ENERGI

Rencana IPO Anak Usaha Pertamina “Inkonstitusional”

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Pemerintah segera menjual saham. Biasa dikenal dengan Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan untuk mencari dana murah dan memperbaiki Good Corporate Governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas. IPO atau privatisasi perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain. Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan. Karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO. Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai US$ 12,5 miliar dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1% hingga 6,5% (weighted average kupon sekitar 4,3%). Nilai kupon itu ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014). Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30%) yang tidak go public, tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BTN 4,25% (US$ 300 juta, 1/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO. Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%. Jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis juga melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengkases dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO. Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun. GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1% pun. Dengan begitu, GCG-nya menigkat lebih baik. Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar. Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan, “IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG”. Menurut Pasal 33 UUD 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada tiga aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu, 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 itu diimplementasikan dalam peraturan operasional, yang termuat dalam UU BUMN Nomor 19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan, “Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina. Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika saham pemerintah kurang dari 100%, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA. Sebagai contoh, karena 100% sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU. IPO Tidak Berkeadilan Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila kelima Pancasila. Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100% milik negara akan menjamin 100% keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil. Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan. Karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa. Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Untuk itu, rekayasa licik pembentukan sub-holding Pertamina untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

KAMI Terus Melawan

by Mangarahon Dongoran Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah di pasar internasional harga minyak sudah lama turun? Jakarta FNN - Sabtu (22/8). Selasa, 18 Agustus 2020, sejumlah tokoh kritis terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kini morat-marit mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Deklarasi yang dilakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat itu merupakan gerakan moral untuk menggugah kesadaran Presiden dan jajarannya, serta elit politik agar membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk melihat dan mendengarkan keluh-kesah atau kegelisahan yang merebak di tengah masyarakat yang secara ekonomi kian terpuruk di tengah pandemi Corona Virus Deases 2019 (Covid-19) atau Virus China yang belum bisa dipastikan kapan berakhir. Ada mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Ahmad Yani (Ketua Komite Eksekutif KAMI), Refly Harun (pakar hukum tata negara), M.Said Didu, Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan Pembangunan) dan sederet nama lainnya. Total ada 150 deklarator. Mereka mengeluarkan suara dan kritik keras yang terdiri dari delapan poin, yang membuat pembela pemerintah kepanasan. Kehadiran KAMI telah membuat BuzzerRp seperti cacing kepanasan. Berbagai manuver mereka lakukan, termasuk melakukan aksi tandingan yang diikuti puluhan orang di dekat Tugu Proklamasi, tempat KAMI dideklarasikan. Tak hanya aksi demo, BuzzerRp pun memperlihatkan batang hidungnya lewat media sosial. Mereka terus-menerus meng-counter seluruh isi deklarasi itu. Bahkan, mereka tidak malu-malu menyebutkan, para deklarator itu adalah pejabat pecatan, mantan pejabat tidak tahu diri, tidak becus bekerja dan berbagai kalimat lainnya yang asal tuduh. Padahal, tidak ada deklarator yang berasal dari pejabat yang dipecat. Sasaran utama mereka menyebut pejabat pecatan adalah Gatot Nurmantyo. Padahal, tidak ada surat pemecatan kepada Gatot. Yang ada adalah surat pemberhentian dengan hormat, karena memasuki masa pensiun. Jadi, kalau betul dipecat, cobalah tunjukkan surat pemecatannya. Kemudian Din Syamsudin. Mantan Ketua PP Muhammadyah ini sempat diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Utusan Khusus untuk Dialog Antaragama dan Peradaban bulan Oktober 2017. Namun, tidak sampai setahun, Din mengundurkan diri dari jabatannya itu. Ia mengundurkan diri pada September 2018 dengan alasan menjaga neteralitas dalam menghadapi Pileg dan Pilpres 2019, karena ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, dan Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju. Bahkan, ada juga yang menyebut Din radikal. Kalau radikal, kok bisa diangkat jadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antaragama dan Peradaban? Mungkin, para Buzzer bayaran itu belum tahu sepak-terjang Din Syamsudin, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kalau di tingkat nasional, tentu harus tahu sepak-terjang Ketua PP Muhammadiyah dua periode itu ( 2005-2010 dan 2010-2015) itu. Ia banyak melakukan dialog antaragama dan peradaban. Oleh karena itu, ia cukup dekat dengan tokoh-tokoh agama lain, seperti Pastor Beny Susetyo (Katolik), dengan tokoh Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Din adalah salah satu penggagas Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), yang berkantor di Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat. Saya beberapa kali ikut meliput kegiatan di rumah pribadi yang dijadikan kantor itu. Di tempat ini sering dilakukan dialog antaragama, termasuk mendatangkan narasumber dari agama lain dan negara lain. Karena kedekatannya denga tokoh-tokoh agama di dalam negeri dan juga luar negeri, maka Din seringkali menjadi pembicara mengenai agama dan peradaban di dunia internasional. Apa ia, kalau Din yang bernama lengkap Muhammad Sirajuddin Syamsuddin itu radikal, bisa diterima oleh tokoh-tokoh agama lain? Apa ia, seorang radikal bisa diangkat menjadi utusan khusus Presiden? Apa ia, jika seseorang radikal, tapi masih diterima oleh berbagai kalangan? Kemudian Rizal Ramli. Ekonom senior yang dijuluki "Rajawali Ngepret" itu bukan orang yang gila jabatan. Dia pengamat ekonomi yang tetap kritis dan analisanya hampir tidak pernah meleset. Dia aktivis sejati yang tidak diam walaupun sudah diberikan jabatan empuk oleh Joko Widodo. Di dalam kabinet, RR -- demikian ia disapa -- tetap ngepret, terutama menyangkut reklamasi pantai di Jakarta. Akibatnya, tidak cocok dengan Luhut B Panjaitan yang pro reklamasi. Dia diganti, bukan dipecat. Analisa ekonominya yang tajam sehingga membuat pemerintah gerah tidak hanya dilakukannya sekarang. Di masa Orde Baru juga ia sering mengeluarkan kritik tajam. Keberanian mengkritik rezim Orba tidak lain karena ia aktivis sejati, dan berkawan dengan para aktivis yang menyuarakan kebenaran, termasuk berteman dekat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak heran, ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia pun diangkat menjadi Menteri Koordinator bidanh Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) kemudian menjadi Menteri Keuangan, serta Kepala Bulog (Badan Urusan Logistik). Ketika pemerintahan Jokowi-JK, ia mengkritisi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. RR mengatakan, dalam 5 tahun ke depan, Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 megawatt (MW), bukan 35.000 MW. "Kita melihat segala sesuatu dengan faktual dan logis kalau 35.000 MW tercapai 2019, maka pasokan jauh melebihi permintaan, ada idle (kelebihan) 21.000 MW. Di sana ada listrik swasta," jelas Rizal di Jakarta, Senin (7/9/2015). Jika dipaksakan, maka PLN akan bangkrut karena menanggung banyak hal, termasuk utang pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Faktanya, sekarang saja PLN sudah hampir bangkrut karena utang. Nah, sejumlah tokoh lain, seperti Ichsanuddin Noorsy, Ahmad Yani, bukanlah pejabat yang dipecat. Tetapi, tidak terpilih lagi menjadi anggota DPR. Khusus Noorsy, ia didepak dari Golkar karena membongkar kasus Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra buron 11 tahun yang belum lama ini ditangkap. Noorsy didepak dari Golkar karena harus berhadapan dengan tokoh-tokoh kuat di partai tersebut, seperti Baramuli (almarhum), Setia Novanto (yang akhirnya dipenjara dalam kasus E-KTP). Jadi, banyak yang harus dikoreksi jika pemerintahan ini mau berada di jalurnya. Sebab, sudah banyak penyimpangan, tidak sesuai dengan janji-janji kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, pun juga pemerintahan Jokowi-JK lima tahun sebelumnya. Misal, tidak mau menambah utang. Nyatanya, utang bertubi-tubi.Jumlah utang lima tahun pertama Jokowi sudah lebih besar ketimbang 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan infrastruktur yang bersumber dari utang pun terlalu dipaksakan. Apalagi di masa sekarang, saat pandemi Covid-19 masih berjalan, banyak infrastruktur yang tidak dipakai. KAMI oposisi jalanan Rencana pemindahan ibukota pun tidak pernah hilang dari otak pemerintah. Padahal, sekarang stuasi ekonomi sulit, sudah krisis dan selangkah lagi akan resesi. Banyak yang harus dikoreksi dan dikritisi. Jika terus didiamkan, pemerintah bertindak seenaknya. DPR hanya menjadi pajangan yang harus menuruti kemauan pemerintah. Tidak ada lagi oposisi sejati di DPR. Oleh karena itu, bermunculanlah oposisi jalanan, baik yang dibentuk kalangan intelektual, maupun demo masyarakat yang belakangan hampir tiap pekan terjadi. Oh, ia. Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah harga minyak di pasar internasional sudah turun cukup lama? Mengapa harga di dalam negeri tidak turun, sedangkan negara lain sudah melakukannya? Ada pertanyaan di masyarakat. Kalau harga minyak dunia naik, pemerintah (baca Pertamina) buru-buru menaikkan harga. Tetapi, kalau harganya turun di pasar dunia, kok harga minyak anteng saja? Saya memperkirakan demo ke depan akan mulai menyasar ke harga BBM ini. Oleh karena itu, pemerintah sengaja mengalihkan isu, seperti isu RUU Omnibus Law tjipta karya dan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang diganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jika berbagai persoalan bangsa dan negara tidak digubris pemerintah, maka rakyat akan melawan. Perlawanan terus terjadi dari seluruh negeri. Dan KAMI pasti ikut melawan. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.

Refleksi 75 Tahun Merdeka, Penguasaan SDA Masih Mimpi

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Selasa (18/08). Kita sering mendengar ungkapan, Indonesia negara kaya. Kaya dengan sumber daya alam. Semua orang pasti setuju. Indonesia ada minyak dan gas bumi, batubara, nikel, emas, dan banyak mineral lainnya. Indonesia juga merupakan (salah satu) negara produsen terbesar minyak sawit dan karet. Indonesia juga mempunyai hutan tanaman industri yang luas. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kertas terbesar dunia. Belum lagi potensi perikanannya. Ironinya, Indonesia hanya sebagai negara berpendapatan menengah. Dengan pendapatan per kapita tahun 2019 sekitar U$ 4.000 dolar per tahun. Jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Singapore. Artinya, kebanyakan dari mereka lebih kaya dari rakyat Indonesia. Padahal Malaysia dan Thailand hanya mempunyai sedikit kekayaan alam. Bahkan Singapore tidak ada kekayaan alam sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, sebagian besar penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia mempunyai 150 juta (sekitar 56%) penduduk miskin pada tahun 2018. Mereka mempunyai pendapatan di bawah U$ 5,5 dolar (PPP 2011) per orang per hari, yaitu batas garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Ironi Yang Mengenaskan Indonesia memang diberkahi kekayaan alam yang melimpah. Antara lain, mineral dan batubara (minerba). Tetapi, pendapatan negara dari sektor minerba sangat tidak signifikan. Sangat rendah dibandingkan total pendapatan negara. Sangat rendah untuk dapat membuat rakyat menjadi sejahtera. Apalagi sampai kaya. Padahal sektor minerba merupakan salah satu sektor yang cukup besar yang dipunyai Indonesia. Sebut saja antara lain, sektor bijih besi, nikel, aluminium, perak, perunggu, emas, batubara, bauksit dan banyak lagi mineral lainnya. Rasio pendapatan minerba terhadap total pendapatan negara hanya sekitar 1 persen hingga 1,5 persen saja. Bahkan rasio pendapatan minerba pada 2015 hanya 0,98 persen atau hanya Rp 14,7 triliun dari Rp 1.508 triliun. Sangat sangat dan sangat rendah. Meskipun rasio pendapatan negara dari minerba pada 2018 meningkat menjadi 1,58 persen, dengan pendapatan minerba Rp 30,7 triuliun dari total pendapatan negara Rp 1,943,7 triliun, secara substansi masih sangat rendah. Di lain pihak, korporasi pengelola (baca: penguasa) sektor minerba sangat berjaya. Mereka kaya raya. Korporasi-korporasi tersebut berhasil meraup triliunan rupiah dari masyarakat, melalui pasar modal. Nilai perusahaan (kapitalisasi pasar) korporasi penguasa tambang minerba pada akhir 2018 mencapai Rp 363,8 triliun. Terdiri dari 25 perusahaan tambang batubara dan 10 tambang mineral. Jumlah ini tidak termasuk penguasa tambang minerba raksasa lainnya yang tidak go public di bursa saham Indonesia. Tetapi mereka go public di bursa saham luar negeri. Dari jumlah tersebut, hanya ada tiga BUMN dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 73,5 triliun. Namun, sebagian kepemilikan tiga BUMN tersebut juga sudah dikuasai publik. Sedangkan korporasi pertambangan minerba yang kaya raya tersebut, diberi hak pengelolaan pertambangan, melalui kerjasama pengusahaan pertambangan, izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. Pada prakteknya, kerjasama dan izin usaha pertambangan tersebut sangat bebas (liberal) di dalam pengelolaannya. Sehingga terjadi pengalihan (sementara) penguasaan (baca: kepemilikan) kekayaan sumber daya alam minerba dari negara ke pengelola (yang sebagian besar swasta nasional dan asing). Pengalihan kepemilikan kekayaan minerba ke korporasi pemegang hak pengelolaan terlihat jelas ketika mereka menawarkan sahamnya ke publik (go public) atau ketika melakukan divestasi kepemilikan usahanya sesuai Undang-undang. Nilai divestasi atau valuasi perusahaan dihitung berdasarkan nilai ekonomis minerba yang terkandung di dalam wilayah usaha pertambangan tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia. Tragisnya, pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia, pemerintah negeri ini harus mengambil alih dengan nilai komersial. Termasuk pulka nilai kandungan mineral yang terkandung di dalam tanah, yang seharusnya menjadi milik negara. Tragis memang. Peringtah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, nampaknya masih sebatas mimpi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Pertamina Tak Masuk Peringkat 500 Majalah FORTUNE?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Selasa (18/08). Tidak mengapa Pertamina meninggalkan perinkat ke 500 di Majalah FORUNE. Pertamina tidak masuk dalam kelompok perusahaan kelas dunia yang dikelola bedasarkan pada standar profesionalisme. Apakah ini karena Pemerintah belum bayar utang sebesat Rp.140 triliun kepada Pertamina ? Banyak yang bertanya-tanya. Mengapa Pertamina kali ini tidak lagi masuk dalam peringkat perusahaan kalaas global 500 menurut versi Majalah FORTUNE? Seharusnya perusahaan masuk peringkat di atas 200 perusahaan global versi FORTUNE. Namun nama Pertamina tak ada kelompok perusahaan terkemuka di dunia tersebut. Publik tentu saja bertanya apa sebenarnya yang terjadi? Padahal Pertamina adalah salah satu perusahaan minyak dengan kinerja positif sepanjang masa pandemi Covid 19. Ratusan perusahaan minyak global ambruk, melakukan PHK ratusan, bahkan ribuan buruh mereka. PHK ini disebabkan penurunan harga minyak global. Dalam kondisi penuruanan harga minyak dunia, Pertamina masih mempertahankan tingkat keuntungan yang baik. Misalnya Pertamina masih mengandalkan pasar domestik. Pertamina serta sama sekali tidak melakukan PHK terhadap karyawannya. Tahun 2019 lalu Pertamina sebagai BUMN penyedia energi nasional berada di peringkat 175, lompat dari 78 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di peringkat 253. Tahun ini menurut banyak kalangan, memang sedikit menurun dan seharusnya berada di posisi peringkat 198. Bukan malah tersingkir dari peringkat 500 dunia. Pertamina terpaksa harus menelan pil pahit. Karena nama perusahaan minya dan gas (migas) terbesar di Indonesia ini tidak tercatat dalam peringkat 500 perusahaan terkemuka dunia. Lalu, apa yang menyebabkan Pertamina tidak masuk dalam peringkat 500 perusahaan terkemuka dunia? Tentu saja hanya Majalah FORTUNE yang paling tau. Walapun demikian, dugaan sementara adalah dikarenakan pendapatan dan keuntungan Pertamina tidak masuk dalam kas perusahaan. Keuntungan dan pendapatan Pertamina masih menjadi piutang kepada pemerintah. Atau dengan kata lainpemerintah belum membayar utang kepada Pertamina. Padahal pendapatan dan keuntungan adalah dua kriteria utama sebuah perusahaan bisa masuk perinkat 500 versi Majalah FORTUNE. Mari kita lihat apa sesungguhnya kriteria global Majalah FORTUNE companies ini. Perusahaan kelas dunia 500 versi Majalah Fortune adalah sebuah penilaian dari Majalah FORTUNE yang membuat peringkat perusahaan global terkemuka dari berbagai penilaian. Misalnya, dari sisi pendapatan (revenue). Juga keuntungan, neraca keuangan (aset dan deviden yang dibagikan). Selain itu, juga dinilai banyaknya karyawan, penghasilan per lembar saham. Begitu juga dengan pengembalian kepada investor, dan kredit perusahaan. Kriteria asal negara juga menjadi salah satu pertimbangan yang dinilai oleh Majalah FORTUNE. Namun ukuran laba atau keuntungan menjadi ukuran yang tampaknya paling penting. Karena dari keuntungan itulah, akan banyak menentukan posisi keuangan perusahaan dalam banyak aspek lainnya. Sementara masalah keuntungan ini selalu menjadi bagian paling krusial bagi Pertamina. Mengapa demikian? Selama ini keuntungan Pertamina sebagian besar harus digunakan untuk menalangi sementara BBM bersubsidi, BBM satu harga. Konon susbidi itu akan diganti oleh pemerintah melalui mekanisme APBN. Kalau kondisi APBN normal, maka tidak ada masalah. Namun di saat kondisi APBN tidak normal seperti sekarang ini, maka pergantian subsidi BBM, pergantian kompensasi BBM satu harga, hanya akan berbentuk janji-janji manis dari pemerintah. Belum jelas kapan pemerintah akan membayarnya. Akibat tidak masuknya keuntungan atas pendapatan ke dalam kas Pertamina, karena masih menjadi piutang di pemerintah, maka berakibat pada melemahnya ukuran penilaian lain dalam perusahaan. Misalnya arus kas, dan equity yang diperlukan bagi belanja barang maupun belanja proyek perusahaan. Tentu kemampuan perusahaan dalam membayar utang kepada investor global, posisi kredit perusahaan, dan lain sebagainya ikut terganggu. Banyak sekali konsekuensi yang harus diterima perusahaan akibat keuntungan tertahan sebagai piutang kepada pemerintah. Jadi sebetulnya urusan tidak masuk peringkat 500 versi Majalah FORTUNE akan dapat kembali disandang Pertamina jika seluruh piutang kepada pemerintah sampai dengan tahun 2019 sebesar Rp. 140 triliunan dibayar pemerintah pada tahun 2020 ini. Dengan demikian, neraca Pertamina akan langsung pulih. Keuntungan menjadi sangat besar. Kemampuan belanja perusahaan, baik belanja barang maupun proyek sangat besar, maka posisi utang perusahaan membaik dengan sendirinya. Kemampuan membayar kewajiban kepada investor juga membaik, dan lain sebagainya. Barangkali dalam hal ini publik bertanya tanya, apakah Majalah FORTUNE tidak tahu bahwa piutang Pertamina adalah kepada pemegang saham 100% Pertamina, yaitu pemerintah? Apakah Majalah FORTUNE pemberi peringkat ini tidak tahu bahwa piutang itu kepada pemegang kuasa yang menjamin kelangsungan Pertamina? Bisa saja Majalah FORTUNE tahu. Namun mereka juga tidak yakin, bahwa di masa pandemi ini Pemerintah Indonesia bisa punya uang banyak. Akibatnya, pemerintah tidak mampu membayar utang kepada Pertamina. Publik nasional dan internasional tahu bahwa Pemerintah Indonesia sedang mengalami pendarahan keuangan yang lumayan berat. Wallahualam. Tentang Majalah FORTUNE Fortune adalah sebuah majalah bisnis global yang diterbitkan oleh Fortune|Money Group, milik Time Inc. Didirikan oleh Henry Luce pada tahun 1930. Bisnis penerbitan yang terdiri dari Time, Life, Fortune, dan Sports Illustrated ini tumbuh menjadi Time Warner. Hasilnya, AOL tumbuh ketika mengambil alih Time Warner tahun 2000. Ketika itu Time Warner adalah konglomerat media terbesar di dunia. Pesaing utama FORTUNE dalam kategori majalah bisnis nasional adalah Majalah FORBES, yang juga diterbitkan dwimingguan, dan Majalah BusinessWeek. Majalah FORTUNE ini dikenal khusus, karena setiap tahunnya menerbitkan peringkat perusahaan-perusahaan menurut laba mereka. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Sindikat Batubara Bikin Kantong Pemerintah Kerontang

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Batubara telah menjadi penopang utama Pemerintahan Jokowi sejak pertama menjabat Presiden 2014 lalu. Ini sumber uang terpenting yang menopang kekuasaan hingga pemilihan presiden tahun 2019 lalu. Meskipun presiden telah menandatangani kesepakatan perubahan iklim COP 21 Paris, namun batubara masih ditempatkan digaris depan sebagai penopang uang penguasa. Publik sudah mengingatkan bahwa kantong penguasa akan kering jika tetap bersandar pada batubara. Bahkan Bank Dunia dalam laporanya “The Long Road To Recovery” menggambarkan bahwa sandaran penguasa Indonesia pada batubara berbuah petaka. Ada tiga penyebab petaka tersebut. Pertama, sandaran ekspor batubara Indonesia pada Tiongkok menjadikan Indonesia tersandera pelemahan ekonomi Tiongkok. Kedua, serangan perang dagang USA Vs Tiongkok dan covid 19 telah membuat Indonesia kehilangan pasar batubara. Harga batubara juga rontok lebih dalam, sementara covid sendiri akan berlangsung lama. Ketiga, bersandarnya penguasa Indonesia pada batubara itu telah menyimpang dari kesepakatan penyelamatan lingkungan global yang telah ditandatangani Indonesia. Kesepakatan perubahan iklim COP 21 ditandatangani di Paris Francis. Dalam laporan Bank Dunia tersebut digambarkan bahwa nilai ekspor minyak dan gas, serta komoditas mentah lainnya, seperti batubara, sebagian besar mengalami kontraksi. Karena harga yang lebih rendah dikarenakan pelemahan ekonomi Tiongkok. Harga batu bara turun 28,9 persen yoy (Laporan Neraca Pembayaran, Q1 2020). Perang dagang USA VS Tiongkok yang bermuara pada kesepakatan Fase Satu mengharuskan China untuk mengimpor lebih banyak produk manufaktur, pertanian, jasa, dan energi dari Amerika Serikat. Sebagai negara pengekspor komoditas, dan dengan China sebagai importir utama, ekspor Indonesia ke China terpengaruh oleh perjanjian ini. Sementara batubara dan LNG merupakan komoditas ekspor utama. Masing-masing mencapai 53,7 persen dan 15 persen dari total ekspor pertambangan untuk tahun 2014-2018. Selama periode yang sama, China mengimpor 15,3 persen dari total impor batu bara dari Indonesia, sedangkan impor batu bara dari Amerika Serikat hanya menyumbang 1,6 persen dari total impor batu bara China. Demikian pula China mengimpor 9,2 persen dari total impor gas alam cair (LNG) dari Indonesia. Sedangkan impor LNG dari Amerika Serikat hanya sebesar 2,6 persen. Untuk itu, masuk akal, dan tidak mungkin, bahwa China mengalihkan sebagian impor energinya dari Indonesia ke Amerika Serikat, terutama batu bara dan gas alam, untuk memenuhi komitmen kesepakatan perdagangan, terutama terkait dengan covid. Terjadi penurunan permintaan batubara dan gas alam domestik di Cina. Selain itu, China adalah tujuan terbesar kedua untuk ekspor batubara Indonesia setelah India. Menyumbang sekitar 15,6 persen dari total ekspor batu bara Indonesia selama 2015–2019. Demikian pula, China adalah negara tujuan utama ketiga ekspor gas alam Indonesia, setelah Singapura dan Jepang. Dengan kesepakatan perdagangan Fase Satu perang dagang China Vs USA, maka ekspor Indonesia ke China diperkirakan akan turun sebesar USD 1,4 miliar pada tahun 2020–2021. Ini sebagai akibat langsung dari perjanjian tersebut, dan bahwa gas dan batubara menyumbang hampir setengah dari penurunan ekspor yang diharapkan. Selain efek pengalihan perdagangan dari Indonesia ke Amerika Serikat, kesepakatan perdagangan tersebut juga dapat memicu efek pengalihan investasi. Jika China mematuhi impor dari Amerika Serikat yang diatur dalam kesepakatan perdagangan untuk jangka panjang setelah 2021, investasi langsung di Indonesia dapat terganggu, terutama industri batubara dan LNG. Investasi ke industri batubara merupakan 26 persen dari realisasi investasi sektor pertambangan dari 2015 hingga 2019. Demikian pula, investasi ke industri batubara menyumbang seperempat dari investasi China di Indonesia pada periode yang sama. Menghadapi potensi permintaan China yang lebih rendah untuk batubara dan produk LNG Indonesia dalam jangka menengah, investor dapat memutuskan untuk mengurangi investasi di industri batubara dan LNG terkait masalah profitabilitas, yang mengarah pada prospek redup untuk industri batubara dan LNG Indonesia, menunggu tujuan ekspor pengganti baru. Selanjutnya ekspor LNG Indonesia ke China berpotensi diturunkan sebesar U$ 434,8 juta (sekitar 12,3 persen dari ekspor gas alam Indonesia tahun 2019 ke China). Sedangkan ekspor batubara dapat turun sebesar U$ 233,2 juta (sekitar 7,4 persen dari ekspor batubara Indonesia tahun 2019 ke China) di 2020–2021. Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan USTR, WITS, dan IMF WEO. Problem sangat krusial pemerintahan Jokowi adalah pelanggarannya terhadap konsesus internasional terkait perubahan iklim. Sebagaimana diketahui revisi yang baru-baru ini disetujui menjadi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2020 membawa resiko pada kredibilitas pemerintahan Jokowi. Menurut bank dunia, revisi UU Minerba tersebut memberikan keleluasaan bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan lebih banyak kegiatan eksplorasi. Juga menghilangkan segala batasan untuk melindungi ingkungan alam (ini termasuk penghilangan batas eksplorasi mineral lepas pantai). Menurut bank dunia, meskipun strategi ini dapat menghasilkan keuntungan jangka pendek dalam kegiatan ekonomi secara nasional. Namun sangat berisiko memperburuk pencemaran sumber daya lahan dan air, deforestasi dan degradasi hutan besar-besaran. Selain itu konflik atas akses ke lahan dengan masyarakat lokal. Perluasan produksi batubara-produk utama pertambangan di Indonesia tidak akan menjadi pertanda baik dengan tren permintaan global untuk energi bersih. Jika terus digunakan untuk produksi energi dalam negeri, akan semakin berkontribusi pada masalah polusi di Indonesia. Pada saat yang sama kantong pemerintah kering kerontang. Sebagai akibat dari kehilangan sumber pendapatan dan kehilangan kepercayaan dari publik internasional. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.

UU Minerba, Skandal Konstitusi Terbesar Abad Ini (Bag. Kedua)

by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Wakil Ketua Komisi VII DPR periode 2014-2019, Tuan Ridwan Hisjam pada persidangan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode lalu, selalu mendesak pemerintah untuk segera menyerahkan DIM revisi pemerintah. Kata Ridwan Hisjam sebagaimana dikutip Kontan.co.id, "jadi kami tetap siap untuk membahas RUU minerba, tergantung kesiapan dari pemerintah menyerahkan DIM. Dalam waktu dua minggu kita pernah selesaikan pembahsan UU. Masih ada waktu satu bulan, agar bisa kita selesaikan," kata Ridwan yang saat itu menjadi Ketua Sidang Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, Rabu (29/8/2019). Ridwan Hisjam mengingatkan pemerintah, apabila revisi UU Minerba belum rampung hingga DPR periode ini (2014-2019) berakhir, maka pembahasan akan kembali dari nol lagi dengan membahas naskah akademik. Menghadapi kesiapan DPR untuk membahas RUU Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 itulah pemerintah melalui Sekjen Kementerian ESDM mengirim Surat Nomor 1743/06/SJN.R/2019, tertanggal 27 September 2019. Garis besar dari Surat Sekjen Kementerian ESDM ini adalah, “berdasarkan arahan Presiden, untuk menunda dulu pembahasan RUU Mineral dan Batubara, mengingat masa jabatan anggota DPR akan berakhir”. MK Jangan Dungu dan Dongo Pemerintah telah menarik diri untuk bersama-sama DPR membahas RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 itu. Tindakan pemerintah ini jelas punya konsekwensi hukumnya. Apa itu konsekwensi hukumnya? DIM Pemerintah yang telah diserahkan kepada DPR, yang jumlahnya 938 DIM tersebut tidak dibahas. Memangnya DPR mau membahas DIM dengan setan atau iblis? Jelas saja tidak bisa. UUD 1945 bilang harus membahas bersama-sama dengan pemerintah. Tetapi justru fakta urut-urutan cerita tentang RUU Atas Perubahan UU Nomor Tahun 2009 itulah, yang akan membawa kita berurusan dengan akal dan akal-akalan. Urusan ini menjadi gampang-gampang susah. Perkiraan saya, orang-orang hukum akan menyodorkan masalah sebagai berikut; Pertama, apakah DIM yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR, tetapi belum pernah dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah dalam rapat, yang diselenggarakan khusus untuk membahas DIM RUU itu, secara hukum dapat dianggap sebagai telah dibahas? Kedua, kalau dianggap telah dibahas. Orang hukum akan menyodorkan pertanyaan berikutnya, ilmu hukum macam apa, dan dari dunia mana yang dipakai untuk membenarkann anggapan konyol dan primitive itu? Tidak ada partner untuk pembahas DIM RUU. Tetapi dianggap telah dibahas, hanya karena DIM telah diserahkan. Itu hanya ada pada ilmu hukum yang biasa diotaki oleh korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Korporasi dan oligarki terkenal memang lihai dalam banyak akal. Tetapi sekaya apapun akalnya korporasi dan oligarki itu, hanya iblis dan setan gondoruwo yang bisa membenarkan argumen bahwa “penyerahan DIM yang tanpa paraf tersebut sama kedudukan hukumnya dengan telah melakukan pembahasan”. Rasanya hanya iblis dan setan gondoruwo juga pusing untuk membebek pada argumen yang sangat konyol, ngwur dan primitif tersebut. Sebab iblis dan setan gondoruwo boleh sudah tahu tentang bahaya argumen itu. Bahkan bisa lebih celaka dari kebiasaan trik-trik iblis dan setan gondoruwo menggolkan hasratnya untuk mencelakakan orang-orang beriman. Orang-orang non hukum juga akan tertawa terbahak-bahak sebagai bentuk ejekan kepada DPR yang terhormat. Ko bisa ya “penyerahan DIM disamakan popsisi hukumnya dengan telah pembahsan pembahasan DIM?” Apalagi DIM yang diserahkan dulu itu tanpa diparaf. Bahkan belum sekalipun dibahas. Dengan demikian, kedudukan hukumnya sangat jelas. Tidak bisa untuk dilanjutkan pembahasannya. Persis seperti dengan argument Ridwan Hisjam. Bila RUU itu harus dilanjutkan “carry-over” kepada DPR periode berikutnya (2019-2024), maka prosedur hukumnya harus dimulai lagi dari awal. Naskah akademik dan proses standar lainnya harus dibuat baru lagi. Tidak bisa dengan melanjutkan tahap-tahapan yang sudah dilakukan oleh DPR periode 2014-2019. Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, jelas menyediakan kaidah tersebut. Kata-kata pasal 71A itu menyatakan, dalam hal “pembahasan RUU sebagaimana dimaksud pada pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan DIM” (tanda petik ), kan sudah jelas berang itu. DPR yang terhormat, DIM itu harusnya telah dibahas. Bukannya harus telah diserahkan saja. Membahas dan menyerahkan adalah dua peristiwa hukum yang berbeda antara langit dan bumi. Masa soal yang sesederhana ini DPR tak mengerti juga? Kan konyol bangat dong. Kalau untuk kata “membahas dan menyerahkan” saja, DPR tidak bisa bedakan, bagaimana mungkin DPR bisa diharapkan untuk mengurus negara bersama-sama dengan pemerintah? Buat Putusan Yang Membanggakan Tetapi persoalannya bisa lebih konyol lagi. Dimana saja letak kekonyolannya tersebut? Kalau sampai Mahkamah Konstitusi (KM) juga ikut-ikutan tidak mengerti konsekwensi hukum antara “membahas dan menyerahkan DIM”. Sebab kalau sampai MK juga tidak mengerti, maka ini nyata-nyata merupakan skandal konstitusi terbesar dan terhebat di abad ini. Beta terpaksa harus menyebutnya sebagai skandal konstitusi, bila Mahkamah Konstitusi hanya bisa mengamini, dan menyetujui argumentasi pemerintah DPR. Dengan segala argument yang membenakan, kira-kira MK menyatakan begini, “UU Nomor 3 Tahun 2020 ini dinyatakan sah secara konsitusi. Ingat, kalau sampai amar putusan MK nanti seperti itu, maka putusan itu akan dicatat sebagai skandal konstitusi paling top dan terpopuler di abad sekarang. Dengan demikian, MK juga telah menyempurnakan dirinya bagian tak terpisahkan dari prilaku korporasi dan oligarki licik, picik tamak dan culas. Dengan menyatakan bahwa "UU Nomor 3 Tahun 2020 ini sah secara konstitusi, maka itu akan kembali mengingatkan masyarakat terhadap prilaku mantan Ketua MK Akil Mochtar yang telah diganjar dengan hukuman seumur hidup. Begitu juga dengan mantan hakim MK Patrialis Akbar, dalam kasus impor daging sapi Basuki Hariman. Patrialis Akbar tersandung uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pertenakan dan Kesehatan Hewan. Yang tidak kalah untuk diingat adalah Prof. Dr. Arief Hidayat yang selama menjabat Ketua MK, telah dua kali melanggar kode etik sebagai hakim (Kompas.com 16/01/2018). Sebagai benteng penjaga dan pengawal gawang konstitusi, MK harusnya membuat keputusan yang membanggakan rakyat Indonesia. Bukan keputusan yang hanya membanggakan korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Keputusan yang kalau dibaca ratusan tahun yang akan datang, masih sangat membanggakan anak-anak mahasiswa fakultas hukum. Untuk itu, beta berharap agar para hakim MK mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca dan mendalami cara bekerja koporasi seperti Rocafeller dan J.P Morgan serta kelompok Wall Street dibalik pembentukan UU Bank Sentarl Amerika yang terkanl dengan “The Fed's”. Begitu juga dengan peranan Nathan Mayer Rothschild dibalik pembantukan UU Bank of England. Setiap peristiwa besar dibalik pembentukan UU adalah upaya menampung dan menggolkan kepentingan korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Korporasi yang tidak pernah merasa puas untuk menjadi draculla menghisap darah rakyat di tambang-tambang barutabara, nikel, emas, perak, tembaga, mangan, biji besi dan bauksit. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Melawan Rencana IPO Anak Perusahaan Pertamina (Bag. Kedua)

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (23/07). Menteri BUMN Erick Thohir telah meminta Dirut Pertamina Nicke Widyawati menawarkan saham perdana Initial Public Offering (IPO) anak usaha Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jangka waktunya dalam waktu 1-2 tahun ke depan (12/6/2020). Alasan terpenting IPO untuk mendapatkan dana (murah). Alasan berikutnya untuk meningkatkan governance, transparansi dan akuntabilitas. Terlepas dari semua alasan dan ada manfaat lain, hal yang sering dipakai menjustifikasi IPO adalah memperoleh dana murah tanpa bunga dan perbaikan governance. Penerapan prinsip pengelolaan perusahaan berdasarkan Good Corporate Governance (GCG). Seperti diuraikan pada tulisan sebelumnya, IPO dapat saja diterima jika Pertamina bukan BUMN. Sebab Pertamina harus mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Jika pemegang kekuasaan mau memahami dan patuh terhadap konstitusi, maka alasan dan perdebatan untuk menjustifkasi rencana IPO menjadi tidak perlu. Untuk memenuhi amanat konstitusi dan ketahanan nasional, negara memang harus siap berkorban dana tanpa perlu dana murah dari hasil IPO. Sedangkan untuk mencapai level GCG tertentu, tersedia cara lain yang lebih efektif selain melalui IPO. Semua pintu mentaapi konstitusi terbuka lebar. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, sangat tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim. Apalagi dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang. Hanya sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy. Anak-anak usaha Pertamina yang menguntungkan (cream de la cream) akan segera dijual. Tinggal menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable. Seperti diketahui, pola pembentukan sub-holding bertujuan memilih anak usaha yang paling profitable dan kemudian menjual sahamnya, merupakan cara umum yang dipakai asing dan kapitalis-liberal untuk meraih untung maksimal dari berbagai korporasi. Pola unbundling ini akan menjadikan BUMN semakin kerdil. Negara pun akan mangalami penerimaan yang semakin mengecil. Sementara pada sisi lain, pola unbundling juga akan membuat biaya penyediaan produk dan jasa semakin mahal. Kemahalan biaya ini menjadi dibebankan kepada konsumen atau masyarakat. Ringkasnya, terlepas dari aspek strategis konstitusional, IPO anak usaha Pertamina melalui proses unbundling, sub-holding, menjual yang paling menguntungkan, akan membuat portfolio bisnis mengecil. Keuntungan akan menurun. Penerimaan negara juga menurun. Harga produk atau layanan yang dibayar konsumen naik. Kemampuan Pertamina untuk melakukan cross-subsidy menurun dengan sendirnya. Sementara dominasi swasta dan asing terus meningkat. Karena lingkup bisnis mengecil dan tidak profitable, lambat laun Pertamina akan hidup dari APBN seperti halnya TVRI. Tak mampu membangun daerah-daerah yang tertinggal dan minim konsumen. Kondisi ekstrim yang merugikan di atas, bisa saja berkurang jika ada batasan-batasan. Misalnya, anak usaha yang dijual adalah yang secara bisnis tidak mengurangi penerimaan negara. Tetapi siapa yang mau beli saham perusahaan yang kurang profitable? Atau penjualan saham dibatasi maksimum 25% atau hanya 49%. Makin besar saham yang dijual, maka makin besar kehilangan BUMN dan negara untuk memperoleh penerimaan. Kita pilih yang mana? Argumentasi yang sering jadi alasan. IPO dengan penjualan saham maksimum hanya sampai 25% atau 30%. Sehingga kontrol masih ada di tangan negara. Padahal dengan jumlah saham yang berkurang, profit pun ikut berkurang. Apakah manfaat dana murah dari IPO 25% atau 30% itu lebih besar dibandingkan profit yang turun? Adakah jaminan kelak tidak akan terjadi penjualan saham lanjutan atau right issue? Dengan IPO, terbuka jalan bagi oligarki penguasa dan pengusaha asing untuk menjual saham lebih lanjut. Kelak pemerintah bisa menjadi pemegang saham minoritas. Untuk itu, akan disediakan “ribuan alasan” manipulatif dan sarat kebohongan agar bisa IPO. Misalnya, saham negara perlu dijual untuk membantu orang miskin, membangun jalan desa, membangun sekolah dan lain-lain. Ironi yang bernuansa moral hazard ini terjadi pada Indosat yang di “IPO” sebanyak 35% pada 1994. Saat itu dikatakan penjualan saham negara sudah maksimal. Ternyata pada 2002 saham kembali dijual, sehingga negara hanya menjadi pemegang saham minoritas (14%) pada sektor sangat strategis dan menguntungkan tersebut. Selain memperoleh dana, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Itu pula yang dinyatakan Erick Thohir selepas RUPS pelantikan Nicke Widyawati menjadi Dirut Pertamina pada 12 Juni 2020. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Apakah untuk meraih governance, IPO menjadi satu-satunya jalan? Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu terpenting menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Dengan pola NPLC, Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI). Namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi public. Namun kepemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dikelola sesuai konstitusi. Saham 100% tetap milik Negara. Tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN. Sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi terkait crude domestic, signature bonus Blok Rokan, harga BBM, LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai puluhan triliun rupiah. Semua itu sebagai beban biaya operasi “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sebesar Rp 95 triliun, yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Ini akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas. Minimal Pertamina harus menanggung beban: (1) biaya “tambahan” puluhan triliun rupiah dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun rupiah. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina yang juga turun. Pertamina bisa mengalami gagal bayar atas utang jatuh tempo tahun ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pejabat pemerintah, dibanding IPO utk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka IPO, prinsip GCG tetap dilanggar. Kasus ini pernah terjadi pada kasus Laporan Keuangan BUMN PT Garuda Indonesia Pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina mengatakan, perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang selama ini menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Sekaligus melanggar UU dan prinsip GCG. Kembali kepada pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukan satu-satunya cara untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana Negara. Juga sejumlah menteri yang justru membuat kebijakan dan melanggar aturan, yang secara faktual telah merugikan negara dan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company. Dalam road map pengembangan bisnis Pertamina yang beredar pertengahan Juni 2020, tersusun rencana aksi korporasi untuk 2-3 tahun mendatang. Selain rencana IPO anak usaha, terdapat pula rencana-rencana merger, strategic partnership, sinergi, transfer, konsolidasi untuk sinergi BUMN dan divestasi saham. Menyangkut rencana IPO, sepanjang anak-anak usaha atau sub-holding tersebut merupakan bagian dari rantai utama bisnis Pertamina, maka jelas langkah tersebut harus dibatalkan. Alasannya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Terkait anak usaha yang bukan core business, maka berbagai aksi korporasi, termasuk penjualan saham atau divestasi, dapat saja diterima. Sepanjang pelaksanaannya dilakukan secara terbuka dan bebas moral hazard. Untuk memperoleh nilai tertinggi, penjualan saham non-core harus ditunda setelah pandemi korona. Dikhawatirkan penjualan yang terburu-buru akan ditumpangi oleh para pemburu rente yang memanfaatkan pendemi. Mereka akan kolaborasi dengan pengambil keputusan untuk meraih untung besar. Disinilah kampanye governance yang diusung Erick akan butuh pembuktian! Dalam road map tersebut juga tercantum rencana divestasi Saka Energi dan sejumlah anak usaha di lingkungan PHE. Dalam kondisi harga minyak dunia rendah, maka rencana divestasi Saka Senergi seharusnya ditunda. Begitu pula dengan rencana divestasi anak usaha di PHE. Rencana share-down saham Blok Mahakam dan Rokan juga perlu ditunda. Khusus divestasi Blok Rokan, beban signature bonus sekitar Rp 11,5 triliun harus diperhitungkan kembali. Prinsipnya, karena telah dikuasai Pertamina 100% dan merupakan bagian dari core business, maka share-down Blok Mahakam dan Blok Rokan menjadi tidak relevan. Divestasi kedua blok akan bermasalah jika tetap diakukan dengan mengacu harga minyak yang rendah. Bisa terjadi tanpa adanya transparasi pula. Moral hazard dalam divestasi saham pada kedua blok ini sangat potensial terjadi. Karena prosesnya berlangsung tanpa tender. Pada sisi lain, prosedur baku proses divestasi belum tersedia. Pengawasan dari lembaga lain tidak optimal. Sehingga, potensi kerugian negara pada Pertamina dari divestasi atau share-down kedua blok akan sangat besar. Oleh sebab itu, IRESS mengajak publik dan menuntut DPR untuk mengawasi secara seksama rencana divestasi kedua blok migas dan juga keseluruhan aksi-aksi korporasi yang akan dijalankan Pertamina dan Kementrian BUMN sesuai road map. Rencana IPO dan seluruh rencana aksi korporasi dapat saja sarat kepentingan kapitalis-liberal. Kepentingan perburuan rente dan oligarki penguasa-pengusaha. Rakyat butuh bukti dari Erick Thohir bahwa Pertamina adalah korporasi milik negara yang perlu dikelola secara konstitusional. Sesuai prinsip GCG dan bebas moral hazard. Rakyat tidak lagi butuh retorika hipokrit pembrantasan mafia minyak atau pengangkatan Komisaris Utama yang cacat hukum. Selain itu, kita menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

Sub Holding, Pintu Oligarki Licik dan Culas Kuasai Pertamina

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (01/07). Kebijakan sub holding anak perusahaan Pertamina sebenarnya bukan rencana baru. Namun telah direncanakan sejak awal pemerintahan Jokowi. Kebijakan ini pada dasarnya adalah usaha memisahkan asset inti, atau asset yang oleh kalangan pertamina menyebutnya sebagai asset operasional dari induk perusahaan. Dengan dipisahkan, maka asset itu dapat dikuasai atau dikontrol oleh swasta yang menjadi pemegang saham di anak perusahaan Pertamina tersebut. Rencana subholding anak perusahaan Pertamina sebelumnya telah dimulai dengan menjadikan Pertamina Persero sebagai holding companies. Sebagaimana digambarkan dalam laporan PWC, september 2019, bahwa pada tahun 2018 lalu Pertamina telah menjadi perusahaan induk untuk BUMN Minyak dan Gas Bumi. Menyusul penerbitan PP 6/2018 dan penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan holding milik negara untuk minyak dan gas. Dimulai Dari Kasus PGN Melalui PP tersebut, kepemilikan Pemerintah Indonesia di Perusahaan Gas Negara (PGN) dialihkan ke PT Pertamina (Persero) pada April 2018. Selanjutnya, PGN mengakuisisi 51% saham PT Pertamina Gas dari PT Pertamina (Persero) pada bulan Desember 2018. Setelah akuisisi selesai, Pertamina dan PGN sepakat untuk mengintegrasikan dan merampingkan bisnis distribusi gas, yang sebelumnya dimiliki oleh PGN PT Pertamina Gas (Pertagas) anak perusahaan Pertamina. Pada Desember 2018, PGN mengakuisisi 51% saham pengendali Pertamina di Pertagas, dan menjadi entitas sub-holding untuk operasi gas. Dokumen konsultan hukum swasta yang dipercaya menangani pebentukan holding ini menyebutkan, bahwa terbentuknya BUMN migas Indonesia merupakan sebuah kesepakatan yang bernilai U$ 4 miliar dollar. Menghasilkan pembentukan perusahaan induk milik negara terbesar di Indonesia. Dikatakan bahwa prosesnya dilakukan melalui skema pengalihan saham Pemerintah Indonesia goIongan saham Kelas B di Perusahaan Gas Negara (PGN) dipindahkan ke Pertamina. Pemindahan ini menghasilkan tambahan U$ 2,7 miliar dollar atau setara dengan Rp. 38 triliun modal yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia di Pertamina. Tahap berikutnya asset PT Pertamina Gas (Pertagas) milik Pertamina dialihkan ke PGN dengan harga beli U$ 1,35 miliar atau setara dengan Rp. 20 triliun. Kementerian BUMN menyimpulkan, partisipasi modal negara terbesar dalam sejarah Pemerintah Indonesia, berjumlah total Rp 58 triliun. Proses pat gulipat asset yang belum pernah dilakukan dalam sejarah migas di tanah air. Kasus sub holding PGN membawa pada kesimpulan bahwa asset pertamina Pertagas telah dijual. Sebagaimana diketahui bahwa PGN adalah BUMN terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki oleh swasta. Dengan diakuisinya saham PGN oleh Pertamina, maka pihak swasta yang ada dalam PGN menikmati suntikan dana dari Pertamina. Selanjutnya dengan beralihnya Pertagas, anak perusahaan Pertamina kepada PGN, maka ini swasta dalam PGN telah mengontrol dan menguasai asset distribusi gas terbesar di tanah air. Asset yang sangat vital karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Menular ke Anak Perusahaan Lainnya Tidak banyak yang menyadari bahwa Pertamina holding compnies telah terbentuk sejak April 2018 lalu. Ketika Pertamina milik negara menerima 56,96% saham PGN senilai Rp. 38,1 triliun rupiah atau U$ 2,7 miliar dollar. Transaksi ini terjadi ketika Menteri BUMN masih dijabat Rini Soemarno. Sebab Rini yang menandatangani akta pengalihan kepemilikan. “Dengan penandatanganan akta tersebut, berarti perusahaan induk minyak dan gas sekarang telah didirikan secara hukum," ujar Fajar Harry Sampurno, Deputi Menteri BUMBN bidang Industri Pertambangan dan Strategis kepada wartawan di Jakarta. Menjadikan Pertamina sebagai induk Holding, didasari diterbitkannya PP No. 6 Tahun 2018. Pemerintah meresmikan pendirian sebuah perusahaan induk BUMN di sektor minyak dan gas. Menggabungkan bisnis PGN dengan Pertamina dan menunjuk Pertamina sebagai perusahaan induk BUMN yang melayani industri minyak dan gas. Pada bulan Februari 2018, Pertamina menjadi pemegang saham utama PGN, dengan mengakuisisi 56,97% saham Pemerintah yang dikuasai sementara, dengan PGN tetap menjadi perusahaan publik. Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah mengintegrasikan perusahaan gas melalui skema penyerahan aset (inbreng). Tidak ada transfer tunai yang terlibat. Akibatnya, pemerintah dikecualikan dari proses tender untuk saham PT. PGN yang dimiliki oleh public. Padahal proses ternder dipersyaratkan oleh Peraturan Pasar Modal. Kasus akuisi saham PT. PGN menjadi pintu masuk terbentuknya sub holding holding anak perusahaan Pertamina lainnya. Pertamina akan bertindak sebagai entitas induk dari perusahaan minyak & gas milik negara. Selanjutnya berdasarkan analisis para pengamat, sejak tahun 2018 lalu, Perusahaan induk akan terdiri dari empat sub kepemilikan (sub holding), yaitu, Hulu, Pemrosesan, Ritel dan Gas. Dengan demikian bukan hanya PT. PGN yang akan menjadi sub holding. Namun juga anak perusaan inti dalam seluruh rantai pasokan pertamina. Jadi jelas, ini telah direncakan secara matang. Terbentuknya sub holding PGN+pertagas merupakan sukses story pemindahan asset yang sebelumnya dikontrol 100 persen oleh pertamina yakni Pertagas. Kini berada dibawah kontrol swasta yang menjadi pemegang saham di PT. PGN. Suksestory ini juga berarti pemerintah sukses menjual asset pertamina kepada pemegang saham swasta di PGN atau dapat dikatakan sukses menjual asset pertamina kepada swasta. Benar Pertamina Dijual ? Meskipun terjadi reshuffle Kabinet, dan menteri BUMN yang baru dalam Kabinet Jokowi jilid II, namun tampaknya rencana untuk memisahkan asset inti pertamina melalui sub holding terus saja berlanjut. Rencana ini tampaknya menjadi prioritas dari oligarki yang berkuasa saat ini. Asset pertamina diharapkan akan menjadi tempat bagi permainan para oligarki mengeruk keuantungan. Rencana tersebut menjadi motivasi utama Menteri BUMN selaku penguasa Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan PT Pertamina (Persero) menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK-198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan. Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal. Misalnya, mengubah nomenklatur jabatan anggota-anggota Direksi PT Pertamina (Persero). Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan. Selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni, Direktur Penunjang Bisnis, Direktur Logistik & lnfrastruktur dan Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha. Kebijakan Menteri BUMN ditindaklanjuti SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts-18/C00000/2020-S0, yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan bub holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari sub holding upstream, sub holding refining dan petrochemical, subholding commercial and trading, sub holding gas, sub holding power and NRE, dan shipping co. Pembentukan sub holding anak perusahaan inilah yang mejadi tujuan sebenarnya dari perubahan susunan organisasi Pertamina. Karena dengan terbentuknya sub holding, maka terbukalah peluang perusahaan untuk melantai di bursa saham, sebagaimana yang telah terjadi dengan PT. PGN. Secara terbuka Menteri BUMN Erick Thohir melalui berbagai media menyatakan, target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yaitu satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan. "Ini ada KPI-nya, salah satunya dalam dua tahun harus go public. Harus ada yang IPO," ungkap Eric dalam Konferensi Pers, Jumat (12/6). Sehingga anak perusahaan lainnya sama seperti PGN sekarang. Pernyataan menteri BUMN disambut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, yang mengatakan, nanti dua anak usaha dari dua sub holding akan dilepas ke lantai bursa. Dua anak usaha sub-holding ini nantinya membantu operasional sub-holding Pertamina. (Senin 15 Juni 2020 ). Jadi, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi ini akan terjadi perubahan yang yang mendasar. Tidak sebatas perubahan bentuk dan susunan organisasi Tertamina saja. Namun akan mengubah seluruh haluan usaha perminyakan di tanah air. Pertamina cepat atau lambat akan berbagai kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan. Bukan hanya itu. Ini adalah memutar jarum sejarah kembali kepada pemisahaan atau unbundling usaha usaha migas. Padahal sejarah usaha migas Indonesia dan sejarah Pertamina adalah sejarah penyatuan dari serpihan- serpihan perusahaan minyak yang direbut dari tangan penjajah. Lebih dari itu, ini adalah sejarah perjuangan kemerdekaan yang berhasil merebut ladang ladang minyak, kilang-kilang minyak milik kolonial. Sejarah ini tampaknya hanya akan tinggal kenangan. Karena aset asset tersebut akan segara jatuh ke tangan oligarki licik dan culas. Akan diabadikan bagi sebesar besarnya keuntungan, yang akan dibagikan pada pribadi dan golongan. Jika rencana ini terus berlanjut, maka akan menjadi proyek penjarahan asset negara yang paling bernilai. Yang nantinya akan menjadi sandaran keuangan bagi supremasi oligarki Indonesia. Paling tidak hingga Pemilu 2024 mendatang. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Menteri Erick Hancurkan Pertamina Melalui Sub Holding

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (18/06). Menteri Negara Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) Erick Thohir sebaiknya baca dan belajar lagi tentang sejarah negeri ini. Juga belajar lagi tentang konstitusi Indonesia. Bila salah melangkah, anda setiap saat bisa dijuluki sebagai pengkhianat bangsa. Melalui tulusan ini, kami ingin menegaskan padangan yang berkaitan dengan masalah pembentukan sub holding Pertamina. Sebelum membuat kebijakan terkait pengelolaan BUMN, tidak ada salahnya bila Menteri Erick perlu membaca sejarah dan landasan konstitusi bernegara, ketika membuat kebijakan apapun dalam pengelolaan BUMN. Secara khusus terkait kebijakan yang baru-baru ini ditetapkan Menteri BUMN, dengan merombak organisasi Pertamina.Tujuannya untuk mengubah haluan Pertamina secara fundamental. Untuk itu, Menteri BUMN memangkas sejumlah direksi, dan melahirkan sub Holding terhadap semua anak perusahaan Pertamina. Kebijakan membuat sub holding ini, hanya semata-mata untuk menghancurkan Pertamina. Pertamina telah menjadi holding BUMN untuk sektor migas. Namun kembali menaungi sejumlah sub holding. Misalnya sub holding upstream (hulu), sub holding refinery and petrochemical (pengolahan), sub holding commercial and trading (pemasaran), sub holding power and new and renewable energy (energi baru dan terbarukan), sub holding shipping company, dan gas. Salah satu sub holding perseroan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sekarang adalah sub holding gas, yaitu PT Perusahaan Gas Negara (PGN Persero). Selanjutnya menteri BUMN menegaskan, tugas sub holding adalah melakukan IPO alias go public. Direktur Strategi Portofolio and New Ventures (direktur baru) yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA diberi tugas merealisasikan kebijakan ini. Perombakan organisasi dan haluan Pertamina ini dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor : SK-198/MBU/06/2020 dan sekaligus dianggap sebagai RUPS Pertamina. RUPS yang tanpa laporan keuangan. Lalu dilanjutkan dengan SK Dirut Pertamina. Luar biasa perubahan mendasar dalam haluan, tujuan, fungsi, dan tugas BUMN hanya bermodalkan surat keputusan seorang menteri BUMN. Apa artinya keputusan menteri BUMN tersebut? Ini adalah privatisasi pertamina. Aset-aset operasional paling kunci di Pertamina dijual ke publik. Rantai supply paling utama urat nadi perusahaan terbesar di Indonesia ini akan dikelola bersama dengan pihak swasta. Swasta akan menjadi pemegang saham atas aset dan kekayaan Pertamina yang paling bernilai strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terutama anak perusahaan Pertamina atau sub holding yang dibentuk. Semua ini pada intinya pemerintah sedang butuh uang. Aset-aset Pertamina yang mau dijual-jual. Penting Paham Sejarah Negara ini dasar hak yang paling utama adalah sejarah. Hak pertama kali bangsa Indonesia atas seluruh kekayaan Indonesia adalah sejarah perjuangan bangsa Indonesia merebutnya dari tangan penjajah Belanda. Hak inilah yang kemudian menjadi UUD 1945, dan berbagai undang-undang yang berlaku. Seluruh aset negara Indonesia berhubungan dengan hal yang paling mendasar, yakni sejarah bangsa Indonesia yang tidak bisa diubah. Sintesa terhadap sejarah aset bangsa dan negara Indonesia tersebut adalah termaktub dalam UUD 1945 (pasal 33 ayat 2), “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kalnjutannya adalah pada ayat 3 dari pasal 33 UUD 1945, yaitu “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Demikian juga Pertamina yang menjadi aset Negara, merupakan babak sejarah yang paling penting. Mengapa penting karena keberadaan Pertamina sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia mengambil aset itu dari tangan penjajah, sehingga menaungi Pertamina dengan pasal 33 ayat 2 dan 3 tersebut. Sejarah Pertamina adalah sejarah perjuangan kemerdekaan. Sejarah merebut kedaulatan negara Indonesia atas kekayaan alam Indonesia. Dalam pelaksanaan cita-cita kedaulatan itulah, perusahaan migas yang tadinya dikuasai oleh kolonial Belanda dan perusahaan swasta lainnya diambil alih oleh negara dan disatukan menjadi perusahaan negara. Penyatuan ini adalah dalam rangka penguasaan negara sebagaimana amanat dan perintah konstitusi UUD 1945 pasal 33 itu. Bahkan pada awalnya, masa-masa awal perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan, perusahaan migas dikendalikan oleh tentara. Dikendalikan sepenuhnya untuk kepentingan perjuangan. Belum ada cita-cita untuk perniagaan atau bisnis. Sampai dengan lahirnya UU 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina, perusahaan migas ditempatkan pengelolaannya secara terpisah dengan APBN. Namun Pertamina mendapat mandat langsung dari negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab mengelola kekayaan alam migas dan sebagai pelaksana kedaulatan negara atas migas. Begitulah sejarahnya Pak Erick. Semua perusahaan migas Indonesia disatukan di bawah Pertamina. Sementara perusahaan migas asing yang masih dipertahankan keberadaannya karena alasan tertentu berada di bawah kontrak dengan Pertamina. Semua perusahaan migas yang berinvestasi di Indonesia berkontrak dengan Pertamina. Seluruh hasil minyak yang diangkat dari perut bumi Indonesia adalah kekayaan negara dan keuangan negara. Pertamina mendapat momentum terpenting, bukan hanya sebagai penyumbang pendapatan negara, tetapi juga menjadi penopang utama pembangunan, dan perekonomian negara. Dengan demikian, semua uang yang diperoleh Pertamina dalam usaha minyak terutama ekspor adalah milik negara. Uang tersebut sebagian digunakan untuk membiayai pemerintahan dan sebagian digunakan membangun infrastruktur Pertamina. Misalnya, memperluas jaringan bisnis, kantor-kantor Pertamina tersebar hingga ke Tokyo, dan New York. Menjadi salah satu persamaan yang cukup terkemuka di dunia. Uang hasil keuntungan Pertamina kalau dalam konteks sekarang adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian semua aset penting Pertamina yang dibangun, mulai dari aset operasional sepeti hulu, kilang, kapal, ritel , tanah, gedung , hotel, rumah sakit, adalah aset negara murni. Bahkan perusahaan asing yang beroperasi di hulu adalah aset negara murni. Karena setiap investasi dan operasi hulu yang dilakukan perusahaan asing tersebut diganti oleh negara melalui cost recovery. Sebagai aset negara yang dibangun dengan APBN, tidak akan semudah itu melepaskannya. Pengkhianat Negara Sebagian besar aset, harta, dan kekayaan Pertamina itu seusia dengan Republik Indonesia. Akibatnya, ada tiga masalah setidaknya yang muncul ketika aset Pertamina yang ada saat ini mau dijual kepada swasta atau asing, baik itu hanya sebagian maupun seluruhnya. Pertama, aset Pertamina itu sebagian besar adalah hasil perjuangan. Pengorbanan bangsa Indonesia merebutnya dari tangan penjajahan. Bukan hasil dagang. Bukan juga hasil dari valuasi keuangan, dan sejenisnya. Namun hasil perlawanan fisik. Jadi tidak mungkin bisa dijual kepada siapapun. Harus faham itu. Harap jangan dungu dan dongo. Kedua, aset Pertamina adalah milik Negara, yang berasal dari pengambilan kekayaan negara yang ada di perut Bumi Indonesia. Dengan demikian, dikuasai oleh negara sebagaimana ditetapkan oleh konstitusi UUD 1945. Konstitusi dasar ini adalah pasal 33 ayat 2 dan 3. Sampai sekarang belum diubah. Maknya baca. Jangan butakan mata sendiri. Ketiga, aset Pertamina itu adalah kekayaan negara yang tidak pernah dipisahkan. Dengan demikian, asset tersebut tidak dapat dipisahkan, karena berasal dari keuangan negara murni. Sekarang kita sebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Harus mengerti itu baik-baik. Jangan sampai dibilang kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Jika pemerintahan, menteri, para pejabat atau siapapun termasuk presiden maupun DPR, secara sengaja membuat kebijakan yang melegalkan atau secara ilegal menjual aset Pertamina kepada swasta, maka akan berimplikasi kepada tiga hal yang juga sangat mendasar. Pertama, terhapusnya memori sejarah bahwa perjuangan mendapatkan untuk Pertamina adalah bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan. Tidak terpisahkan dari perjuangan melaksanakan proklamasi 17 Agustus 1945. Ini akan membahayakan perjalanan sejarah bangsa ke depan. Kedua, pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Sehingga ini akan membahayakan konstitusi negara ini sendiri. Akan menjadi preseden yang buruk untuk penyelenggaraan negara ke depan. Ketiga, terjadi tindakan penyelewengan terhadap keuangan Negara. Ini juga nyata-nyata merupakan penyimpangan terhadap undang-undang, dan berbagai peraturan yang mengatur keuangan Negara. Juga penyimpangan terhadap APBN. Aset Pertamina itu sesungguhnya tidak dapat dijual. Kalau terpaksa dijual, maka harus ada referendum dari rakyat. Meminta dulu persetujuan seluruh rakyat. Jika pejabat negara memaksakan diri menjual, maka dapat dituduh atau dikategorikan sebagai pengkhianat bangsa. Pelaku pengkhianat bangsa itu bisa kualat. Dirinya, dan anak cucunya yang memakan harta itu semoga dilaknat. Mudah-mudahan niat pemerintah melalui menteri BUMN menjual Pertamina kepada swasta dan asing urung dilakukan. Amin amin amin Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Pertamina Itu Rentenir, Draculla Atau Lintah Darat?

By Luqman Ibrahim Soemay Biaya beli impor dan angkut Bahan Bakar Minya (BBM) jenis Ron 88 premium, sampai ke pom bensin, sekitar Rp. 2.000 per liter. Dijual di dalam negeri Rp. 6.450 per liter. Sedangkan jenis Ron 92 Pertamax, sampai ke pom bensin biayanya Rp. 3.000 per liter. Dijual ke konsumen dengan harga Rp. 9.000 per liter. Untuk semua jenis BBM, rata-rata Pertamina peras rakyat yang lagi menderita akibat pandemi Corona Rp. 4.000 per liter. Jadi, selama tiga bulan terakhir, BUMN Pertamina telah peras rakyat sebanyak Rp 21 triliun. Jakarta FNN – Rabu (20/05). Sejak penurunan harga minyak mentah dunia Januari 2020 lalu, Pertamina merupakan salah satu perusahaan importir minyak yang paling agresif. Sejak bulan Maret, Pertamina sudah memfokuskan seluruh potensi dan kekuatannya untuk menjadi perusahaan pengimpor minyak jadi atau Bahan Bakar Minyak (BBM). Hasil dari mengimpor BBM jadi tersebut, bisa langsung dijual ke masayarat. Tidak lagi butuh biaya untuk pengolahan di kilang-kilang milik Pertamina. Sekarang, hampir semua kilang-kilang di dalam negeri tidak lagi berproduksi. Kilang-kilang Pertamina itu lagi diistirahatkan. Memanfaatkan momentum penurunan harga BBM internasional dan penerapan PSBB di berbagai daerah. Sebuah sumber menyebutkan, Pertamina di Indonesia minggu ini berencana untuk mengimpor lebih banyak minyak mentah dan bahan bakar besar-besaran. Pertamina menargetkan keuntungan sebesar dari harga impor BBM yang sangat murah sekarang. Namun dijual kepada masyarakat di dalam negeri dengan harga yang sangat, sangat, dan sangat mahal. Peras Rakyat Rp 4.450/Liter Sekarang ini, harga impor BBM jenis Ron 88 atau premium, ditambah dengan seluruh biaya-biaya sampai ke pom bensin itu, sekitar Rp. 2.000 per liter. Sementara Pertamina menjual kepada masyarakat dengan harga Rp. 6.450 per liter. Nah, silahkan hitung sendiri deh berapa keuntungan Pertamina? Berapa ratus persen kentungan yang didapat Pertamina dari menjual BBM jenis premium di harga Rp 6.450 per liter sekarang? Keuntungan yang didapat Pertamina dari menjual BBM jenis premium di dalam negeri dengan harga Rp. 6.450 per liter adalah 245%, atau setara dengan Rp. 4.450 per liter. Sangat besar keuntungan yang diambil Pertamina dari masyarakat. Tega amat sih memeras masyarakat yang lagi tertekan,,, Pertanyaannya, apakah Pertamina masih sebagai perusahaan milik negara atau BUMN yang tidak lagi diberi tugas Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah? Sehingga Pertamina hanya mengejar keuntungan semata-mata? Tidak perduli dengan penderitaan yang sedang dialami rakyat akibat pandemi virus corona. Rakyat yang sudah mengalami tekanan hidup selama tiga bulan terakhir akibat pandemi virus jahannam corona. Seharusnya Pertamina tidak ikut-ikutan menekan rakyat yang sudah tertekan. Pertamina jangan sampai berubah menjadi perusahaan “rentenir atau tengkulak”. Sebab rentenir dan tengkulak kerjanya hanya menekan menekan dan menekan setiap orang yang lagi butuh duit. Sebagai BUMN, Pertamina jangan juga berubah menjadi perusahaan yang prakteknya seperti “draculla atau lintah darat”. Sebab “dracula dan lintah darat” itu, kerjanya hanya menghisap menghisap dan menghisap darah manusia sampai orangnya mati. Tidak perduli lagi apa kata orang. Yang penting dapat untung, untung, dan untung yang berlipat-lipat. Tujuan bisnis Pertamina nyata-nyata hanya untuk memeras konsumen. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tanpa mau perduli dengan penderitaan konsumen. Prilaku bisnis yang Pertamina lakukan sekarang ini, biasanya hanya ada di negera-negara kapitalis. Bukan di negara berpaham Pacasila, yang masih punya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Manejemen Pertamina juga sepertinya tidak lagi punya perasaan empaty dan belas kasihan kepada penderitaan rakyat hari ini. “Makanya dalam dua terakhir ini, Maret – April 2020, Pertamina telah berhasil atau sukses memeras rakyat sebesar Rp. 13,75 triliun, “uajar Managing Director Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwar Batubara (FNN.co.id edisi 08 Mei 2020). Luar biasa butanya, tulinya dan budegnya mata, telinga manejemen Pertamina. Mungkin juga sudah mati rasa dari perasaan kemanusiaan. Apakah majemen Pertamina tidak mau tau, kalau saat ini seluruh masyarakat Indonesia mengalami tekanan hidup yang luar biasa. Bahkan ada yang menderita akibat pandemi virus laknat corona? Virusnya juga telah menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia? Menimbun Minyak di Laut Untuk negara-negara di kawasan Asean maupun Asia, Pertamina semakin memastikan posisinya sebagai perusahaan penjual BBM termahal di dalam negeri. Bahkan mungkin juga termahal di dunia. Untuk maksud tersebut, belum lama ini Petamina mengeluarkan tender untuk pembelian BBM sebanyak dua juta barel setiap bulan. Realisasi pelaksanaanya pada kuartal kedua nanti. Untuk menampung impor BBM yang besar itu, Pertamina menyewa tanker untuk menimbun minyak impor di luat. Pertamina menyimpan bahan bakar olahan di laut, karena berupaya mengambil untung yang besar dari jatuhnya harga minyak seperti bensin dan solar. Sementara ini Pertamina mencarter tiga tanker jarak jauh untuk menyimpan BBM. Lebih menguntungkan dibandingkan mengolah minyak mentah sendiri pada kilang-kilang Pertamina di dalam negeri. Ketiga kapal tangker itu, telah dipesan Pertamina sejak akhir April dan awal Mei lalu. Tangker ini akan digunakan untuk menumbun BBM siap jual dalam jumlah besar. Waktunya kontraknya minimal enam bulan, dengan opsi tambahan untuk digunakan sebagai penyimpanan mengambang. Berlabuhnya tangker tersebut di dekat Singapura atau Sungai Linggi Malaysia. “Pertamina juga meningkatkan kapasitas penyimpanan minyak mentah. Nantinya akan diproses sendiri oleh Pertamina, tergantung perkembangan situasi. Pertamina dapat mencari penyimpanan untuk alasan strategis. Mengambil keuntungan dari harga bensin dan solar yang rendah saat ini untuk persediaan masa depan, “kata Serena Huang, analis senior dari Perusahaan Analisis Vortexa Ltd. Pertamina juga lagi mencari kapal tangker lain berukuran besar untuk menyimpan minyak mentah. Kapal yang dibutuhkan itu memiliki kapasitas penyimpanan 500.000 barel. Untuk menyimpan minyak mentah dalam waktu yang lama. Tanker Aframax dengan kapasitas sekitar 650.000 barel, dibutuhkan Pertamina untuk penyimpanan terapung. Tangker Aframax ini mempunyai kemampuan untuk transfer antar-kapal (ke kapal lain), demikian yang dilaporkan Bloomberg. Hutang Baru Rp 45 Triliun Selain impor dari Singapura, Pertamina telah menambahkan Brunai sebagai pelabuhan muat potensial untuk kargo spotnya. Ini sebagai upaya lanjutan mendiversifikasi sumber impor bensinnya. Terakhir, Petrtamina memasukkan Brunai sebagai opsi pelabuhan dalam tender untuk paruh pertama tahun 2020. Langkah ini dilakukan, karena kilang Hengyi yang berbasis di Brunai 160.000 b/d telah meningkatkan operasi komersial sejak awal tahun. Pembeli bensin terbesar di kawasan itu mengeluarkan penawaran tender, yang ditutup 24 Maret 2020 lalu. Pembeli mencari BBM sebanyak 1,2 juta barel bensin Ron 92. Dibeli dalam empat paket terpisah, dengan berbagai ukuran, untuk periode April nanti. Demikian dokumen tender yang dilihat oleh Platts. Pertamina telah memutuskan untuk mengajukan penawaran kargo berdasarkan harga tetap. Langkah ini menyimpang dari praktik tradisional penawaran berdasarkan harga mengambang. Pada 19 Maret 2020 itu, Platts menilai bensin FOB Singapura Ron 92 berada pada level terendah selama 18 tahun terakhir, yaitu U$ 23,07 per barel. Harga terendah terakhir terjadi pada 22 Februari 2002, yaitu U$ 22,90 per barel. Meskipun sekarang harganya telah pulih ke U$ 28,26 per barel. Dengan demikian pertamina telah membeli BBM dengan harga yang sangat murah. Berkisar antara U$ 22.90 – 28,26 dollar per barel atau setara dengan Rp. 2.160 – 2.698 per liter. BBM tersebut dijual di jual di dalam negeri dengan harga yang cukup tinggi, dikarenakan adanya kebijakan tidak ada perubahan harga BBM sepanjang tahun 2020. Jika Ron 92 ke atas masih dijual di dalam negeri dengan harga Rp. 9000 per liter, maka setelah dikurangi biaya-biaya, Pertamina dapat memperoleh keuantungan sekitar Rp. 6.000 per liter atau 200% lebih. Sedngkan untuk BBM jenis yang lain, seperti Ron 88 88 (premium) pertamina telah mendapatkan harga yang jauh lebih rendah. Diperkirakan keutungan rata rata yang didapat Pertamina untuk semua jenis BBM sebesar Rp. 4.000 per liter. Platts melaporkan sebelumnya bahwa, untuk bulan April perusahaan milik negara diperkirakan akan mengimpor antara 10 - 11 juta barel bensin (1 barel = 159 liter). Dengan demikian, keuantungan bulanan yang diperoleh Pertamina semasa pandemi covid 19 setiap Rp. 7 triliun. Jadi, selama tiga bulan terakhir ini, Pertamina sudah meras rakyat Rp. 21 triliun. Untuk dapat membiayai impor BBM dan minyak mentah besar-besaran, Pertamina mengambil utang dalam jumlah yang cukup besar. “Pertamina berhasil mengumpulkan dana sebesar U$ 3 miliar dollar. Dana itu didapat dari menjual obligasi selama pandemi corono, “demikian dilaporkan Forbes. Obligasi U$ 3 miliar dollar itu setara dengan Rp. 45 trliun. Dana tersebut, rencannya dipakai Pertamina untuk menyewa kapal tangker penyimpanan BBM di laut. Selain itu, juga dipakai untuk penyewaan kapal tangker yang menyimpan minyak mentah impor. Penulis adalah Wartawan Senior