DN Aidit, Ada Apa dengan Jawa Tengah dan Reinkarnasi PKI ke Depan

Joko Sumpeno

Oleh : Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah dan Hukum 

Dipa Nusantara Aidit adalah sebuah nama pengesahan di sebuah Kantor Notaris Batavia dari nama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit bin Abdullah Aidit. Ketika ia berusia 17 tahun. 

Achmad Aidit alias DN Aidit lahir pada 30 Juli 1923,  hari Senin Pahing di Tanjungpandan Belitung.  Kelak dikenal sebagai Ketua CC PKI/ Menko - Wakil Ketua MPRS, penerima Bintang Mahaputera  R. Ipada Agustus 1965. Sobron Aidit, adik Aidit menyapanya Bang Mamat.

Pada 23 November 1965 dini hari ,Selasa Legi di Boyolali , tokoh PKI yang amat dekat dengan Bung Karno pada kurun 1960-1965 ini, menemui ajalnya  di hadapan eksekusi  regu tentara dari Brigade IV ( Tiga Batalyon F, G dan H ) di bawah Komandan Letkol Yasir Hadibroto di Boyolali Jawa Tengah. 

Entah secara kebetulan atau tidak, jelas pada 23 November 2019 , Sabtu Pahing,  sekitar 55 tahun kemudian ini berlangsunglah Pertemuan Bedah Buku: PKI, Dalang dan Pelaku G30S/ PKI  karya sejarahwan Prof. Dr Aminudin Kasdi, di Jakarta.

Revolusi yang ia terus  dengungkan di panggung sejarah R.I terutama.pada kurun 1960-1965, nampaknya memakan Aidit sendiri di akhir pelariannya di Jawa Tengah, khususnya di segitiga Jogja- Solo- Semarang, lebih khusus lagi di Solo- Klaten - Boyolali, sekitar hampir dua bulan diburu tentara  ( 2 Oktober  sampai dengan 22 November 1965 ).

Ada apa kaitan pelarian dan atau persembunyian Aidit dengan nasib PKI dan pilihannya ke Jawa Tengah ?  Tentu bisa ditelisik dari sepakterjang Aidit dengan PKI dan Jawa Tengah sebagai "daerah basis" kaum merah, khususnya lahir dan besarnya PKI di kawasan ini.

Aktivis

Ketika usia Aidit menginjak dewasa, di Batavia kemudian Jakarta, Aidit dikenal sebagai pemuda aktivis yang dengan sadar memilih jalur kiri. Sempat menjadi murid Mohammad Hatta. Aidit hanya menyelesaikan di Sekolah Dagang di Jakarta. Aktif di Barisan Pelopor, juga di Angkatan Pemuda Indonesia ( API ).

Pada masa Revolusi Agustus, Aidit beserta teman-teman kiri - sosialis dan komunis - memilih bergerak di bawah tanah yang kemudian muncul pasca Proklamasi sebagai relawan pemuda pengawal Bung Karno, khususnya ketika berlangsung Rapat Akbar September 1945 di Lapangan Ikada Jakarta, sebagai ungkapan tekad: Merdeka atau Mati.

Sejalan dengan kepindahan ibukota R.I sejak awal Januari 1946, maka PKI pun juga memindahkan pusat aktivitasnya ke Jogja dan sekitarnya. Nampaknya, PKI lebih semarak dan bergairah di kawasan ini, khususnya di Surakarta. 

Pada Kongres  PKI ke empat di Solo  Juli1946, Aidit mulai masuk jajaran CC  ( Central Committee ) PKI atau Pengurus Pusat, sekaligus Ketua Fraksi Komunis dalam keanggotaanya di KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam MPR/ DPR, lengkap dengan Badan Pekerja KNIP = DPR ). 

Sebelumnya, Aidit dianggap berjasa kepada PKI ber kaitan cuci-tangannya partai dalam Peristiwa Tiga Daerah  ( Brebes, Tegal dan Pemalang ) yang berlangsung 3 bulan ( Oktober-November dan Desember 1945/) sebagai kesembronaan aktivis PKI antara lain Widarta dan Ali Archam cs menangani Revolusi Sosial yang gagal. Sedangkan Revolusi Sosial di Surakarta dianggap berhasil dengan penghapusan Daerah Istimewa Surakarta, sejak Juli 1946.  

Pada aktivitasnya di Solo inilah, DN Aidit menemukan jodohnya dengan menikahi Sutanti binti Mudigdo yang dokter dan anggota KNIP juga. Yang menikahkan adalah ideolog Komunis- Islam bernama Achmad Dasuki,  alumni Sekolah Islam ( Mamba'ul Ulum Surakarta Acmad Dasuki adalah ideolognya  Islam yang miring ke komunis, pernah dibuang ke Digul bersama KH Misbach, sebelum menjadi aktivis SI merah Surakarta, KH Misbach  adalah orang Muhanmadiyah seangkatan dengan Fahrudin murid KHAchmad Dahlan.

Sedangkan Mudigdo adalah  mantan Kepala Polisi di Semarang, asal Tuban, pernah aktif di Partindo / searah juang dengan PKI pula, mengajar di MULO Muhammadiyah Solo, dan terlibat Peristiwa Madiun yang kemudian dijatuhi hukuman mati.

Pada Agustus 1948, terbentuklah fusi kekuatan politik kaum kiri  ( PKI, Partai Buruh - Setiajid, Partai Sosialis Amir Syatifudin, dll ) kedalam front bersama : FDR - Front Demokrasi Rakyat yang diketuai Musso, tokoh senior komunis I ndonesia yang lama bermukim di Moskow;  seangkatan Semaun, Darsono dan Alimin. Di FDR ini, Aidit sebagai Sekretaris Dewan Eksekutif. 

FDR tak berumur panjang, menyusul kemudian meletus Peristiwa Madiun 18 September 1948 yang diawali pemogokan buruh  kapas dan goni pada   Mei sampai Juli di Delanggu, kekacauan antar lasykar (/Pesindo/ PKI dan Hizbullah/ Masyumi; antar kesatuan tentara  Divisi Pasopati yang kiri melawan Siliwangi  tentara reguler  yang hijrah ke daerah Republik ( Jogja - Soloa - Kedu sampai Kediri akibat perjanjian Renville Juli 1946. 

Kegagalan PKI di FDR membawa tewasnya Musso, Amir Syarifudin (mantan Perdana Menteri/ Menhan di Kabinet yang dilimpinnya ), Setiajid dll.

Selepas kegagalan PKI pada 1948, para aktivisnya yang sebagian tewas - bahkan Tan Malaka  dan Menteri Soepeno yang tak terlibat Peristiwa Madiun, menemui ajal di hadapan sekelompok tentara, masing-masing di Tulungagung dan Nganjuk Jawa Timur - kekuatan kiri kocar kacir. Para aktivis tua dan muda yang tak terbunuh melarikan diri/ bersembunyi.

Bersembunyi

Pada 7 Januari 1951 Aidit muncul dari persembunyiannya antara Matraman  Raya - Kramat Raya-  Gondangdia, namun di koran Sinpo dan sempat dirumorkan, seolah-olah Aidit dan MH  Lukman melarikan diri ke RRT. Itu kreasi Syam, agen ganda sejak dengan  kelompoknya di Patuk Jogja. Rupanya, hoax pun sudah ada  sejak dulu.

 Pada saat itulah, Aidit disebut sebagai Sekretaris Jenderal CC PKI dengan beberapa deputy yang mereka sebut Pendowo Limo ( DN Aidit, MH Lukman, Nyoto, Sakirman dan Sudisman ). Sakirman kakak kandung Jenderal S. Parman ( terbunuh pada 30 September 1965 ) pada awal 1950an menjadi Ketua Fraksi PKI di DPR. Pada tahun 1953 berakhirlah karir tokoh tua komunis Alimin dan Tan Ling Jie, digantikan Pendowo Limo di atas.

Mulailah PKI agresif kembali, dengan puncak pencapaian pada Pemilu 1955 berhasil menjadi salah satu Empat Besar  kekuatan politik di Indonesi:  PNI 22,1 %, Masyumi 20,9 %, NU 18,4 %/dan PKI 16,3 %.

Bagi PKI , hasil pemilu 1955 
itu semakin menebalkan kepercayaan diri sebagai kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Peristiwa Madiun, aksi-aksi pemogokan 1950-1951, seakan tidak mempengaruhi penampilan PKI sebagai partai yang rusuh dan  pernah memberontak R.I. Bahkan Aidit malah berorasi dalam pembelaaan PKI atas keterlibatan apada Peristiwa Madiun 18 September 1948 sebagai reaksi atas pernyataan Mr Syamsudin dari Masyumi yang membandingkan kekecauan di berbagai daerah dengan petualangan PKI itu. Mr Syamsudin adalah mabatan Walikota Sukabumi, kini namanya diabadikan di RS Samsudin Sukabumi. 

Hasil suara untuk PKI, sebagian besar berasal dari penduduk di Pulau Jawa ( 89 % ), sisanya disumbang oleh Sumatera ( 8,6 % ) dan sisanya lagi dari pulau lain.

Meskipun PKI memperoleh suara lebih kecil ketimbang Masyumi, NU dan PNI di Jakarta Raya dan Jawa Barat, namjn PKI boleh bangga di Jawa Tengah, PKI nomor dua setelah PNI dengan prosentase 25,8 %. Suara PKI di Jawa Tengah meningkat lagi pada pemilu DPRD Provinsi dan Kab/ Kotapraja bulan September 1957, sehingga PKI Jawa Tengah menggeser PNI. PKI  menjadi partai nomor 1, dengan prosentase suara 34 %, PNI menjadi nomor 2, disusul NU dan terakhir Masyumi. Bahkan di Jawa Timur, meskipun NU tetap nomor satu namun jarak prosentasenya menipis. Semula NU 34,1% dan PKI 23,3 %...pada 1957 itu, jaraknya tinggal 3 %, dengan PNI hanya nomor 3 disusul Masyumi nomor 4.

Nampaklah, bahwa Jawa Tengah merupakan daerah basis " PKI khususnya dan Merah pada umunya. Suara PKI Jawa Tengah menyumbang 38,1 % suara nasionalnya PKI. Ditujuh kabupaten yakni Klaten (/prosentase terbesar  dengan hampir 55 %  sejumlah 204.128 suara bagi PKI  dari semua suara yang masuk sejumlah 387.640 ), Cilacap, Boyolali, Grobogan dan Sukoharjo, PKI menang mutlak dengan suara lebih dari 50 %. Di beberapa kabupaten dan kota lainnya di Jateng, suara PKI juga mengesankan dan sebagai juara 1 yakni di Kabupaten -kabupaten  Semarang, Kota Semarang, Temanggung, Blora, Gunung Kidul, Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta.

Dengan demikian, PKI dan Aidit pasti tahu bahwa Jawa Tengah adalah harapan besar di atas kenyataan yang menggembirakannya. Kelak terbukti pada 1965, ketika Jakarta gagal memimpin kudeta, Jawa Tengah terutama di Segitiga Solo- Klaten dan Boyolali, Aidit melarikan diri dan bergerak di kawasan tersebut.  Bahkan setelah terbunuhnya Aidit pada 23 November 1965 dinihari  lalu di Boyolali itu, pengurus CC PKI lainnya ( Rewang Cs ) memilih Blitar Selatan Jawa Timur sebagai kelanjutan gerpolisasi PKI. Blitar adalah peraih suara PKI terbesar di Jawa Timur - seperti halnya Klaten di Jawa Tengah - dengan 179.810 suara dari jumlah p suara semua yang masuk 386.355 suara.

Bersiasat

Pada 30 September 1965, malam Jum'at Legi itu,  PKI berharap merebut kemenangan revolusi di balik kewibawaan dan kekuasaan Soekarno yang merapuh. Kendati Aidit cs plus Subandrio cs bersiasat  dengan manipulasi politiknya menuduh keberadaan Dewan Jenderal dan  semata sebagai masalah intern Angkatan Darat, tetapi gagal sudah. Bahkan Aidit harus menyudahi kehidupannya melalalui pengejaran oleh tentara ( RPKAD dan Brigade  IV Kodam Diponegoro ) dan tertangkap  hampir tengah malam di rumah seorang buruh kereta api bernama Kasim,  di Kampung Sambeng, Kelurahan Banjarsari - Kota Solo atas kerja intelijen Sriharto orangnya Jenderal Nasution yang disusupkan lama di Solo kemudian menjadi salah satu ajudan Aidit di Solo. Kemudian pada 23 November/dini hari,Selasa Wage 1965, Aidit tewas diujung letusan senjata api regu penembak dari Brigade  Yasir Hadibroto di Boyolali.  

Sementara Soekarno ingin mengambil tindakan penyelamatan PKI sebagai partai yang revolusioner melalui penafian G30S/ PKI dan mengantikannya sebagai Gestok ( Gerakan Satu Oktober berdalih pada teknis perwaktuan, 30 September dinihari dianggapkan sebagai 1 Oktober ) ;  disusul pembentukan Barisan Soekarno dan hampir perang antar Angkatan ( RPKAD dan Angkatan Darat pada umumnya versus AURI dan KKO serta AKRI Jatim ) serta tak tertahankannya aksi pemuda dan mahasiswa KAMI/ KAPPI di Jakarta, Bandung, Solo dan Jogja yang merupakan himpunan gerakan kaum muda Muslim plus angkatan muda Katholik dan Kristen  serta Nasionalis kanan di bawah Osa Maliki dan Usep Rabuwiharjo berhadapan dengan massa PKI plus Nasionalis kiri Ali Sastroamijoyo dan Surahman ( ASU ), namun nasib sejarahnya  kian meluncur ke jurang kehancuran.

Berbulan- bulan kemudian, sejak Oktober 1965 sampai dengan 1968  dengan dualisme kekuasaan antara Istana dan Markas Kostrad  ( Soeharto dan AH Nasution ) yang memuncakkan suhu politik dan menjatuhkan kursi kepresidenan Soekarno, maka akibatnya kian jelas bahwa PKI kalah di hadapan tentara dan rakyat yang tak mau dengan PKI. 

Muhammadiyah dan NU bersatu melawan PKI yang kian limbung di hadapan sejarah. Bahu membahu dengan teman-teman dari Partai Katholik dan Parkindo , menggumpalah kekuatan melawan PKI di bawah kepemimpinan Angkatan Darat blok Kostrad  : Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H Nasution.

Aidit dalam usia yang sebenarnya merupakan awal kehidupan manusia yang sesungguhnya ( 42 tahun ) dan berhasil membawa PKI pada kurun 1955-1965 sebagai kekuatan politik yang disegani dan selangkah lagi masuk Istana, ternyata tragis di akhir kehidupannya. Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya nomor 57  dan paling megah dibanding Kantor Masyumi, NU, PNI dan Parkindo  di kawasan Kramat Raya. Bahkan, PKI juga telah menyiapkan lahan ( kini dipakai Kemparpostel R. I dan Indosat ). Mendekati lokasi Istana Negara. 

Lubang Hitam

Hampir saja juga menenggelamkan R.I ke lubang hitam. Akibat tragedi G30S/ PKI itu hingga kini masih meninggalkan jejak dendam yang setiap waktu bisa memicu keretakan sebagai bangsa dalam menegara.

Diantara media sosial yang mengecam PKI dengan Aidit sebagai gembong pemberontakan, kini merembes pula pembelaan yang justru menempatkan PKI sebagai korban perang dingin, dikambinghitamkan oleh Angkatan Darat yang sejak 1950 -an akhir menakutkan Bung Karno sendiri.

Berkelit dan berkelindan pula  pembelaan terhadap Bung Karno seakan bersih dari noda sejarah kelam itu.

Itu hak para pembelanya, namun didepannya juga harus diakui bahwa  para  korban kekiri-kirian politik Soekarno yang ditopang  progresif revolusionernya PKI sejak 1960-1965 pun punya hak sejarah menuduh PKI dan kekuatan militer tertentu yang pejah-gesang nderek Bung Karno dengan segala manifestasnya terhadap kekuatan Islam. 

Hebat...juga PKI dan pendukungnya mengaku Pancasila yang sila pertamanya Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Bukankah mereka anti agama, sebutlah anti Islam dalam doktrin dan getol memusuhi kekuatan pelajar Islam ( PII dan HMI ). Menyerangnlatihan kader PII di Kanigoro Kediri, minta pembubaran HMI.

Hal itu kini terulang kebencian terhadap Islam dibalik tuduhan politik identitas, Kadrunisasi dan kebijakan yang ingin mengubur politik dan eksistensi Islam di tanah air. Sinyal itu telah jelas ditunjukkan sebagaimana PKI pada era pasca Pemilu 1955 sampai gagal meledakkan revolusi kaum tani dengan sokongan Mao dan PKC.

Kawan, ideologi tak pernah pernah akan mati.  Terjadi revitalisasi, pribumisasi, inkarnasi di atas basis kontradiksi yang menjadi alat utamanya. Bukankah pada Revolusi Agustus yang PKI bersembunyi kemudian bangkit lagi sejak 1946 dan berkuasa melalui kekuatan kiri yang sehaluan.

PKI memang tak pernah berkuasa. Selalu ditentang oleh kekuatan politik Islam dan nasionalis kanan meski main mata dengan nasionalis kiri. Kehebatan PKI adalah kekuatan infiltrasi dan parasitologi yang hampir merebut kekuasaan dengan bertopengkan pada konflik internal Angkatan Darat.

Memakan korban sejak 1960-1965, tapi mengaku sebagai korban. Padahal itulah konsekuensinya atas revolusi yang mereka kobarkan sendiri.
 

Mao bersedih

Di hari-hari setelah kematian Aidit, Mao yang menjadi tutor bagi PKI Indonesia yang lebih memilih RRC ketimbang Uni Sovyet sebagai pelindungnya, Mao bersedih dan berharap juga, suatu saat PKI hidup dan semerbak lagi kelak di kemudian hari, sebagaimana diungkapkan Mao dalam pusinya yang dipersembahkan kepada Aidit di bawah ini.

BELASUNGKAWA UNTUK AIDIT ( dalam irama Pu Saun Zi )

Di jendela dingin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kehembitaan tiada bertahan lama
dimusim semi malah jatuh berguguran

Kesedihan tiada terhingga
mengapa gerangan diri diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran, di musim semi nanti pasti mekar kembali simpan harum wanginya hingga di tahun mendatang

Nah, Anda  bisa berintrepetasi : Apa dan bagaimana potensi Jawa Tengah sebagai kantong tebal bagi suara yang merah dan kiri itu....? *

1308

Related Post