OPINI
NDas Kapital Pak Prabowo
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BUKU Karl Marx berjudul \"Das Kapital\" berisi kritikan terhadap kapitalis, pemilik modal, atau kaum borjuasi. Mereka adalah majikan yang mengeksploitasi buruh. Perlawanan kaum proletar meningkat dari sosialisme hingga komunisme. Ajaran Marx sendiri difahami dan diikuti dan mewujud sebagai Marxisme. Masih satu rumpun dengan leninisme, sosialisme dan komunisme. Das Kapital dengan editor Friedrich Engels memiliki subtittle \"Kritik der Politischen Oekonomie\" yang melihat hubungan kuat ekonomi dengan politik. Para kapitalis itu dimanja oleh kekuasaan politik. Kapitalisme merusak tatanan kehidupan bersama. Elit kaya membangun kesenjangan permanen. Akibatnya rezim kapitalis senantiasa dicurigai bahkan dimusuhi oleh rakyat. Marxis menciptakan budaya konflik antara penguasa dan pemilik modal dengan kelas bawah tertindas. Jokowi membangun pemerintahan materialisme sebagai rezim investasi. Semua elemen negara harus menghamba pada paradigma investasi ini. Ekonomi menjadi sokoguru pembangunan. Politik, hukum, budaya, moral dan agama pun harus mengalah pada prioritas pembangunan ekonomi. Kesejahteraan rakyat jadi dogma walaupun tidak dapat menutup fakta bahwa yang sejahtera itu adalah kapitalis, kaum borjuasi semata. \"Ndasmu\" ucapan tak beradab seorang Presiden mengarah pada pihak yang mengkritisi hubungan erat Prabowo dengan Jokowi. Prabowo minta tidak dipisahkan tetapi menafikan pengendalian Jokowi atas dirinya. Ia mengakui kelanjutan namun mandiri dalam omon-omon. Bias dengan pernyataan bahwa Jokowi adalah guru politik. Ketika Jokowi melalui proyek Rempang, IKN, Jalan Tol, PIK 2, dan pembangunan infrastruktur lain menampilkan diri sebagai rezim investasi, maka Prabowo sebagai pelanjut ternyata sama saja. Rezim investasi, rezim materialisme, rezim kapitalisme. Nah, ndasmu itu ndas kapital. Isi ndas hanya duit dan duit, kapital, investasi, pinjaman luar negeri, komisi atau mungkin upeti. Danantara adalah bagian \"Ndas Kapital\" pengumpul kekayaan untuk kaum kapitalis dan imperialis. BUMN yang sudah diperas habis kini diperalat (orang-orang) negara. Etatisme yang biasa menjadi ciri komunisme melekat dengan kapitalisme. Sukses Sovereign Wealth Fund di berbagai negara membutuhkan SDM yang amanah dan iklim usaha yang sehat. Dan ini yang justru menjadi masalah besar bangsa Indonesia. Bangsa yang sedang dipimpin oleh para maling. Hutang kasus Jokowi belum satupun dilunasi, Prabowo sudah siap-siap dengan kasus baru. Dana 14 ribu trilyun yang dikelola bukan uang kecil meski tahap awal katanya 300 trilyun. Jokowi dulu pamer sudah punya uang di kantong 11 ribu trilyun. Rupanya Prabowo dan Jokowi sedang berlomba beromon-omon banyak duit. Memang keduanya \"Ndas Kapital\" tidak penting masalah budaya, hukum, apalagi moral dan agama. Omnibus Law, BRIN dan kini Danantara adalah penyederhanaan dan penyatuan kendali yang berbasis dari arogansi \"Ndas Kapital\". Minta-minta diawasi hanya menambah omon omon saja selama mental perampok dan penindas belum dibenahi. Nah, \"Ndasmu !\". Ndas Kapital, Pak Prabowo. (*).
Sensor Politik Prabowo Macet Total
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih KABINET Merah Putih mestinya bukan dan tidak melakukan RETRET (khalwat di atas Gunung Tidar), tetapi sensor politik Prabowo harus melakukan RESTART. Sejarah kelam sudah terjadi ketika Madeleine Albright mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Ketua National Democratic Institute (NDI), mengacak - acak mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002. Negara Indonesia berubah total menjadi negara liberalisme, kapitalisme dan individualisme sesuai keinginan AS. Untuk mewujudkannya, sejak itu Indonesia harus dikawal ketat harus melahirkan Presiden jongos untuk melaksanakan konstitusi negara yang sudah sempurna total menjadi negara kapitalis. Datanglah ke Indonesia Menlu Condoliza Rice serta penggantinya Hillary Clinton, dua-dua nya berkunjung ke Solo dengan rekayasa menyusun jebakan penangkapan Abu Bakar Baasyir yang di tuduh sebagai gembong teroris. Megawati menolak terlibat dan melakukan rekayasa tersebut akhirnya karir politiknya dihambat dan presiden digantikan SBY. SBY naik sebagai Presiden ambil posisi memberikan instruksi kepada Walikota Solo untuk membantu CIA dalam operasi penangkapan tersebut, bermarkas di Kota Solo dengan pendampingan Walikota Solo JOKOWI. SBY dengan stigma sebagai budak liberalisme UUD 2002, AS mempersiapkan Jokowi diproyeksikan meneruskan perannya sebagai budak Neo Liberalisme menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014. Maka mulai saat itu AS men-setting \"road map\" Jokowi dari hanya sebagai Walikota, menuju RI 1. Sejak itu AS sudah menugaskan mantan Jenderal LBP dan HP mendampingi Walikota Solo ini. LBP melakukan penyamaran \"modus\" pura-pura bekerja sama dalam bisnis mebel keluarga Jokowi. Meskipun akhirnya Jokowi setelah jadi Presiden “dibajak” Megawati untuk lebih loyal ke China. Dan China kemudian memanfaatkan Jkw untuk target keberhasilan OBOR dan BRI. Megawati sekalipun pada tahun 2004 dicegat AS tetapi pada tahun 2014 dengan PDIP nya masuk juga dalam jebakan mengusung Jokowi sebagai kandidat dan presiden RI pada Pilpres 2014. Sekalipun saat itu Taufiq Kiemas (suami Megawati) melarangnya karena tidak layak PDIP mengusung Jokowi dan dan ada tanda-tanda sifatnya sebagai pembohong dan penipu Inilah awal tragedi politik PDIP yang memilukan dan awal Ibu Megawati masuk perangkap tipuan Jokowi yang dalam posisinya sebagai Presiden dalam kawalan dan remote Oligarki dan CIA. Presiden Joko Widodo sejak menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) One Belt One Road (OBOR). KTT OBOR pada 14-15 Mei 2017 dan Pertemuan KTT ke 2 berlangsung selama 3 hari mulai Kamis 25 April 2019 telah sempurna menjadi pelayanan RRC dan budak CIA ( AS ). Sejarah berlanjut pada pada saat Presiden Prabowo Subianto, meresmikan peluncuran Dana Anagata Nusantara ( Danantara ) pada Senin, 24 Februari 2025, muncul figur SBY, Jokowi mengapit Presiden Prabowo. LBP di posisikan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Ini sinyal Danantara tetap dalam kawalan tokoh pro UUD 2002 (tokoh liberal dan kapitalis ). Sampai di sini cukup jelas dan terang benderang sensor kehati-hatian Presiden Prabowo dalam menjaga dan mengawal negara sesuai amanat Pembukaan UUD 45 macet total. Negara dipastikan akan semakin gelap dan cita - cita, keinginan dan harapan negara segera kembali (RESTART ) ke Pancasila dan UUD 1945, di tutup oleh (RETRET) Presiden Prabowo sendiri. (*).
Menteri ATR Terkapar Menghadapi Aguan, Sertifikat Milik Aguan di Pantura Tangerang Batal Dicabut
Oleh Ida N Kusdianti | Sekjen FTA HARAPAN rakyat Banten terhadap Pemerintahan Prabowo untuk mempertahankan hak dan kedaulatan wilayah yang dicaplok oleh Aguan dkk, sepertinya sulit dicapai. Rakyat Banten harus menyusun kekuatan dan persatuan untuk melawan dengan caranya sendiri, apalagi Presiden Prabowo sampai hari ini masih bungkam tak bernyali menghadapi Aguan sang penjajah tanah pesisir Banten. Menteri ATR Nusron Wahid bak kaum Sofis yang hidup di zaman 400 SM. Dengan retorika meyakinkan pada rakyat Banten pada saat pencabutan SHGB bulan lalu, Nusron seolah memberikan angin segar bagi perjuangan rakyat Banten. Tetapi pada akhirnya Nusron membajak hak-hak rakyat dan membantu oligarki untuk mencaplok jengkal demi jengkal tanah pesisir Pantai Utara (Pantura) Tangerang tersebut. Artinya, terkait konflik lahan atau sengketa tanah di Pantura Tangerang, menunjukkan kapasitas Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang lemah. Ia tidak berhasil melawan kekuatan atau pengaruh dari seseorang atau kelompok yang disebut Aguan. Bagaimana bisa beberapa sertifikat tanah milik Aguan di Pantura Tangerang batal dicabut. Aguan tampaknya memiliki kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar daripada pemerintah bahkan undang-undang, Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan antara lain: - Apakah Aguan menjadi monster bagi penegakan hukum di Indonesia?- Mengapa Menteri ATR tidak berhasil melawan Aguan?- Apa dampak dari kasus ini terhadap masyarakat terutama rakyat Banten?- Apakah ini akhir dari hilangnya kedaulatan NKRI di tangan oligarki?- Apa pemerintah tidak berpikir jika rakyat marah tak ada satu kekuatanpun yang mampu mencegahnya?- Apakah Ini tanda dimulainya perang antar-etnis karena kerakusan Aguan dkk dengan PIK 1, PIK2 dan pencaplokan di banyak wilayah di Indonesia? Perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat terkait dicabutnya pembatalan sertifikat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid. Jika Menteri ATR berpihak pada Aguan dkk dengan dalih yang dibuat-buat maka, Forum Tanah Air mengecam dan akan terus berdiri tegak berjuang bersama rakyat Banten sampai terwujudnya rasa keadilan bagi rakyat kecil. Dengan demikian, perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat karena pencabutan pembatalan sertifikat oleh Nusron Wahid selalu Menteri ATR. Dengan keputusan ini bisa dipastikan bahwa Pemerintahan Prabowo tidak berani melawan Aguan dkk. Jika kebenaran dan keadilan terus dinistakan, jangan salahkan rakyat mengambil langkah dan jalannya sendiri. Jika Presiden Prabowo tak mampu menghadapi Aguan dkk, biarkan rakyat Banten bertindak dengan kekuatan yang dimiliki. #Banten Melawan Aguan#Mentri ATR Masuk Angin#Macan Asia Terkapar Dibawah Pagar Laut#ForumTanahAir#FTAFrorBrighterIndonesia Rawe Rawe Rantas Malang Malang Putung, Rakyat banyak akan pertahankan bumi Banten dari penjajahan Aguan, sebagai bukti kecintaan kami pada Bumi Pertiwi (*).
OPA Berjalan Nagakrasi Semakin Kokoh
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan OPA atau Operasi Penyelamatan Aguan tampaknya sedang berjalan terbukti bahwa sertifikat pagar laut milik perusahaan Aguan menurut Menteri \"gagah\" yang kemudian \"melempem\" Nusron Wahid ternyata batal dicabut. Sementara Bareskrim Mabes Polri menyatakan ketidakterlibatan perusahaan Aguan dan Antoni Salim baik dalam pagar laut maupun SHGB atau SHM. Netizen berkomentar \"sudah diduga\". Dalam kasus terkait PIK 2 ini betul terasa ada benturan kepetingan rakyat dengan penguasa dan pengusaha. Yang kena sanksi hukum cukup asal ada saja, ecek-ecek, bukan penentu apalagi investor atau regulator. Pencabutan pagar laut belum tuntas, SHGB tidak menyentuh inti, PSN \"masih dievaluasi\", akhirnya proyek PIK 2 harus jalan terus. OPA yang sukses menjadi simbol bahwa negara telah kalah oleh cukong, kalah oleh naga-naga, kalah oleh cina jahat. Negara kerakyatan hanya narasi dalam konstitusi, negara hukum menjadi pemanis untuk sambutan-sambutan, negara bermoral sudah dibuang ke keranjang sampah, negara Pancasila semakin jauh dari nilai-nilai perumusannya. 9 Naga, 10 Naga, dan seterusnya tumbuh beranak pinak. PIK 1, PIK 2, dan seterusnya semakin mengokohkan kedigjayaan pemilik uang. Pemerintah menempatkan diri sebagai jongos atau abdi dalem. Melindungi dan memuliakannya. Mengerahkan aparat untuk balas jasa atas aliran cuan ke kantong-kantong pribadi. Suap menjadi mainan sehari-hari. Naga telah mencengkeram Garuda. Perisai di dadanya semakin tercabik-cabik. Disayat oleh kuku-kuku tajam Naga. Garuda sebagai lambang demokrasi sudah tak berbentuk lagi, diubah menjadi Cuankrasi atau Nagakrasi. Dari Naga, oleh Naga, untuk Naga. Dari Cina oleh Cina untuk Cina. Kekuatan global Republik Rakyat Cina menjadi kiblat bisnis, budaya maupun politik. Bahaya di depan mengancam bangsa Indonesia yang katanya merdeka. Seperti dahulu VOC memulai interaksi dengan dagang, bermitra, lalu berkuasa. 350 tahun, kok bisa. Minoritas menjajah mayoritas. Rakyat Indonesia dimiskinkan dan dipinggirkan. Para kolaborator atau penghianat berkeliaran dan hidup sejahtera. Cukup lama untuk membuat rakyat melawan dan berontak. Kini penjajahan itu tidak boleh terlalu lama. Naga tidak boleh terus menerus menguasai dan memperalat pejabat atau aparat. Kekuasan Naga harus dilawan, rakyat memang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Berontak adalah pilihan. Dimulai dari desakan agar aparat membongkar patung Naga PIK 2 yang menjadi lambang dari Cinaisasi, kolonialisasi, dan penggerusan demokrasi. Pagar laut dan sertifikasi tidak terkait Aguan dan perusahaannya. Bareskrim dengan tergesa-gesa mengumumkan tanpa pemeriksaan seksama. Menteri ATR tidak jadi mencabut Sertifikat perusahaan Aguan. Semua takut Aguan. Presiden \"ndasmu\" juga \"ngajedog wae\" tidak sedikitpun berani menyentuh Naga. Operasi Penyelamatan Aguan (OPA) berjalan. Sukses OPA memperkokoh Naga. Negara Demokrasi hanya menjadi pelajaran untuk anak-anak di ruang kelas sekolah. Praktek politik yang berjalan adalah Nagakrasi dan itu semakin kokoh saja. Nagakrasi itu modus dari kejahatan politik anti konstitusi dan ideologi. Menyuburkan kolusi dan korupsi. Tidak perlu mengejar sampai antartika, penjahat negara ada di depan mata.Dari Naga oleh Naga untuk Naga. Indonesia benar-benar dalam bahaya. (*)
Ndhasmu Lebih Rendah dari Singa dan Monyet
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih FOTOGRAFER Evan Schiller dan istrinya, Lisa Holzwarth punya minat yang besar mengamati kehidupan hewan-hewan liar, khususnya harimau, singa dan hewan besar lainnya. Di sebuah wilayah daerah Selinda Botswana utara, mereka menemukan kerumunan monyet sebanyak 30 sampai 40 di semak-semak. Keriuhan itu tampaknya dipicu oleh kedatangan dua ekor singa betina. Dengan segera, para monyet berlarian menyelamatkan diri. Namun malang salah satu monyet yang menggendong anaknya tertangkap rahang singa betina. Anak monyet itu terus berpegangan erat di tubuh ibunya yang nyaris sekarat. Anak monyet malang mencoba melarikan diri dari bahaya serangan singa dengan berusaha memanjat pohon, tetapi ia tak punya cukup kekuatan. Melihat hal itu perhatian sang singa betina berubah. Ia melepaskan ibu monyet dan mendatangi anak monyet yang ketakutan. Sang singa mengelus lembut bayi monyet yang ketakutan diambilnya dengan mulutnya dan diajaknya pergi. Lalu dia duduk dengan bayi monyet di antara dua kakinya. Bayi monyet tersebut merasa aman dan nyaman. Tiba-tiba dua ekor singa jantan mendekati singa betina yang sedang berduaan dengan bayi monyet. Secara mengejutkan, singa betina merasa terganggu dan mengusir secara agresif kedua singa jantan yang dianggap telah mengganggunya. Di tengah kekacauan ini, monyet laki-laki besar yang ternyata ayahnya sedang menunggu di atas pohon turun untuk menyelamatkan anaknya ke tempat yang aman dan bayi monyet kecil sekarang aman di pelukan ayahnya. Kisah nyata ini menjadi pelajaran ( ibrah ) dan renungan manusi bahwa kedua hewan tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan etika dan moral, tetapi oleh Tuhan menganugerahkan Singa di beri rasa belas kasih dan Monyet di beri kekuatan berjuang untuk menyelamatkan anaknya apapun resikonya. Manusia berwatak hewan, mereka hilang untuk bisa hidup bersama saling mengasihi, menghormati, menghargai dan saling melindungi, berubah menjadi hewan liar saling memangsa dan membunuh. Bagaimana bisa terjadi seorang Presiden tidak bisa melindungi rakyatnya, di depan Ndhasmu dan Matamu. Naga Besar sedang memangsa rakyatmu kaum pribumi. tidak bisa melindungi bahkan memfasilitasi Naga Besar silahkan siapa yang ingin diusir, dimangsa sesukamu. Pemimpin dungu, kejam dan sadis, harus belajar dari \"Singa\" yang memiliki belas kasih, dan harus belajar dari \"Monyet\" yang memiliki tanggung jawab melindungi keselamatan anak - anaknya apapun resikonya. Tak ada gunanya apapun jabatanmu sebagai Presiden, Menteri, kalau sudah jadi badut Oligarki, watak dan tabiatnya akan berubah menjadi hewan liar, tidak bisa melindungi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, \"Ndhasmu\" lebih rendah dari Singa dan Monyet. (*)
Jokowi Adu Domba Prabowo dan Megawati
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI HAMPIR bersamaan, Jokowi melempar bom atom politik ke Prabowo dan Megawati. Ledakan pertama yang dahsyat, Prabowo terancam lengser dari kursi presiden yang baru seumur jagung. Ledakan kedua yang juga tak kalah brutal, Sekjend PDIP menjadi tahanan KPK. Perayaan ulang tahun partai Gerinda benar-benar menjadi trigger dari sebuah konspirasi jahat yang langsung menohok Prabowo dan Megawati. Berbalas pidato yang menjadi “psy war” antara presiden terpilih dan mantan presiden itu, mengawali momentum pecah kongsi dan bulan madu keduanya. Dimulai dengan pidato bersayap dan tendensius Jokowi, “Tak ada presiden yang paling kuat di dunia selain Pak Prabowo”. Berlanjut Jokowi mengatakan “Buktinya sampai hari ini tak ada yang berani mengkritik Pak Prabowo”. 7- Spontanitas Prabowo mengkounternya dengan narasi “Kemenangan pilpres 2024 karena didukung Bapak Jokowi”. Selanjutnya, keluar pernyataan teriak Prabowo “Hidup Jokowi, Hidup Jokowi, Hidup Jokowi” yang kontroversial dan tentu saja berdampak kemana-mana. Kemudian tidak berselang lama, publik disuguhkan keriuhan penahanan Sekjend PDIP-Hasto Kristiyanto oleh KPK. Kedua kejadian itu layak dinobatkan sebagai peristiwa “politic of the year”yang beririsan dan berkelindan dengan sosok Jokowi, Prabowo dan Megawati. Paripurna friksi dan kecenderungan konflik tiga pemimpin paling berpengaruh di republik ini. Jokowi mulai mendongkel Prabowo sembari memanfaatkan Megawati yang hubungannya sudah lama berjalan tak harmonis. Jokowi terendus melakukan “kiling me softly” kepada Prabowo. Jokowi dengan pidatonya tersebut seperti sedang menjadikan Prabowo sebagai umpan yang matang. Provokasi Jokowi itu kemudian dibalas Prabowo yang menjadikan Prabowo masuk perangkap Jokowi. Hasilnya, demonstrasi besar-besaran dan masif dari mahasiwa dan masyarakat sipil menerjang Prabowo. Kecaman publik, pembunuhan karakter dan Prabowo terancam lengser dari kursi presiden (kudeta). Sisi lain, Jokowi juga menunjukan kelihaian dan kelicikannya, dengan menjadikan kader strategis PDIP itu menjadi pesakitan KPK. Tujuannya tak lain membangun permusuhan dan kebencian PDIP terhadap kepemimpinan Prabowo sebagai presiden dan kepala pemerintahan yang bertanggungjawab terhadap proses hukum Sekjend PDIP. Bagi Jokowi ini keberhasilan seperti sedang melakukan “sekali tepuk dua nyamuk jatuh”. Jokowi tampaknya berusaha keras membuat “fait accompli” terhadap Prabowo dan Megawati. Dengan harapan saling serang dan menjatuhkan antara Prabowo dan Megawati. Ini ditenggarai sebagai skenario busuk Jokowi dalam memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden pengganti Prabowo. Akankah rakyat termasuk di dalamnya Mahasiswa, Prabowo dan Megawati menginsyafi peristiwa yang demikian?. Mampukah semua entitas politik dan gerakan massa aksi menyadari sepenuhnya konstelasi dan konfigurasi politik tensi tinggi ini?. Mungkinkah Jokowi tetap berjaya memuaskan ambisi dan nafsu berkuasanya?. Atau sebaliknya, politik adu Domba Jokowi terhadap Prabowo dan Megawati menimbulkan serangan paling mematikan kepada Jokowi. Mari kita tanya pada Garuda yang patah sayapnya dan Banteng yang terluka. (*)
Mahasiswa Mulai Mereaksi 100 Hari Omon-omon
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKIPUN Prabowo pernah terserang stroke semoga tidak berpengaruh pada pola pengambilan kebijakan politiknya dalam menunaikan jabatan sebagai Presiden. Jabatan yang telah diimpikannya bertahun-tahun. Dapatkah ia konsisten pada sumpah untuk berbuat demi rakyat bukan kepentingan diri atau kroni? Kebijakannya tidak jelas seperti mengikuti naluri saja, mudah marah seperti orang dengan kekuasaan besar di tangan, bawahan enak ditunjuk-tunjuk, namun ciut nyali menyebut orang yang ditakuti. Jokowi, misalnya. Sangat hati-hati untuk tidak menyinggung persaannya. Bahkan dipuji-puji. Ini bukan strategi, tapi fakta dari ciut nyali. Rekor baru pecah, Presiden dengan usia jabatan baru 100 hari sudah didemonstrasi. Mahasiswa berbagai kota mengkritisi kebijakan Prabowo. Orang lingkarannya membela bahwa ini akibat kesalahan informasi atau miskomunikasi. Tetapi itu alasan sumier, nyatanya adalah pemerintahan Prabowo memiliki masalah. Lebih banyak omon-omon atau terlalu gede omong ketimbang bukti nyata. Foto Prabowo dan Gibran dibakar, terselip juga pembakaran foto Mayor Teddy yang nampak semakin aktif memfungsikan diri sebagai \"orang berpengaruh\". Melengkapi \"duo bocil\" dalam pemerintahan Prabowo, yaitu G&T Gibran dan Teddy. Tampilan komplit dari Teddy mantan ajudan, Sekretaris Kabinet, hingga Teddy Bear sang boneka mainan lucu itu. Tampilan artis juga. Dipicu oleh teriakan \"hidup Jokowi\" dan \"Ndasmu\" yang memberi pesan bahwa Prabowo itu tak bisa dipisahkan dariJokowi, membuat harapan untuk menjadi antitesis atau mengubah pola pemerintahan terdahulu pupus sudah. Dengan pidato maka keajegan ikut goyah. Meledak-ledak namun kehilangan arah. Potensi blunder besar saat pidato di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Mahasiswa menyebutnya Indonesia gelap. Tidak menjadi terang, bahkan ada celetukan habis gelap terbitlah gelap gulita. Prabowo dalam 100 hari kekuasaannya tidak mampu membuat fondasi yang kokoh untuk kemajuan ke depan. Kebijakan efisiensi beradu dengan bangunan potensi korupsi, pemangkasan pun berpadu dengan penggendutan. Menjadi bahan tertawaan. Gerakan aksi mahasiswa akankah membesar ? Tergantung sikap Prabowo. Jika represif, maka dipastikan akan membesar dan membuka peluang Prabowo tumbang, tetapi bisa pula diredam jika ada langkah pembuktian seperti reshuffle Menteri titipan Jokowi, cabut PSN PIK 2, beri sanksi Aguan atas berbagai pelanggaran, keluarkan Perppu Pimpinan KPK, ganti Kapolri, hingga mempersilahkan penyelidikan dugaan kolusi, korupsi dan nepotisme Jokowi. 100 hari omon-omon telah menimbulkan reaksi. Prabowo jangan merasa telah mendapat mandat penuh rakyat, banyak rakyat meyakini kursi kepresidenannya didapat dengan cara curang. Prabowo Gibran lho, bukan sendirian. Jadi sesungguhnya yang dikritisi bahkan dilawan oleh mahasiswa dan kekuatan oposisi lainnya saat ini adalah koalisi Jokowi-Gibran-Prabowo. Ketiganya merepresentasi rezim bobrok dan kebobrokan berkelanjutan. Setelah serempak di mana-mana muncul grafiti adili Jokowi, berbalas hidup jokowi, kini Prabowo mendapat serangan. Mahasiswa yang ditunggu-tunggu muncul juga. Mereka melihat potensi kegelapan bakal muncul di era Prabowo Gibran. Rezim dan para pendukung menyatakan, kan baru 100 hari, justru 100 hari itu ternyata Prabowo tidak membuat fondasi perbaikan yang kokoh. Artinya tidak ada harapan. Muak dengan dalih sabar atau strategi atau nanti Prabowo akan kembali ke jati dirinya. Jati dirinya yang mana? Faktanya koruptor akan dimaafkan, Cina jahat tetap merajalela, Kepres PKI tidak dicabut, makan gratis terus jadi isu, penegakan hukum tidak steril kepentingan politik, playing victim, Jokowi malah dijunjung tinggi. Mahasiswa wajar marah. Mereka mewakili aspirasi rakyat yang cerdas dan merdeka. (*)
Nasionalisme Korup
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI MUNGKIN Bahlil Lahadalia dan Immanuel Ebenezer terlalu mabuk jabatan dan sering mengkonsumsi minuman dari kerasnya perjuangan hidup rakyat. Sehingga tidak bisa mengendalikan diri dan mengontrol ucapannya. Kedua pejabat kemeterian itu meragukan nasionalisme dan menyeru tidak usah balik lagi ke Indonesia bagi anak-anak muda yang bekerja di luar negeri. Memvonis miring generasi muda yang survival, mandiri dan tidak menjadi beban negara. Bahlil dan Noel lupa kalau mereka berdua larut dan terus menikmati sistem yang korup di negerinya sendiri.* Menteri ESDM Bahlil Lahaladia dan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer adalah contoh manusia yang mengagungkan jabatan. Saking cintanya pada jabatannya, pikiran, ucapan dan tindakannya selalu merendahkan perbedaan pendapat dan pandangan kritis. Soal nasionalisme yang dilontarkan keduanya saat menanggapi hastag “kabur aja dulu” terkait anak muda yang bekerja di luar negeri, sungguh memalukan dan tak ubahnya seperti celotehan sampah. Bagaimana tidak?, ekspresi dan aspirasi anak muda yang bekerja di luar negeri diragukan nasionalismenya oleh Bahlil. Bahkan Si Noel (panggilan Immanuel Ebenezer) dengan ketus mengatakan anak muda yang bekerja di luar negeri kalau perlu jangan pulang lagi ke Indonesia. Sungguh miris, selevel menteri dan wakil menteri, harus mengosongkan otaknya, demi jabatan yang diemban. Betapa tidak punya simpati dan empati terhadap perjuangan putra-putri bangsa yang sedang berjibaku untuk mencari nafkah dan kemandirian hidupnya di negeri asing. Pejabat kementeriaan itu tak ada sedikitpun refleksi, evaluasi dan instropeksi dari dalam dunia ketenagakerjaan khususnya dan sistem ketatanegaraan pada umumnya di Indonesia. Anak-anak muda yang merantau bekerja di negara lain demi kehidupannya dan keluarganya yang lebih baik. Sesungguhnya lebih mulia lebih dari seorang Bahlil atau Noel sekalipun. Mereka bergelut dengan nasib melalui hasil jerih-payahnya sendiri, jauh dari keluarga, dan hidup dengan segala keterbatasan di negeri orang. Namun itu pilihan yang mereka anggap terbaik dan menjanjikan. Bahkan mereka merasa nyaman karena di negara asing pemerintahnya menghargai intelektual dan karya mereka. Profesionalisme dan jaminan hidup terpenuhi buat orang-orang yang memiliki bakat dan keahlian tanpa terkecuali seiring kompetensi yang dibutuhkan oleh negara lain. Sementara di negerinya sendiri, generasi muda tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai aset berharga dan potensial menjadi pemimpin ke depan. Dengan menyediakan karpet merah penuh fasilitas bagi investasi dan tenaga kerja asing, Pemerintah bukan hanya sekedar mematikan lapangan kerja bagi rakyatnya, lebih dari itu perlahan telah menjual kekayaan alam dan kedaulatan negara. Bahlil dan Noel seperti kebanyakan pejabat lainnya menjadi irisan dari sistem pemerintahan yang karut-marut. Kemudian keduanya, memvonis nasionalisme anak-anak muda yang progresif dan survival itu. Padahal, faktanya lebih luas lagi dan itu menakjubkan, para tenaga kerja Indonesia (TKI) itu menjadi penghasil devisa nomor dua terbesar di Indonesia setelah migas. Mereka para TKI itu telah menjadi pahlawan devisa buat negara. Bandingkan dengan Bahlil dan Noel yang kinerjannya belum jelas dan minim kontribusi tapi tetap ikut menggerus keuangan negara. Kasihan Bahlil dan Noel, tanpa malu narasinya seperti menepuk air di dulang terpericik muka sendiri. Lag ipula, Bahlil dan Noel yang perlu dipertanyakan nasionalismenya. Sebagai pejabat publik, apakah mereka juga bersih diri dari kejahatan keuangan dan kemanusiaan yang lahir dari kerusakan struktural, sistematis dan masif di republik ini. Apakah menjadi “inner circle” dalam kekuasaan pemerintahan mereka tidak ikut maling dan merampok kekayaan alam dan keuangan negara. Jadi buat Bahlil dan Noel, sebaiknya kurangi bicara tak berguna dan banyak kerja nyata. Jangan komentar soal nasionalisme jika masih mau ikut menikmati kue-kue kekuasaan dari hasil distorsi dan destruksi penyelenggaraan negara. Bahlil dan Noel, sebaiknya mengisi otak yang sudah kosong dengan menunjukan kemapuan berpikir, karya nyata dan prestasi. Jangan terlalu bangga dan percaya diri dengan status politisi yang mendapat jatah jabatan hingga sampai terlibat dan terus larut menikmati nasionalisme korup. (*)
Megawati Versus Prabowo
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERHARAP Megawati bersama Prabowo menghajar Jokowi nampaknya gagal. Di samping pertemuan Megawati dengan Prabowo tidak juga terlaksana, juga Prabowo semakin kesengsem Jokowi. HUT Partai Gerindra menjadi saksi betapa bertekuk lutut Prabowo pada Jokowi. Ndas Prabowo di bawah telapak kaki Jokowi yang sebenarnya sudah tidak punya ndas. Kosong karena copot sejak 20 Oktober 2024. Megawati wajar ngambek, alih-alih jadi pertemuan, malah Sekjen PDIP Hasto ditahan oleh KPK. Dugaan kuat itu atas restu dan arahan guru politik Prabowo. Jokowi berseteru tajam hingga ke ubun ubun. Pimpinan KPK balad Jokowi. Program Prabowo mulai diganggu Megawati. Kepala Daerah PDIP dilarang ikut retreat, padahal itu program andalan Prabowo. Retreat sendiri program pencitraan dan tidak berguna bagi rakyat, hanya hiburan pejabat dan pemborosan uang negara. Paradoks atas gembor-gembor pemangkasan, penghematan atau efisiensi. Prabowo sama saja sama dengan Jokowi. Omong gede tapi sulit realisasi. Melompat-lompat. Retreat Menteri saja kemarin tidak berdampak pada kontribusi 100 hari. Retreat tentu dimaksudkan mengasingkan sementara untuk merenung atau membina diri akan tetapi makna harfiahnya adalah mundur. Secara idiomatik retreat itu mundur, menarik diri atau mengundurkan diri secara tergesa-gesa atau dengan aib. Bagus juga instruksi PDIP agar Kepala Daerah tidak ikut. Toh, Kepala Daerah itu bukan bawahan Presiden karena dipilih langsung oleh rakyat. Hasto dipamerkan berjaket oranye dengan tangan di borgol untuk menistakan, teringat dahulu Habib Rizieq Shihab juga sama dengan tangan terborgol. Ada arogansi penegak hukum yang sedang menjadi kepanjangan tangan politik. Hasto bergestur melawan dan berpidato agar Jokowi dan keluarga diperiksa. Jokowi itu memang Presiden kotor alias banyak dosa. Penjahat, sebutannya. Bersamaan momentum dengan gerakan rakyat yang mendesak adili Jokowi, perlawanan Megawati pada Prabowo menambah kisruh perpolitikan di bawah rezim Prabowo. Pekik histeris \"hidup Jokowi\" seakan membodohi diri atau bunuh diri. Prabowo menurunkan kewibawaannya dengan seketika. 100 hari kemenangan diubah menjadi kematian mendadak \"sudden death\". Pasukan PDIP akan menjadi gumpalan baru memperkokoh kekuatan civil society melawan arogansi kekuasaan. Aktivis oposisi bergerak bersama dengan mahasiswa, emak-emak, purnawirawan, alim ulama, santri, jawara, dan lainnya melawan koalisi Jokowi, Gibran dan Prabowo. Oligarki sudah ditempatkan sebagai penjajah yang harus dilawan dengan pemberontakan. Semua tentu untuk membela dan memurnikan ideologi dan konstitusi yang sudah diinjak-injak demi investasi dan kepentingan Jokowi dan kroni. Prabowo ikut-ikutan lagi. Masalah negara sudah luar biasa parah. Mahasiswa merasakan gelap, bahkan gelap gulita. Mungkin reformasi 1998 harus diulangi bahkan lebih tajam lagi. Revolusi masih menjadi opsi. Aktual, Megawati sedang berhadapan dengan Prabowo akibat Jokowi. Jokowi memang trouble maker saat menjabat maupun setelah pensiun. Karenanya gerakan adili Jokowi akan terus menguat. Pilihan Prabowo untuk bersama Jokowi hanya causa perluasan gerakan menjadi adili Jokowi dan Prabowo. Bukan masalah baru 100 hari, justru 100 hari saja sudah menunjukkan ketidakbecusan. Lalu bersiap untuk Presiden 2029 ? Preet..! (*)
Situasi Sosial Berpotensi Ditunggangi Kepentingan Geopolitik
Oleh Haris Rusly Moti/Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Yogyakarta KEPENTINGAN geopolitik berpotensi mulai menunggangi situasi social. Tujuanya untuk menciptakan eskalasi politik. Sejumlah kebijakan nasionalistik kerakyatan yang menjadi dasar dan arah Pemerintaahan Prabowo berpotensi mengundang masuknya tangan-tangan senyap menciptakan situasi ekskalatif. Kebijakan nasionalistik kerakyatan yang dibangun di atas dasar dan arah Pembukaan UUD 194. Misalnya, keputusan untuk bergabung menjadi anggota BRICS. Kebijakan untuk membentuk Danantara dan Bank Emas. Selain itu, kebijakan yang mewajibkan penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri. Kebijakan Presiden Prabowo yang terbaru adalah efisiensi untuk mengendalikan hutang luar negeri dan mencegah kebocoran penggunaan anggaran. Pemerintah Prabowo juga mendorong program hilirisasi komoditi agar nilai tambah (value added) bisa dinikmati di dalam negeri. Selama ini nilai tambah ekonomi dari produk-produk komoditas Indonesia dinikmati oleh pembeli di luar negeri. Jika di masa lampau tangan-tangan geopolitik itu masuk secara terbuka melalui lembaga donor. Mereka membiayai kepada sejumlah organisasi konvensional seperti Lembagat Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) untuk mendikti arah kebijakan pemerintah. Sekarang peluang itu mendapatkan hambatan berarti dari Presiden Prabowo. Sekarang polanya berbeda. Tangan-tangan geopolitik dan lembaga donor melakukan rekayasa salah paham terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Mereka membenturkan masyarakat dan mengobarkan kemarahan publik melalui social media dan open source. Namun pola ini kemungkinan susah untuk berhasil, karena kesadaran nasional kuat dari kelas menengah masyarakat Indonesia. Jiwa patriotik Presiden Prabowo menjadi benteng yang kukuh menjaga persatuan bangsa. Presiden Prabowo tidak pernah dan tidak akan upaya asing untuk memecah belah bangsa Indonesia. Apalagi membenturkan masyarakat untuk urusan kekuasaan. Seperti yang pernah terjadi kemarin-kemarin. Masyarakat diaduk-aduk melalui influenser dan buzzer. Membenturkan kelompok si anu dengan kelompok si ono. Jika muncul protes dan kritik kepada pemerintah, maka itu karena salah paham saja. Kurang paham terhadap kebijakan strategis pemerintah. Padahal arah dan terobosan Presiden Prabowo sudah tepat dengan sejumlah kebijakan strategisnya. Namun masih membutuhkan pemahaman, penyesuaian dan penyempurnaan di tingkat implementasi. Jangankan mahasiswa dan masyarakat luas yang masih butuh waktu untuk memahami terobosan dan arah kebijakan Presiden Prabowo. Para pemangku kebijakan, baik yang di pusat hingga daerah saja masih membutuhkan pemahaman. Butuh penyesuaian dalam pelaksanaan terhadap program startegis tersebut. Untuk itu wajar saja jika terjadi anomali dan keanehan gerakan mahasiswa. Sebagai contoh, isu yang diangkat gerakan mahasiswa justru mempersoalkan soal efisiensi yang ditujukan untuk mencegah kebocoran dan mengendalikan hutang luar negeri yang sudah menggunung. Sampai akhir Desember 2024, utang pemerintah mencapai Rp 8.680 triliun (detik.com 15/12/2024). Menjadi anomali, karena persoalan hutang luar negeri, kebocoran anggaran dan korupsi adalah isu yang puluhan tahun justru diperjuangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Anomali seperti ini bisa saja terjadi karena salah paham. Bisa juga karena adanya rekayasa salah paham oleh kepentingan geopolitik. Bisa didalangi oleh kekuatan kapital dan raja kecil dalam negeri yang dirugikan oleh kebijakan Presiden Prabowo tersebut. Dipastikan Presiden Prabowo dan semua komponen bangsa sepakat dengan masukan dan kritik dari berbagai kalangan bahwa anggaran pendidikan termasuk anggaran riset dan kajian mestinya tidak menjadi objek efisiensi. Karean ruh atau nyawanya pendidikan tinggi itu ada pada riset, inovasi dan pengabdian. Alokasi anggaran pendidikan harus tetap sesuai dengan perintah UUD 1945. Jikapun ada efisiensi terhadap anggaran pendidikan, mesti dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai dampaknya mengurangi kualitas dunia pendidikan. Termasuk juga kesejahteraan dari para pendidik guru, dosen dan guru besar harus dipertimbangkan akibat berkurangnya biaya pendidikan. Rekonstruksi efisiensi anggaran yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR akan berpihak pada kemajuan pendidikan nasional. Bermanfaat untuk kemajuan riset dan inovasi yang dipimpin oleh kampus-kampus. Dampaknya bangsa kita dapat tampil menjadi bangsa inovator. Bukan bangsa yang hanya bisa pakai produk teknologi asing. Kritik dan masukan terkait efisiensi biaya pendidikan pasti mendapat perhatian Presiden Prabowo. Karena memang betul, yang dibangun adalah jiwa serta raganya para pelajar dan mahasiswa kita. Kewajiban memenuhi gizi pelajar sekaligus menjaga agar kualitas pendidikan dan fasilitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak dikurangi. Jangan sampai kita efisiensi anggaran dengan menghapus beasiswa untuk memberi makan gizi gratis kepada pelajar di sekolah-sekolah anak kelas menengah yang sudah kelebihan gizi. Kritik dan masukan seperti itu sudah dijawab oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad. Dipastikan tidak ada efisiensi yang mengurangi bea siswa dan kualitas pendidikan tinggi kita. Presiden Prabowo dipastikan konsisten melaksanakan efisiensi pada sektor sektor yang menerima anggaran realokasi dan refokusing hasil penghematan. Efisiensi akan dilakukan untuk pengadaan barang dan jasa terkait pelaksanaan program makan bergizi gratis. Kiritik terkait tata kelola, akuntabilitas dan efisiensi pelaksanaan makan bergizi gratis dipastikan akan direspon secara baik oleh pemerintah.