RASIO ERICK THOHIR, Tolok Ukur Elkan Baggott
Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior
MANUSIA lebih kompleks daripada angka. Manusia bukan matematika: 2+3=5. SDM Timnas juga bukan angka.
Elkan Baggott, Jay Idzes, Shin Tae Yong, atau Ketum PSSI Erick Thohir, satu sama lain punya dimensi rasionalitas yang berbeda.
"Terbuangnya" salah satu generasi awal diaspora (Elkan Baggott), adalah satu dimensi. Dimensi yang sebetulnya tak perlu terjadi, bila informasinya terbuka di ranah publik. Pertanyaannya, Baggott terbuang atau dibuang oleh STY?
Hal yang diketahui publik, Baggot tidak datang memenuhi panggilan "play off" (tiket terakhir) STY, melawan Guinea.
Alih-alih mengejar slot ke-24, setelah Timnas U-23 gagal menempati posisi tiga besar Piala Asia U-23 (Qatar), Indonesia dikalahkan oleh Tim yang tidak istimewa, Guinea.
Sejak itu, pemain Ipswich Town dengan bakat besar ini, tak pernah lagi menjadi pilihan "coach" Shin Tae Yong (STY). Keberadaan Elkan Baggott, bukan lagi menjadi hal yang luar biasa (extraordinary) bagi STY.
Publik pasti terheran. Keheranan makin bertambah, setelah muncul isu Elkan Baggott akan melepaskan kewarganegaraan Indonesia-nya. Publik sepertinya tak rela Elkan Baggot pergi. Baggott tidak punya kesalahan fatal. Indonesia akan rugi?
Asosiasi Sepak Bola Thailand (FAT), pernah sangat menginginkan Baggot. Baggott yang lahir di Thailand, adalah Investasi PSSI yang tak boleh terbuang. Dia memilih Indonesia, bukan Thailand. Satu bentuk keyakinan, Indonesia mesti dibelanya. Tak mungkin Baggot menolak panggilan di Timnas Indonesia.
Pemain belakang eksplosif dalam Timnas Indonesia ini, tentu mempunyai alasan fundamental, mengapa tak antusias kembali ke Timnas Indonesia.
Kabar satu sisi mencuat, karena pelatih Shin Tae Yong tak mau memanggilnya. Apa betul? Atau Baggot-nya yang tak ingin kembali memperkuat Indonesia, bila pelatihnya masih STY?
Tanpa titik desimal, tak ada yang bisa diukur. Apakah STY-nya yang tak lagi menginginkan Baggott, atau Baggot-nya yang sudah enggan berada di bawah kendali Shin Tae Yong.
Bisa jadi, PSSI melihat "case" Baggott sebagai "benchmarking" (tolok ukur) peringatan dini, bubarnya para diaspora? Manajemen PSSI mungkin telah mengumpulkan informasi dari Jay Idzes dkk, tentang masa depan Timnas bila 'coach' STY masih menukangi mereka.
Kisah Mees Hilgers yang beralasan cedera, saat dipanggil menjalani "matchday" ke-5 melawan Jepang. Lalu, Kevin Diks, mengatakan cedera dan pulang ke Belanda, jelang "matchday" ke-6 melawan Arab Saudi. Adalah dua misteri yang hanya PSSI dan sang pemain, yang tahu.
Pilihan antara meminggirkan STY, dengan perginya diaspora (pemain naturalisasi) adalah dua "choice" yang sulit bagi Ketua Umum PSSI Erick Thohir.
Keputusan seperti "petir di siang bolong itu, tak pernah disangka oleh mayoritas publik, yang "terlanjur sayang" pada STY.
Solusi Erick Thohir, dengan melahirkan polemik di tengah optimistis jelang lawan Aussie (Australia) dan Bahrain, seperti meredupkan antusiasme publik.
Namun, "cover both side" saya mengatakan. PSSI jauh lebih tahu, keputusan apa yang mesti diambil. Sikap mengakhiri kerjasama dengan STY, sudah dikalkulasi "lost" dan "benefit"-nya. Tak ada yang keliru!
"Semilir angin", cerita tersembunyi kekalahan Timnas Indonesia vs China (1-2) di "matchday" ke-4, dan kemenangan 2-0 (Indonesia-Arab Saudi/'matchday' 6), makin menguatkan dugaan. Ada persoalan psikologis antara skuad diaspora dengan 'coach' Shin Tae Yong.
Di satu sisi, banyak pelajaran disiplin dan nilai nasionalisme yang diajarkan STY, dalam membangun Timnas Indonesia. Kenaikan hampir 50 level di rangking FIFA (2019-2025), itulah jasa baik STY kepada kita.
Hanya saja pemikiran manusia (pemain), jauh lebih independen ketimbang angka-angka (statis). Lebih sulit diukur berdasarkan ekuitas, dan marjin laba dalam konsep 'trading'.
Pemain adalah ekuitas (modal) kita. Sementara marjin adalah kemenangan dan keuntungan.
Kemenangan, atau kekalahan dalam satu "matchday" (Kualifikasi Piala Dunia), acap dipengaruhi suasana kebatinan para pemain.
Peringatan dini, mumpung masih ada waktu 2,5 bulan, PSSI melakukan langkah ekstreem. Mengganti Shin Tae Yong, sebelum "matchday" ke-7,8,9, dan 10.
Tak usah terlalu khawatir dengan "perginya" Shin Tae Yong. Berpikirlah seperti seorang "imajiner". Pelatih baru Timnas Indonesia: Patrick Kluivert, atau Louise Van Gaal, akan punya resep lebih baik dari STY.
Kemampuan Erick Thohir melihat STY, menganalisis beberapa skenario. Akhirnya memberinya pilihan, Shin Tae Yong harus pergi. (***).