatakan justru Jokowi ingkar  atau tidak sesuai janji, karena impor terus menggunung. Beberapa data impor pangan tersebut disampaikan Mahfud dalam debat, yakni beras, kedelai, susu, daging sapi, dsb.  Gibran dalam menjawab isu impor ini tidak jelas. Malah membicarakan food estate yang membutuhkan waktu panjang dalam mengevaluasi keberhasilan. Gibran malah menuduh Mahfud dan Muhaimin menakut-nakuti rakyat dengan narasi buruk.  Muhaimin, selanjutnya, mengatakan bahwa swasembada pangan kita gagal bahkan tanpa memasukkan isu krisis iklim. Sebab, petani diabaikan, sebaliknya korporasi besar diutamakan. Kegagalan pengadaan pupuk, harga dan keterjangkauan, merupakan fenomena nyata.  5. Dalam hal konflik agraria dan berkembangnya illegal mining, Mahfud menekankan bahwa semua ini tanggung jawab pemerintah dan kususnya aparatur yang membiarkan mafia-mafia berkuasa. Kerusakan iklim dengan deforestasi jutaan hektar lahan terus berlanjut di era Jokowi. Tidak ada keinginan perbaikan.  Muhaimin, di sisi lain, juga menyinggung tidak adanya political will pemimpin.  Urusan mafia-mafia penguasaan lahan tersebut dikatakan Mahfud untuk menjawab kegampangan Gibran menjawab \"cabut saja hak tanah atau IUP yang ilegal\". Mahfud mengatakan bahwa justru pemerintah saat ini melindungi mafia-mafia tambang dengan menghalangi prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan pembiaran oleh aparat. Menurut Mahfud, langkah penting adalah negara harus membuka siapa-siapa pemilik lahan-lahan di Indonesia, termasuk yang melakukan penguasaan illegal. Kedua, pedang hukum jangan lagi tumpul.  6. Hilirisasi Jokowi yang dibanggakan Gibran sebagai program strategis dalam memajukan bangsa serta menciptakan lapangan kerja, menurut Muhaimin dilakukan secara ugal-ugalan, tidak mensejahterakan penduduk lokal, dan mendatangkan tenaga kerja asing yang banyak. Muhaimin mengatakan bahwa eksploitasi alam untuk pembangunan perlu, namun harus menghitung sisi ekologisnya.  Terkait transisi ke arah energi terbarukan, Muhaimin justru mengatakan bahwa rezim Jokowi tidak serius. Target penurunan emisi karbon 2025 berkurang 23% jadi 17% dan pajak karbon ditunda. 7. Pembangunan ke depan harus dengan paradigma Bottom up. Desa harus di tempatkan sebagai sentral dalam pembangunan. Pembangunan jangan ugal-ugalan dan sekarepmu dewe, namun harus beretika dan harus tobat ekologis. Renungan Secara nyata Muhaimin dan Mahfud MD menunjukkan kebobrokan Jokowi dan rezimnya. Meski Mahfud dalam konpres paska debat berusaha menganulir itu dengan mengatakan berterimakasih pada Jokowi, namun \"the damage has been done\". Rakyat sudah mendengar testimoni Mahfud bahwa Jokowi dapat disimpulkan sebagai pemimpin buruk, yang bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan, berkembangnya mafia tanah dan tambang, rusaknya aparatur negara, deforestasi berkelanjutan, hilirisasi yang tidak menguntungkan, dlsb.  Jutaan rakyat yang mendengar pemaparan Mahfud, seorang menteri Jokowi, dan Muhaimin, seorang wakil ketua DPR-RI menunjukkan adanya ketidakjelasan Atau ketidak sinkronan antara fakta yang diketahui elit dengan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi dalam berbagai survei. Tentu saja rakyat dapat mempertimbangkan, mana yang lebih kredibel dan masuk akal. Saya termasuk orang yang berterima kasih pada Muhaimin dan Mahfud yang membedah kegagalan rezim Jokowi ini. (*)

Pilpres Pasti Curang, Makzulkan Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETUA DPR RI Puan Maharani yang merespons usulan pemakzulan Jokowi dengan pernyataan akan melihat urgensinya adalah bijak. Agar obyektif memang DPR harus mengagendakan segera waktu untuk menerima aspirasi dari rakyat Indonesia, khususnya yang disampaikan oleh kelompok \"pemakzulan\" Petisi 100. Surat pengajuan ulang untuk penyampaian aspirasi sudah dikirimkan.  Salah satu urgensi yang patut dipertimbangkan adalah kecurangan yang dilakukan Jokowi. Sebagai Presiden ia mampu menggalang dan mengkonsolidasikan banyak hal untuk menyukseskan Capres/Cawapres dukungannya. Pernyataan bahwa ia akan bersikap netral tidak terbukti dalam kenyataan. Publik menilai pernyataannya itu bullshit, omong kosong. Jokowi munafik.  Jokowi merekayasa MK melalui adik iparnya Anwar Usman yang menjabat Ketua MK untuk meloloskan anaknya Gibran sebagai Cawapres. Ini adalah produk kecurangan. Anak haram Konstitusi. Gibran pun berkeliaran sebagai Cawapres pasangan Prabowo. Sanksi plintat-plintut Ketua MK membuka peluang untuk kecurangan berkelanjutan.  Jokowi deklarasi akan cawe-cawe dan itu ia buktikan. Membuka ruang Istana sebagai \"posko pemenangan\", memobilisasi Kepala Desa dan aparatur di daerah agar menyokong Prabowo-Gibran, penurunan baliho secara tidak adil, pertemuan spesial dengan Prabowo dan Ketum partai pendukung, serta Bansos sumber APBN juga diarahkan untuk mendukung Prabowo-Gibran. Jokowi telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan.  Pilpres 2024 bukan diprediksi akan curang, tetapi sudah mulai curang. Akan bermain pada otak atik jumlah suara. Kecurangan berkelanjutan Jokowi jelas membahayakan demokrasi, mempraktekan prinsip menghalalkan segala cara, serta menginjak asas Pemilu jujur dan adil. Jokowi menjadi biang keladi dari kehancuran Pemilu khususnya Pilpres. Jokowi adalah penjahat politik dan penghianat bangsa.  Pemilu tanpa Jokowi sangat urgen jika ingin Pemilu berjalan demokratis. Pemulihan asas kedaulatan rakyat dapat dimulai. Jokowi harus dimakzulkan sebelum Pemilu. Mendesak dan menciptakan kondisi agar Jokowi mundur adalah opsi terbaik.  Konfigurasi kekuatan politik kepartaian dapat mendorong Jokowi mundur atau dimundurkan. Rakyat pasti mendukung.  Jika Pemilu berjalan tanpa Jokowi atau Jokowi sudah dimakzulkan, maka iklim politik bergerak ke arah yang lebih sehat. Beberapa aspek konstruktif yang diakibatkan, yaitu : Pertama, kontestan Pilpres tetap dapat bertarung \"apa adanya\" tidak ada pihak yang bisa secara licik memanfaatkan fasilitas negara. Korupsi dan penborosan terantisipasi. Jokowi sudah \"mati\" dan politik dinasti terhenti.  Kedua, partai politik dan Ketum yang tersandera dapat terbebas dari cengkeraman Jokowi. Bahkan, sebaliknya dapat mulai untuk membongkar kejahatannya. Menyeret Jokowi ke meja hijau, memproses hukum agar ia dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.  Ketiga, TNI dan Polisi kembali pada tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tidak menjadi alat kepanjangan tangan dan kepentingan politik seorang Presiden. Pelaksanaan asas jujur dan adil Pemilu lebih terjamin.  Rakyat sulit berharap Pemilu akan jujur dan adil atau terbebas dari kecurangan selama Jokowi menjadi Presiden. Ini karena ada putera tercinta yang harus dibantu kemenangannya serta keinginan untuk melanggengkan kekuasaan melalui tangan pelanjutnya.  Pilpres sudah pasti curang, karenanya sangat mendesak untuk segera memakzulkan Jokowi.  Jokowi adalah malapetaka bagi rakyat, bangsa dan negara Indonesia.  Bandung, 20 Januari 2024

Sayonara, Amerika Telah Meninggalkan Lembaga Survei, Kenapa?

Oleh Agusto Sulistio  | Pendiri The Activist Cyber Dalam setiap perhelatan kontestasi khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) selalu saja ada berbagai pandangan analisis Tim Survey.  Dengan segala argumennya tim survei menyajikan berbagai temuannya, yang kesemuanya dapat dimaknai sebagai upaya mempengaruhi publik. Namun ironisnya, lembaga survei yang menggunakan berbagai rurmus logic soal menghitung logika dari hasil jajak pendapat dilapangan menyimpulkan sendiri dengan meninggalkan aturan disiplin ilmu survey. Alhasil banyak analisa lembaga survey subjektif, alias tergantung yang bayar. Alhasil tak semua hasil survei sesuai faktanya. Bisa dibilang mengecewakan publik, lantaran hasil survey tak sesuai fakta, malah cenderung mengikuti kemauan yang bayar survei.  Di banyak negara survei sudah tak lagi digunakan, sebab selain tidak akurat karena tendensius, analisis survey menyimpang dari disiplin ilmu yang semestinya.  Lembaga survei dalam konteks analisis pemilihan presiden telah menghadapi kritik dan penolakan di beberapa negara, hal ini diakibatkan oleh adanya beberapa hal utama. Lembaga Survey berendensi Subjektif, beberapa lembaga survei dapat memiliki kecenderungan subjektif atau bias tertentu dalam pengumpulan data atau penilaian responden. Sehingga hasil survey memengaruhi akurasi hasil dan menghasilkan gambaran yang tidak seimbang. Perubahan Dinamika Pemilih, pilihan pemilih dapat berubah dengan cepat, terutama di tengah perhelatan kampanye. Lembaga survei kesulitan menangkap dinamika dan perubahan opini yang terjadi dalam waktu singkat. Kesulitan Memprediksi Partisipasi Pemilih, survei sulit memprediksi tingkat partisipasi pemilih, yang dapat memiliki dampak signifikan pada hasil pemilihan. Kondisi eksternal, seperti isu-isu politik atau faktor-faktor sosial, yang mempengaruhi partisipasi pemilih. Kesulitan akibat keragaman Pemilih,termasuk kelompok minoritas atau kelompok demografis yang sulit dijangkau, menjadi tantangan. Hal ini menyebabkan hasil survei kurang mewakili seluruh populasi. Meedia Sosial dan pegaruh digital, perkembangan media sosial dan pengaruh digital telah mengubah cara informasi disebarkan dan opini dibentuk. Pemilih dapat lebih dipengaruhi oleh sumber-sumber informasi non-tradisional, yang tidak selalu tercakup dalam survei. Ketidakpastian dan ketidakakuratan Metode Survei, metode survei tradisional kurang mampu mengatasi ketidakpastian dan ketidakakuratan yang muncul dalam proses pengumpulan data, terutama dengan pertumbuhan variasi cara komunikasi dan akses informasi. Ole karena itu, beberapa negara telah menilai kembali penggunaan lembaga survei sebagai alat utama untuk menganalisis perhitungan pemilihan presiden. Pemilihan metode yang lebih canggih dan beragam serta penggunaan data alternatif dapat menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan lembaga survei tradisional. Lembaga survey kelas dunia sudah ditinggalkan apalagi lembaga survey kelas lokal. Tidak ada lembaga survei tunggal yang dianggap sebagai yang paling terkenal dan kredibel di seluruh dunia karena pandangan terhadap kredibilitas dapat bervariasi. Namun, beberapa lembaga survei terkemuka dan dihormati secara internasional seperti: Gallup adalah lembaga survei yang sangat dikenal, beroperasi di berbagai negara dan terkenal dengan pemetaan opini masyarakat dan penelitian kebijakan. Pew Research Center melakukan penelitian opini masyarakat global dan menyediakan data tentang berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik. IPos MORI adalah lembaga riset pasar global dengan fokus pada survei opini dan penelitian kebijakan. YouGov adalah lembaga survei internasional yang mengkhususkan diri dalam penelitian opini dan perilaku konsumen menggunakan metode daring. CNN/ORC (sekarang SSRS):, sekarang dikenal sebagai SSRS (Social Science Research Solutions), sering kali digunakan oleh CNN untuk melakukan survei terkait kebijakan dan pemilihan. National Election Pool (NEP), adalah konsorsium lembaga-lembaga media utama di Amerika Serikat, seperti ABC, CBS, NBC, dan CNN, yang bekerja sama untuk melaporkan hasil pemilihan. Kata kuncinya, bahwa sementara lembaga-lembaga ini dianggap terkemuka, kredibilitas suatu survei juga tergantung pada metode penelitian yang digunakan, pengambilan sampel yang tepat, dan transparansi dalam pelaporan hasil. Namun semuanya tidak berarti jika tidak mempertimbangkan konteks dan metode di balik hasil survei. Kesimpulan Meskipun lembaga survei dapat memberikan kontribusi penting dalam memahami opini publik, kredibilitasnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk oleh pihak yang membiayainya.  Keberlanjutan kredibilitas lembaga survei sering kali tergantung pada independensinya dan metodologi yang digunakan, bahkan ironisnya tergantung \"siapa yang membayar\".  Beberapa negara besar telah mengalami skeptisisme terhadap lembaga survei dan telah mencari pendekatan analisis hasil pemilihan dengan cara2 yang kurang tepat dan lebih beragam. Contoh negara besar yang telah meninggalkan analisa perhitungan pilpres melalui lembaga survey adalah  Amerika Serikat. Amerika telah mempertanyakan tentang akurasi lembaga survei dan metode polling yang digunakan. (*)

Filosofi Kantong Bolong dan Politisi Kantong Kosong

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  Di tangan Petruk selalu menggantung kantong kecil yang disebut kantong bolong. Ini bukan sembarang properti, melainkan icon yang mengandung filsafat pengorbanan dalam pengabdian. Bersama Semar, Gareng, dan Bagong, Petruk menjadi abdi dan penasihat tokoh-tokoh ksatria Pandawa. Dalam kisah pewayangan Petruk adalah pemilik harta berlimpah, meninggalkan semua kekayaannya. Semua yang dia miliki diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dari kekayaannya, hingga kantongnya menjadi kosong. Petruk justru merasa lebih kaya ketika tidak punya apa-apa. Karena itulah, dia memiliki julukan Petruk Kantong Bolong yang artinya adalah Petruk sudah merasa kaya dengan kantong bolong tanpa isi. Hidup Petruk sudah dicurahkan untuk mengabdi kepada para raja dan Sang Pencipta. Petruk memiliki julukan kantong bolong karena kepribadiannya yang suka menolong. Ia suka menolong orang tanpa pamrih. Hal ini diibaratkan dengan kantong yang bolong. Dimana setiap barang yang dimasukkan, akan langsung keluar karena kantong yang bolong. Sama halnya dengan kebaikan petruk yang mengalir terus tanpa henti seperti kantong bolong. Konon semua adalah cara Kanjeng Sunan Kalijaga berdakwah. Karenanya, sebagian menyebutkan bahwa Petruk berasal dari kata “Fatruk” — Fat-ruk kulla maa siwallahi (tinggalkan semua apapun selain Allah). Karenanya itu  disebut Kantong Bolong.  Artinya ilmu kantong bolong adalah ilmu tentang kedermawanan dan keikhlasan. Orang yang menguasai ilmu kantong bolong tidak akan pernah takut dan bersedih, sebab ia sudah sampai pada maqam haqqul yaqin bahwa dirinya hanyalah “alat” atau “saluran” yang dipakai dan digerakkan Allah untuk memenuhi Kehendak-Nya Kilas balik kisah tersebut ada manusia tidak sadar karena ditipu oleh ego, nafs dan setan, sehingga mereka “menutup kantong”. Mereka berusaha memenuhi kantong-kantong diri dan keluarganya (yakni mengikuti hawa nafsunya ) ,  “mengklaim” telah dan bisa “memiliki” segala sesuatu karena dirinya  Mereka terus mengejar kekuasaan dan kekayaan, merasa memiliki sesuatu dan karenanya berhak “menyimpannya”  dalam kantong tertutup. Tidak peduli dari mana hartanya di peroleh, tidak sadar bisa menjadi siksa dan bencana. Hartanya akan ditinggalkan ketika harus kembali ke alam baka dengan segala resikonya. Itulah sebabnya, ilmu Kantong Bolong ini termasuk ajaran yang penting dalam tradisi kesufian yang disimbolkan dalam idom-idiom Jawa: sekali lagi ajaran tentang kedermawanan , keikhlasan, untuk berbuat baik sesamanya. Salah dan keliru kantong bolong dimaknai -\"kantongnya kosong\" nungsang sana sini sebagai tim sukses Cawapres,  siang malam mengejar remah remah dari para bandar Politik yang sedang menebar uang recehan untuk membius dan membeli suara. Mereka semua larut dalam kegelapan, bersama penguasa \"kantong kosong\" menjadi hina dan menjijikan kering kerontang dari makna sufi tentang makna \"kantong bolong\" berubah makna menjadi  \"penguasa dan politisi kantong kosong\" Bersama para buzer yang telah dibutakan, dikerahkan semua anak, menantu, ponakan untuk terus mengejar kekuasaan dan pundi pundi kekayaan. Terbaca hidupnya hanya untuk hidup, tak sadar prilakunya seperti iblis, hanya membuat kerusakan dalam kesesatan dan kegelapan.***

Memilih Presiden

Oleh Djohermansyah Djohan | Guru Besar IPDN PEMERINTAHAN itu tak sempurna, \"no perfect governance\". Tidak terkecuali pemerintahan Presiden Jokowi. Ada saja kekurangan, kekeliruan, kealpaan, dan ketidakberhasilannya. Tak semua janji-janjinya dalam pemilu lima tahun lalu bisa dipenuhi. Itu manusiawi.  Bagi rakyat yang penting adalah penjelasannya. Dan, hal itu bukan untuk dirahasiakan atau ditutup-tutupi. Melainkan, untuk dikoreksi, diperbaiki, dan diatasi oleh presiden berikutnya sesuai asas, bahwa pemerintahan itu suatu kontinuitas.  Tersebab pemerintahan itu tujuannya untuk kebaikan orang banyak di seluruh negeri, dan di dalam sistem demokrasi elektoral suksesi kepemimpinan bersifat terbuka lewat pemilu LUBER dan JURDIL, presiden pengganti tidak harus orang-orangnya atau kerabatnya Presiden Jokowi sendiri (the President\'s man).  Tapi bisa berasal dari luar istana asal terpenuhi syarat-syarat pencalonan dan di dalam diri orang itu berlabuh segudang kebaikan.  Rakyat dibilik suaralah pada akhirnya yang akan menentukannya nanti. Hal ini penting digarisbawahi, karena pemimpin pemerintahan itu macam-macam tipenya.  Ada yang betul-betul baik, ada yang pura-pura baik khususnya pada masa pemilu, dan ada pula yang jauh dari baik atau di bawah standar. Presiden pengganti yang baik, menurut pendapat saya, pertama-tama adalah orang yang prima fisiknya, sehat dan kuat mengelilingi seantero negeri, Sabang hingga Merauke, dan sanggup menghadiri pertemuan-pertemuan internasional di ujung-ujung dunia. Kedua, dia memiliki integritas tinggi dan menegakkan penuh etika tanpa toleransi, yaitu bersih dari korupsi,  tak terkait pelanggaran etik serius, dan tak pernah melanggar hak asasi manusia (extra-ordinary crime). Ketiga, dia mempunyai kompetensi (skills & knowledges) yang mumpuni berbasis rekam jejak lapangan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Keempat, dia seorang generalis tapi juga seorang spesialis yang memahami manajemen pemerintahan negara, baik menyangkut urusan multi-sektoral, hubungan antar pemerintahan pusat-daerah,  dan hubungan antar lembaga tinggi negara. Kelima, dia seorang pemimpin yang mampu bermitra, \"mengewongke\", dan menggerakkan birokrasi dalam mewujudkan program-program strategis untuk memajukan kehidupan rakyat secara merata. Bukan yang doyan melakukan politisasi pegawai negeri dan abai terhadap kesejahteraan ASN serta kaum pensiunan. Semoga pada pilpres 2024 mendatang, orang baik serupa itulah yang akan memenangi kontestasi. Dengan demikian, pemerintahan yang bertujuan untuk memberi kebaikan kepada seluruh rakyat, diisi oleh pemimpin yang baik pula. (*)

CAPER: Catatan Permana (Part) 4, Mengurai Peta Jalan Politik Dinasti Solo

Oleh Dr. Anton Permana | Pengamat Politik  NASIB demokrasi negeri ini berada pada titik nadir. Negara yang berkedaulatan rakyat dengan instrumen demokrasi sebagai sarana perekrutan kepemimpinan nasional terancam ambruk dan runtuh setelah 79 tahun merdeka. Negara ini merdeka atas perjuangan nyawa dan darah para syuhada seluruh nusantara, dan atas mandat dari kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air dan negara dengan sistem Republik. Sehingga diakui seluruh negara di dunia. Re dan publik, artinya anti tesa dari sistem kekuasaan yang sebelumnya hanya dimiliki secara private dan monarki, berubah menjadi kekuasaan berada di tangan rakyat (public). Namun, semua berubah setelah rezim ini berkuasa. Semuanya berbalik arah setelah kekuasaan secara penuh berada di tangan segelintir orang saja. Bahkan keluarga. Bermula dari pemilihan para cawapres berusia tua, agar selanjutnya tidak bisa maju lagi. Lalu mendemisionerkan ratusan masa jabatan kepala yang dipilih secara demokratis dalam semangat otonomi daerah, berubah menjadi sistem penunjukan langsung dari pemerintah pusat. Di bawah kendali pusat. Belum lagi sistem perekrutan para penyelenggara Pemilu yang partisan dan politis. Begitu juga perubahan Undang-Undang KPK agar masuk ke dalam rumpun eksekutif, yang otomatis berada secara tak langsung di bawah kendali Presiden melalui Dewan Pengawas KPK. Artinya, hampir tak ada lagi Trias Politika yang menjadi ruh sebuah negara demokrasi melakukan kontrol, check and balancing Pemisahan kekuasaan, karena lembaga penegakan hukum dan institusi militer termasuk intelligent semua berada di bawah kendali Istana.  Dimana otomatis, semua lembaga tersebut akan menjadi pisau dan senjata pusaka penguasa untuk menyandera dan mengintimidasi siapa saja yang bersebrangan dengan kepentingan politiknya. Setelah putusan MK meloloskan putera Presiden menjadi Cawapres, maka semua baru tersentak dan sadar. Bahwa, ini semua adalah sebuah design politik yang memang sudah disiapkan, bukan design kaleng-kaleng semata. Semua sudah direncanakan, ditata kelola sedemikian rupa dengan rapi sistematis. Sampai puncaknya, tanpa rasa malu dan basa-basi lagi, dengan lantang seorang Presiden menyatakan “ Akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024 ini “. Toh yang maju anak saya… Begitu lho guys… Banyak yang marah, banyak yang gusar dan teriak. Tapi apa daya, nasi sudah jadi asam sulfat dicampur belimbing sayur. Mau dimakan racun, tak dimakan, akan kelaparan. Makanya dibawa joget aja.. Oke gas.. Oke gas…Ha.. Ha.. Demikianlah politik tanpa moralitas dan nilai Ke-Tuhanan. Tak ada teman dan lawan yang abadi. Yang abadi hanya kepentingan. Kawan bisa jadi lawan, dan lawan pun bisa jadi kawan. Sekarang pertanyaannya ada pada seluruh rakyat Indonesia. Apakah akan rela kembali mundur jauh ke belakang dalam bingkai politik dinasti atau bersama, bersatu padu memperjuangkan perubahan? Silahkan pilih sesuai akal sehat dan hati nurani. Tetap ingin kedaulatan berada di tangan rakyat? Atau menyerahkan leher negara ini kepada satu kelompok keluarga dan elit semata? Salam Indonesia Jaya…! Jakarta, 20 Januari 2024.

Sri Mulyani antara Korupsi Bail Out FPJP Century dan Kenaikan Anggaran Pertahanan untuk Danai Pilpres

Oleh Faisal Sallatalohy | Pemerhati Ekonomi dan Politik Sri Mulyani menjadi saksi mata serta terlibat langsung dalam kesepakatan kenaikan anggaran pertahanan untuk tahun anggaran 2024 yg dilakukan secara tertutup antara Jokowi dan Prabowo di Istana Bogor pada November 2023 lalu.  Sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani bertanggung jawab atas kenaikan anggaran pertahanan sekitar US$ 5 miliar atau Rp 77 dengan menggunakan mekanisme refokusing dan realokasi APBN.  Kenaikan anggaran kementrian yg dipimpin prabowo ini sangat janggal dan sulit dipertanggungjawabkan. Pertama, kenaikan anggaran ini, dilakukan sebulan setelah APBN disahkan bersama DPR pada 16 September 2023. Secara prosedural memang tidak bermasalah. Tapi secara moral tentu saja bermasalah.  Dikarenakan kenaikan anggaran dilakukan secara dadakan, tertutup, tidak melibatkan DPR dan tanpa diawali riset. Tiba-tiba anggaran dinaikan oleh Jokowi dan Prabowo tanpa diketahui apa dasar pertimbangan dan kelayakannya.  Kedua, kenaikan anggaran tidak sesuai kebutuhan belanja sebagaimana yg sudah disepakati dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri-Jangka Menengah tahun 2020-2024 sebesar US$ 20,75 miliar. Dengan adanya kenaikan, maka postur penarikan utang meningkat jadi US$ 25,75 miliar.  Kenaikan anggaran fantastis di luar perencanaan kebutuhan yg sudah ditetapkan, tanpa direvisi terlebih dahulu adalah langkah manipulatif yg cenderung koruptif. Kenaikan anggaran pastinya harus dibarengi dengan proses revisi untuk menaikan jumlah kebutuhan agar setara dan bisa dipertanggungjawabkan.  Ketiga, sulit untuk mengukur efektifitas kenaikan anggaran jumbo Rp 77 triliun untuk mengejar kenaikan Minimum Esential Force (MEF) sesuai target 100% di tahun 2024.  Empat tahun memimpin, dengan model kenaikan anggaran serta penarikan pinjaman luar negeri yg meningkat, Prabowo gagal menaikan indeks MEF pertahanan. Sebaliknya malah turun dan selalu gagal mencapai target.  Data kementrian pertahanan mencatat, Selama periode 2015-2018, rata-rata capaian MEF meningkat ke level 75,54% dan berhasil melampaui target 75,54.  Namun ketika Prabowo memimpin pada 2019, capaian MEF justru turun menjadi 63,19% dari target 68,90%. Padahal di periode ini terjadi peningkatan anggaran pertahanan yg tinggi. Di 2020, kembali turun menjadi 62,41% dari target 72%.  Sementara capaian MEF 2021-2022 sampai hari ini belum dipublis oleh kemenhan. Hal ini dikarenakan ada perubahan penilaian MEF sementara dasar hukumnya belum diterbitkan.  Artinya, selama 2 tahun (2021-2022), kemenhan melakukan penilaian terhadap MEF tanpa punya payung hukum. Tentu saja, tanpa payung, apapun bisa dilakukan, subjektif, manipulatif dan prosesnya sesuai selera menteri pertahanan. Penilaian atas penggunaan anggaran mau dilakukan dengan cara apapun, terserah menteri pertahanan.  Tapi mau disembunyikan serapat apapun, akhirnya terbongkar juga. Lantaran didesak Ganjar dan Anies pada debat capres terakhir, akhirnya Prabowo mengakui sendiri. MEF 2021-2022, memang rendah, tidak mencapai target karena dihambat gelombang Covid.  Pengakuan ini sekaligus menjawab kelanjutan penurunan capaian MEF di tahun 2023 kemarin. Hanya mencapai 65,49%. Jauh dari target 79%.  Masalahnya, Kegagalan Prabowo meningkatkan kepasitas MEF selama 4 tahun memimpin, terjadi ditengah kenaikan anggaran pertahanan yg cukup tinggi.  Kementerian Keuangan mencatat, Pada tahun 2018–2021, realisasi anggaran fungsi pertahanan secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,6%, dari Rp106,83 triliun menjadi Rp125,79 triliun.  Anggaran kembali dinaikan menjadi Rp 133,3 triliun di 2022. Lagi-lagi meningkat menjadi Rp134,3 triliun pada 2023 kemarin.  Jika ditotalkan, secara akumulatif, Prabowo telah menghabiskan Rp 692,92 triliun sepanjang 2019-2023. Dari jumlah itu, Rp 380 triliun khusus untuk belanja alustista. Tapi apa yg dihasilkan ? Indikator MEF justru turun dan selalu gagal mencapai target. Ini harus diusut !!  Masalahnya, kenaikan anggaran belanja kementrian pertahanan, mayoritasnya, dipenuhi dari pinjaman luar negeri. Eksesnya, utang luar negeri kemenhan pada periode tersebut meningkat tajam.  Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, Utang kementrian Pertahanan naik dari US$ 1,75 miliar di 2018 menjadi US$ 4,35 miliar pada 2019. Meningkat lagi jadi US$ 4,41 miliar pada 2020. Dua tahun berikutnya meningkat jadi US$ 5,96 miliar di 2022. Kembali meningkat tajam menjadi US$ 7,13 miliar per kuartal III/2023.  Namun apa yg dihasilkan kementrian peetahanan dari kenaikan anggaran tiap tahun diikuti utang yg menggunung? Indikator kinerja pertahanan, rontok semua. Bukan hanya gagal mencapai target MEF, Sejumlah data pertahanan dan sistem kemanan jungkir balik semua! Mulai dari global peace index (GPI) yg jatuh dari peringkat 41 pada 2014 ke peringkat 53 dari 163 negara dunia (Institute for Economics and Peace, 2023l).  Selain itu, global militarisation index (GMI) juga turun peringkat 95 di tahun 2019 ke peringkat 124 di 2023 (Bonn International Centre for Conflict Studies, 2023).  Lebih menyakitkan lagi bagi rakyat, Andi Widjayanto mengungkapkan, total alustista yg datang di sepanjang era Jokowi, 87% justru merupakan hasil belanja dengan menggunakan anggaran menteri sebelumnya, Ryamizad.  Sementara yg didatangkan dari hasil belanja menggunakan anggaran Prabowo hanya 13% dari total 100% alustista yg didatangkan.  Pertanyaannya, apakah dana Rp 363 triliun hanya mampu mendatangkan 13% dari total belanja alustista selama 4 tahun memimpin?  Sungguh indikasi penggunaan anggaran yg sangat koruptif! Masalahnya adalah selama ini pertahanan merupakan sektor tertutup, jauh dari transparansi dan akuntabilitas khususnya terkait dengan penggunaan anggaran. Aparat penegak hukum lain, terutama KPK, tidak bisa masuk untuk mengusut dugaan penyimpangan atau korupsi di dalam sektor ini. Sehingga setiap dugaan penyimpangan anggaran khususnya terkait belanja alutsista sulit dibongkar karena alasan dan dalih rahasia negara. Bagaimanpun juga Hal ini perlu diusut. bukan saja Prabowo dan Jokowi yg bertanggungjawab, melainkan juga Sri Mulyani. Sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani wajib dimintai pertanggungjawaban. Kenapa Sri Mulyani terus menyepakati kenaikan anggaran jumbo dan penarikan pinjaman luar negeri ugal-ugalan di kementrian Pertahanan dengan hasil kinerja yg gagal dan model penggunaan anggaran yg cenderung koruptif?  Bukannya mengevaluasi dan menahan, pada Nobember 2023 lalu, Sri Mulyani turut terlibat dalam pembicaraan tertutup bersama Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor untuk kembali menyepakati kenaikan anggaran pertahanan secara dadakan.  Apa yg menjadi dasar kenaikan anggaran tersebut ? Tidak ada yg tau selain mereka bertiga. Pastinya kenaikan anggaran ini sulit dirasionalkan. Empat tahun memimpin, dengan model kenaikan anggaran tajam, prabowo sulit mencapai taeget MEF. Apalagi ini yg hanya tersisah 7 bulan masa jabatan. Mustahil Prabowo mampu menaikan pencapaian MEF dari 65% menjadi 100%. Disparitas kesenjangannya terlalu jauh. Secara matematis butuh waktu 2 periode kepemimpinan.  Kenyataan ini menunjukan ada yg tidak wajar. Ada udang di balik batu. Boleh jadi, Prabowo, Jokowi dan Sri Mulyani sedang bersekongkol, sengaja menaikan anggaran pertahanan untuk diselewengkan ke salah alamat. Bantu mendanai money politik menangkan Prabowo-Gibran di pilpres 2024.  Keterlibatan Sri Mulyani dalam hal ini, nyaris sama dengan keterlibatannya dalam penggelapan dana Bailout dan FPJP Bank Century senilai Rp 6,8 triliun untuk mendanai kemenangan SBY-Budiono pada pilpres 2009 lalu.  Sebagai menteri keuangan era itu, Sri Mulynai dan Budiono (Gubernur BI) merekayasa status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik hingga waiib diselamatkan.  Semua unsur penyelamatan Century dimanipulasi. Mulai dari rekayasa Obligasi BLBI menjadi berbunga dan perjual belikan, rekayasa jumlah DPK, rekayasa tempo transfer DPK menjadi 8 bukan, hingga rekayasa pembayaran jumlah DPK per akun nasabah.  Hasilnya dana bailout dan FPJP Century hilang. Menguap sebagai modal pemenangan Pilpres SBY-Budioyono 2009. Berdasarkan kesaksian skretaris panitia pemilihan cawapres 2009, Mayjend Kurdi Mushropa menyatakan, diantara 9 daftar nama Cawapres, tidak ada nama Budiono. Namun last minute, namanya dimunculkan, sering dengan hilangnya dana talangan Century.  Namun dalam kasus ini, Budiono dan Sri Mulyani terselmatkan hingga hari ini. Kekuasaan justru menumbalkan 3  manusia di jajaran direksi BI yg hanya mengikuti perintah Budiono, Sri Mulyani dan SBY. Diantaranya Budi Rochadi, Siti Fajriyah dan Budi Mulya.  Namun belakangan, Sri Mulyani akhirnya mengundurkan diri lantaran tidak mampu menghadapi tekanan politik dan hukum yg menuntut agar dirinya diadili. Di saat yg sama, SBY tidak mampu menjamin perlindungan terhadap dirinya. Pada Mei 2010, seluruh farksi dalam gelaran rapat paripurnah, meminta farksi demokrat mendesak Presiden SBY untuk memberhentikan Sri Mulyani sebagai pihak yg bertanggungjawab atas kasus Century.  Akhirnya Sri Mulyani memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan dan meminta perlindungan kepada Bank Dunia dengan bayaran sebagai agen para bandar global untuk mempengaruhi kebijakan politik-ekonomi Indonesia lewat kedudukannya sebagai eksekutif Bank Dunia.  Boleh jadi hal ini juga sedang menimpa Sri Mulyani saat ini yg sedang diterpa isu pengunduran diri. Entah hoax atau bukan, tidak penting. Pastinya, Sri Mulyani juga pastinya cemas. Di tengah kenaikan anggaran pertahanan yg tertutup dan koruptif, Sri Mulyani juga pasti khawatir dengan statusnya sebagai menteri keuangan yg bertanggungjawab atas polemik tersebut.  Bagaimana jika Prabowo dan Jokowi kalah ? Siapa yg akan menjamin perlindungan kepadanya?

Gibran Pintu Ambruknya Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETIKA mendorong Gibran menjadi Walikota Solo Jokowi telah mengingkari komitmen dan pandangannya bahwa Gibran tidak tertarik politik. Mendukung usaha bisnis lebih baik ketimbang menolong untuk menjadi pejabat publik. Masyarakat membaca demikian dalam merefleksikan perjalanan Gibran yang saat ini bagai \"nasi telah menjadi bubur\". Gibran itu bubur, bukan masa depan. Gibran yang oleh Majalah Tempo disebut sebagai anak haram Konstitusi menjadi pelanjut dari kekacauan yang dilakukan Jokowi. Negara Indonesia sudah mengalami musibah berat dengan memiliki pemimpin bernama Jokowi. Kini dibuat lebih ruwet lagi oleh Gibran putera mahkota yang kurang bermutu.  Ketika Jokowi tertipu oleh bacaan salah tentang dirinya yang seolah-olah hebat, berprestasi dan disayangi, maka ia percaya diri untuk terus mengorbit Gibran. Pucuk dicinta ulam tiba, tempat penitipannya adalah Prabowo, perwira yang mahir memuja muji. Jadilah Cawapres dukungan partai-politik. Untuk kemajuan Indonesia, katanya. Entah maju kemana dengan menggendong Gibran. Malah jadi teringat lagu mbah Surip \"ta gendong kemana-mana\". Rupanya Jokowi salah rasa, salah kalkulasi, dan salah prediksi. Gibran bukan solusi cerdas tetapi langkah blunder untuk tidak menyebut bodoh. Rakyat yang sudah sering ditipu dan dibohongi kini melawan dan menuntut kejujuran. Segala upaya untuk menyukseskan Gibran akan gagal. Andaipun kecurangan berhasil memenangkan, maka itu bukan berarti selesai. Rakyat tidak suka politik dinasti. Gibran adalah pintu ambruknya kekuasaan Jokowi. Sekurangnya tiga faktor penyebab, yaitu : Pertama, bermotif kepentingan keluarga dengan pamanda Usman dan ibunda Iriana yang berperan besar atas lolosnya Gibran sebagai Cawapres. Putusan MK menjadi masalah berkepanjangan. MK-Gate adalah skandal dan pintu butut runtuhnya kekuasan Jokowi.  Kedua, Gibran tidak menyelesaikan tugasnya sebagai Walikota Solo. Seperti bapaknya dahulu yang juga tidak menyelesaikan masa jabatannya di DKI. Pola lompat kodok ini menjadikan Gibran sebagai \"karbit\" penggelegar suara. Suara kecaman dan kutukan masyarakat atas perilaku politik tidak bertanggungjawab.  Ketiga, gara-gara Gibran maka Presiden sibuk menjadi tim sukses. Perhatian pada fungsi pemerintahan menjadi kacau. Kabinet tidak terkonsolidasi bahkan kocar-kacir. Ancaman mundur dari banyak Menteri merupakan persoalan serius. Jika para Menteri nyata-nyata mundur maka tamatlah Jokowi.  Seruan pemakzulan Jokowi mendapat minyak pembakar dari politik dinasti dan cawe-cawe Jokowi. Gibran cepat atau lambat akan menjadi magnet untuk perlawanan rakyat semesta. Mahasiswa, buruh, santri, emak-emak, aktivis atau elemen lain akan bergerak melawan politik dinasti atau nepotisme.  Politik dinasti itu menginjak-injak demokrasi, meracuni kultur, menyuburkan oligarki, diharamkan konstitusi, merusak cita-cita pendiri bangsa, serta melanggar hukum. Undang-undang mengancam politik dinasti atau nepotisme dengan penjara maksimal 12 tahun, artinya itu adalah tindak pidana berat.  Jokowi seperti Raja frustrasi yang siap untuk bunuh diri. Gibran adalah pisau bunuh diri (suicide knife) Jokowi. (*) Bandung, 19 Januari 2024