Selamat Datang Badan Penerimaan Negara

Oleh Djony Edward / Wartawan Senior FNN

Pemerintahan Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024 sudah hampir pasti akan dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029. Tentu saja rakyat Indonesia menunggu struktur kabinet yang akan mengisi formasi jabatan menteri dan lembaga negara.

Dikabarkan akan ada kementerian baru, lembaga baru, maupun instansi baru, tentu saja akan ada wajah-wajah baru yang akan mengisinya. Mengingat Prabowo ingin merangkul semua kader partai dalam kabinet, tentu saja para professional untuk mengatasi permasalahan Indonesia yang begitu besar. Disatu sisi ini berita positif, karena terlihat Prabowo ingin mengajak semua energi anak bangsa untuk terlibat dalam membenahi negara ini.

Berita buruknya, karena semua partai dirangkul, maka tidak ada mekanisme kontrol atas jalannya pemerintahan. Lepas dari itu semua tentu saja rakyat sedang menanti-nanti kementerian, lembaga dan instansi baru apa yang akan hadir, bagaimana strukturnya dan siapa yang bertindak sebagai pemimpinnya.

Salah satu yang santer terdengar adalah rencana pembentukan lembaga baru, yaitu Badan Penerimaan Negara (BPN). BPN adalah badan yang dibentuk Pemerintah Prabowo yang bertugas menggenjol penerimaan negara, lewat pajak maupun penerimaan bea masuk dan cukai. Itu artinya unsur Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Kementerian Keuangan akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam BPN.

Tentu saja niatanya BPN dapat menggenjot rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan tax ratio. Seperti diketahui, berdasarkan data Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia sempat menyentuh level 13% dimasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun di masa Pemerintahan Jokowi maksimum hanya 10,85%, tapi rerata di bawah 10%, pada 2024 ini menyentuh level terendah 8,57%.

Itu artinya Pemerintahan SBY berhasil menggenjot penerimaan pajak di atas rasio pajak Pemerintahan Jokowi. Ini juga menggambarkan bahwa kapasitas mengelola ekonomi SBY di atas kapasitas Jokowi.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, tax ratio Indonesia terbilang terendah. Pada 2022 tax ratio Indonesia hanya 10,10%, bandingkan dengan Vietnam 22,70%, Kamboja 20,20%, Filipina 17,80%, Thailand 16,50%, Singapura 12,80%, Malaysia 11,40%. Indonesia hanya unggul terhadap Laos dengan tax ratio 8,90%.

Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang memiliki tax ratio rerata mencapai 33,50%. Jelas, ada PR besar Presiden Prabowo untuk menggenjot tax ratio agar paling tidak bisa menyeimbangkan dengan tax ratio negara-negara ASEAN.

Itu sebabnya Presiden Prabowo memiliki political will yang patut diacungkan jempol yakni bisa menggenjot tax ratio menjadi 13% pada 2025 dan menjadi 23% pada 2029. Adapun tools untuk menggenjot tax ratio tersebut adalan dibentuknya BPN.

Beberapa negara pun sebenarnya sudah mengimplementasikan pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangannya. Contohnya Amerika Serikat (AS) dengan Internal Revenue Service (IRS), Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore), Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri), dan Australia dengan ATO (Australian Tax Office).

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, dari sisi positifnya kehadiran Badan Penerimaan Negara ini akan memberikan kewenangan lebih leluasa untuk dapat membuat kebijakan pajak dan bea cukai ke depan.

Sebagai contoh, lewat badan baru ini Prabowo bisa menginstruksikan badan tersebut untuk memperluas basis pajak. Misalnya mengejar pajak orang kaya (wealth tax) sampai pajak anomali harga komoditas (windfall profit tax) dan perluasan objek cukai baru bisa kilat.

“Administrasi pajak juga bisa lebih simpel dan ada keleluasan anggaran untuk belanja IT untuk mewujudkan sistem perpajakan yang canggih. Kepatuhan pajak juga bisa didorong,” ujar Bhima.

Struktur BPN

Untuk menciptakan BPN, diperkirakan Pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hal ini bisa dipahami karena unsur kegentigan yang mendesak, yakni membengkaknya belanja negara, sementara pertumbuhan penerimaan negara tidak sebanding. Sehingga menyebabkan defisit APBN yang berkelanjutan.

BPN berdasarkan struktur yang dibentuk akan menjadi super body dalam hal penerimaan negara, terutama dari sisi penerimaan perpajakan dan kepabeanan sampai tingkat kepatuhan. Seperti diketahui di DJP ada 19 Direktorat, sementara di DBC terdapat 12 Direktorat. Ditambah Setjen masing-masing dan 20 Kanwil DJP dan DBC, ditambah 3 kantor luar negeri.

Jika kedua direktorat jenderal ini digabung dan dikompres menjadi BPN, diperlukan 35 posisi pejabat setingkat eselon II di kantor pusat. Dari sisi personel DJP pada 2024 terdapat 44.787 personel, sementara DBC memiliki sekitar 15.000 personel. Sehingga pada awal BPN berdiri terdapat 59.787 hingga 60.000 personel, satu bodi lembaga yang tinggi.

Nantinya BPN akan dikepalai oleh Kepala Eksekutif, secara struktural tidak di bawah Menteri Keuangan, tapi langsung di bawah Presiden. Akan ada 7 Komite Pengawas, dan memiliki dua Wakil Kepala Eksekutif yaitu Bidang Transformasi dan Hubungan Kelembagaan dan Wakil Kepala Bidang Kepabeanan.

Kepala Eksekutif BPN nantinya akan di-back up 5 staf ahli. Akan ada Kepala Pusat Sains Data dan Informasi, Inspektorat Utama Badan, dibantu Sekretaris Utama Badan, dan Kepala Pusat Litbang dan Pelatihan Pegawai.

Dalam operasionalnya Kepala Eksekutif BPN dibantu 6 Deputi, mulai dari Deputi Perencanaan dan Pengawasan Penerimaan, Deputi Kebijakan dan Peraturan Pajak, Deputi Kebijakan Pendapatan PNBP SDA dan Kekayaan Negara Dipisahkan, Deputi Kebijakan Kepebeanan, Deputi Penegakkan Hukum dan Deputi Intelijen.

Adapun nama-nama yang sudah muncul ke permukaan untuk mengisi jabatan-jabatan di atas adalah Anggito Abimanyu, Agus Sutomo, Hadiyati Munawaroh, Abdul Hamid Paddu, Agung Kuswandono, Edi Slamet Irianto, Junino Jahja, termasuk Rui Fernandes Duarte. Tentu saja mereka akan ditempatkan sesuai kemampuan dan profesionalitasnya masing-masing.

Tapi belakangan muncul nama mantan Kepala Eksekutif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertama yakni Muliaman P. Hadad yang juga ikut diusulkan untuk mengisi posisi tersebut.

Yang jelas nama Anggito yang digadang Prabowo paling kuat, namun karena banyak catatan atas beliau saat memipin Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), bisa nama beliau dianulir. Atau dipasang tapi tidak sebagai Kepala Eksekutif BPN.

Selain struktur di atas, tentu ada struktur lain yang diusulkan, tinggal dimatangkan dan disetujui para pengambil keputusan.

Tentu saja tujuan utama dibentuknya BPN adalah untuk menggenjot tax ratio yang saat ini di kisaran 8,5% menjadi 13% pada 2025 dan 23% pada 2029. Dengan berbagai upaya perombangan DJP dan DBC dan kemudian digabungkan ke dalam BPN, maka upaya meningkatkan tax ratio akan lebih mudah, karena segala hambatan dan tantangan coba dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Pada saat yang sama aparat BPN diberi kewenangan lebih sehingga badan itu menjadi lebih powerful, para pengemplang pajak tak berani lagi, para pemburu rente lewat transfer or pricing tak lagi berani bermain, dan para negosiator pajak yakni konsultan pajak mantan pegawan DJP, tak lagi berani melakukan negosiasi.

Ini sejalan dengan visi misi Prabowo yang ingin meningkatkan tax ratio.

Jika demikian halnya, selamat datang Badan Penerimaan Negara….!

 

 

 

2134

Related Post