Post Power Syndrome Sungguh Menyakitkan

Oleh Dimas Huda, Jurnalis Senior FNN

INI kisah Pak Karyo, sebut saja namanya begitu. Dia adalah pejabat tinggi. Lebih tinggi dari wakil gubernur. Kala masih menjabat, wajahnya selalu berseri, penuh dengan semangat dan vitalitas. Ia sangat dihormati anak buah dan koleganya. Saban hari ia selalu bertabur pujian, sanjungan dari tetanga dan masyarakat sekitar .

Setiap pagi, sopir mengantar ia berdinas ke kantor dengan dua pengawal yang selalu menjaganya. Pak Karyo selalu tampil gagah dengan seragam kebesarannya. Ia sungguh menikmati status kepejabatannya. Anak istrinya pun terlihat berpenampilan “wah”. Kenyamanan, kehormatan, pujian, diterima olehnya dengan senang hati dan mungkin dia merasa ini abadi.


Pak Karyo kini sudah pensiun. Tapi Pak Karyo belum siap kehilangan jabatannya. Saban pagi ia masih mengenakan pakaian kebesarannya, dan meminta sang sopir mengantar berdinas ke kantornya. Awalnya, sang sopir bingung, hanya saja, lama-lama terbiasa. Pagi-pagi ia mengantar Pak Karyo ke kantor gubernuran, lalu berputar-putar, pulang.

Pak Karyo masih menggaji dua orang pengawal dan seorang sopir. Tugas mereka sama persis laiknya ketika Pak Kayo masih menjabat. Pada saat menghadiri undangan dari LSM atau organisasi massa, dua pengawal itu dibawa serta. Tugasnya, membuka pintu mobil, memberi hormat saat akan turun dari mobil maupun saat akan naik ke mobil.

Secara materi, Pak Karyo berkecukupan dan di atas rata-rata rakyat negeri ini. Tapi bila dilihat dari hakikat kekayaan, ia masih miskin. Ia masih berharap pemberian dari negara. Ia belum bisa lepas dari tunjangan dan fasilitas yang rutin diterimanya. Lebih dari itu ia masih butuh puja-puji dari tetangga dan anak-buahnya.

Kadang susah, kadang senang. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang memimpin, kali lain dipimpin. Hari ini menjabat, besok kehilangan jabatan. Bagitulah hidup. Tapi Pak Karyo tak siap jatuh, ketika tengah menikmati kejayaan itu. Apa yang dialami Pak Karyo dalam dunia psikologi dikenal dengan post power syndrom .

Ada tiga aspek kehidupan kita yang mesti terpenuhi, yaitu aspek fisik, aspek rohani dan aspek akal. Untuk benar-benar kaya, ketiga aspek tersebut harus terpenuhi. Dan sebaliknya, agar ketiganya terpenuhi, seseorang harus kaya.

Namun dalam kasus Pak Karyo, fisiknya sudah pasti kaya. Begitu pula akal, intelejensinya tentu bagus, karena dia jadi pejabat. Hanya saja, rohani, jiwanya masih miskin. Hidupnya menjadi pincang karena melupakan aspek rohani.

Boleh jadi ia termasuk orang yang rajin beribadah, cuma tidak benar-benar memenuhi kebutuhan rohaninya. Soalnya, rohani atau mental atau keyakinannya menolak untuk tak menjabat lagi.

Presiden Jokowi dan para menterinya sebentar lagi akan meninggalkan kursinya.   Tengoklah mereka, adakah di antaranya mengalami nasib seperti Pak Karyo?

Post power syndrome  sungguh menyakitkan

47

Related Post