OPINI

Politik Jokowi Jebol Berantakan

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  PERILAKU politik di Indonesia semua sudah dengan standar uang. Pepatah Inggris mengatakan, ‘’There is no such a free lunch in the world’’, tidak ada makan siang gratis di dunia. Merujuk pada filosofi materialisme dalam masyarakat Barat yang mengukur segala sesuatu dengan materi dan uang. Di masyarakat Barat, waktu pun diukur dengan uang, ‘’Time is money’’, waktu adalah uang. Di sisi lain sudah kehilangan etika dan  moral, seperti dipoles  oleh Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D.,  Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Surabaya bahwa \"keruntuhan etika, yang melanda Mahkamah Konstitusi minggu minggu ini tidak terlalu mengejutkan saat para politisi sebagai law makers sudah mencampakkan standard etika nya ke tong sampah sejak reformasi\" \"Mereka seharusnya menetapkan standard etika tertinggi melebihi dokter dan hakim. Saat jagad politik lalu diawaki oleh para bandit, badut dan bandar politik, sedang publik hanya jongos politik, maka para glembuk, gendam dan copet akan makin memenuhi ruang publik. Kita tinggal bersiap memasuki kebuntuan konstitusi, lalu menghitung mundur nasib Republik ini\" Even politik meloloskan Gibran sebagai Cawapres oleh MK yang di komandani  Anwar Usman sekalipun sebaga keluarga besar Jokowi, patut diduga ada harga yang harus dibayar, pelanggan etika dan ada tujuan lain yang ingin dicapai, bukan sekedar menang Gibran sebagai Wapres, target Presiden sekaligus. Manuver tipuan Presiden Jokowi dengan basa basi politik tipuan murahan adalah sudah terbaca dengan terang benderang menjadi watak, kepribadian dan prilakunya yang sulit untuk disembunyikan dengan rekayasa atau cara apapun. Pasangan Prabowo dan Gibran, Jokowilah  sebagai aktor intelektual utama yang menjadi arsitek rekayasa tersebut tidak bisa di nafikan sebagai sejarah hitam pekat di Indonesia. Adalah sebuah rekayasa politik Jokowi untuk mengamankan keamanan diri dan keluarganya paska lengser dari kekuasaannya. Wajar muncullah gelombang tamparan, gempuran, cercaan serta serangan masyarakat  ke arah Jokowi dan otomatis memposisikan Jokowi terpojok  defensif. Panggung dramaturgi politiknya terlalu kasar dan fulgar, sangat jauh dari etika, moral atau standar perilaku politik yang bermartabat dan terhormat. Skenario panduan politiknya penuh intrik,  untuk menjebak dan menghabisi lawan-lawan yang tidak berada di kubunya.  Manuvernya asal menang dalam Pilpres 2024 mendatang apapun akan dilakukan saat menggenggam kekuasaannya. \"Benar yang dikatakan DR. Mulyadi dosen politik dari UI bahwa kekuasaan buruk Jokowi bisa di dekati teori politik standar, ciri praktek politik  menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo; dan korup\" \"Jalan yang  dilalui, akan selalu melakukan  manipulasi politik, propaganda politik, agitasi politik, dan suap politik untuk meningkatkan pembelahan politik dan  koersi politik melalui political assassination yaitu teror intimidasi.\" Jokowi akan terus menampilkan gimmick politiknya yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain. Gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Sebagai bagian dari pertahan politik Jokowi , sesungguhnya sudah jebol berantakan.*****

Sedu Sedan PDIP, Jokowi dan Pilihan Jalan Machiavellisme

Oleh: Ady Amar | Kolumnis TIDAK mampu membayangkan betapa remuknya hati Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, dan seluruh jajaran partai hari-hari ini. Setelah secara keras mencoba bertahan dengan menahan diri untuk tidak mempercayai apa yang bakal terjadi di luar yang tidak bisa dibayangkannya. Meski tanda-tanda akan ditinggal dengan ditelikung, itu sebenarnya terpampang benderang. Tapi entah mengapa PDIP seperti tak hendak mempercayai sesuatu yang sejatinya itu nyata. Dengan tak bersikap, itu seakan berharap ada keajaiban yang sebaliknya. PDIP seperti tak siap menerima badai dahsyat mengguncang seluruh persendiannya. Memang berat bisa meraba suasana kebatinan yang dialami PDIP, yang beyond expectation itu  bisa menimpa PDIP. Siapa sangka anak kandung sendiri yang diantar hingga ke puncak prestasi tertinggi. Menjadi orang nomor satu di negeri ini, bahkan hingga 2 periode, itu bisa meninggalkan rumah yang membesarkannya. Meninggalkan rumah di akhir masa jabatannya dengan membawa subyektivitas ingin berkuasa lebih lama lagi. Keinginan untuk 3 periode, yang konon itu ditentang PDIP, karena konstitusi tak membolehkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu seperti anak kandung yang dibesarkan dalam pengasuhan PDIP. Disayang dan ditimang sejak lebih dari 2 dekade. Jika dihitung sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan lalu Presiden RI. Menoreh masa panjang kebersamaan. Tidak cukup di situ, bahkan sang anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka, juga anak menantunya Bobby Nasution, dapat previlage bisa terbang tinggi menjadi Wali kota Solo dan Medan. Semua itu sepertinya masih kurang buat jabatan yang memang menggiurkan, yang jika mungkin bisa terus dijabat selamanya, lalu bisa diteruskan sampai pada anak cucunya. Membangun dinasti politik layaknya pemerintahan monarki. Langkah itu dihentikan PDIP. Merasa tak mendapat respons atas keinginannya, maka pencarian yang memungkinkan bisa terwujud terus diikhtiarkan untuk tetap berkuasa. Dan, itu dengan memajukan sang anak Gibran sebagai penerusnya. Tidak perduli jika harus meninggalkan rumah yang membesarkannya. Jokowi menjelma jadi sosok kuat, yang mampu mengendalikan partai-partai baru di luar PDIP yang menyokongnya. Setelah itu ia memilih meninggalkan rumah yang membesarkannya, yang dianggap bagian dari perjalanan masa lalu. Karenanya, menjadi pantas jika mesti ditinggalkan. Jangan bicara etika politik, atau sikap tega, dan hal sentimentil lainnya untuk memojokkan sikap yang diambil Jokowi. Semua itu bisa dilakukan tanpa pakewuh, jika syahwat politik lebih dominan menguasai sukma berkuasa. Ambisi itu sudah setengah matang terlihat. Gibran sang putra andalan sebagai penerusnya digadang menjadi cawapres pada Pilpres 2024. Disandingkan dengan Prabowo Subianto, rivalnya dalam dua pilpres sebelumnya, 2014 dan 2019. Nalar sehat akan tertawa terbahak melihat apa yang terjadi. Nalar tak mampu menjelaskan politik pagi dele sore tempe macam itu. Rasanya sulit bisa menjelaskan, jika yang dipakai parameter ideal. Mari kembali mencermati suasana kebatinan PDIP. Dan, coba sedikit menganalisa sikap politiknya pasca ditinggal Jokowi dan anaknya, konon menyusul sang anak menantu pun akan memilih jalan yang sama meninggalkan PDIP. Suasana kebatinan PDIP pastilah terkaget bak disambar petir, kenapa ini bisa terjadi. Suasana marah, meski itu tak ingin ditampakkan. Hanya beberapa senior dan elite PDIP yang menyampaikan kekecewaan, dan itu lebih sebagai kemarahan yang ditekan, yang pastilah menyiksa. Suara kemarahan yang ditekan itu bisa terlihat dari ungkapan politisi seniornya Panda Nababan yang menyatakan, ia tidak percaya itu bisa dilakukan seorang Jokowi, yang PDIP sudah memberikan segalanya untuknya. Panda masih menahan untuk tidak mengatakan Jokowi sebagai pengkhianat, tapi tersirat apa yang dikatakannya itu juga bermakna pengkhianat. Panda Nababan mengulang ketidakpercayaan itu berulang dalam berbagai kesempatan wawancara. Katanya lagi, Ini di luar logikaku bisa mempercayai apa yang terjadi, ujarnya dengan suara tergagap. Politisi senior itu seperti jadi bulan-bulanan dan tertawaan logikanya sendiri. Ia seperti lahir di zaman yang begitu cepat berubah. Padahal yang dilakukan Jokowi itu hal biasa. Machiavelli telah mengajarkan politik \"Pak Tega\" zonder moral, itu sejak abad ke-16 lalu. Dan, Jokowi cuma menegaskan, bahwa jalan machiavellisme itu masih berlaku, dan layak jika diteruskan. Politik memang pilihan untuk memilih, bahkan memilih yang tak pantas untuk dipilih, tapi mesti dipilih/diambil. Jokowi memilih-mengambilnya, tentu dengan segala konsekuensi yang bakal diterimanya. Tidak persis tahu apakah ini masuk dalam perhitungannya. Karenanya, tahu akan konsekuensi yang nantinya diterima. Konsekuensi yang mestinya bisa digambarkan, itu justru terkadang terlupakan, terlena pada kawan koalisi barunya yang belum teruji sebagai kawan, yang pada masa lalu kerap disakitinya. Mustahil itu bisa dilupakan oleh mereka yang pernah disakiti dengan melenakan mereka yang pernah menyakiti. PDIP mau tidak mau mesti menerima kondisi apa pun yang terjadi pasca ditinggal anak kandungnya sendiri, yang bisa jadi akan menjadi lawan kontestasi dalam memenangkan sang anak. Move on menjadi kata kunci mengakhiri rengekan yang tak perlu. Karena PDIP tanpa Jokowi itu tetaplah PDIP, sedang Jokowi tanpa PDIP itu justru sulit bisa dibayangkan. Meski Jokowi punya \"mainan baru\" sekian partai politik besar dan kecil melingkarinya. Semua paham bahwa koalisi partai politik yang mengusung Gibran sebagai cawapres dari Prabowo, itu lebih pada keterpaksaan yang dipaksakan. Gibran diusung lebih karena ia anak Presiden Jokowi, yang akan cawe-cawe sebagaimana yang dijanjikan. Dan, itu seolah jaminan kemenangan pada pasangan Prabowo-Gibran. Jaminan yang tak menjamin menang, jika rakyat tetap dengan pilihan politik yang diyakininya, yang tak bisa dipengaruhi oleh kekuatan sekuat apa pun. Pilpres 2024--14 Februari 2024--diikuti 3 pasang calon. Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang diusung NasDem, PKB, PKS. Dan, 2 pasang lainnya yang akan head to-head. Ganjar Pranowo-Mahfud MD versus Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bisa disimpulkan akan berhadap-hadapan antara Megawati versus Jokowi. Seru. Banyak kemudian yang menyebut, bahwa perjalanan menuju pilpres akan keras. Sebagai pemegang kuasa, Jokowi akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Namun demikian, semua akan ditentukan oleh rakyat si pemegang hak suara, siapa yang akan dipilihnya. Selanjutnya, rakyat akan tampil menjadi pengawas yang baik dalam menjaga suaranya, agar tak terbang menghilang.**

Konstitusi 2002 Dirusak, Kembali ke UUD 1945 Asli Menggema: Waspada Jangan Sampai Dikhianati

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Seperti sudah diduga, konstitusi 2002 sangat rentan, sangat mudah dipermainkan, dimanipulasi dan dikhianati. Hanya sembilan orang, hanya sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, mampu merusak (konstitusi) Indonesia. Bukan, bukan sembilan. Malah hanya satu hakim konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi, mampu mengacak-acak Indonesia. Puncaknya, Mahkamah Konstitusi mempermainkan persyaratan batas usia minimum pencalonan wakil presiden. Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, adik ipar presiden Jokowi, memberi jalan kepada keponakannya, Gibran, untuk bisa dicalonkan sebagai wakil presiden 2024. Semua pihak tersentak. Terkejut. Begitu mudahnya konstitusi 2002 dirusak. Sebelumnya, banyak pihak sudah menyuarakan, konstitusi 2002 lebih banyak mudaratnya. Khususnya sejak 2014, sejak Jokowi menjabat presiden. Terlihat jelas, Jokowi memanfaatkan konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi, untuk kepentingan kelompoknya, untuk memperkaya kroni-kroninya dengan cara membuat UU yang terindikasi jelas melanggar konstitusi. Antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan. Seiring dengan rusaknya konstitusi 2002, seruan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Asli menggema kembali. Lebih keras. Kembali ke UUD 1945 Asli memang merupakan sebuah keharusan. Bukan hanya terkait masalah pemilihan presiden, apakah dipilih rakyat atau MPR. Tetapi jauh lebih fundamental dari itu. UUD 1945 Asli merupakan dokumen kesepakatan antar masyarakat dari berbagai daerah Indonesia, untuk membentuk negara Indonesia pada tahun 1945. Setiap daerah menyerahkan kedaulatannya, dan tunduk pada kesepakatan UUD 1945 Asli tersebut. Salah satu butir yang sangat fundamental di dalam UUD 1945 Asli adalah demokrasi musyawarah, yang juga dikenal dengan Concensus Democracy, serta keterwakilan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Demokrasi musyawarah menjamin hak dan melindungi kepentingan semua daerah, termasuk daerah minoritas, yang dengan suka rela telah menyerahkan kedaulatan daerahnya ke dalam negara Indonesia. Sedangkan konstitusi UUD 2002 menganut konsep demokrasi one-man-one vote, di mana pihak yang kuat akan mengambil kekuasaan sepenuhnya. The winner takes all. Sedangkan kepentingan daerah minoritas akan terabaikan, bahkan tertindas, karena mereka tidak mempunyai perwakilan di MPR yang dapat memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.  The winner takes all sangat mudah melucuti kedaulatan rakyat dan kedaulatan daerah. Alhasil, kekayaan alam daerah dikuasai oleh sekelompok elit politik dan pengusaha. Sedangkan banyak rakyat di daerah dibiarkan miskin. Tentu saja, UUD 1945 Asli masih perlu perbaikan dan penyempurnaan, mengingat perumusan UUD Asli hanya dilakukan dalam waktu sangat singkat, menurut kebutuhan masa itu, masa memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi, secara prinsip fundamental, UUD 1945 Asli masih sangat patut dipertahankan. Di tengah kerusakan konstitusi yang semakin parah, sekelompok tokoh nasional yang mempunyai wawasan kebangsaan yang tidak perlu diragukan lagi, terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini, menyelamatkan konstitusi, melalui “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli”, yang akan dideklarasikan pada Selasa, 7/11, di Gedung Joang, Jakarta Pusat. Masyarakat patut mendukung “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih berkeadilan sosial. Tetapi, momentum “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini juga harus diwaspadai. Jangan sampai gerakan yang sangat mulia ini diselewengkan untuk kepentingan sekelompok pengkhianat, untuk dijadikan “kendaraan” untuk memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi. Oleh karena itu, setiap upaya “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” yang melibatkan Jokowi harus ditolak keras. Dalam bentuk apapun. Karena Jokowi berambisi memperpanjang masa jabatannya, seperti disuarakan oleh beberapa menteri kabinetnya. Semua itu diungkap oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.  “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” juga tidak boleh melibatkan MPR periode ini. Masyarakat kehilangan kepercayaan, khususnya kepada ketua MPR, yang beberapa kali melontarkan pernyataan untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi. Dikhawatirkan, MPR bermain mata dengan Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi, dengan “membajak” UUD 1945 Asli. Oleh karena itu, Kembali ke UUD 1945 Asli harus dilakukan oleh MPR periode 2024-2029. —- 000 —-

Soal Ijazah, Jokowi Punya Nyali

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MEMASUKI sidang ketiga gugatan perbuatan melawan hukum ijazah palsu Jokowi Majelis Hakim PN Jakarta Pusat masih melakukan pemeriksaan identitas. Tergugat I Presiden Jokowi dalam persidangan pertama gagal menunjuk kuasa hukum yang sah. Bekal \"Surat Tugas\" dinilai tidak memenuhi syarat administrasi persidangan.  Pada persidangan kedua Kuasa Hukum dengan personal baru menyatakan membawa \"Surat Kuasa Substitusi\" tetapi ternyata tidak memiliki Surat Kuasa asal yang ditandatangani oleh Jokowi. Hakim pun menilai yang bersangkutan tidak memenuhi syarat dan tidak berhak berada di ruang sidang untuk mewakili Tergugat I Jokowi. Majelis Hakim mengusir dua wanita yang mengaku \"Kuasa Hukum\" tersebut.  Pada persidangan ketiga hari ini, para pihak diuji untuk terakhir kali tentang identitas yang dapat dikualifikasi memenuhi syarat hukum untuk beracara di muka persidangan. Jokowi sendiri meski seorang Presiden tetapi digugat secara pribadi karena menyangkut ijazah dirinya yang konon didapat dari kampus UGM.  Tergugat lain baik KPU, Bawaslu, DPR, MPR, UGM, Mendikbud, PN Surakarta, Mensesneg, dan Menkeu diharapkan dapat hadir dan membawa Surat Kuasa yang semestinya. Majelis Hakim menegaskan jika pada persidangan ini Tergugat ada yang tidak hadir atau tidak memenuhi syarat, maka persidangan akan dilanjutkan kepada tahap berikut.  Kini pertanyaan serius adalah apakah Tergugat I Jokowi akan hadir dengan Kuasa Hukum yang memenuhi syarat ? Ataukah akan mengulangi kembali \"kekacauan administrasi\" sebagaimana sebelumnya ? Ini menjadi indikator itikad baik Jokowi dalam menghormati hukum dan menjadikan proses hukum perdata ini sebagai kesempatan untuk membuktikan kepemilikan ijazah yang selama ini menjadi pertanyaan dan tuduhan publik.  Pertanyaan lebih serius adalah apakah Jokowi memiliki nyali untuk hadir atau mewakilkan melalui Kuasa Hukum untuk membuktikan dasar kepemilikan dan keaslian ijazahnya ? Bila ia memiliki nyali maka tahapan persidangan berikut menjadi sangat penting. Rakyat dapat menyaksikan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli tersebut.  Jika ternyata Jokowi tidak memiliki nyali untuk mengikuti proses persidangan dengan tidak hadir atau memainkan \"cacat administrasi\" maka rakyat sudah dapat menilai bahwa benar dugaan bahwa Jokowi memang tidak memiliki ijazah S-1 UGM.  Kalaupun ada, maka ijazahnya tersebut adalah palsu.  Pengadilan perdata gugatan ijazah palsu Jokowi di PN Jakarta Pusat ini adalah Pengadilan Rakyat. Maknanya bahwa rakyat diajak untuk mengikuti proses tahapan demi tahapan agar dapat melihat dan membuktikan apa yang selama ini dipertanyakan. Saatnya rakyat menilai sendiri untuk dua hal, pertama apakah memang Jokowi memiliki ijazah UGM dan kedua, apakah ijazah itu asli  ?  Dua pertanyaan akan terjawab dengan bantuan peran Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Tentu Hakim yang adil dan obyektif dan tidak terintervensi oleh kekuasaan atau lainnya. Meskipun Jokowi adalah seorang Presiden tetapi dalam hukum kedudukannya sama dan sederajat (equality before the law).  Nah, mari kita ikuti peristiwa penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia yang berkaitan dengan kejujuran dan kualifikasi seorang Presiden Republik Indonesia yang bernama Joko Widodo ini. Apakah ia Presiden yang bermartabat atau memang tukang tipu?  Bandung, 6 Nopember 2023

Kaesang Pangarep Anak Presiden Republik Indonesia: “Bangga Makan Babi?!”

Oleh Nazwar, S. Fil. I., M. Phil | Penulis Lepas Yogyakarta Luka, perasaan tidak enak, atau kegagalan jenis apa terobati dengan senyum Kaesang. Di berbagai wilayah, daerah orang berjibaku, pontang-panting cari pekerjaan bahkan untuk sekedar makan, ada yang dikabarkan kelaparan karena kemiskinan, serta menyaksikan berbagai peristiwa kemanusiaan, ketika melihat media dan menyaksikan senyum Kaesang, semua seolah hilang berganti perasaan senang dan penuh kebahagiaan. Bukan hendak merayu, atau langkah usaha memanfaatkan kesempatan, namun lebih tepatnya berusaha memahami kenyataan dengan kondisi yang penuh tantangan dan cobaan. Pengalaman di masa lalu menjadi cerminan untuk kehidupan saat ini dan rencana ke depan. Artinya, tidak ada yang bisa dielakkan dari apa yang disebut ketentuan Tuhan berupa ketetapan-ketetapan. Berbagai tantangan dan cobaan yang disebutkan tadi, dirasa perlu untuk diterjemahkan secara rasional atau ke dalam ranah pemikiran literatif, sebab bisa rumit jika hanya mengandalkan emosi atau perasaan. Luapan yang keluar jika berasal dari hal negatif dapat menghasilkan hal-hal negatif pula dan kondisi yang tidak terkontrol bahkan cenderung rusak. Kembali ke pembahasan tentang Kaesang, sedikit saja yang ingin dibahas kali ini, bagaimana selama ini dikenal, atau setidaknya yang ditampilkan media massa, menjadi penting tatkala sosok Kaesang tidak hanya sebagai putra seorang presiden Republik Indonesia namun juga sebagai pemimpin partai, meski tergolong baru dan kontroversi sebagai partai yang merepresentasi kaum muda. Dalam berbagai ulasan, katakanlah jejak digital, Kaesang tidak seramai diberitakan layaknya selebriti atau artis yang berbagai aktivitasnya senantiasa tersorot kamera. Namun jelas Kaesang jauh lebih beruntung dibanding pesohor sebut saja berada pada level pamor di bawah politikus, seperti influencer. Kaesang lebih beruntung, setidaknya dalam kaca mata karir dan kesempatan berkarir dibanding sebut Nama Lina Mukhrerjee misalnya. Jika Lina yang kini menghadapi kasus hukum, sebaliknya Kaesang menanjak tinggi. Meski mungkin keduanya tidak saling kenal, namun keduanya pernah mengalami cerita yang hampir serupa namun tidak sama. Betul! Keduanya sama-sama pernah mengkonsumsi, maaf penulis sebutkan, yaitu terhadap daging yang secara hukum terlarang dan termasuk jarang dilanggar, makan daging babi. Mari kita runut sekilas kejadian dan alasan yang melatarinya. Jika Lina Mukherjee memakan daging tersebut dengan cara penuh kontroversi, sedang Kaesang menjadikannya kontroversi. Lina secara sengaja makan dan disebarkan di media sosial, sedang Kaesang tidak sengaja karena sedang berada di negara lain dan tidak tahu bahwa itu daging yang terlarang untuk dimakan orang beriman, kemudian dia menyebarkan di media sosial. Selanjutnya, jika Lina mengaku sengaja dengan sebab emosional berkaitan permasalahan keluarga, meluapkannya dengan melakukan hal tersebut. Sedang ketidaksengajaan karena tidak tahu itu daging apa, Kaesang kiranya menyebarkan kekhilafannya tersebut sebagai konsumsi publik agar dapat diambil pelajaran. Mungkin terdapat peringatan untuk bersikap hati-hati ketika sedang berada di negeri orang, termasuk perihal makanan, meski disayangkan bahwa Kaesang mengaku menikmatinya. Apa pun itu, publik figur bukanlah posisi yang mudah dicapai serta penuh tantangan dan cobaan. Termasuk berada atau menempati posisi tersebut. Menjalani hidup sebagai publik figur juga tidak berati menjadikan segala sesuatu serba mudah dan enak, terdapat amanah dan tanggung jawab besar di belakangnya sebagai percontohan bagi orang banyak. Perbuatan bahkan berbagai hal tertentu tidak jarang menjadi sorotan dan berpengaruh pada masyarakat. Maka selanjutnya dapat dipahami kiranya setiap orang memikul beban yang perlu dipertanggungjawabkan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi di masa mendatang. Ketika setiap keputusan dibuat, itu mempengaruhi hasil yang didapat. Poin terakhir yang hendak penulis sampaikan, mungkin untuk direfleksikan bahwa Kebahagiaan, kenikmatan atau apa pun bahasanya yang berkaitan dengan proses, alasan ataupun tujuan tidak senantiasa identik dengan jumlah yang banyak, kepopuleran atau kekuasaan yang justru asal-asal dapat menjerumuskan ke jurang kerugian, kehinaan, serta kebinasaan, Allahu a’lam. (*)

Free Palestine and Flee Israel

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PALESTINA harus merdeka dan Israel harus dibuat kabur atau mengambil langkah seribu. Free Palestine and flee Israel.  Kemerdekaan adalah hak segala bangsa karenanya penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.  Kemerdekaan Palestina adalah keniscayaan sedangkan penjajahan Israel harus dihilangkan. Ketika belum mampu kita menghapus Israel dari peta dunia, maka tugas utama dunia adalah membuat peta negara Palestina merdeka.  Serangan Hamas (Harakat Al Muqowama Al Islamiya) pada tanggal 7 Oktober 2023 mengejutkan Israel dan dunia. Israel langsung demam ketika lebih dari seribu warganya tewas oleh serangan kejutan (surprise attack) Hamas. Kini pembalasan Israel yang bertekad untuk membasmi Hamas dan meratakan Gaza dengan pembantaian (massacre) atau penjagalan (butchering) justru mendapat kutukan dunia.  Sidang Umum PBB 27 Oktober 2023 menghasilkan Resolusi dukungan mayoritas untuk gencatan senjata. Amerika, Israel, Austria dan negara kecil seperti Fiji, Papua Nugini, Nauru dan Tonga adalah penolak gencatan senjata. Negara Sekutu AS seperti Inggris, Jerman, Belanda, Kanada, Jepang, Korsel, Filipina justru abstain. 120 Negara mendukung gencatan senjata, 45 abstain dan 14 negara menolak. Gencatan senjata untuk jeda kemanusiaan.  Serangan brutal bombardir Israel yang menewaskan lebih dari lima ribu warga yang sebagian besar perempuan dan anak-anak merupakan kejahatan kemanusiaan. Ditambah dengan blokade makanan, air, listrik dan kebutuhan lainnya. Israel memang binatang berbaju manusia. Berkaki dua tetapi bertangan seribu. Tangan predator pencari mangsa. Zionis Israel adalah musuh umat manusia dan Iblis bertopi baja. Mengetuk-ngetuk kepala untuk mengosongkan otak dan jiwa.  Segera gencatan  senjata untuk jeda kemanusiaan sebagai realisasi resolusi. Buka perbatasan Mesir untuk pintu masuk bantuan. Pasukan perdamaian PBB mutlak dikirim untuk melindungi warga Gaza dari genosida. Hamas bukan pasukan yang mudah dibasmi, ia ada di akar rumput dan hati warga Gaza sendiri. Sudahi mimpi zionis untuk melakukan pengusiran. Justru Israel yang harus segera diusir dari tanah Palestina.  Gencatan senjata lalu fokus untuk Palestina merdeka. Inilah satu-satunya jalan bagi perdamaian itu. Hentikan kemunafikan negara adi daya yang ikut berpura-pura jadi manusia. Amerika harus memerdekakan diri terlebih dahulu dari penjajahan yahudi Israel. Bebaskan politik dan ekonomi Amerika dari sandera dan kepengecutan menghadapi Israel. Freedom from want and freedom from fear. Tidak perlu sesumbar palsu dengan freedom of religion and freedom of speech.  Bebaskan Palestina dan suruh angkat kaki Israel dari bumi Palestina.  Bersujud kepada Allah di Masjid Istiqlal dan bergerak menuju perjuangan untuk memerdekakan bangsa Palestina. Berkumpul di Monas satukan tekad melawan Israel sang binatang buas.  Free PALESTINE  and flee ISRAEL!  Bandung, 5 Nopember 2023

Gibran Gate dan Momentum Selamatkan Konstitusi, Batalkan UU Inkonstitusional: PT20, UU IKN, UU Cipta Kerja?

Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MK Gate, atau Gibran Gate, membuka kotak pandora. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik. Gibran Gate merupakan upaya Mahkamah Konstitusi memberi privilege kepada Gibran, keponakan Ketua Mahkamah Konstitusi, agar bisa dicalonkan sebagai wakil presiden, dengan cara diduga melanggar hukum pasal 17 ayat (5) UU tentang Kekuasaan Kehakiman, terkait konflik kepentingan dan kode etik. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, sekaligus pendiri dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pertama (2003-2008) merasa sedih. Kehormatan Mahkamah Konstitusi mencapai titik nadir, titik tergelap sepanjang masa keberadaannya. Peran Mahkamah Konstitusi begitu sangat vital bagi bangsa dan negara. Mahkamah Konstitusi sebagai garda utama, dan satu-satunya, penjaga dan penegak konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi harus diselamatkan dari tangan-tangan pengkhianat konstitusi, yang bisa menghancurkan bangsa ini melalui kejahatan Mahkamah Konstitusi. Gibran Gate hanya merupakan salah satu contoh. Gibran Gate merupakan wujud nyata aksi “kudeta” konstitusi dan wewenang DPR oleh Mahkamah Konstitusi. Selain Gibran Gate, banyak undang-undang yang diduga kuat melanggar konstitusi tetapi dibiarkan dan tetap diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak permohonan uji materi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pemohon tidak memenuhi legal standing. Kesedihan dan keprihatinan Jimly Asshiddiqie atas prahara “Gibran Gate” di Mahkamah Konstitusi harus dapat menjadi momentum penting untuk mengembalikan kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif independen penjaga Konstitusi. Reposisi fungsi Mahkamah Konstitusi harus diawali dengan penggantian sebagian atau semua sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, yang dapat memenuhi persyaratan seperti tertuang di pasal 24C ayat (5) UUD. Yaitu, memiliki integritas, berkepribadian tidak tercela, adil dan bersikap negarawan. Setelah Mahkamah Konstitusi dapat menjadi lembaga yudikatif yang independen dan mandiri kembali, silakan masyarakat mengajukan permohonan uji materi untuk undang-undang yang diduga melanggar konstitusi. Antara lain, undang-undang pemilu terkait ambang batas minimum pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen, undang-undang tentang Ibu Kota Negara (IKN), undang-undang Cipta Kerja, undang-undang kesehatan, dan lainnya. Semoga, dengan jiwa dan roh Mahkamah Konstitusi yang baru, undang-undang yang melanggar konstitusi dapat ditertibkan. Kalau terbukti presiden dengan sengaja membuat undang-undang dengan melanggar konstitusi, presiden bisa diminta pertanggungjawabannya. Semoga prahara “Gibran Gate” Mahkamah Konstitusi dapat menjadi momentum penegakan konstitusi. —- 000 —-

Jokowi Main Hukum Rimba, Anda Masih Keluar-Masuk Pengadilan?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  AWALNYA memang menyenangkan. Presiden Jokowi melakukan efisiensi birokrasi. Memangkas peraturan yang melambatkan pekerjaan. Semua orang tepuk tangan.  Dia batalkan sekian banyak perda provinsi dan perda kabupaten-kota. Terutama perda-perda yang dinilai menghambat investasi. Atau yang membuat ekonomi biaya tinggi.  Jokowi berjanji akan menegakkan keadilan. Dia bersumpah akan memperkuat KPK. Memberantas korupsi tak pandang bulu. Mengutamakan kepemilikan lahan untuk rakyat kecil, dan seterusnya. Tapi, apa yang terjadi? Jokowi yang semula bertekad menegakkan hukum dan menjalankan peraturan dengan tegas, bergeser jauh ketika kekuasaanya memasuki tahun kedua-ketiga.  Mulailah berlaku hukum tebang-pilih. Lihat-lihat siapa yang melanggar aturan. Kalau konglomerat dan orang-orang kuat, tidak masalah. Proyek reklamasi Teluk Jakarta melanggar berbagai peraturan, dibiarkan tanpa koreksi. Karena milik para taipan.  Begitu kepresidenan pertamanya mau berakhir, Jokowi ingin periode kedua. Di titik inilah Jokowi mencoba tindakan sesuka hati. Dia memulai petualangan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa.  Dia bisa dapat periode kedua dengan segala macam kontroversi. Banyak yang percaya bahwa Jokowi merampas kemenangan lawannya di pilpres 2019. KPU diduga kuat melakukan kecurangan. Kubu yang kalah membawa ke MK. Jokowi menang. Banyak yang percaya ini tulen praktik ukum rimba. Ada pula jejak penyalahgunaan Polri agar memihak Jokowi di pilpres 2019. Polisi menjadi timses Jokowi. Bukan rahasia lagi. Seorang Kapolsek di Garut, Jawa Barat, buka suara tentang instruksi untuk memenangkan Jokowi.  Memulai periode kedua, Jokowi merasa semakin enak di kursi presiden. Hukum bisa dikendalikan sesuai keinginan. Tidak ada yang berani menentang. Semua pejabat senior membebek. Jokowi memaksakan pembentukan Omnibus Law (OBL) Cipta Kerja. OBL dinyatakan melanggar konstitusi. Kalangan buruh memprotes. Karena OBL memihak pemodal, menindas pekerja. Hukum rimba semakin menancap. Bersamaan dengan itu, Jokowi mengebiri KPK. Lembaga antikorupsi ini pun menjadi tebang pilih.  Dalam spektrum yang lebih luas, penegakan hukum dan keadilan semakin parah. Pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap enam anak muda di KM-50, dipaksa menjalani proses hukum rimba. Pembunuhan ini diyakini terkait dengan penguasa level tinggi. Dalam proses KM-50, hukum rimba sangat mencolok. Semua lembaga negara bekerja sama rapi mengikuti panduan penerapan hukum rimba. Keseluruan proses di semua tahap terkesan dijalankan sesuka hati penguasa.  Contoh lain bukum rimba adalah kasus Harun Masikhu. Kader PDIP ini dengan entengnya dinyatakan menghilang. Tak bisa dicari. Pernyataan aparat keamanan, dan juga KPK yang ikut “mengejar” Masikhu, kemudian menjadi titah hukum yang berlaku. Yaitu hukum rimba.  Hampir dua tahun yang lalu, dosen UNJ Dr Ubedilah Badrun melaporkan ke KPK dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan anak Jokowi. Tetapi laporan itu tidak ditindaklanjuti hingga sekarang. Ini pun bisa dilihat sebagai contoh sesuka hati alias hukum rimba.  Sekarang ini para pendukung Jokowi mengeluhkan sepak-terjang Pak Presiden yang mau mengukuhkan dinasti keluarganya. Republik rasa kerajaan, kata para buzzer Jokowi sendiri.  Ada betulnya republik rasa kerajaan. Karena Jokowi semakin menjadi-jadi melakukan tindakan sesuka hati —tindakan hukum rimba.  Jokowi melakukan campur tangan alias cawe-cawe untuk menentukan siapa capres dan cawapres. Juga menentukan siapa yang berkoalisi dengan siapa.  Gibran Rakabuming diputus oleh MK bisa ikut sebagai cawapres. Sulit membantah bahwa Jokowi pribadi berperan melahirkan putusan ini. Inilah puncak hukum rimba di era Jokowi.  Sementara itu, rakyat biasa dan yang beradab tetap menghormati hukum positif nasional. Rakyat bertekad untuk ikut menegakkan keadilan. Mereka menyelesaikan sengketa di pengadilan. Mereka berperkara di ruang sidang. Rakyat terus setia menempuh proses peradilan yang ada. Sangat miris. Sekaligus geram. Kadang muncul pertanyaan: Jokowi main hukum rimba, kok Anda masih keluar-masuk pengadilan?[]

Menimbang Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Logical Fallacy dan Konsekuensi

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kejar target. Harus bekerja ekstra keras. Pemeriksaan pelanggaran kode etik sembilan hakim Mahkamah Konstitusi harus selesai 7 November minggu depan. Untuk memastikan pilpres 2024 terlaksana dengan baik, sesuai peraturan perundang-undangan dan konstitusi. Bravo. Pemeriksaan pelanggaran kode etik selesai sesuai target. MKMK akan membacakan kesimpulan atau putusan terkait pelanggaran kode etik pada Selasa depan, 7/11/2023. Masyarakat antusias menanti putusan MKMK. Apakah Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009? \"Iyalah,\" kata Jimly menjawab pertanyaan wartawan apakah Anwar Usman bersalah. https://nasional.tempo.co/read/1792281/anwar-usman-terbukti-bersalah-mkmk-umumkan-putusan-besok-selasa https://nasional.sindonews.com/newsread/1242583/13/anwar-usman-paman-gibran-terbukti-bersalah-jimly-cs-kantongi-bukti-bukti-1699006291 Pembuktian untuk ini memang tidak sulit. Karena pelanggaran kode etik ini begitu jelas dan sangat transparan. Kalau ternyata benar, MKMK memutuskan Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, pertanyaan berikutnya, apa yang akan terjadi dengan putusan MK No 90, yang memberi jalan kepada Gibran untuk bisa dijadikan cawapres. Apakah putusan kontroversial tersebut akan batal? Atau tetap berlaku? Kalau Anwar Usman terbukti bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, maka putusan MK No 90 yang diambil berdasarkan pelanggaran kode etik menjadi tidak sah, seperti diatur secara jelas di ayat (6) pasal yang sama: “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Apa arti “putusan dinyatakan tidak sah”? Artinya, putusan tersebut harus dianggap tidak ada secara hukum. Dengan kata lain, batal demi hukum. Artinya, kalau Anwar Usman bersalah melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009, maka putusan MK No 9 wajib dimaknai tidak ada secara hukum. Tetapi, ada yang berpendapat, menurut pasal 24C ayat (1) UUD, putusan MK bersifat final (meskipun tidak sah menurut UU!). Mereka berpendapat, putusan tidak sah pasal 17 ayat (6) UU No 48/2009 tidak bisa membatalkan pasal 24C ayat (1) UUD.  Pendapat seperti ini, bahwa putusan MK No 90 akan terus berlaku, karena bersifat final (menurut UUD pasal 24C ayat (1)), meskipun tidak sah secara hukum karena putusan diambil dengan cara melanggar UU, merupakan kesalahan berpikir yang sangat serius. Logical fallacy. Sesat pikir. Bagaimana bisa, UUD mempertahankan perbuatan melawan hukum? Ini jelas sebuah logical fallacy, atau sesat pikir, yang sangat serius. Pasal 24C ayat (1) UUD yang menyatakan putusan MK bersifat final harus dimaknai bahwa putusan MK tersebut diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga sah secara hukum, bukan berdasarkan tindakan melawan hukum. Kalau KPU juga berpendapat bahwa putusan MK No 90 tetap berlaku meskipun dinyatakan tidak sah oleh UU No 48/2009, sehingga KPU menetapkan capres dan cawapres pada 13 November yang akan datang berdasarkan  putusan MK No 90 yang dinyatakan tidak sah tersebut, maka niscaya akan terjadi konflik politik besar. Karena, di satu sisi putusan MK No 90 dinyatakan tidak sah, tetapi di lain sisi, putusan tidak sah tersebut dijadikan dasar untuk menetapkan capres-cawapres. Dalam hal ini, Indonesia bukan lagi menghadapi krisis konstitusi. Tetapi, Indonesia sedang menghadapi prahara estafet pembajakan konstitusi dari Mahkamah Konstitusi ke KPU. Suhu politik akan menjadi sangat panas. Masyarakat tidak bisa menerima putusan tidak sah dijadikan dasar untuk keputusan hukum penguasa. Masyarakat tidak bisa menerima pemerintah melakukan tindakan melanggar hukum. Kalau logical fallacy ini dipaksakan menjadi dasar keputusan penguasa, maka Indonesia akan chaos, bisa memicu pembangkangan dan perlawanan sosial. —- 000 —-

Ke Mana Arah Pemilu 2024

Oleh Dr. Anton Permana | Pengamat Geopolitik dan Direktur TDM Institute SEDARI awal proses penyelenggaraan Pemilu 2024 sebenarnya sudah banyak melahirkan keganjilan dan kontroversial. Dimulai dari penunjukan dan pemilihan para komisioner KPU nya di pusat, hingga prilaku moral dan beberapa keputusan/keputusan yang di lahirkan juga mengundang banyak tanda tanya publik. Dugaan bau aroma ada “campur tangan” kekuasaan istana di dalam penetapan komisioner KPU tersebut seakan terkolerasi dengan berbagai kebijakannya setelah menjabat. Dimulai dari figur, isu skandal pengakuan Ketua Partai Republik Satu Hasnaini yang videonya sempat viral. Lalu diskriminasi mana partai politik yang kolos verifikasi dan tidak. Partai yang cenderung bersebrangan dengan pemerintah, sulit sekali lolosnya dengan berbagai alasan. Seperti Partai Masyumi. Namun ada partai yang wujudnya jarang kita lihat tiba-tiba lolos seperti Partai Garuda. Terlepas apapun alasannya, namun itu fakta yang kita lihat saat ini. Tidak saja sampai di situ. Berbagai produk aturan PKPU nya juga banyak di pertanyakan para aktifis dan pegiat politik. Mulai dari hasil DPT, dimana banyak di temukan nama-nama ganda, yang tidak logis. Seperti yang di sampaikan aktifis Surabaya Agoes Maksum dalam sebuah tulisannya, di perkirakan ada 52 juta DPT bermasalah yang perlu di verifikasi kembali.  Proses pencoblosannya juga menimbulkan keanehan dan termasuk dalam lembaran kartu pemilih yang tidak ada lagi memperlihatkan photo para caleg hanya nama saja.  Di dalam daftar nama pemilih di KPPS nanti tidak lagi mencantumkan lengkap nama, NIK KTP, dan kewajiban kartu pemilih. Cukup pakai surket (surat keterangan) saja bisa. Ini sungguh sangat berbahaya karena bisa membuka pintu kecurangan masuknya pemilih siluman seluas-luasnya. Terakhir yang monumental itu adalah, di terimanya Gibran dalam proses pendaftaran Capres kemaren. Karena PKPU nya belum di rubah, dan putusan MK pun masih kontroversial sampai saat ini (tulisan ini di tulis). Rangkaian kisruh dan manuver politik ini kalau di gabung lagi dengan sirkulasi politik pencalonan dan adanya upaya upaya penjegalan terhadap calon tertentu, sungguh ini semua ibarat sebuah rangkaian aurora indah permainan politik yang tentu saja hanya bisa di lakukan oleh “tangan kekuasaan”. Artinya, istilah “cawe-cawe” yang di utarakan seorang Presiden yang sedang menjabat, bisa saja di artikan pemain utama dari semua skenario ini. Karena, hanya Presiden lah yang “berpotensi” melakukan semua itu dengan power kekuasaan yang dia miliki. Apalagi, dalam dunia politik segala kemungkinan bisa saja terjadi. Selanjutnya. Setelah upaya perpanjangan masa jabatan Presiden kandas di tengah jalan. Upaya membangun estafet kekuasaan bergaya “dynasti” juga sedang dimainkan. Meski menabrak panji suci konstitusi.  Majunya Gibran sebagai Cawapres nya Prabowo, tidak akan masalah kalau, secara gentleman Jokowi selaku Presiden dan Ayah kandung dari Gibran sebagai Cawapres mundur dari jabatan Presiden. Itu baru akan fair dan bermartabat. Atau, majunya Gibran sebagai Cawapres memang sesuai aturan hukum yang berlaku tidak mesti melalui akrobatik hukum menggunakan pintu putusan MK yang notabonenya salah satu hakim yang memutuskan dan sekaligus ketua MK nya juga adalah pamannya Gibran selaku Cawapres. Artinya adalah, permasalahan utama dari pencalonan Gibran sebagai Cawapres ini bukan karena “sentimen” personal individunya. Tetapi karena ada aturan hukum, azas, norma dan etika pemerintahan yang di labrak dan di kangkangi atas nama kekuasaan. Anehnya lagi, semua hal itu seakan di amini, oleh para tokoh, negarawan, guru besar hukum, bahkan tokoh aktifis yang terkenal idealispun akhirnya lidahnya pun “patah-patah” berputar balik mencari kata-kata pembenaran. Karena saat ini sedang berada dalam satu kapal koalisi untuk menuju satu tujuan pulau indah kekuasaan? Jadi wajar, masyarakat akhirnya mulai bertanya. Kemana sebenarnya arah Pemilu 2024 ini ? Betulkah akan ada sebuah Pemilu/Pilpres bisa terselenggara secara jujur dan adil di tengah berbagai polemik dan skandal politik seperti ini? Apakah bisa, sebuah penyelenggaraan Pemilu, dimana sejak awalnya sudah terjadi kerusakan, skenario politik partisan, dan terbaca sebuah “niat” untuk berbuat curang, akan bisa melahirkan pemimpin yang memang sesuai dengan pilihan rakyat? Atau sebaliknya. Ada pihak dan kelompok yang sebenarnya tidak ingin ada Pemilu, karena begitu berat dan cintanya dengan kekuasaannya saat ini sehingga tak mau melepaskannya? Seharusnya, semua pertanyaan diatas bisa di jawab oleh institusi dan aparat Keamanan, Pertahanan negara dan inteligent. Namun, apakah bapak/bapak aparat kita juga steril dari intervensi tangan kekuasaan politik? Karena, jabatan yang mereka dapatkan, sudah jadi rahasia umum juga karena kekuasaan politik yang menunjuknya? Sungguh kondisi bangsa kita saat ini sangat dilematis menuju alieanis. Demokrasi yang kita harapkan sebagai proses perekrutan kepemimpinan nasional yang baik berdasarkan suara rakyat, saat ini sudah di rusak oleh ambisi kekuasaan suatu kelompok saja. Reformasi yang 25 tahun yang lalu kita perjuangkan memberikan angin segar perubahan yang lebih baik, sekarang juga sudah kandas di tengah jalan. Permasalahan korupsi, nepotisme, kedaulatan, krisis ekonomi, dan sikap otoritarisme lebih parah lagi saat ini di banding masa orde baru.  Hutang menggunung, harga sembako semakin mahal, sumber kekayaan alam bocor keluar, dan keharmonisan dan stabilitas sosial politik amburadul saat ini.  Akhirnya, semua kembali kepada masyarakat Indonesia itu sendiri. Apakah masih tidur dan diam melihat kondisi bangsa kita saat ini ? Pemilu/Pilpres 2024, adalah salah satu cara saat ini untuk memilih kepemimpinan nasional selanjutnya. Yang tentu kita harapkan lebih baik dan berpihak kepada rakyat.  Dan untuk itulah mari kita semua bersama menjaga agar proses Pemilu ini tetap berjalan, kita lawan setiap upaya prilaku curang dari pihak siapapun, mari bersuara lantang dan kumandangkan bahwa kedaulatan itu masih berada ditangan rakyat. Semua harus berani, kompak dan serempak. Karena kalau tidak ? Maka hak hak kita masyarakat akan di rampas dan di permainkan pihak atau kelompok politik oligarkhi yang jelas sangat haus akan ambisi kekuasaan untuk terus berkuasa mengeruk sumber kekayaan negeri ini. Wallahu’alam. Batam, 04 November 2023.