ENERGI

PLTA Rajamandala "Run of River" Hasilkan Listrik 47 MW

Cianjur, FNN - Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Rajamandala di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mampu menghasilkan listrik berkapasitas 47 megawatt dengan memanfaatkan aliran sungai Citarum hasil keluaran PLTA Saguling. Pembangkit listrik yang menggunakan turbin vertical kaplan ini tidak memerlukan pembangunan waduk atau bisa disebut dengan kategori PLTA run of river. "Posisi persis di belakang Saguling, masuk terowongan 1,3 kilometer menuju saluran terbuka Saguling, nanti air turun ke turbin dan ketemu energi 47 megawatt," kata Direktur Utama Indonesia Power Ahsin Sidqi di Cianjur, Jawa Barat, Kamis. PLTA Rajamandala merupakan pembangkit dengan teknologi modern hasil kerja sama antara Indonesia Power dengan kepemilikan saham sebesar 51 persen dan Kansai Electric Power Company sebesar 49 persen yang menjadi PT Rajamandala Electric Power. Listrik dari pembangkit yang menyerap investasi sebesar 150 juta dolar AS ini dihasilkan dengan memanfaatkan debit air 168 meter kubik dan ketinggian jatuh air 34 meter. Sejak pengoperasian perdana pada Mei 2019, PLTA Rajamandala menerapkan teknonologi terbaru pada konstruksi pipa pesat, spiral case, dan labirin waterway dengan menggunakan bahan beton bertulang serta teknologi yang efisiensi pada sisi turbin kaplan. Ahsin mengatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari PLTA Rajamandala turut memperkuat sistem interkoneksi kelistrikan Jawa-Bali. Listrik tersebut dipasok melalui jaringan transmisi bertegangan 150 kilovolt Cianjur-Cigereleng. Selain itu, pasokan listrik dari PLTA yang menempati lahan sekitar 40 hektare tersebut juga menjadi cadangan untuk sistem kelistrikan di wilayah Jawa Barat. "PLTA ini merupakan wujud dari komitmen PLN dan Indonesia Power untuk mencapai target Rencana Umum Energi Nasional sebesar 23 persen energi baru terbarukan pada 2025," pungkas Ahsin. (mth)

Harga Minyak Dunia Anjlok, Indonesia Malah Akan Naik

New York, FNN - Harga minyak anjlok pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), terpukul oleh lonjakan dolar setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan pemerintahannya sedang mencari cara untuk mengurangi biaya energi di tengah lonjakan inflasi yang lebih luas. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari terperosok 2,14 dolar AS atau 2,5 persen, menjadi menetap di 82,64 dolar AS per barel. Kontrak Brent mencapai level tertinggi 85,50 dolar AS per barel pada sesi tersebut sebelum mundur kembali. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember anjlok 2,81 dolar AS atau 3,3 persen, menjadi berakhir di 81,34 dolar AS per barel, setelah mencapai tertinggi 84,97 dolar AS per barel, tak jauh dari tertinggi tujuh tahun yang disentuh dalam beberapa minggu terakhir. Minyak mentah berjangka Brent dan WTI turun tajam pada akhir sesi karena pedagang menjual aset-aset berisiko, termasuk saham dan komoditas, didorong oleh ekspektasi bahwa bank sentral akan mengambil langkah-langkah untuk menahan kenaikan harga. Data inflasi konsumen pada Rabu (10/11/2021) menunjukkan harga-harga AS naik pada tingkat 6,2 persen tahun-ke-tahun, tingkat tercepat mereka dalam tiga dekade, dan dapat memacu Gedung Putih dan Federal Reserve AS untuk mengambil tindakan guna mencegahnya. Itu mendorong dolar, yang sering diperdagangkan terbalik dengan minyak. "Tidak diragukan lagi, ada lebih banyak tekanan pada pemerintah setelah angka inflasi hari ini," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. "Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Fed mungkin harus kembali bertindak lebih agresif pada kenaikan suku bunga, sehingga membuat dolar menguat." Inflasi memanas karena hambatan ekonomi dari gelombang musim panas infeksi COVID-19 memudar dan kemacetan pasokan terus berlanjut. Federal Reserve diperkirakan akan mencoba untuk mencegah kenaikan harga-harga yang sedang berlangsung, yang telah berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan semula. Itu memicu reli dolar, yang melemahkan harga minyak karena meningkatkan biaya bagi negara lain sebab minyak sebagian besar ditransaksikan dalam dolar. Biden mengatakan dia meminta Dewan Ekonomi Nasional untuk bekerja mengurangi biaya-biaya energi dan Komisi Perdagangan Federal untuk mendorong kembali manipulasi pasar di sektor energi dalam upaya yang lebih besar untuk membalikkan inflasi. "Komentar itu menyebabkan pasar melemah," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka untuk Mizuho di New York. Secara terpisah, persediaan minyak mentah AS juga naik 1 juta barel dalam minggu terakhir, jauh dari perkiraan untuk peningkatan 2,1 juta dalam stok minyak mentah. Beberapa pedagang mengatakan pada Rabu (10/11/2021) bahwa harga-harga dapat terus naik dalam beberapa bulan mendatang, tetapi mencatat juga bahwa reli yang sedang berlangsung dapat memacu lebih banyak produksi industri serpih yang akan mengimbangi permintaan. Pasar telah reli dalam beberapa hari terakhir di tengah ekspektasi bahwa Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang dipimpin oleh Arab Saudi, bersama dengan sekutu pengekspor lainnya, akan mempertahankan peningkatan produksi yang stabil. Harga tinggi dapat mendorong industri minyak serpih AS untuk melepaskan 1 juta barel per hari ke pasar global, kata Marco Dunand, kepala eksekutif di Mercuria Energy Trading, berbicara di Reuters Commodity Trading Summit. OPEC+, demikian kelompok pengekspor yang lebih luas disebut, menolak seruan Gedung Putih untuk meningkatkan produksi. Produksi AS baru-baru ini mencapai 11,5 juta barel per hari, masih kurang dari 13 juta barel per hari yang dicapai pada akhir 2019. Gedung Putih telah berjinjit di sekitar kemungkinan melepaskan minyak dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) AS di tengah kekhawatiran atas kenaikan harga bensin baru-baru ini. Umumnya, AS membuka keran SPR dalam keadaan darurat, seperti badai. Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM, Soerjaningsih, menyebut harga pasar Pertalite mestinya Rp 11.000 per liter, sedangkan saat ini dijual di bawah harga pasar. yakni Rp 7.650 per liter. (sws)

Harga Pertalite di Sorong Tembus Rp 50 Ribu Per Liter

Sorong, FNN - Harga BBM jenis Pertalite tembus Rp50 ribu per liter di Sorong, Papua Barat. Kenaikan harga BBM oleh pengecer di sepanjang jalan di Kota Sorong terjadi karena kelangkaan di sejumlah SPBU sejak Jumat (5/11). Kenaikan harga BBM oleh pengecer di jalan-jalan kota Sorong tersebut disebabkan kelangkaan di SPBU sejak Jumat (5/11). Harga pertalite pada pengecer semula Rp30.000 dan terus bergerak hingga Rp50.000/liter pada Sabtu sore. Hamid Amaro salah seorang pengecer BBM di Jalan Malanu kota Sorong mengatakan bahwa ini adalah kesempatan mencari keuntungan lebih karena terjadi antrian di seluruh SPBU kota Sorong dan banyak orang yang tidak mau antri di SPBU memilih membeli eceran. Dia mengaku mendapatkan pertalite dari SPBU sejak pagi dan juga ikut antri menjelang siang hari bersama masyarakat lainnya. Sehingga kesempatan menjual dengan menaikkan harga untuk keuntungan lebih. Unit Manager Communication, Relations dan CSR Regional Papua Maluku PT Pertamina Sub Holding Commercial Trading, Edi Mangun saat di konfirmasi mengatakan bahwa Stok BBM di SPBU kota Sorong sudah kembali normal melayani masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kelangkaan BBM di Sorong Jumat (5/11) dikarenakan terjadinya rotasi kapal tanker pengangkut BBM milik Pertamina untuk wilayah Papua, Papua Barat, Maluku akibat cuaca buruk. Menurut dia, pergerakan kapal dari satu titik ke titik yang lain terkendala cuaca sehingga menyebabkan keterlambatan pendistribusian. Karena itu, tim terminal pengisian BBM melakukan pengendalian stok. Kemarin sore petugas di terminal pengisian BBM Jayapura, Wayame dan Sorong serta depot-depot lain telah berkordinasi agar situasi kelangkaan yang terjadi dapat tersebut kembali normal. "Kami meminta maaf atas terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak di wilayah Sorong," katanya Edi menambahkan bawa kewenangan untuk menindak dan proses hukum para pelaku ini bulan BBM adalah kewenangan Kepolisian dan penegak hukum lainnya sesuai undang-undang Migas. (sws, ant)

Menggugat Kebijakan Harga BBM Populis Tak Berkeadilan

oleh Marwan Batubara DALAM sebulan terakhir terjadi kelangkaan bahan bakar Jenis BBM Tertentu (JBT, terutama solar), Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP, terutama premium), dan BBM umum (pertamax & pertalite) pada sejumlah SPBU di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Kelangkaan antara lain telah menimbulkan antrian panjang, kemacetan, terhentinya nelayan Pantura melaut (Gresik, Lamongan, Tuban, dll.), dan terganggunya kegiatan ekonomi. Penyebab kelangkaan baik menurut BPH Migas, Pertamina, maupun analisis IRESS seperti diurai berikut. Pertama, dikatakan BBM langka karena stok dan pasokan perlu dikendalikan agar tidak melampaui kuota 2021 (15,8 juta kiloliter, kl). Artinya pasokan memang sengaja dikurangi agar kuota tidak terlampaui, terutama karena menyangkut pagu anggaran APBN. Kedua, kebutuhan BBM melonjak seiring meningkatnya aktivitas masyarakat karena pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut Pertamina, dibanding tahun lalu, permintaan BBM jenis gasoline (Pertalite dan Pertamax series) dan gasoil (biosolar dan dex series) naik antara 3,5 hingga 16 persen di berbagai wilayah. Ketiga, terjadi penyalahgunaan BBM terutama karena semakin besarnya disparitas harga BBM umum/non- subsidi dengan solar dan preminum. Selisih harga membesar karena semakin tingginya harga minyak dunia. Sementara harga solar dan premium tidak naik. Maka, secara ilegal konsumen BBM non-subsidi beralih ke BBM bersubsidi. Pasar gelap dan penyelewengan pun marak pada sektor-sektor industri, tambang, perkebunan, dll. Keempat, penyalahgunaan BBM semakin meningkat akibat lemahnya pengawasan, minimnya penegakan dan sanksi hukum, serta terlibatnya oknum-oknum terkait pada rantai pasok, distribusi, dan pengawasan. Perburuan rente ini terjadi secara sistemik berkelanjutan. Kelima, solar langka akibat kenaikan harga minyak sawit/CPO, sebab BBM solar subsidi masuk program solar B30. Harga CPO telah naik sekitar 75% dibanding 2020, sehingga harga FAME sebagai campuran B30 ikut naik. Sementara, meski menjadi negara pengekspor CPO terbesar, pemerintah belum menerapkan DMO. Maka, Indonesia jangan bermimpi mengurangi impor migas dengan program B40, B50, dst, jika hanya untuk kadar rendah saja seperti B30 gagal berdaulat. Keenam, pemerintah/BPH Migas gagal mengantisipasi naiknya permintaan saat PPKM direlaksasi, saat kehidupan “kembali normal”. Hal ini sebetulnya bisa dianalisis, karena permintaan menigkat secara gradual. Karena itu, langkah-langkah antisipatif mestinya mudah disiapkan, sehingga kelangkaan bisa dicegah. Ketujuh, kelangkaan BBM terjadi diyakini sebagai bagian upaya Pertamina mengatasi masalah cash flow. Karena harga minyak dunia terus naik, sementara harga solar dan premium tetap, maka beban subsidi dan kompenasi semakin besar. Memang subsidi dan kompensasi ini kelak dibayar pemerintah, namun karena jumlahnya terus membesar dan waktu pelunasan tidak pasti, maka keuangan Pertamina jelas terganggu. Karena itu, di samping menyiapkan dana talangan yang juga menimbulkan beban tambahan berupa bunga (cost of fund), Pertamina pun harus mengurangi pasokan. Berbagai langkah kebijakan dan program mengatasi sebagian dari tujuh faktor penyebab kelangkaan di atas dapat dilakukan pemerintah dengan cepat. BPH Migas dan Pertamina misalnya telah melakukan koordinasi. BPH Migas telah menerbitkan surat relaksasi distribusi solar bersubsidi. Pertamina diberi wewenang mengatur kuota antar wilayah dan sektor, sepanjang tidak melebihi kuota nasional 15,8 juta kl. Kuota nasional 15,8 juta kl bisa saja dinaikkan, terutama jika dibutuhkan untuk menjamin perbaikan ekonomi dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kenaikan ini relevan, sebab sebelumnya nilai kuota 35 juta kl (2020) dan 38 juta kl (2019, sebelum pandemi). Pemerintah dan DPR dapat membuat kesepakatan sesuai mekanisme dan hukum berlaku. Hal prioritas dan menyangkut hidup rakyat tidak boleh dikalahkan mekanisme teknis prosedural. Sistem Pricing & Subsidi Tidak Adil Ternyata di balik berbagai faktor penyebab kelangkaan terkandung masalah besar yang mendesak diperbaiki. Disparitas harga telah menimbulkan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Disparitas harga terjadi karena kebijakan subsidi dan pricing BBM populis bermasalah. Sedang kebijakan populis ini, terutama dengan tidak menaikkan harga solar dan premium, terjadi akibat dominannya pertimbangan politik. Tujuannya, untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dan pada level tertentu, untuk kepentingan oligarki dan perburuan rente. Dampak kebijakan BBM populis antara lain adalah anggaran subsidi APBN semakin besar terutama saat harga minyak dunia terus naik. Padahal studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM tidak tepat sasaran. Artinya, mayoritas dana subsidi APBN puluhan hingga ratusan triliun Rp justru dinikmati golongan mampu secara tidak adil. Selain itu, karena ruang fiskal terbatas, maka naiknya dana subsidi akan mengurangi alokasi dana untuk pengentasan kemiskinan. Maka populasi rakyat miskin dan gap kaya-miskin (rasio GINI) tetap tinggi. Di samping tidak adil dan melanggengkan kemiskinan, kebijakan BBM populis telah pula merusak kinerja BUMN, terutama Pertamina dan PLN sebagai penyedia layanan energi utama publik. BUMN energi kita sudah biasa menjadi objek bancakan penguasa, sejak dulu hingga sekarang. Sikap semau gue karena berkuasa ini telah dan akan terus mengancam pelayanan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional, termasuk naiknya harga BBM dan listrik secara signifikan oleh swasta, jika BUMN sampai bangkrut atau saham anak usahanya dijual. Berdasar publikasi Pertamina dan APBN 2021, harga minyak mentah Indonesia, ICP, diasumsikan US$ 45/barel. Ternyata harga minyak naik menjadi US$ 50-an sejak Januari dan menjadi US$ 80-an per barel pada Oktober. Secara rerata hingga Oktober 2021 ICP telah naik sekitar 80%. Karena harga solar dan premium tidak berubah, maka besarnya piutang Pertamina kepada pemerintah hingga Oktober 2021, berasal dari subsidi dan kompensasi (selisih harga jual eceran JBT dan JBKP), diperkirakan mencapai US$ 5,1 milar, atau sekitar Rp 72 triliun. Jangka pendek, pemerintah harus segera membayar piutang Pertamina, terutama agar masalah cash flow dan kelangkaan BBM dapat segera diatasi. Sejalan dengan itu, terlepas dari mekanisme APBN yang harus dipenuhi, pemerintah pun harus menambah kuota BBM, termasuk tambahan dana subsidi yang menyertai. Jika tidak ditambah, bisa saja ekonomi dan kehidupan masyarakat terdampak. Namun, masalah yang dihadapi rakyat bukan sekedar kelangkaan BBM, dan dianggap selesai dengan solusi jangka pendek. Selama ini rakyat telah sangat dirugikan saat dana subsidi BBM diselewengkan ke sektor industri, tambang, perkebunan, dll. Rakyat butuh solusi adil, komprehensif dan berkelanjutan, yang berpangkal dari kebijakan harga dan subsidi BBM yang bermasalah, serta sarat kepentingan pencitraan politik. Untuk itu, IRESS menuntut agar pemerintah segera menetapkan sistem pricing dan subsidi BBM yang adil dan berkelanjutan. Sebagaimana diusulkan sejak 2015-an, sistem pricing BBM harus dinamis secara berkala sesuai perubahan variable harga minyak dunia, kurs dan indeks harga barang tertentu. Selain itu sistem harga tunggal atas seminim mungkin jenis ini, perlu pula menerapkan skema dana stabilisasi (mengatasi dampak volatilitas harga minyak dunia) dan skema dana ketahanan/saving (mendukung keberlanjutan dan pengembangan EBT). Bersamaan dengan penerapan harga tunggal dinamis berkala, sistem harga BBM pun harus bebas dari pola subsidi barang untuk diganti dengan pola subsidi langsung. Rakyat miskin dan sektor-sektor relevan dan layak harus diprioritaskan memperoleh subsidi. Jika pemerintah dan Pertamina berkomitmen kuat, tidak terkontaminasi berbagai kepentingan sempit, pola subsidi langsung mestinya mudah dilakukan menggunakan teknologi IT dan aplikasi on-line yang telah berkembang pesat. Pertamina pun telah memulai dengan digitalisasi SPBU dan pelayanan. Apakah “The Real President”, Mr. Jokowi, peduli mengakhiri kebijakan harga BBM populis tak berkeadilan?[] Jakarta, 3 November 2021 *) Direktur Eksekutif IRESS

Kontrak Pelet TOSS PLTU Ropa NTT Dukung Transisi Energi RI

Jakarta, FNN - Kementerian ESDM mengapresiasi penandatanganan kontrak jual dan beli bahan bakar pelet tempat olah sampah setempat (TOSS) untuk program co-firing di PLTU Ropa, NTT, sebagai bentuk dukungan nyata bagi transisi energi di Indonesia. Penandatanganan kontrak dilakukan PT PLN (Persero) Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Flores, NTT, dengan konsorsium koperasi dan usaha kecil menengah binaan Pemerintah Kabupaten Ende, NTT, bernama Koperasi Energi Baru Pancasila secara hybrid di Ende, NTT, Kamis (28/10/2021). Dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Senin, disebutkan bahwa kegiatan ini menjadi tonggak penting pengembangan biomassa untuk co-firing pada PLTU Ropa dengan memanfaatkan pelet yang berasal dari material sampah biomassa di Kabupaten Ende dan diproduksi masyarakat setempat. "Kami sangat mengapresiasi upaya Tim TOSS Ende yang terdiri atas Pemda Ende, Comestoarra, PLN UPK Flores, dan organisasi nirlaba ACIL yang terus mendukung transisi energi melalui upaya penyediaan energi yang berbasis energi terbarukan. Salah satu bagian program green booster PLN adalah co-firing pada PLTU eksisting dengan menggunakan biomassa baik yang berbasis sampah, limbah maupun biomassa yang berasal dari tanaman energi," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji dalam sambutannya secara virtual saat acara penandatanganan mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif. Menurut Tutuka, upaya co-firing ini akan berdampak positif dalam pencapaian kontribusi EBT, yang dalam kebijakan energi nasional (KEN) telah ditetapkan target pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama untuk bisa merealisasikannya. "PR kita untuk mencapai target tersebut masih cukup besar dan diperlukan berbagai terobosan dan inovasi untuk akselerasinya," katanya. Menurut dia, substitusi energi merupakan upaya yang mudah, cepat dan murah. Apalagi pada masa pandemi COVID-19, dengan demand penggunaan energi turun dan ketersediaan dana untuk investasi juga terbatas, maka upaya substitusi energi untuk jangka pendek dan menengah menjadi pilihan yang cerdas untuk mendorong EBT tanpa membebani PLN dan juga pemerintah dengan subsidi. Co-firing biomassa pada PLTU bukanlah hal baru. Banyak negara-negara di luar yang sudah berhasil menghijaukan PLTU-nya dengan program co-firing biomassa, bahkan hingga 100 persen PLTU digantikan dengan biomassa. Ke depan, Indonesia juga akan berupaya untuk bisa mengurangi PLTU-PLTU yang sudah ada untuk digantikan dengan pembangkit-pembangkit yang lebih bersih. "PLN dan pemerintah daerah diharapkan juga memiliki semangat dan komitmen yang kuat untuk bisa menyediakan energi untuk negeri dengan energi yang lebih ramah lingkungan," ujar Tutuka. Selain mendukung kontribusi energi terbarukan pada bauran energi nasional, program co-firing biomassa khususnya yang berbasis sampah dan limbah juga berdampak positif kepada pengembangan ekonomi kerakyatan yang produktif (circullar economy), dapat membuka lapangan kerja, dan menurunkan emisi gas rumah kaca, yang mana sektor energi diharapkan berkontribusi besar dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Tutuka mengatakan tantangan terbesar untuk program co-firing dengan biomassa ini adalah ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan dan harga biomassa. Untuk itu, dalam jangka pendek ini, pemerintah mendorong implementasi dari co-firing ini menyesuaikan dengan ketersediaan feedstock di daerah setempat, sehingga dapat mengurangi biaya transportasi yang ujungnya bisa menekan harga bahan bakunya. TOSS Ende merupakan solusi pengelolaan dan pengolahan sampah di Kabupaten Ende yang dapat digunakan sebagai bahan baku co-firing PLTU Ropa, sekaligus mendukung ekosistem listrik kerakyatan dan substitusi minyak tanah dan kayu bakar yang selama ini masih banyak digunakan masyarakat Ende. Selain itu, nilai positif dari TOSS Ende ini menghidupkan kembali budaya gotong royong dalam pembersihan sampah dan lingkungan di masyarakat di Kabupaten Ende serta memberikan manfaat bagi pemulihan ekonomi masyarakat Ende akibat pandemi COVID-19. Bahan baku yang digunakan untuk co-firing cukup beragam seperti PT PJB yang go live komersial dengan sawdust, PT Indonesia Power go live dengan SRF dan sekam padi, PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau go live dengan dengan cangkang sawit, dan sekarang PLTU Ropa menggunakan pelet TOSS yang dibuat masyarakat Ende. "Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU sangat fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan potensi biomassa setempat dengan tetap memperhatikan standar teknis dan kebutuhan pembangkit. Dengan demikian, pengusaha lokal dan masyarakat setempat dapat terlibat aktif dalam kegiatan ini, sehingga mendukung terciptanya ekonomi listrik kerakyatan," tutur Tutuka. Pemerintah mengharapkan program ini dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan persentase dari campuran biomassanya juga terus bisa ditingkatkan. Untuk itu, tambahnya, dari sisi hulu penyediaan bahan bakunya juga harus dibangun dan dikembangkan dengan baik. (mth)

PLN Salurkan Bantuan Listrik dari Pemerintah Rp 63,18 Triliun

Jakarta, FNN - PT PLN (Persero) telah menyalurkan bantuan listrik dari pemerintah sebesar Rp 63,18 triliun hingga September 2021 untuk meringankan beban masyarakat dan industri yang terdampak pandemi COVID-19. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menjelaskan bantuan listrik itu terdiri dari stimulus, subsidi, hingga kompensasi. "Realisasi program stimulus COVID-19 pada 2020-2021 tercatat Rp 22,58 triliun yang disalurkan kepada 33,04 juta pelanggan," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu. Bob menyampaikan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah stimulus listrik tertinggi sebesar Rp1,92 triliun. Posisi kedua ditempati Jawa Tengah dengan nilai stimulus Rp1,69 triliun, serta posisi ketiga ditempati Jawa Timur dengan nilai stimulus Rp1,60 triliun. PLN senantiasa menjalankan program penugasan pemerintah untuk mendukung masyarakat mendapatkan energi listrik yang memadai. Di tengah pandemi, perseroan sebagai badan usaha yang diberi tanggung jawab pada bidang ketenagalistrikan menjalankan penugasan pemerintah dalam penyaluran subsidi, kompensasi maupun stimulus listrik. Diskon diberikan secara langsung kepada para pelanggan baik itu prabayar maupun pasca bayar. Bagi pelanggan pascabayar diskon diberikan dengan langsung memotong tagihan rekening listrik pelanggan. Sementara itu, pelanggan prabayar mendapat diskon tarif listrik yang diberikan saat pembelian token listrik. "Realisasi program stimulus per September 2021 tercatat Rp 9,42 triliun yang telah disalurkan kepada 31,94 juta pelanggan," terang Bob. Selain stimulus listrik, PLN juga menyalurkan subsidi listrik yang merupakan salah satu program pemerintah untuk mengurangi tekanan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. "Tercatat, realisasi subsidi telah mencapai Rp37,39 triliun sampai dengan September 2021 atau mencapai 69,8 persen terhadap pagu APBN 2021," ujar Bob. Perusahaan setrum negara ini juga menyalurkan kompensasi listrik yang merupakan selisih antara tarif yang dibayarkan oleh pelanggan non-subsidi dengan nilai tarif adjustment. Kompensasi listrik ini ditanggung oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan angka realisasi mencapai 16,18 triliun per September 2021. Segmen industri merupakan segmen tertinggi dalam penerimaan kompensasi senilai Rp 8,16 triliun atau 50,43 persen, dilanjutkan dengan segmen rumah tangga sebesar Rp 5,18 triliun atau 32,01 persen, dan posisi ketiga adalah segmen bisnis sebesar Rp 2,39 triliun atau 14,77 persen. (mth)

Waspadai Pencaplokan Blok Migas Natuna Timur oleh China!

Oleh Marwan Batubara MASUKNYA kapal-kapal nelayan, survei dan kapal perang China ke Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir tampaknya sudah biasa. Pada akhir Agustus hingga awal Oktober 2021 kapal China kembali muncul. Namun, beberapa pejabat pemerintah terkesan “memaklumi” kejadian yang melanggar teritori dan melecehkan kedaulatan ini. Tampaknya pemerintah mempunyai sikap khusus atas China, rakyat harap maklum dan dilarang protes. Padahal, di samping persoalan teritori dan kedaulatan, agresivitas China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara juga menyangkut masalah SDA. Pencurian ikan sudah berlangsung lama. Kerugian NKRI ini akan bertambah besar jika cadangan migas Blok Natuna Timur (Blok NT, d/h: Natuna D-Alpha) dicaplok China. Di samping ingin mengamankan jalur sutra (ekonomi dan perdagangan), tampaknya China terus menarget penguasaan Blok NT. Kisruh soal Laut Natuna Utara sudah berlangsung lama. Klaim sepihak, \"unilateral claim”, China menyatakan wilayah tersebut sebagai “traditional fishing ground”. Hal ini diwujudkan dalam teritori “Nine Dash Line” (sembilan garis putus-putus) yang mencaplok sekitar 83.000 km2 wilayah yurisdiksi Indonesia (30% luas perairan Natuna), termasuk Blok NT. Klaim sepihak ini membuat China berseteru juga dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam. Ternyata sebagai peserta UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) sejak 1996, China tidak menghormati hak berdaulat Indonesia. Aktivitas riset kapal asing di ZEE Indonesia merupakan tindakan ilegal jika dilakukan tanpa izin pemerintah Indonesia. Hal ini melanggar hak berdaulat seperti diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 56 ayat 1, Pasal 240, 244 dan 246, dan UU No.5/1983 Pasal 7 yang mengatur tentang kegiatan penelitian ilmiah di ZEE. Maka, Indonesia harus konsisten bersikap tegas: “unilateral claim” harus dilawan Indonesia dengan \"persistent objection”. Ternyata pada 3 insiden terakhir, sikap pemerintahan Jokowi tidak konsisten dan berubah semakin parah! Pada insiden pertama, kapal China “Kway Fey” yang masuk wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) pada Maret 2016, disikapi wajar dan proporsional. Hal ini terlefleksi dengan gugatan berujung putusan arbitrase 2016 yang membatalkan klaim sepihak China. Pada insiden kedua, masuknya kapal nelayan dan Coast Guard China ke ZEE Natuna 19-24 Desember 2019 disikapi dengan tegas. Menlu Retno Marsudi menyatakan Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak China yang tidak berdasar hukum dan UNCLOS 1982 (3/1/2020). Menko Polhukam M. Mahfud menegaskan tidak akan melakukan negosiasi dengan China, sebab perairan Natuna bukan kawasan konflik, tetapi sepenuhnya milik Indonesia (5/1/2020). Bahkan Presiden Jokowi menegaskan tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di perairan Natuna (4/1/2020). Pada insiden ketiga, sejak 30 Agustus 2021 hingga 20-an Oktober 2021 kapal China yang masuk adalah kapal riset Hai Yang Di Zhi 10, dikawal oleh Kapal Coast Guard Cina dengan nomor lambung CCG 4303 dan 4 kapal kapal perang. Berbeda dengan insiden pertama dan kedua, sikap pemerintah atas insiden ini sangat tidak jelas menunjukkan kedaulatan. Awalnya arogansi China ini disikapi Bakamla secara wajar dan proporsional. Namun TNI AL mengungkap tidak memperoleh informasi pelanggaran kapal riset China Hai Yang Di Zhi 10 yang mondar mandir selama satu bulan di kawasan Laut Natuna Utara. Dikatakan, sesuai informasi dari Komando Armada I, kapal China berada di luar yurisdiksi nasional. Juga, tidak seperti pada insiden kedua, penyataan resmi Menlu Retno Marsudi, Menko Mahfud MD dan Presiden Jokowi nyaris atau bahkan tak terdengar! Menko Marinves Luhut B. Panjaitan (LBP) saat berkunjung ke Catholic University, AS, ketika ditanya tentang kapal China ternyata juga tak bersikap tegas. Kata LBP: “Semua dokumen, semua hukum internasional telah tersedia – kami hanya menghormatinya. Kami berdiskusi dengan mitra kontak kami di China, kami setuju untuk tidak setuju di beberapa area, tetapi saya pikir kami mampu mengelola sejauh ini. Kami tidak merasa memiliki masalah dengan China” (11/10/2021). Dengan absennya sikap Menlu, Menko Polhukam dan Presiden Jokowi, serta tanggapan \"damai\" LBP di atas, Indonesia tampaknya cenderung mempertahankan status quo. Kedaulatan menjadi tidak penting. Tak heran jika kapal Haiyang Dizhi terus survei, dan dapat berulang di masa depan. Sikap pemerintah seperti ini bisa berujung dicaploknya Blok NT oleh China. Nilai Ekonomi Blok Migas Natuna Timur Blok NT menyimpan cadangan gas bruto sekitar 222 triliun kaki kubik (triliun cubic feet, TCF). Dengan kandungan karbon dioksida sekitar 72 persen, maka cadangan gas bersih Blok NT sekitar 46 TCF. Blok NT juga menyimpan cadangan minyak sekitar 500 juta barel. Secara ekonomi, jika diasumsikan harga gas adalah US$ 10 per MMBTU (million/juta British thermal unit), harga minyak US$ 75 per barel dan nilai tukar US$/Rp = 14.300, maka nilai ekonomi bruto gas Blok NT adalah: 46.000.000 MMCF x 1000/MMCF x $10 x 14.300 = Rp 6.576, 67 triliun. Sedangkan nilai bruto minyak: 500 juta x 75 x 14.300 = Rp 536,25 triliun. Sehingga nilai bruto migas Blok NT adalah: (6.576, 67 + 536,25) = Rp 7.112,91 triliun. Dengan laju ekstraksi terkendali rata-rata 2000 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day, atau Juta Standar Kaki Kubik per Hari), dan dialokasikan seluruhnya untuk kebutuhan domestik, maka Blok NT mampu memenuhi kebutuhan gas nasional antara 40-60 tahun. Melihat nilai ekonomi dan manfaat besar bagi energi nasional, sangat pantas jika pemerintah berupaya maksimal mempertahan serta segera mengembangkan Blok NT. Sebenarnya kontrak eksplorasi Blok NT telah ditandatangani dengan ExxonMobil pada 1980. Namun karena tidak tercapainya kesepakatan bagi hasil dan berbagai variable kerja sama, terutama karena besarnya biaya pemisahan CO2 dan lokasi yang jauh dari konsumen, kontrak gagal berlanjut ke pengembangan. Kerja sama dengan ExxonMobil berakhir 2006. Blok NT harusnya dikembangkan tidak hanya berdasar analisis aspek eknomi-keuangan, untung rugi (cost-benefit analysis, CBA) seperti berlaku umum. Tetapi harus pula memperhitungkan aspek-aspek lain seperti sosial-politik, lingkungan, keberlanjutan, hankam dan geo-politik. Sehingga keputusan pengembangan diambil setelah melalui analisis multi-kriteria (multi-criteria decision analysis, MCDA) terhadap seluruh aspek terkait. Guna mengatasi kendala tekno-ekonomi (CO2 tinggi dan lapangan remote), maka pengembangan Blok NT perlu menerapkan skema kontrak dan bagi hasil khusus, keringanan bea masuk dan tax holiday. Selain itu, guna memenuhi prinsip pengelolaan SDA berkelanjutan dan berkeadilan antar-generasi, maka perlu pula diterapkan pola dana migas (petroleum funds, PF), terutama agar proyek layak dikembangkan. Pengembangan Blok NT sangat relevan dan mendesak pula memperhatikan aspek hankam dan geo-politik kawasan Asia-Pasifik. Agresifitas China di perairan Natuna, termasuk target mencaplok Blok NT harus ditangkal. Salah satu cara, melalui kerja sama pengembangan Blok NT dengan perusahaan migas Eropa dan/atau Amerika. Kerja sama harus tetap berpegang pada prinsip kesetaraan dan politik luar negeri bebas-aktif. Seluruh anak bangsa harus berjuang mempertahankan Blok NT dan kedaulatan NKRI, termasuk melawan para oknum pejabat dan oligarki yang bekerja menjadi “pemain pengganti”, proxy, bagi China.[] *) Direktur Eksekutif IRESS

Enaknya Jadi Bandar Sawit Indonesia

Oleh Salamuddin Daeng MEMANG luar biasa keuntungan para bandar sawit. Bisnis dengan berbagai insentif dan fasilitas serta kemudahan berinvestasi serta berbisnis luar biasa dari pemerintah Republik Indonesia. Sawit telah memperoleh konsesi lahan dalam jumlah sangat luas. Lebih dari 13 juta hektar. Luas lahan sawit mencapai 21 kali luas pulau Bali. Telah dialokasikan kepada perusahaan perusahaan swasta para raja sawit, oligarki kelas atas di Republik ini. Bisnis yang mendapatkan subsidi lebih dari Rp. 40 triliun dari uang negara. Bisnis yang telah dicap sebagai biang kerok kerusakan hutan tropis nomor satu di dunia, malah mendapatkan subsidi dari uang negara. Padahal uang tersebut cukup untuk mencicil memulihkan hutan hutan yang telah mereka hancurkan. Tidak hanya subsidi.langsung, para bandar sawit juga mendapatkan subsidi harga yang diperoleh dari pembelian wajib yang ditetapkan dengan regulasi. Pembelian mandatori oleh negara dilakukan dengan memaksakan pencampuran 20% ke 30% hingga penggunaan penuh sebagai bahan bakar pengganti solar. Alasannya bauran energi. Menjadikan sawit sebagai bahan bakar terbaharukan tidak masuk akal dari sisi lingkungan hidup. Tidak sebanding lingkungan yang mereka hancurkan dengan menjadikannya sebagai bahan bakar. Tak hanya itu sawit ini bahan makanan, mengubahnya menjadi bahan bakar di sebuah negeri dimana penduduknya sebagian masih menggoreng dengan minyak jelantah karena kemiskinan mereka. Ini sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Menjadikan sawit sebagai tumpuan energi terbaharukan adalah politicking untuk menguras kantong Pertamina yang dipaksa membeli fame sawit, dan mendistribusikannya sebagai solar subsidi yang ongkosnya ditalangi terlebih dahulu oleh Pertamina. Tunggakan subsidi solar adalah utang paling besar dari pemerintah pada Pertamina. Entah kapan pemerintah akan bayar. Jadi menjadi bandar sawit di Indonesia adalah nikmat yang besar, dapat hutan dan kayu, dapat lahan, dapat subsidi, dapat pasar yang disubsidi, dapat citra sebagai bahan bakar terbarrukan. Wuenak ya.. Yang paling nikmat adalah pembelian sawit oleh pertamina bagi pemcampuran B30 sebanyak 9 juta ton fame telah membawa solar disel sebagai bahan bakar dengan konsumsi paling besar yakni 30 juta kilo liter, dan 16 juta kilo liter solar subsidi ditanggung dan disalurkan Pertamina yang berakibat kantomg Pertamina jebol. Bandar sawit kehilangan pasar di Eropa, namun segara mendapatkan lahan empuk Pertamina. Mereka para bandar ini mau menjajah Indonesia sampai kapan? *) Peneliti AEPI

Menelisik Motif Di Balik Gugatan Atas Impor LNG Pertamina

Oleh Marwan Batubara *) BEBERAPA bulan terakhir berita dan opini mempermasalahkan impor LNG oleh Pertamina (dari Amerika/Cheniere dan Mozambique) beredar cukup luas di media. Inti berita adalah menyoal kesalahan kebijakan dan dugaan korupsi di balik impor LNG tersebut. Sehingga, para nara sumber berita menuntut agar pihak yang terlibat diproses secara hukum. Tulisan ini tidak bermaksud mengamankan siapapun agar terhindar dari proses hukum. Apalagi jika yang bersangkutan diduga terlibat korupsi. Namun karena berita terkesan tendensuius dan tidak akurat, maka IRESS perlu mengungkap permasalahan seputar impor LNG, terutama guna mengamankan bisnis BUMN dan menjaga kredibilitas Indonesia sebagai salah satu pioner bisnis LNG di dunia. Sejarah LNG Indonesia, bermula saat ditemukannya cadangan gas di Arun, Aceh (1971) dan Badak, Kaltim (1972). Untuk dapat dimonetisasi, Pemerintah dan Pertamina memutuskan membangun LNG Plants di Lhoksuemawe dan Bontang. Pembangunan dilakukan setelah ditandatanganinya kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan Jepang. Ekspor LNG ke Jepang berdurasi 20 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun berikutnya. Bisnis LNG boleh dikatakan berada lingkup terbatas, sehingga semua LNG Seller maupun LNG Buyer saling mengenal dengan baik. Faktor integritas dan kredibilitas sangat berperan, sehingga dalam sejarahnya belum pernah ada kejadian gagal bayar atau gagal offtake. Karena itu meski berhasil menjual LNG sejak tahun 1970-an, Pertamina baru mendapat kepercayaan pasar mengimpor LNG pada tahun 2000-an. Sikap pruden sangat berperan, jika sampai terjadi kegagalan offtake kargo LNG, maka seluruh rantai bisnis LNG akan terdampak hingga sampai ke produser gas, dan berujung pada penutupan sumur. Kemampuan bisnis jual/beli LNG Pertamina dan Indonesia secara global telah terbangun cukup lama. Hal-hal yang mendasari kemampuan ini antara lain adalah pengalaman, keahlian dan kepercayaan pasar. Kemampuan ini sekaligus bermanfaat untuk mengamankan pasokan gas nasional jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam praktek, Pertamina pun terlibat dalam kontrak impor gas dari AS dan Mozambique. Kebutuhan Impor LNG Pada Desember 2013, Pertamina berkontrak dengan Cheniere Energy, untuk impor LNG dari Texas (AS) sekitar 0,76 MTPA (million ton per annum/juta ton per tahun), berlaku sejak 2019 selama 20 tahun. Impor LNG ini dilakukan sesuai kebutuhan jangka panjang, dengan merujuk pada Neraca Gas Nasional yang diterbitkan Kementrian ESDM (2011). Impor LNG ini telah masuk dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan, Pertamina (2012-2016) yang disetujui pemerintah melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Adapun kebutuhan impor LNG dari Mozambique, Afrika dengan Anadarko Petroleum Corp. diawali dengan negosiasi pada 2013 dan penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 2014. Namun negosiasi tidak berujung kesepakatan karena ada perubahan harga pasar LNG dunia pada 2016. Belakangan, karena adanya kebutuhan internal (kilang), Pertamina melihat kembali ketersediaan LNG di pasar, termasuk negosiasi ulang dengan Mozambique dengan term and condition dan harga yang lebih menguntungkan. Hal ini berujung pada tandatangan HoA pada 2018, dan tandatangan kontrak pada Februari 2019. Volume kontrak LNG adalah 1 MTPA, berlaku sejak 2025 untuk periode 20 tahun. Rujukan impor LNG Mozambique ini adalah sama seperti impor LNG dari AS, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan Kementrian ESDM (2018). Impor LNG dari Mozambique masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pada tahun 2019. Melihat ke belakang, ternyata pasokan LNG dari Cheniere direncanakan akan disalurkan ke terminal-terminal penerima LNG Pertamina, yakni untuk proyek LNG Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Arun, Aceh dan FSRU Jateng yang memerlukan kepastian tambahan pasokan LNG. Kedua fasilitas tersebut didesain dengan kapasitas sekitar 3 MTPA guna memenuhi kebutuhan gas bagi sektor ketenagalistrikan dan industri. Sedangkan impor LNG Mozambique ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina mengoperasikan kilang BBM proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, Jateng dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jabar. Kedua proyek membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi suplai gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang saat itu disewa pemerintah/Pertamina. Pembelian LNG ke produser LNG yang akan dideliver setelah LNG Plant selesai konstruksi dan beroperasi adalah cara yang terbaik. Hal ini umumnya dilakukan konsumen LNG Global lain, dengan tujuan mendapat pasokan LNG jangka panjang berkesinambungan dengan harga wajar, seperti telah dilakukan Pertamina dan Indonesia saat menjual LNG nya pada tahun 1970 an. Kondisi tersebut ternyata selaras dengan pemahaman bahwa bisnis LNG adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasar baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Lebih lanjut, dalam proses jual beli LNG, proses negosiasi kontrak LNG memerlukan waktu panjang karena banyaknya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Kontrak LNG harus dikelola secara profesional dengan terus menerus memperhatikan dinamika pasar, sehingga produksi dapat dicapai tepat waktu. Apa dan Siapa Yang Dibidik Komut Pertamina, Ahok? Pada 10 Februari 2021, Komut Pertamina Ahok menyatakan adanya kejanggalan dalam kontrak impor LNG dari Mozambique. Kata Ahok: "Ada indikasi (dimainkan oleh oknum) makanya kami minta diaudit," Rabu (10/2/2021). Kita tidak paham bagaimana hasil audit yang disebut Ahok tersebut dan bagaimana pula tindak lanjutnya. Belakangan, Komut Pertamina pun mempertanyakan harga kontrak impor LNG yang dianggap sangat mahal. Sikap Ahok ini dikemukakan saat harga migas turun, terutama pada periode 2019-2020. Lalu diperparah pula dengan harga yang turun akibat pendemi Covid-19. Maka, muncullah permintaan agar kontrak LNG tersebut dibatalkan. Kondisi semakin runyam dengan munculnya pernyataan ahli hukum dari satu “law firm” yang sengaja disewa oleh “Manajemen/Dekom Pertamina”. Dikatakan, pembatalan kontrak LNG dapat dilakukan bila ada fraud dalam proses pengadaan. Karena itu, terjadilah pelaporan “kasus impor LNG” tersebut ke Kejaksaan Agung, untuk mencari-cari fraud dimaksud. IRESS sangat ragu jika latar berlakang sikap Ahok di atas, termasuk melaporkan “kasus impor LNG” ke Kajaksaan Agung, terutama dimaksudkan untuk mencegah Pertamina dari kerugian akibat turunnya harga gas dunia. Ditengarai, menurut sumber IRESS yang terpercaya, sebenarnya sikap tersebut bisa saja dilatarbelakangi motif lain. Jika harga gas/LNG yang jadi penyebab, tersedia opsi lain, yaitu dengan menjual kembali. Faktanya, harga migas memang selalu berfluktuasi, naik dan turun. Belum pernah terjadi, harga migas berada pada level rendah dalam waktu cukup lama. Bahkan dalam 1-2 bulan terakhir, harga gas telah naik berlipat-lipat, dan mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi Pertamina dan Indonesia. Dengan demikian, sikap short-sighted (memperlakukan jual/beli LNG layaknya jual-beli mobil bekas) yang ditunjukkan Ahok tersebut sangat tidak relevan untuk menjadi kebijakan korporasi. Oleh sebab itu, wajar jika timbul kecurigaan tentang “motif lain” di balik pernyataan “ada indikasi” yang disebutkan di atas. Mungkin saja ada anggota manajemen yang sedang “dibidik”. Perubahan struktur organisasi (proses pembentukan Subholding) di Pertamina dengan pembubaran Direktorat Gas yang menangani bisnis Gas dan LNG yang terjadi sebelumnya dan hampir bersamaan, juga memberikan dampak ketidakmampuan mengelola bisnis LNG nasional dengan baik. Sehingga mitigasi resiko terhadap pengadaan LNG juga tidak tertangani secara optimal, termasuk juga ikut memicu sikap manajemen/board Pertamina pada saat harga turun. Akibatnya management risiko dalam mengatasi supply/demand sering menjadikan manajemen sebelumnya dianggap telah berbuat kesalahan, termasuk dikaitkan dengan dugaan korupsi. Permasalahan manajemen resiko seperti disebut di atas juga dialami oleh BUMN/PLN dalam proyek listrik 35 GW. Poyek ini berasal dari kebijakan pemerintah dan dianggap sebagai proyek yang tepat dan wajar dijalankan. Namun belakangan proyek bermasalah, terjadi over capacity, BPP listrik naik, dan lain-lain. Maka tampaknya PLN harus menanggung beban dan kesalahan tersebut sendirian, seolah-olah kebijakan 35 GW itu adalah produk PLN dan PLN harus bertanggungjawab. Pemicu lain yang tak kalah penting adalah perseteruan pada high level management Pertamina yang membawa pengadaan LNG ke aparat penegak hukum. Situasi dan kondisi ini berpotensi menimbulkan kendala bisnis LNG dikemudian hari, dan menurunkan kepercayaan pelaku bisnis LNG Global bermitra dengan Pertamina. Sehingga ke depan, hal ini dapat berdampak buruk pada keamanan pasokan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional. Seperti disampaikan di atas, impor LNG Cheniere dan Mozambique dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gas shortage. Impor juga dilakukan mengacu pada dokumen resmi pemerintah, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan oleh Kementrian ESDM. Banjir pasokan migas dan pandemi Covid-19 telah membuat harga migas anjlok. Jika kebijakan impor dilakukan melalui proses yang pruden dan sesuai prinsip GCG, maka sangat tidak relevan mempersalahkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan karena kerugian akibat harga anjlok tersebut. Melihat fakta bahwa saat ini harga pasar LNG melambung jauh melampui harga kontrak (LNG Cheniere dan Mozambique), karena bisa menjual LNG tersebut ke pasar, maka Pertamina kini justru untung berlipat. Secara matematis, merujuk harga pembelian LNG dalam kontrak, maka harga pasar saat ini memberi keuntungan sekitar $80 juta per kargo atau sekitar $900 juta per tahun. Dan keuntungan tersebut akan dinikmati juga oleh Direksi dan Dekom, termasuk Ahok, dalam bentuk bonus/tantiem. Kalau sudah begini, alasan untuk menyalahkan menjadi tidak relevan. Maka, mungkin perlu dicari “peluru” lain untuk membidik target! [] *) Direktur Eksekutif IRESS

PLN Resmi Akuisisi EMI Dukung Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Jakarta, FNN - PT PLN (Persero) resmi mengakuisisi PT Energy Manajement Indonesia (EMI) menjadi anak usahanya sebagai perusahaan jasa energi yang bertujuan mendukung pengembangan energi baru terbarukan dan dekarbonisasi. "Kami menempatkan target pengembangan EMI sebagai Energy Service Company nasional pilihan konsumen se-Asia Tenggara," kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam konferensi pers yang dipantau di Jakarta, Jumat. Integrasi PLN dengan EMI telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham Perseroan PLN. Pada 9 September 2021, Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan keputusan terkait perubahan anggaran dasar EMI, sehingga secara legal menjadi anak perusahaan PLN. Zulkifli menjelaskan bahwa EMI akan mendukung inisiatif dekarbonisasi menuju ekonomi hijau di Indonesia sekaligus merealisasikan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang telah ditetapkan pemerintah. PLN memiliki target dekarbonisasi sebesar 117 juta ton karbon dioksida sampai tahun 2025. Perseroan berkomitmen untuk mencapai target tersebut melalui pembangunan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 5 GW pada 2024, peningkatan co-firing biomassa pada PLTU dengan target 1,8 GW tahun 2025, dan penggantian pembangkit diesel dengan energi terbarukan sebesar 0,6 GW. Dalam pelaksanaan dekarbonisasi tersebut, EMI akan turut dan berkontribusi sebesar 3,29 juta ton karbon dioksida. Selain itu, EMI akan berperan dalam dekarbonisasi 4,19 juta ton karbon dioksida di luar PLN. "Sebagai Energy Service Company, EMI akan berperan membantu pemerintah pusat dan daerah, BUMN, pengusaha swasta, UMKM maupun masyarakat," ujar Zulkifli. EMI akan bertugas dalam menyusun kebijakan dan master plan, menyusun solusi engineering untuk konservasi, mengembangkan energi baru terbarukan skala kecil, dan perencanaan serta implementasi solusi terkini infrastruktur bisnis dan ritel yang ramah lingkungan. Dengan bergabungnya EMI sebagai anak perusahaan PLN, Zulkifli berharap bahwa akan tercapai empat sasaran utama, yaitu energi EMI dengan PLN, peningkatan kapasitas dan kapabilitas, ekspansi bisnis konservasi ke pasar eksternal, dan penciptaan nilai keseluruhan ekosistem energi nasional. PLN memproyeksikan EMI akan memperoleh pendapatan sebesar Rp8 triliun pada 2025 atau secara akumulatif sevesar Rp13 triliun dengan keberhasilan transformasi sebagai perusahaan jasa energi terkemuka di Indonesia. "Kami sampaikan permohonan dukungan dari seluruh stakeholder bagi EMI untuk mewujudkan visi zebagai Energy Service Company nasional dan pilihan konsumen Asia Tenggara untuk mempercepat program dekarbonisasi nasional menuju ekonomi hijau Indonesia," ucap Zulkifli. (mth)