Presiden Joko Widodo Wajib Berhenti Dalam Masa Jabatan, Ini Alasannya (Bagian 1)
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
JOKO Widodo, alias Jokowi, menjabat presiden dua periode, 2014-2019 dan 2019-2024. Selama menjabat, Jokowi melakukan banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan, termasuk pelanggaran konstitusi. Pelanggaran peraturan perundang-undangan ini terlihat jelas dilakukan secara sadar, dan terencana.
Oleh karena itu, sesuai konstitusi, Jokowi tidak pantas dan tidak layak lagi menjabat sebagai Presiden. Artinya, Jokowi seharusnya diberhentikan dalam masa jabatannya: alias dimakzulkan, seperti diatur di Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945.
Pelanggaran peraturan perundang-undangan Jokowi dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, penetapan dan materi muatan Peraturan Presiden melanggar sejumlah Undang-Undang dan Konstitusi. Kedua, penetapan dan muatan mateti Undang-Undang melanggar Konstitusi. Ketiga, pelaksanaan pemerintahan melanggar Undang-Undang yang berlaku dan atau Konstitusi.
Berbagai pelanggaran ini mengakibatkan kerugian keuangan negara, dan atau menguntungkan pihak lain atau korporasi, dan masuk kategori tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Jokowi wajib diberhentikan dalam masa jabatannya.
Beberapa contoh Peraturan Presiden yang melanggar Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
1. Peraturan Presiden No 36 Tahun 2020 (Perpres 36/2020) tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.
Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan atas perintah UU (atau Peraturan Pemerintah).
Sedangkan Perpres 36/2020 dibuat tanpa ada dasar hukum, tanpa ada rujukan perintah UU atau Peraturan Pemerintah, sehingga melanggar UU No 12/2011 tersebut di atas.
Perpres 36/2020 ditetapkan dengan hanya merujuk Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Jokowi “memanipulasi” dan menerjemahkan arti Pasal 4 ayat (1) ini seakan-akan Presiden dapat membuat hukum sendiri, seakan-akan Presiden dapat membuat Peraturan Presiden tanpa melibatkan DPR, seakan-akan Presiden mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk menetapkan hukum sendiri, alias tirani.
Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
Oleh karena itu, “menurut UUD” pada kalimat “Presiden … memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD” wajib dimaknai, kekuasaan Presiden dibatasi oleh UUD, sesuai pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, seperti diatur di dalam UUD, di mana DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, seperti diatur Pasal 20 ayat (1) UUD.
Artinya, kekuasaan Presiden “menurut UUD” bukan berarti kekuasaan tanpa terbatas, dan bisa menetapkan Peraturan Presiden secara sepihak dan sewenang-wenang.
Sedangkan menurut Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden hanya merupakan penjabaran teknis untuk menjalankan perintah UU yang sudah ditetapkan oleh DPR.
Oleh karena itu, Peraturan Presiden tentang program Kartu Prakerja, yang ditetapkan tanpa rujukan untuk melaksanakan UU, secara jelas melanggar UU No 12/2011 dan melanggar konstitusi Pasal 20 ayat (1) UUD.
Sebagai konsekuensi, semua belanja negara terkait program Kartu Prakerja menjadi tidak sah, melanggar UU Keuangan Negara, melanggar UU APBN, dan karena itu merugikan keuangan negara, dengan menguntungkan pihak lain dan korporasi Platform Digital sebagai penyelenggara pelatihan program Kartu Prakerja.
Kerugian keuangan negara terkait Program Kartu Prakerja yang tidak sah dan ilegal tersebut mencapai Rp18,25 triliun untuk tahun anggaran 2020 saja.
2. Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016 (Perpres 3/2016) tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sama seperti Perpres No 36/2020, Perpres No 3/2016 tentang PSN juga melanggar UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan melanggar Konstitusi Pasal 20 ayat (1) UUD, karena Perpres tersebut ditetapkan hanya berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD.
Selain itu, Perpres No 3/2016 tentang PSN ini juga melanggar Konstitusi tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (4) UUD, terkait hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Karena status PSN justru digunakan untuk mengusir penduduk setempat, dan mengambil alih tempat tinggal mereka secara paksa, sehingga merugikan dan memiskinkan masyarakat daerah terkena dampak PSN, dengan menguntungkan korporasi yang melaksanakan proyek strategis nasional.
Di samping itu, pemberian judul Perpres No 3/2016 ini beraroma manipulatif. Kata “Pelaksanaan” di kalimat “Percepatan Pelaksanaan PSN” seolah-olah Perpres dibuat dalam rangka pelaksanaan sebuah undang-undang. Padahal, Perpres No 3/2016 dibuat tanpa ada rujukan atau perintah UU, tetapi hanya mengacu Pasal 4 ayat (1) UUD.
3. Peraturan Presiden tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penetapan APBN melalui Peraturan Presiden, bukan dengan UU, melanggar UU tentang Keuangan Negara dan Konstitusi.
Pasal 23 ayat (1) UUD mengatur, APBN wajib ditetapkan dengan UU: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya, APBN tidak boleh ditetapkan dengan Peraturan presiden.
Selain melanggar Konstitusi Pasal 23 ayat (1), penetapan APBN dengan Perpres juga melanggar UU tentang Keuangan Negara, Pasal 3 ayat (2) UU yang berbunyi: “APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang”, dan Pasal 11 ayat (1) yang berhunyi: “APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang”.
Sebagai konsekuensi, APBN dan Perubahan APBN yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden menjadi tidak sah alias ilegal. Antara lain:
• Perpres No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020,
• Perpres No 72/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020,
• Perpres No 98 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 104 Tahun 2021 tentang Rinciqn Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
• Perpres No 75 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peratyran Presiden No 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sebagai konsekuensi, semua Belanja Negara berdasarkan Perpres yang tidak sah tersebut, juga menjadi tidak sah.
Untuk itu, Presiden Jokowi sudah layak, dan wajib, diberhentikan dalam masa jabatan, selain juga harus mempertanggungjawabkan kerugian negara akibat penetapan Perpres tentang APBN yang tidak sah tersebut. (Bersambung).