OPINI

Ndhasmu Lebih Rendah dari Singa dan Monyet

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  FOTOGRAFER Evan Schiller dan istrinya, Lisa Holzwarth punya minat yang besar mengamati kehidupan hewan-hewan liar, khususnya harimau, singa dan hewan besar lainnya.  Di sebuah wilayah daerah Selinda Botswana utara, mereka menemukan kerumunan monyet sebanyak 30 sampai 40 di semak-semak. Keriuhan itu tampaknya dipicu oleh kedatangan dua ekor singa betina.  Dengan segera, para monyet berlarian menyelamatkan diri. Namun malang salah satu monyet yang menggendong anaknya tertangkap rahang singa betina. Anak monyet itu terus berpegangan erat di tubuh ibunya yang nyaris sekarat. Anak monyet malang mencoba melarikan diri dari bahaya serangan singa dengan berusaha memanjat pohon, tetapi ia tak punya cukup kekuatan. Melihat hal itu perhatian sang singa betina berubah. Ia melepaskan ibu monyet dan mendatangi anak monyet yang ketakutan.  Sang singa mengelus lembut bayi monyet yang ketakutan diambilnya dengan mulutnya dan diajaknya pergi.  Lalu dia duduk dengan bayi monyet di antara dua kakinya. Bayi monyet tersebut  merasa aman dan nyaman.  Tiba-tiba dua ekor singa jantan mendekati singa betina yang sedang berduaan dengan bayi monyet. Secara mengejutkan, singa betina merasa terganggu dan mengusir secara agresif kedua singa jantan yang dianggap telah mengganggunya.  Di tengah kekacauan ini, monyet laki-laki besar yang ternyata ayahnya sedang menunggu di atas pohon turun untuk  menyelamatkan anaknya ke tempat  yang aman dan bayi monyet kecil sekarang aman di pelukan ayahnya. Kisah nyata ini menjadi pelajaran ( ibrah ) dan renungan manusi bahwa kedua hewan tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan etika dan moral, tetapi oleh Tuhan menganugerahkan Singa di beri rasa belas kasih dan Monyet di beri kekuatan berjuang untuk menyelamatkan anaknya apapun resikonya.  Manusia berwatak hewan, mereka hilang untuk bisa hidup bersama saling mengasihi, menghormati, menghargai dan saling melindungi, berubah menjadi hewan liar saling memangsa dan membunuh. Bagaimana bisa terjadi seorang Presiden tidak bisa melindungi rakyatnya, di depan Ndhasmu dan Matamu. Naga Besar  sedang memangsa rakyatmu kaum pribumi. tidak  bisa melindungi bahkan memfasilitasi Naga Besar silahkan siapa yang ingin diusir, dimangsa sesukamu. Pemimpin dungu, kejam dan sadis,  harus belajar dari \"Singa\" yang memiliki  belas kasih, dan harus belajar dari \"Monyet\" yang memiliki tanggung jawab melindungi keselamatan anak - anaknya apapun resikonya.  Tak ada gunanya apapun jabatanmu sebagai Presiden, Menteri, kalau sudah jadi badut  Oligarki, watak dan tabiatnya akan berubah menjadi hewan liar, tidak bisa melindungi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, \"Ndhasmu\" lebih rendah dari Singa dan Monyet. (*)

Jokowi Adu Domba Prabowo dan Megawati

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  HAMPIR bersamaan, Jokowi melempar bom atom politik ke Prabowo dan Megawati. Ledakan pertama yang dahsyat, Prabowo terancam lengser dari kursi presiden yang baru seumur jagung. Ledakan kedua yang juga tak kalah brutal, Sekjend PDIP menjadi tahanan KPK. Perayaan ulang tahun partai Gerinda benar-benar menjadi trigger dari sebuah konspirasi jahat yang langsung menohok Prabowo dan Megawati. Berbalas pidato yang menjadi “psy war” antara presiden terpilih dan mantan presiden itu, mengawali momentum pecah kongsi dan bulan madu keduanya.  Dimulai dengan pidato bersayap dan tendensius Jokowi, “Tak ada presiden yang paling kuat di dunia selain Pak Prabowo”. Berlanjut Jokowi mengatakan “Buktinya sampai hari ini tak ada yang berani mengkritik Pak Prabowo”. 7- Spontanitas Prabowo mengkounternya dengan narasi “Kemenangan pilpres 2024 karena didukung Bapak Jokowi”. Selanjutnya, keluar pernyataan teriak Prabowo “Hidup Jokowi, Hidup Jokowi, Hidup Jokowi” yang kontroversial dan tentu saja berdampak kemana-mana. Kemudian tidak berselang lama, publik disuguhkan keriuhan penahanan Sekjend PDIP-Hasto Kristiyanto oleh KPK. Kedua kejadian itu layak dinobatkan sebagai peristiwa “politic of the year”yang beririsan dan berkelindan dengan sosok Jokowi, Prabowo dan Megawati. Paripurna friksi dan kecenderungan konflik tiga pemimpin paling berpengaruh di republik ini. Jokowi mulai mendongkel Prabowo sembari memanfaatkan  Megawati yang hubungannya  sudah lama berjalan tak harmonis. Jokowi terendus melakukan “kiling me softly” kepada Prabowo. Jokowi dengan pidatonya tersebut seperti sedang menjadikan Prabowo sebagai umpan yang matang. Provokasi Jokowi itu kemudian dibalas Prabowo yang menjadikan Prabowo masuk perangkap Jokowi. Hasilnya, demonstrasi besar-besaran dan masif dari mahasiwa dan masyarakat sipil menerjang Prabowo. Kecaman publik, pembunuhan karakter dan Prabowo terancam lengser dari kursi presiden (kudeta). Sisi lain, Jokowi juga menunjukan kelihaian dan kelicikannya, dengan menjadikan kader strategis PDIP itu menjadi pesakitan KPK. Tujuannya tak lain membangun permusuhan dan kebencian PDIP terhadap kepemimpinan Prabowo sebagai presiden dan kepala pemerintahan yang bertanggungjawab terhadap proses hukum Sekjend PDIP. Bagi Jokowi ini keberhasilan seperti sedang melakukan  “sekali tepuk dua nyamuk jatuh”. Jokowi tampaknya berusaha keras membuat “fait accompli” terhadap Prabowo dan Megawati. Dengan harapan saling serang dan menjatuhkan antara Prabowo dan Megawati. Ini ditenggarai sebagai skenario busuk  Jokowi dalam memuluskan jalan  Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden pengganti Prabowo. Akankah rakyat termasuk di dalamnya Mahasiswa, Prabowo dan Megawati menginsyafi peristiwa yang demikian?. Mampukah semua entitas politik dan gerakan massa aksi menyadari sepenuhnya konstelasi dan konfigurasi politik tensi tinggi ini?. Mungkinkah Jokowi tetap berjaya memuaskan ambisi dan nafsu berkuasanya?. Atau sebaliknya, politik adu Domba Jokowi terhadap Prabowo dan Megawati menimbulkan serangan  paling mematikan kepada Jokowi. Mari kita tanya pada Garuda yang patah sayapnya dan Banteng yang terluka. (*)

Mahasiswa Mulai Mereaksi 100 Hari Omon-omon

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKIPUN Prabowo pernah terserang stroke semoga tidak berpengaruh pada pola pengambilan kebijakan politiknya dalam menunaikan jabatan sebagai Presiden. Jabatan  yang telah diimpikannya bertahun-tahun. Dapatkah ia konsisten pada sumpah untuk berbuat demi rakyat bukan kepentingan diri atau kroni? Kebijakannya tidak jelas seperti mengikuti naluri saja, mudah marah seperti orang dengan kekuasaan besar di tangan, bawahan enak ditunjuk-tunjuk, namun ciut nyali menyebut orang yang ditakuti. Jokowi, misalnya. Sangat hati-hati untuk tidak menyinggung persaannya. Bahkan dipuji-puji. Ini bukan strategi, tapi fakta dari ciut nyali.  Rekor baru pecah, Presiden dengan usia jabatan baru 100 hari sudah didemonstrasi. Mahasiswa berbagai kota mengkritisi kebijakan Prabowo. Orang lingkarannya membela bahwa ini akibat kesalahan informasi atau miskomunikasi. Tetapi itu alasan sumier, nyatanya adalah pemerintahan Prabowo memiliki masalah. Lebih banyak omon-omon atau terlalu gede omong ketimbang bukti nyata. Foto Prabowo dan Gibran dibakar, terselip juga pembakaran foto Mayor Teddy yang nampak semakin aktif memfungsikan diri sebagai \"orang berpengaruh\". Melengkapi \"duo bocil\" dalam pemerintahan Prabowo, yaitu G&T Gibran dan Teddy.  Tampilan komplit dari Teddy mantan ajudan, Sekretaris Kabinet, hingga Teddy Bear sang boneka mainan lucu itu. Tampilan artis juga. Dipicu oleh teriakan \"hidup Jokowi\" dan \"Ndasmu\" yang memberi pesan bahwa Prabowo itu tak bisa dipisahkan dariJokowi, membuat harapan untuk menjadi antitesis atau mengubah pola pemerintahan terdahulu pupus sudah. Dengan pidato maka keajegan ikut goyah. Meledak-ledak namun kehilangan arah. Potensi blunder besar saat pidato di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Mahasiswa menyebutnya Indonesia gelap. Tidak menjadi terang, bahkan ada celetukan habis gelap terbitlah gelap gulita. Prabowo dalam 100 hari kekuasaannya tidak mampu membuat fondasi yang kokoh untuk kemajuan ke depan. Kebijakan efisiensi beradu dengan bangunan potensi korupsi, pemangkasan pun berpadu dengan penggendutan. Menjadi bahan tertawaan.  Gerakan aksi mahasiswa akankah membesar ? Tergantung sikap Prabowo. Jika represif, maka dipastikan akan membesar dan membuka peluang Prabowo tumbang, tetapi bisa pula diredam jika ada langkah pembuktian seperti reshuffle Menteri titipan Jokowi, cabut PSN PIK 2, beri sanksi Aguan atas berbagai pelanggaran, keluarkan Perppu Pimpinan KPK, ganti Kapolri, hingga mempersilahkan penyelidikan dugaan kolusi, korupsi dan nepotisme Jokowi. 100 hari omon-omon telah menimbulkan reaksi. Prabowo jangan merasa telah mendapat mandat penuh rakyat, banyak rakyat meyakini kursi kepresidenannya didapat dengan cara curang. Prabowo Gibran lho, bukan sendirian. Jadi sesungguhnya yang dikritisi bahkan dilawan oleh mahasiswa dan kekuatan oposisi lainnya saat ini adalah koalisi Jokowi-Gibran-Prabowo. Ketiganya merepresentasi rezim bobrok dan kebobrokan berkelanjutan. Setelah serempak di mana-mana muncul grafiti adili Jokowi, berbalas hidup jokowi, kini Prabowo mendapat serangan. Mahasiswa yang ditunggu-tunggu muncul juga. Mereka melihat potensi kegelapan bakal muncul di era Prabowo Gibran. Rezim dan para pendukung menyatakan, kan baru 100 hari, justru 100 hari itu ternyata Prabowo tidak membuat fondasi perbaikan yang kokoh.  Artinya tidak ada harapan. Muak dengan dalih sabar atau strategi atau nanti Prabowo akan kembali ke jati dirinya. Jati dirinya yang mana? Faktanya koruptor akan dimaafkan, Cina jahat tetap merajalela, Kepres PKI tidak dicabut, makan gratis terus jadi isu,  penegakan hukum tidak steril kepentingan politik, playing victim, Jokowi malah dijunjung tinggi. Mahasiswa wajar marah. Mereka mewakili aspirasi rakyat yang cerdas dan merdeka. (*)

Nasionalisme Korup

 Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  MUNGKIN Bahlil Lahadalia dan Immanuel Ebenezer terlalu mabuk jabatan  dan sering mengkonsumsi minuman dari kerasnya perjuangan hidup rakyat. Sehingga tidak bisa mengendalikan diri dan mengontrol ucapannya. Kedua pejabat kemeterian itu meragukan nasionalisme dan menyeru tidak usah balik lagi ke Indonesia bagi anak-anak muda yang bekerja di luar negeri. Memvonis miring generasi muda yang survival, mandiri dan tidak menjadi beban negara. Bahlil dan Noel lupa kalau mereka berdua larut dan terus menikmati sistem yang korup di negerinya sendiri.* Menteri ESDM Bahlil Lahaladia dan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer  adalah contoh manusia yang mengagungkan jabatan. Saking cintanya pada jabatannya, pikiran, ucapan dan tindakannya selalu merendahkan perbedaan pendapat dan pandangan kritis. Soal nasionalisme yang dilontarkan keduanya saat menanggapi hastag “kabur aja dulu” terkait anak muda yang bekerja di luar negeri, sungguh memalukan dan tak ubahnya seperti celotehan sampah. Bagaimana tidak?, ekspresi dan aspirasi anak muda yang bekerja di luar negeri diragukan nasionalismenya oleh Bahlil. Bahkan Si Noel (panggilan Immanuel Ebenezer) dengan ketus mengatakan anak muda yang bekerja di luar negeri kalau perlu jangan pulang lagi ke Indonesia. Sungguh miris, selevel menteri dan wakil menteri, harus mengosongkan otaknya, demi jabatan yang diemban. Betapa tidak punya simpati dan empati terhadap perjuangan putra-putri bangsa yang sedang berjibaku untuk mencari nafkah dan kemandirian hidupnya di negeri asing. Pejabat kementeriaan itu  tak ada sedikitpun refleksi, evaluasi dan instropeksi dari  dalam dunia ketenagakerjaan khususnya dan sistem ketatanegaraan pada umumnya di Indonesia. Anak-anak muda yang merantau bekerja di negara lain demi kehidupannya dan keluarganya yang lebih baik. Sesungguhnya lebih mulia lebih dari seorang Bahlil atau Noel sekalipun. Mereka bergelut dengan nasib melalui hasil jerih-payahnya sendiri, jauh dari keluarga, dan hidup dengan segala  keterbatasan di negeri orang.  Namun itu pilihan yang mereka anggap terbaik dan menjanjikan. Bahkan mereka merasa nyaman karena di negara asing pemerintahnya menghargai intelektual dan karya mereka. Profesionalisme dan jaminan  hidup terpenuhi buat orang-orang yang memiliki bakat dan keahlian tanpa terkecuali seiring kompetensi yang dibutuhkan oleh negara lain. Sementara di negerinya sendiri, generasi muda  tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai aset berharga dan potensial menjadi  pemimpin ke depan. Dengan menyediakan karpet merah penuh fasilitas bagi investasi dan  tenaga kerja asing, Pemerintah bukan hanya sekedar mematikan lapangan kerja bagi rakyatnya, lebih dari itu perlahan telah menjual kekayaan alam dan kedaulatan negara. Bahlil dan Noel seperti kebanyakan pejabat lainnya menjadi irisan dari sistem pemerintahan yang karut-marut. Kemudian keduanya, memvonis nasionalisme anak-anak muda yang progresif dan survival itu. Padahal, faktanya lebih luas lagi dan itu menakjubkan, para tenaga kerja Indonesia (TKI)  itu menjadi penghasil devisa nomor dua terbesar di Indonesia setelah migas. Mereka para TKI itu telah menjadi pahlawan devisa buat negara. Bandingkan dengan Bahlil dan Noel yang  kinerjannya belum jelas dan minim kontribusi tapi tetap ikut menggerus keuangan negara. Kasihan Bahlil dan Noel, tanpa malu narasinya  seperti menepuk air di dulang terpericik muka sendiri. Lag ipula, Bahlil dan Noel yang perlu dipertanyakan nasionalismenya. Sebagai pejabat publik, apakah mereka juga bersih diri dari kejahatan keuangan dan kemanusiaan yang lahir dari kerusakan struktural, sistematis dan masif di republik ini. Apakah menjadi “inner circle” dalam kekuasaan pemerintahan mereka tidak ikut maling dan merampok kekayaan alam dan keuangan negara. Jadi buat Bahlil dan Noel, sebaiknya kurangi bicara tak berguna dan banyak kerja nyata. Jangan komentar soal nasionalisme jika masih mau  ikut menikmati kue-kue kekuasaan dari hasil distorsi dan destruksi penyelenggaraan negara. Bahlil dan Noel, sebaiknya mengisi otak yang sudah kosong dengan menunjukan kemapuan berpikir, karya nyata dan prestasi. Jangan terlalu bangga dan percaya diri dengan status politisi yang mendapat jatah jabatan hingga sampai terlibat dan terus larut menikmati nasionalisme korup. (*)

Megawati Versus Prabowo

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERHARAP Megawati bersama Prabowo menghajar Jokowi nampaknya gagal. Di samping pertemuan Megawati dengan Prabowo tidak juga terlaksana, juga Prabowo semakin kesengsem Jokowi. HUT Partai Gerindra menjadi saksi betapa bertekuk lutut Prabowo pada Jokowi. Ndas Prabowo di bawah telapak kaki Jokowi yang sebenarnya sudah tidak punya ndas. Kosong karena copot sejak 20 Oktober 2024.  Megawati wajar ngambek, alih-alih jadi pertemuan, malah Sekjen PDIP Hasto ditahan oleh KPK. Dugaan kuat itu atas restu dan arahan guru politik Prabowo. Jokowi berseteru tajam hingga ke ubun ubun. Pimpinan KPK balad Jokowi. Program Prabowo mulai diganggu Megawati. Kepala Daerah PDIP dilarang ikut retreat, padahal itu program andalan Prabowo.  Retreat sendiri program pencitraan dan tidak berguna bagi rakyat, hanya hiburan pejabat dan pemborosan uang negara. Paradoks atas gembor-gembor pemangkasan, penghematan atau efisiensi. Prabowo sama saja sama dengan Jokowi. Omong gede tapi sulit realisasi. Melompat-lompat. Retreat Menteri saja kemarin tidak berdampak pada kontribusi 100 hari.  Retreat tentu dimaksudkan mengasingkan sementara untuk merenung atau membina diri akan tetapi makna harfiahnya adalah mundur. Secara idiomatik retreat itu mundur, menarik diri atau mengundurkan diri secara tergesa-gesa atau dengan aib. Bagus juga instruksi PDIP agar Kepala Daerah tidak ikut. Toh, Kepala Daerah itu bukan bawahan Presiden karena dipilih langsung oleh rakyat.  Hasto dipamerkan berjaket oranye dengan tangan di borgol untuk menistakan, teringat dahulu Habib Rizieq Shihab juga sama dengan tangan terborgol. Ada arogansi penegak hukum yang sedang menjadi kepanjangan tangan politik. Hasto bergestur melawan dan berpidato agar Jokowi dan keluarga diperiksa. Jokowi itu memang Presiden kotor alias banyak dosa. Penjahat, sebutannya. Bersamaan momentum dengan gerakan rakyat yang mendesak adili Jokowi, perlawanan Megawati pada Prabowo menambah kisruh perpolitikan di bawah rezim Prabowo. Pekik histeris \"hidup Jokowi\" seakan membodohi diri atau bunuh diri. Prabowo menurunkan kewibawaannya dengan seketika. 100 hari kemenangan diubah menjadi kematian mendadak \"sudden death\". Pasukan PDIP akan menjadi gumpalan baru memperkokoh kekuatan civil society melawan arogansi kekuasaan. Aktivis oposisi bergerak bersama dengan mahasiswa, emak-emak, purnawirawan, alim ulama, santri, jawara, dan lainnya melawan koalisi Jokowi, Gibran dan Prabowo. Oligarki sudah ditempatkan sebagai penjajah yang harus dilawan dengan pemberontakan.  Semua tentu untuk membela dan memurnikan ideologi dan konstitusi yang sudah diinjak-injak demi investasi dan kepentingan Jokowi dan kroni. Prabowo ikut-ikutan lagi. Masalah negara sudah luar biasa parah. Mahasiswa merasakan gelap, bahkan gelap gulita. Mungkin reformasi 1998 harus diulangi bahkan lebih tajam lagi. Revolusi masih menjadi opsi.  Aktual, Megawati sedang berhadapan dengan Prabowo akibat Jokowi. Jokowi memang trouble maker saat menjabat maupun setelah pensiun. Karenanya gerakan adili Jokowi akan terus menguat. Pilihan Prabowo untuk bersama Jokowi hanya causa perluasan gerakan menjadi adili Jokowi dan Prabowo. Bukan masalah baru 100 hari, justru 100 hari saja sudah menunjukkan ketidakbecusan. Lalu bersiap untuk Presiden 2029  ? Preet..! (*)

Situasi Sosial Berpotensi Ditunggangi Kepentingan Geopolitik

Oleh Haris Rusly Moti/Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Yogyakarta KEPENTINGAN geopolitik berpotensi mulai menunggangi situasi social. Tujuanya untuk menciptakan eskalasi politik. Sejumlah kebijakan nasionalistik kerakyatan yang menjadi dasar dan arah Pemerintaahan Prabowo berpotensi mengundang masuknya tangan-tangan senyap menciptakan situasi ekskalatif. Kebijakan nasionalistik kerakyatan yang dibangun di atas dasar dan arah Pembukaan UUD 194. Misalnya, keputusan untuk bergabung menjadi anggota BRICS. Kebijakan untuk membentuk Danantara dan Bank Emas. Selain itu, kebijakan yang mewajibkan penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri. Kebijakan Presiden Prabowo yang terbaru adalah efisiensi untuk mengendalikan hutang luar negeri dan mencegah kebocoran penggunaan anggaran. Pemerintah Prabowo juga mendorong program hilirisasi komoditi agar nilai tambah (value added) bisa dinikmati di dalam negeri. Selama ini nilai tambah ekonomi dari produk-produk komoditas Indonesia dinikmati oleh pembeli di luar negeri. Jika di masa lampau tangan-tangan geopolitik itu masuk secara terbuka melalui lembaga donor. Mereka membiayai kepada sejumlah organisasi konvensional seperti Lembagat Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) untuk mendikti arah kebijakan pemerintah. Sekarang peluang itu mendapatkan hambatan berarti dari Presiden Prabowo. Sekarang polanya berbeda. Tangan-tangan geopolitik dan lembaga donor melakukan rekayasa salah paham terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Mereka membenturkan masyarakat dan mengobarkan kemarahan publik melalui social media dan open source. Namun pola ini kemungkinan susah untuk berhasil, karena kesadaran nasional kuat dari kelas menengah masyarakat Indonesia. Jiwa patriotik Presiden Prabowo menjadi benteng yang kukuh menjaga persatuan bangsa. Presiden Prabowo tidak pernah dan tidak akan upaya asing untuk memecah belah bangsa Indonesia. Apalagi membenturkan masyarakat untuk urusan kekuasaan. Seperti yang pernah terjadi kemarin-kemarin. Masyarakat diaduk-aduk melalui influenser dan buzzer. Membenturkan kelompok si anu dengan kelompok si ono. Jika muncul protes dan kritik kepada pemerintah, maka itu karena salah paham saja. Kurang paham terhadap kebijakan strategis pemerintah. Padahal arah dan terobosan Presiden Prabowo sudah tepat dengan sejumlah kebijakan strategisnya. Namun masih membutuhkan pemahaman, penyesuaian dan penyempurnaan di tingkat implementasi. Jangankan mahasiswa dan masyarakat luas yang masih butuh waktu untuk memahami terobosan dan arah kebijakan Presiden Prabowo. Para pemangku kebijakan, baik yang di pusat hingga daerah saja masih membutuhkan pemahaman. Butuh penyesuaian dalam pelaksanaan terhadap program startegis tersebut. Untuk itu wajar saja jika terjadi anomali dan keanehan gerakan mahasiswa. Sebagai contoh, isu yang diangkat gerakan mahasiswa justru mempersoalkan soal efisiensi yang ditujukan untuk mencegah kebocoran dan mengendalikan hutang luar negeri yang sudah menggunung. Sampai akhir Desember 2024, utang pemerintah mencapai Rp 8.680 triliun (detik.com 15/12/2024). Menjadi anomali, karena persoalan hutang luar negeri, kebocoran anggaran dan korupsi adalah isu yang puluhan tahun justru diperjuangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Anomali seperti ini bisa saja terjadi karena salah paham. Bisa juga karena adanya rekayasa salah paham oleh kepentingan geopolitik. Bisa didalangi oleh kekuatan kapital dan raja kecil dalam negeri yang dirugikan oleh kebijakan Presiden Prabowo tersebut. Dipastikan Presiden Prabowo dan semua komponen bangsa sepakat dengan masukan dan kritik dari berbagai kalangan bahwa anggaran pendidikan termasuk anggaran riset dan kajian mestinya tidak menjadi objek efisiensi. Karean ruh atau nyawanya pendidikan tinggi itu ada pada riset, inovasi dan pengabdian. Alokasi anggaran pendidikan harus tetap sesuai dengan perintah UUD 1945. Jikapun ada efisiensi terhadap anggaran pendidikan, mesti dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai dampaknya mengurangi kualitas dunia pendidikan. Termasuk juga kesejahteraan dari para pendidik guru, dosen dan guru besar harus dipertimbangkan akibat berkurangnya biaya pendidikan. Rekonstruksi efisiensi anggaran yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR akan berpihak pada kemajuan pendidikan nasional. Bermanfaat untuk kemajuan riset dan inovasi yang dipimpin oleh kampus-kampus. Dampaknya bangsa kita dapat tampil menjadi bangsa inovator. Bukan bangsa yang hanya bisa pakai produk teknologi asing. Kritik dan masukan terkait efisiensi biaya pendidikan pasti mendapat perhatian Presiden Prabowo. Karena memang betul, yang dibangun adalah jiwa serta raganya para pelajar dan mahasiswa kita. Kewajiban memenuhi gizi pelajar sekaligus menjaga agar kualitas pendidikan dan fasilitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak dikurangi. Jangan sampai kita efisiensi anggaran dengan menghapus beasiswa untuk memberi makan gizi gratis kepada pelajar di sekolah-sekolah anak kelas menengah yang sudah kelebihan gizi. Kritik dan masukan seperti itu sudah dijawab oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad. Dipastikan tidak ada efisiensi yang mengurangi bea siswa dan kualitas pendidikan tinggi kita. Presiden Prabowo dipastikan konsisten melaksanakan efisiensi pada sektor sektor yang menerima anggaran realokasi dan refokusing hasil penghematan. Efisiensi akan dilakukan untuk pengadaan barang dan jasa terkait pelaksanaan program makan bergizi gratis. Kiritik terkait tata kelola, akuntabilitas dan efisiensi pelaksanaan makan bergizi gratis dipastikan akan direspon secara baik oleh pemerintah.

Indonesia Akan Pecah, Perang Saudara Akan Terjadi

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Kajian Politik Merah Putih, pada Rabu malam, 19 February 2025, melakukan kajian intensif atas situasi perkembangan politik negara yang semakin mengkhawatirkan. Diawali dari kajian analisa  Prabowo Subianto mengutip novel Ghost Fleet yang meramalkan Indonesia bakal bubar pada 2030. Presiden Megawati Sukarnoputri juga memperingatkan, bahwa Indonesia dapat menjadi apa yang disebutnya \"Balkan di Hemisfer Timur\" kalau rakyatnya tidak berusaha lebih keras untuk menjaga kesatuan negara, ( disampaikan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2001). Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengungkapkan lima skenario masa depan Indonesia.  Pertama, Indonesia diramalkan akan mengalami nasib terpecah seperti yang terjadi di kawasan Balkan. Menjadi banyak negara kecil-kecil, karena munculnya sentimen kedaerahan yang kuat di mana-mana. Kedua, Indonesia berubah menjadi negara Islam bergaris keras, karena munculnya sentimen keagamaan yang ingin meminggirkan ideologi Pancasila. Ketiga, Indonesia akan berubah menjadi negara semi otoritarian yang arahnya tak jelas. Keempat, Indonesia akan berjalan mundur alias kembali memperkuat negara otoritarian. Kelima, Indonesia diramalkan menjadi negara demokrasi, terutama negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasi. Hanya sedikit yang meramalkan bahwa Indonesia bisa menjalankan skenario kelima. (14 Agustus 2009, terekam di halaman 95 buku SBY Superhero karya Garin Nugroho). Era rezim Jokowi, sama sekali tidak peduli arah kebijakan dan penyelenggaraan negara, karena kemampuan dan kapasitas yang minim sebagai Presiden, kelola  negara diserahkan kepada Oligarki (RRC), negara menjadi kacau balau saat diwariskan kepada Presiden Prabowo Subianto. Dalam kondisi kacau rakyat berharap banyak Presiden Prabowo akan bisa mengatasi keadaan dengan cepat, menjauh dari Jokowi (sebagai pengkhianat negara) dan rakyat telah menyatakan baiat akan membersamai kebijakan tugasnya menyelamatkan Indonesia. Keadaan berubah dengan cepat seperti di sambar petir, ternyata Prabowo larut dengan kebijakan Jokowi ditandai dengan berbagai ucapan dan ungkapan yang tidak layak disampaikan seorang Presiden Keadaan tidak semakin membaik situasi semakin memburuk, sinyal perang antar etnis di indonesia terasa sulit dihindari karena kekacauan ekonomi dan politik di indonesia  dari pergantian Pax Americana ke Pax China tidak akan terhindarkan. Presiden Prabowo  mengabaikan aspirasi dan suara rakyat bahkan seperti mengecek dan menantang pada HUT Gerindra dengan sanjungan \"hidup Jokowi\" berulang-ulang, seperti lepas kontrol, hilang etika, adab dan kepatutan yang semestinya tidak boleh terjadi karena sangat menyakiti rakyatnya. Karena sebab kebijakan lainnya yang tidak pro rakyat, munculah demo mahasiswa di seluruh wilayah Indonesia, di liput banyak negara. Di tengarai Jokowi tetap pada prinsipnya sesuai skenario awal yang di dukung oligarki (RRC) potensi menurunkan Prabowo dari jabatannya sebagai Presiden justru akan dipercepat, untuk segera digantikan oleh Wakil Presiden. Sekiranya ini terjadi lebih cepat, huru hara tidak bisa di hindari. Akan terjadi perang antar etnis bahkan perang saudara  dan Indonesia pecah benar benar akan terjadi lebih cepat. Wallahu\'lam. (*)

Kalkulasi Trump-Netanyahu, Israel-Hamas Makin Pragmatis

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior       PRAGMATISME PM Israel dan Hamas makin membuncah. Begitu juga Presiden Trump, pasca bertemu Raja Abdullah.    Tiba-tiba Hamas memodifikasi tawaran \"roadmap\" kesepakatan tahap dua. Dari membebaskan sisa 56 sandera bertahap, menjadi sekaligus.    PM Benyamin Netanyahu, pun membalas perubahan Hamas. Duet Kepala intelejen Mossad (David Barnea), dan Shin Bet (Ronen Bar) yang reguler menjadi tim perunding Israel-Hamas. Kini tidak lagi. Diganti.      Menunjuk mantan Dubes Israel di Washington (AS) Ron Dermer. Netanyahu sepertinya ingin \"menghapus\" semua \"barrier\" yang terafiliasi dengan kelompok \"Sayap Kanan\" (garis keras).       \"Benang merah\"nya, Netanyahu yang didukung Trump. Ingin mengakhiri polemik 16 bulan yang \"mengiris\" perekonomian Israel di berbagai sektor.     Kehancuran ekonomi, pariwisata, dan image genosida yang menempatkan Israel ke kasta \"paria\" HAM. Telah menyisihkan Israel ke luar dari pergaulan dunia. Baik oleh musuh,  \"kawan\" seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia ikut menjauh.    Adalah pukulan telak terhadap dua pemimpin \"sayap kanan\": Bezalel Smotrich dan Ittamar Ben-Gvir, dengan penggantian David Barnea (Direktur Intelejen luar negeri)-Ronen Bar (Direktur Intelejen Dalam Negeri) kepada orang dekat Netanyahu, Ron Dermer.      Barnea-Ronen Bar yang sering berselisih dengan Netanyahu, selama ini enggan melanjutkan proses gencatan senjata. Sepertinya, keduanya berada dalam genggaman Bezalel Smotrich-Ittamar Ben-Gvir.     Sementara Netanyahu yang tersandera oleh kekuatan \"sayap kanan\" di koalisi pemerintahannya. Juga menghadapi \"pressure\" dari rakyat Israel, yang menginginkan seluruh sandera bisa cepat dibebaskan.     Nampak, Netanyahu ingin membingkai ulang dan berhitung. Antara melanjutkan peperangan, yang \"in motion\" tidak mengantarkan pada pemberangusan Hamas. Atau mengikuti \"kurva\" 15 bulan ke belakang, tanpa kemenangan. Korbannya bukan substantif (Hamas).     Langkah Raja  Abdullah (Yordania), yang mengingatkan Presiden Donald Trump. Tentang \"bahaya laten\" memindahkan 2,2 juta rakyat Palestina. Sepertinya dipahami Trump.      Ada tiga aspek yang akan mengubah peta geopolitik AS terhadap Timur Tengah. Bila itu \"dipaksa\" dilakukan Trump.       Pertama. Perjanjian perdamaian  Israel-Mesir (1978) dan Israel-Yordania (1994) tak akan mungkin bisa dipertahankan dengan \"pressure\" apa pun oleh AS.        Bila Mesir tetap bertahan dengan kesepakatan yang ditandatangani pendahulu Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi (baca: Anwar Sadat). Sel-sel \"tidur\" fundamentalis Mesir akan bangkit dan menggerogoti stabilitas Mesir.      Buah \"simalakama\", bagi AS-Israel. Bila Mesir menyudahi perjanjian perdamaian 1978, maka arus persenjataan dari perbatasan Gaza akan dengan mudah masuk ke dalam wilayah pendudukan Israel (Gaza & Tepi Barat).      Satu hal yang lebih ditakuti AS-Israel, teman dekat AS-Israel di negara Teluk (Gulf) yang berbentuk kesultanan (UAE, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait). Akan mudah runtuh oleh kaum fundamentalis yang teruji.     Pengusiran 2,2 juta rakyat Gaza ke Mesir-Yordania. Akan menjelmakan sebagian dari mereka sebagai fundamentalis (alami) yang inklusif. Menyebar ke seantero Timur Tengah, bahkan dunia. Mengganggu sahabat-sahabat AS.       Sebagai pengamat, saya yakin. Presiden Donald Trump tak akan meneruskan ucapannya, menjadi realitas. Netanyahu pun juga berhitung, dan terlihat dengan mengganti Ketua Tim perundingnya.       Penunjukkan Ron Dermer menggantikan David Barnea-Ronen Bar adalah isyarat. Netanyahu mulai menjaga jarak terhadap gagasan \"cabut gencatan senjata\", dan usir 2,2 juta rakyat Gaza ke Mesir dan Yordania.         Ide \"gila\" yang diinginkan \"Sayap Kanan\" Israel ini, bahkan bisa mengubah geopolitik secara ekstreem. Kerugian AS akan lebih banyak. (*).

Jangan Takut pada Gibran, Sikat Saja!

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERKEMBANG opini atau pandangan seolah tak peduli bahwa Prabowo menyanjung dan membela Jokowi. Tidak perlu dikritisi karena jika nanti Prabowo goyah dan tumbang  maka Gibran akan ambil alih. Relakah kita dipimpin oleh Presiden Gibran? Opini atau pandangan seperti ini seperti benar tetapi sesungguhnya kabur. Prabowo beruntung menjalankan pola \"playing victim\" agar semua kebijakan menjadi dimaklumi, bahkan, didukung. Gibran adalah Wapres \"jadi-jadian\" dalam arti jadinya dimasalahkan. Dimulai dari Putusan MK yang memperluas persyaratan, KPU yang menerima pendaftaran sebelum mengubah PKPU, skandal Fufufafa yang berkonten ujaran kebencian, pencemaran, penistaan agama, dan pornografi. Karakter kanak-kanak dan cuma kerja bagi-bagi buku atau susu. Kualitas Gibran dinilai payah.  Dalam kompetisi wibawa atau kompetensi antara Prabowo dengan Gibran tentu sangat jauh. Tingkat keamanan jabatan Prabowo lebih terjaga, sebaliknya Gibran rawan. Ia hanya berlindung pada cawe-cawe ayahnya Jokowi. Rakyat tentu akan memihak Prabowo dalam hal singkir menyingkirkan ketimbang kepada Gibran yang dijuluki \"bocil\", \"samsul\" atau  \"fufufafa\". Prabowo meminta agar Gibran menjadi pasangan Wapresnya dengan harapan Jokowi akan \"all out\" membantu memenangkan kompetisi. Nyatanya Jokowi melakukan apa saja untuk menyukseskan anaknya. Curang pun diangga lumrah. Kini setelah sukses, Prabowo terkesan memomong dan memberi mainan pada Wapresnya. Rambut gondrong juga ikut diurusnya. Ternyata isu berkembang atau mungkin dikembangkan bahwa Prabowo akan \"ditelikung\" di tengah jalan, dibuat berhalangan tetap dan digantikan Gibran. Ada juga isu berbasis perjanjian. Lalu publikpun dipaksa selalu curiga dan menduga-duga. Prabowo terancam, muncul manuver yang seperti membenarkan pola. Prabowo dideklarasikan sebagai Capres 2029. Dagelan politik mulai dimainkan. Rakyat \"dipaksa\" mendukung Prabowo dengan asumsi-asumsi. Daripada Gibran, katanya. Padahal Prabowo dan Gibran, bahkan Jokowi, adalah satu kesatuan. Satu kesatuan dari kecurangan dan penghalalan segala cara dalam politik. Ketika Gibran diserang dengan tudingan akun fufufafa, maka semua memproteksi. Prabowo diam saja atau berjoget hati? Penciptaan hantu ketakutan pada Gibran dan Jokowi menjadi pembenar untuk segala hal. Jika benar Gibran menakutkan sesungguhnya mudah saja untuk mengatasinya. Sikat dan ikuti ritme aspirasi rakyat yakni adili Jokowi dan makzulkan Gibran. Selesai. Tapi aneh Prabowo di samping bersukacita membiarkan Gibran, juga teriak hidup jokowi. Dipuja pujinya perusak negeri itu.  Akal sehat politik harus melawan paradigma sesat tersebut. Kembalikan kedaulatan pada rakyat, rakyat yang jadi penentu bukan Presiden atau Wakil Presiden atau pula Presiden bekas. Bukan permainan Istana yang diikuti, tapi genderang perang rakyat. Istana harus tunduk kepada kemauan rakyat. Bila seenaknya berbuat, maka rakyat harus lebih keras berbuat. Dalam prrspektif pendek, jika benar Prabowo takut pada Gibran, ya sikat saja. Bukankah dalam tentara berlaku asas \"kill or to be killed\" sebagai kredo dalam pertempuran? Rakyat muak disuguhi tontonan drama politik murahan. Pelecehan kedaulatan rakyat dari rezim Jokowi yang dilanjutkan Prabowo. Indonesia memang gelap. Mahasiswa benar. (*)

Macan Asia Tenggelam di Laut Pantura Banten

Patriotisme Prabowo lebur tak tersisa   bersama kasus pagar laut. Singa podium itu tak bernyali menghadapi Aguan. Oleh Ida N Kusdianti | Sekjen FTA  PENETAPAN empat tersangka (Arsin, Kades Kohod dkk) terkait kasus pemagaran laut di Tangerang telah dipublikasikan oleh pihak kepolisian. Namun anehnya tidak dilanjutkan dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, hanya sebatas pencekalan oleh pihak imigrasi. Perlakuan yang istimewa bagi tangan kanan Aguan, pemimpin tertinggi para pejabat pengkhianat di Republik tercinta ini. Wajar jika publik mulai curiga dengan pihak kepolisian yang berbelit belit  dalam penanganan kasus tersebut. Nuansa tarik ulur dan kongkalingkong para herder Aguan dan oknum penegak hukum dicurigai karena sampai detik ini belum terjawab oleh penegak hukum, siapa yang memerintahkan pemagaran dan motif dari pemagaran tersebut. Mimpi besar Presiden Prabowo untuk menjadi tokoh Asia yang disegani dan diperhitungkan, terganjal oleh para pembantunya yang masih menghamba pada masa Jokowi. Maka jangan heran jika pidato Prabowo tidak linier dengan kebijakan yang dieksekusi oleh para menteri dan para penegak hukum baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Presiden Prabowo tidak menyadari bahwa Jokowi adalah makhluk yang paling licik di Republik ini. Jokowi mania terhadap kekuasaan dan sadis terhadap rakyat kecil lewat kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Beberapa di antaranya adalah menjadikan Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai kedok untuk menggarong uang rakyat sebagaimana laporan PPATK bahwa dana PSN 36,68% menguap ke kantong kantong pribadi pejabat dan oligarki. Presiden Prabowo tidak sadar bahwa dengan mempertahankan kedekatannya dengan Jokowi akan menggiringnya ke tepi jurang untuk dikubur hidup hidup secara politik oleh kekuatan oligarki lewat tangga Jokowi. Di saat rakyat berteriak \"Adili Jokowi\", Prabowo malah memimpin yel yel dan teriakan di munaslub Gerindra  dengan ucapan \"Hidup Jokowi\". Teaterikal ini menunjukkan seolah-olah Kabinet Merah Putih sedang menantang gelombang perlawanan terhadap tuntutan rakyat untuk  \"Mengadili Jokowi\". Sebagian rakyat dan para tokoh memang masih menganggap bahwa ucapan- ucapan Prabowo terkait sanjungan pada Jokowi bagian dari taktik untuk meninggalkan Jokowi tanpa harus bergesekan, akan tetapi bagi publik itu langkah yang konyol mengingat Jokowi sudah terbukti menjadi satu satunya pemimpin yang ucapannya selalu bertolak belakang dengan perilakunya. Presiden Prabowo akan kehilangan momentum besar jika kasus pagar laut yang berdasarkan penelusuran disinyalir Aguan berada di balik semua pelanggan PSN PIK 2 ini tidak diselesaikan secara tuntas. Negara akan semakin tidak berdaya di hadapan oligarki jika gembong kejahatan penguasaan laut dan pantai tidak tangkap dan dihukum seberat-beratnya. Tindakan Aguan dkk tersebut sudah melampaui batas kewajaran sebagai warga negara yang seharusnya tunduk terhadap hukum, bukan menjadikan penegak hukum dan aparat sebagai alat untuk merampok negara. Pemagaran laut proses hukumnya tidak jelas, tidak berlanjut, dan terkesan mengambang. Bahkan sangat mungkin akan dihentikan menunggu rakyat lupa dan pecah konsentrasi. Kita tahu bahwa masalah utama dari inti kesewenangan ini adalah di daratan. Liciknya pemerintah hanya memberikan angin segar, memberikan permen pada rakyat yang sedang  berteriak keras. Pemerintah hanya memproses sedikit dari PSN, yaitu sebatas pemagaran laut lalu rakyar eforia seolah masalah sudah selesai dan penguasa berpihak.pada rakyat. Padahal di balik itu semua PSN PIK 2 yang berupa daratan masih terus berlanjut dan terus dikembangkan.  Inilah psikologis rakyat Indonesia yang mudah dikelabuhi, mudah dialihkan, mudah dipecah konsentrasinya. Selanjutnya masyarakat melupakannya dan tidak fokus pada masalah yang sebenarnya. Hal ini sudah terbaca oleh musuh kita, hingga mereka berpikir, biarkan saja, nanti juga berhenti sendiri, lupa dan perbanyak pengalihan isu. Presiden Prabowo sedang bermain, menari di atas generang yang ditabuh Jokowi sang psikopat yang menjadi sumber dari segala sumber masalah di negeri ini. The last one, tunjukkan taring macanmu Jenderal, jangan jadikan dirimu kucing.Rakyat sedang menunggu gebrakan dan manuver hebat. Kami tunggu di satu semester Kabinet Merah Putih. Bersuara, berjuang, bergerak bersama, semangat untuk Indonesia berdaulat. (*)