ENERGI

Harga Minyak Turun Karena Digondol Tuyul

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (25/11). Banyak yang masih berharap harga minyak naik kembali. Padahal harga minyak sudah bertahan rendah dalam setengah dasawarsa terakhir. Jika secara jeli dicermati sejak kesepakatan Paris COP 21, harga minyak sudah terpukul dan bertahan di harga yang sangat rendah. Diperkirakan susah untuk kembali naik lagi. Kalau ditarik lebih jauh lagi. Cerita mengenai berakhirnya dominasi minyak sebagai penopang utama ekonomi dunia, telah dimulai sejak Barack Obama menjadi Presiden Amerika. Pemerintahan Barack Obama yang melakukan pencetakan uang dolar dengan modal kertas dan tinta saja. Padahal ketika itu harga minyak dunia tengah merosot tajam. Kebijakan Obama ini merupakan bukti awal bawah petro dolar telah berakhir. Jadi minyak tidak lagi menjadi jangkar mata uang dolar. Antara harga minyak dan harga dolar yang diperdagangkan secara internasional tidak lagi memiliki keterkaitan. Dolar mulai kehilangan jangkarnya. Perubahan kebijakan Barack Obama ini adalah bagian pokok yang sangat menentukan. Rezim petro dolar yang usianya sudah 45 tahun resmi diahiri. Tidak banyak analisis yang memang bisa mengupas masalah ini. Namun inilah permasalahan yang sebetulnya terjadi. Perubahan tatanan keuangan global inilah yang menjadi inti masalahan ekonomi dunia hari ini. Dari sinila semua persoalan dimulai. Sementara para pemgambil keputusan politik Indonesia memang tidak cukup mengerti dan memahami masalah ini. Namun peta politik global tengah bergerak ke arah mengakhiri minyak sebagai buffer politik dan keuangan dunia. Uang dari minyak selama ini merupakan sumber dana utama untuk membiayai perekonmian dunia. Dimulai dari membiayai berbagai institusi keuangan multilateral, hingga membiayai konflik dan perang berskala internasional, dalam rangka mengatur keseimbangan politik global. Berakhirnya rezim petro dolar adalah akibat langsung dari badai transparansi. Badai yang datang sebagai konsekuensi kemajuan ICT dan digitalisasi ekonomi dan keuangan dunia. Semua keputusan keuangan dilahirkan dari bigdata, blockchain. Kenyataan ini akan mengairi era paper money yang selama ini ditopang oleh eksklusivitas infrormasi dan disparitas informasi. Sampai sekarang tidak ada yang tau, berapa jumlah dolar yang beredar di seluruh dunia. Walaupun demikian, era tersebut sekarang sudah berakhir dengan transparansi dan digitalisasi informasi keuangan yang mengglobal. Semua informasi tentang keuangan dunia sudah bisa diakses antar negara. Paling kurang antar sesama lembaga keuangan. Lalu bagaimana dengan uang-uang hasil minyak yang selama ini sebagian besar terpendam di ruang- ruang gelap? Yang digunakan untuk membiayai perang dan kudeta? Juga yang dugunakan sebagai sumber dana untuk membiayai konflik dan hingga terorisme? Semua akan digulung habis oleh badai transparasi dan digitalisasi informasi. Disinilah pertarungan yang sebenarnya akan berlangsung. Sebuah pertarungan yang bakal menyita secara keseluruhan uang-uang kotor dari hasil minyak dan hasil penjarahan kekayaan alam dunia selama berpuluh puluh-puluh tahun. Sekarang para pemain minyak harus berhadapan dengan transparansi dan digitalisisi informasi dunia. Analisis inilah yang paling relevan untuk melihat Mengapa Arab Isralel harus berdamai. Karena minyak sudah tidak lagi menjadi jangkar utama pendukung keuangan global. Karena minyak akan dipukul dengan harga yang sangat rendah. Karena minyak sudah tidak lagi sebagai sumber utama keuangan, maka otomatis konflik di Timur Tengah juga akan berakhir dengan sendirinya. Apa lagi alasan yang mau dikonflikkan di Timur Tengah? Sudah tidak ada lagi bahan yang menjadi sandaran utama. Jadi damailah di Timur Tengah. Sementara di Indonesia, masih saja melakukan jampi- jampi agar harga minyak naik. Sementara gerak zaman tidak demikian. Di depan mata, covid 19 telah memukul harga minyak sampai minus. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Datangnya copid 19 ini adalah pukulan utama terhadap minyak dunia yang menjadi penopang utama ekonomi dunia. Jadi, minyak sudah dipukul dengan transparansi. Dipukul juga dengan COP 21 Paris, dipukul dengan copid 19. Ini adalah episentrum pertarungan saat ini. Sejarah telah bergerak maju. Tidak bisa dihentikan oleh jampi jampi tuyul. Jadi peta jalan bagi transisi energi. Dari fosil ke non fosil telah dibuka demgan sangat lebar. Pekerjaan bagi transisi energi, digitalisasi, bukan pekerjaan main main. Bukan sekedar pencitraan politik belaka. Bukan untuk menipu-nipu lembaga keuangan global agar menurunkan utang ke negara ini. Tetapi sebuah peta jalan sejarah perubahan manusia. Bumi yang kita diami ini tidak boleh lagi ada yang membakar minyak di jalan-jalan. Tidak boleh lagi membakar batubara di sepanjang pantai bagi pembangkit listrik. Segala aktivitas yang mengotori biosfer tempat kita hidup harus diahiri. Renungkanlah ! Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Ahok Yang The Real President Harus Dihentikan!

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Jumat (02/10). Tulisan ini lanjutan artikel IRESS 24/9/2020 terkait heboh ucapan Ahok tentang Pertamina di Channel POIN YouTube (15/9/2020). Ahok mengatakan akan terjadi gaduh dan demo oleh kadrun jika dia menjadi direktur utama Pertamina. Kata Ahok: “Persoalannya kalau saya jadi dirut, ribut. Kadun-kadrun mau demo, mau bikin gaduh lagi Republik ini”. Ahok sengaja menggunakan istilah kadrun terhadap kelompok orang yang tidak disenangi. Mereka seolah musuh abadi. Ini dapat pula dianggap cerminan sikap terhadap lawan politik bernuansa sinisme, tendensius, perseteruan, superioritas atau merasa benar sendiri. Karena itu, mengingat Ahok adalah pejabat publik, wajar kalau muncul reaksi dan kritik dari sejumlah tokoh, politisi, anggota DPR, aktivis dan berbagai kalangan masyarakat. Reaksi dan kritik menjadi lebih massif karena Ahok Komut di Pertamina, BUMN terbesar di republik yang mengelola sektor energi publik. Rangkuman reaksi tersebut antara lain adalah: mengusik ketenangan, rasis, tidak punya rasa malu, menunjukkan kesombongan, tidak tau diri, merasa paling benar, memicu kegaduhan baru, memicu perpecahan, menunjukkan kesombongan, merusak citra Pertamina dan membuat rusak tata kelola pemerintahan. Kita tidak bisa mengatur bagaimana seseorang menilai, bersikap dan berucap terhadap pihak atau kelompok lain. Itu merupakan hak azasi yang dijamin konstitusi. Namun karena Ahok pejabat BUMN mengurus hajat hidup rakyat, urusan menjadi lain. Bukan saja Ahok, bahkan Presiden Jokowi pun, yang menunjuk Ahok menjadi Komut, secara legal dan moral dapat dituntut mempertanggungjawabkan sikap Ahok sebagai pejabat perusahaan negara. Salah satu yang perlu dicamkan Ahok dan pemerintah adalah reaksi Wasekjen MUI Ustadz Tengku Zulkarnain. Tengku mengatakan: “Maksud ente kadrun siapa, Hok? Mereka yang membela Al Qur’an yang ente hina kemarin itu? Lagi pula demo itu hak rakyat yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28. Sungguh Ahok tidak tahu diri… Ahok, ente diterima tinggal di NKRI saja mestinya sudah syukur. Sadarlah diri” (19/9/2020). Tampaknya Tengku ingin mengingatkan Ahok dan kita semua asal-usul dan status Ahok sebagai warga negara. Ini terkait penjelasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra perihal status kewarganegaraan Ahok yang menjadi WNI bukan sejak kelahiran, tetapi sejak berumur 20 tahun (faktakini.net/4/2018). Ketika ayah Ahok dinaturalisasi tahun 1986, maka Ahok otomatis menjadi WNI ketika itu dia berusia 20 tahun. Nama Ahok ada dalam SKBRI Tjung Kim Nam. Sejalan dengan ungkapan Tengku di atas, Ahok dan pemerintah perlu kembali diingatkan tentang apa dan siapa, serta bagaimana sepak terjang Ahok selama ini. Hal-hal ini perlu diungkap agar suasana perseteruan antar kelompok atau golongan yang mengemuka sejak persaingan Pilkada DKI 2017 berkurang atau hilang. Dan yang lebih penting, agar Pertamina dapat dikelola sesuai konstitusi dan bebas kepentingan sempit oligarki. Ahok pernah mengatakan Jokowi tidak akan menjadi Presiden jika tidak didukung (dana massif) pengembang. “Saya pengen bilang Pak Jokowi tidak bisa jadi Presiden kalau ngandalin APBD, saya ngomong jujur kok. Jadi selama ini kalau bapak ibu lihat yang terbangun sekarang, rumah susun, jalan inpeksi, waduk semua, itu semua full pengembang, kaget gak?”, ujar Ahok (actual.com/22/6/2016). Jangan-jangan Presiden kita tersandera oleh Ahok dan oligarki. Presiden Jokowi pernah menawarkan rujuk nasional dan menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia (27/6/2020). Jika Presiden konsisten dengan ucapan, maka sesumbar dan sisnisme Ahok perlu segera dihentikan. Presiden harus berperan dan bertindak sebagai pemimpin tertinggi negara yang bebas sanderaan politik siapa pun: bahwa Ahok harus ditertibkan dan diproses secara hukum atas berbagai dugaan kasus korupsi. Hukum dan keadilan harus ditegakkan untuk menunjukkan bangsa dan NKRI bermartabat di mata bangsa-bangsa di dunia. Negara tidak boleh takluk atas sanderaan dan ancaman seseorang atau segelintir orang yang karena kekuatan oligarki dan dana yang dimiliki, bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola negara. Kita juga perlu mengingatkan para konglomerat dan oligarki kekuasaan untuk berhenti bersikap seolah semua bisa dikuasai dan diatur, tanpa peduli hukum, kemanusiaan dan rasa keadilan rakyat. Masalah ini bukan sekedar prilaku kontroversial atau “gaya bicara ceplas-ceplos”, sehingga dengan begitu perlu dimaklumi publik. Ini masalah serius yang dinilai sarat arogansi, niat mendominasi dan bebas berbuat, mentang-mentang berkuasa karena berada dalam lingkar kekuasaan. Kalau tidak ada kadrun-kadrun, lantas Ahok, atas dukungan Presiden, bisa menduduki jabatan apa saja walau tidak qualified? Mau dibawa ke mana negara ini? Kami meminta Presiden Jokowi memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, usaha yang dikelola Pertamina adalah sektor sangat strategis dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Karena itu pengurusnya tidak diatur dan ditentukan berdasar dukungan atau penolakan sikap sekelompok orang tertentu. Sebaliknya, Ahok dan pejabat pemerintah terkait harus mencamkan untuk tidak memperlakukan Pertamina sesuka hati mentang-mentang sedang berkuasa. Kedua, Pertamina adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang pemiliknya adalah seluruh rakyat, bukan segelintir orang yang ada dalam oligarki kekuasaan. Karena itu, pengurus Pertamina harus memenuhi berbagai persyaratan. Mengingat pernah divonis bersalah 2 tahun penjara (9/5/2017) secara moral dan legal Ahok tidak qualified menjadi Komut, karena melanggar Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Ketiga, secara legal Ahok mestinya diproses secara hukum oleh KPK karena diduga terlibat dan berperan sentral dan kasus RS Sumber Waras. Ahok bisa sesumbar dan seolah merasa di atas hukum akibat perlindungan KPK yang membebaskan Ahok dari jerat hukum dengan alasan tidak mempunyai niat jahat (mens rea), meskipun alat-alat bukti korupsinya telah lebih dari cukup (15/6/2016). KPK takluk di bawah kendali oligarki. Di samping alat-alat bukti telah lebih dari cukup, bukan pula tugas KPK mencari alat-alat bukti. Faktanya, sesuai tugas konstitusional, BPK sudah menemukan bukti-bukti. Namun, karena itu pula pimpinan BPK dikriminalisasi. Karena ingin melindungi Ahok, KPK yang dipimpin Agus Raharjo mengatakan ingin mencari mens rea. Mencari sesuatu di luar nalar orang sehat dan berpendidikan, karena hanya Ahok dan Tuhan-lah yang tau. Ini merupakan pernyataan absurd, sekaligus ungkapan tanpa rasa malu dan abai logika hukum, demi Ahok. Keempat, karena pernah mendapat perlakuan sangat istimewa dari KPK, Ahok dan para pendukung menganggap lembaga-lembaga negara lain, termasuk DPR dan Polri, berada dalam genggaman dan bisa dikendalikan. Ironisnya, lembaga-lembaga ini, termasuk mayoritas partai berkuasa, terkesan pasif dan justru ikut mendukung sikap KPK, dan ikut pula melindungi Ahok. Lembaga dan partai tersebut diduga kuat juga berada di bawah kendali oligarki kekuasaan. Dengan kondisi di atas, Ahok merasa confident mampu berbuat sesuai keinginan dan merasa akan mendapat pula dukungan dari pemimpin tertinggi. Karena itu, tak heran jika Menteri BUMN Erick Thohir pun terpaksa harus menerima penempatan Ahok sebagai Komut Pertamina, sebab menurut sumber terpercaya IRESS, Erick pun sebenarnya enggan menerima penempatan tersebut. Kami tidak sudi memiliki negara dan pemerintahan yang tidak dapat berfungsi normal dan berjalan sesuai Pancasila, konstitusi dan hukum. Kami tak rela negara dan rakyat terus tersandera Ahok dan oligarki kekuasaan. Ahok, seperti diungkap di atas, serta telah diuraikan dalam berbagai artikel IRESS dan buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok (2017), jauh lebih layak diproses secara hukum dibanding terus sesumbar di BUMN yang eksistensinya diamanatkan konstitusi. Pak Jokowi, kapan anda menghentikan sepak terjang Ahok? The Real President adalah Pemimpin Negara yang berani bertindak independent demi negara dan rakyat! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS dan Deklarator KAMI.

Robohnya Hambatan Energi Ramah Lingkungan

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Presiden Jokowi telah berjanji untuk menurunkan emisi hingga 26 persen pada tahun 2020, dan pemanfaatan Energi Baru Terbaharukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Janji tersebut, tampaknya tidak bisa ditarik mundur. Sebab Presiden telah menandatangani Perjanjian Conference of the Parties (COP) 21 Paris. Sebuah komitmen yang besar dalam mewujudkan dunia yang lebih bersih dari polusi gas rumah kaca. Berbagai organisasi internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup telah datang menagih janji Pemerintah Indonesia. Greenpeace, sebuah organisasi ternama yang sangat kredibel misalnya menyoal banyaknya Pembangkit Listrik Tenga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara yang tumbuh dan berkembang di tanah air. Greenpeace mengatakan, bahwa pemerintahan Jokowi bergerak ke arah yang salah dalam kaitan dengan mega proyek listrik 35.000 megawatt. Proyek yang justru menjauhkan pemerintah dari pencapaian komitmen pada perjanjian perubahan Ikllim CPO 21 di Paris. Sasaran tembak Greenpeace mengarah kepada pembangkit listtik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan anak perusahaannya. Mungkin ini adalah sasaran yang paling empuk. Sebab PLN merupakan BUMN yang seluruh rencana dan proyeknya berhubungan langsung dengan penguasa dan birokrasi. Meskipun sebetulnya mega proyek 35.000 megawatt sebagian besar yang dibangun adalah pembangkit listrik batubara. Juga sebagian besar milik swasta. Keberadaan pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP) seringkali lepas dari pemantauan banyak pihak. Sebagian besar masyarkat umum masih beranggapan bahwa semua pembangkit listrik adalah milik PLN. Padahal tidak demikian. Sebagian listrik sekarang yang dihasilkan oleh 100 pembangkit PLTU batubara yang dikonsumsi masyarakat juga milik swasta. Jika proyek 35.000 megawatt selesai, maka sebagian besar PLTU nantinya adalah milik swasta. Sementara PLN sendiri telah berjuang keras mengembangkan pembangkit non batubara. Namun upaya ini tidak mudah karena harus berhadapan dengan kendala keuangan. Termasuk kendala regulasi dan birokrasi. Berbagai macam peraturan perundang undangan yang berlaku saat ini belum memberikan keleluasaan bagi tumbuh dan berkembangnya pembangkit non batubara. Akibatnya, pertumbuhan pembangkit batubara dua sampai tiga kali lebih cepat dari pembangkit pembangkit non batubara. Janji Jokowi Pada Dunia Presiden Jokowi memang berjanji yang besar pada perjanjian Paris COP 21. Dunia selalu memperhatikan komitmen Indonesia pada perjanjian perubahan iklim ini. Lagipula presiden Indonesia telah membuat komitmen yang kuat, yang mesti dilaksanakan semua pihak dengan sungguh sungguh. Jangan sampai mbah lelo. Sebab itu membuat Indonesia malu di mata masyarakat dunia. Perjanjian Paris COP 21 adalah perjanjian dibawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015 di Paris. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris ke dalam dokumen legal penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 2016, dan berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi sebelum tahun 2030. Komitmen untuk penurunan emisi Indonesia dalam Persetujuan Paris adalah sebesar 29 persen dengan usaha sendiri. Sedangkan penurunan sebesar 41 persen lagi dengan bantuan dari pihak eksternal, seperti organisasi internasional maupun dari negara anggota UNFCCC lain. Sebagai tindak lanjut dari komitmen selama COP 21, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dengan demikian perjanjian ini telah bersifat mengikat atau legally binding. Jika pemerintah mengabaikannya, maka berpotensi Melanggar UU yang berlaku. Untuk itu, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi, pemerintah Jokowi telah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari 17 persen menjadi 23 persen. Jumlah tersebut, dari total konsumsi energi pada tahun 2025, dan 29 persen tahun 2030. Permasalahnya, upaya pemerintah Jokowi ke arah pencapaian tersebut, hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang berarti. Banyak sekali aral yang melintang yang justru datang dari regulasi yang ada. Birokrasi pemerintahan Jokowi sebagai penghambat utama. Gugatan Serikat Pekerja PLN Upaya untuk menerobos hambatan bagi pengembangan energi yang ramah lingkungan datang dari Serikat Pelerja PLN. Baru-baru ini mereka mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Ini adalah pengganti UU Sumber Daya Air sebelumnya yang dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, karena bertentangan dengan konstitusi. UU yang lama tersebut digugat oleh PP Muhammadiyah. Keberadaan UU ini menyebabkan upaya untuk memanfaatkan air sebagai sumber energi yang murah dan ramah lingkungan kembali harus berhadapan dengan berbagai macam pungutan. Pemanfaatan setiap liter air untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik serta kegiatan pemanfaatan air lainnya “dipalak” oleh sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah sebagaimana termaktub dalam pasal 58 UU No 17 Tahun 2019 tersebut. Mengapa dikatakan dipalak? Karena ini pungutan bukan pajak dan tidak diterima langsung oleh negara. Namun oleh sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk memungut. Pemanfaatan pungutan pun tidak jelas untuk apa, dan untuk siapa? Tampaknya pungutan itu tidak masuk di APBN. Pasal mengenai pungutan itu yang kini digugat oleh Serikat pekerja PLN. Alasan kunci pekerja, karena keberadaan pasal “pemalakan” ini telah menjadi beban keuangan bagi PLN yang saat ini tersandera berbagai macam pajak, pungutan dari berbagai lembaga hingga pemerintah daerah. Inilah yang semakin memberatkannya beban tarif listrik yang harus dibayar rakyat ditengah hantaman covid 19. Pungutan air ini merupakan kendala paling serius bagi pengembangan energi ramah lingkungan yang berbasis pada sumber daya lokal atau setempat. Akibatnya peluang bagi pengembangan energi ramah lingkungan hanya tersedia bagi pengembangan pembangkit yang seluruh bahan tehnologi dan SDM nya harus diimpor. Ini adalah bagian paling menyedihkan dalam urusan konsitensi pemerintah indonesia terhadap komitmen global dalam isue climate change. Langkah ke Depan Pemerintah memang tidak bisa apriori dengan tuntutan Greenpeace dan gerakan lingkungan lainya. Mereka berjuang atas landasan kepentingan publik internasional yang menginginkan lingkungan yang lebih baik. Mereka tidak mengurus Indonesia saja, atau menyerang penggunaan batubara yang ada di Indonesia saja, namun juga di seluruh dunia. Kebetulan saja Indonesia penghasil batubara dan eksportir terbesar di dunia saat ini. Sehingga menjadi fokus perhatian organisasi lingkungan tersebut. Namun tuntutan menutup pembangkit batubara yang telah dibangun oleh PLN karena desakan organisasi internasional sama sekali bukan merupakan jalan keluar. Apalagi alasan juga mereka belum cukup memadai. Pembangkit yang telah dibangun PLN selama ini adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. PLN sebagai tulang punggung bangsa Indonesia dalam memperoleh energi listrik. Sehingga upaya untuk meluruskan kembali jalur yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan COP 21 Paris, dan UU ratifikasinya adalah membenahi semua regulasi yang menghambat pemerintah memanfaatkan sumber daya lokal bagi pengembangan energi ramah lingkungan. Diharapkan urusan memenuhi Penjajian COP 21 Paris ini tidak membebani neraca perdagangan Indonesia. Bahkan bisa meningkatkan serapan sumber daya lokal. Mengingat ketersediaan sumber daya air yang melimpah di dalam negeri, dan PLN merupakan pioner dalam pengembangan PLTA. Dengan dihapuskan berbagai hambatan bagi pengembangan energi ramah lingkungan, maka tidak ada alasan bagi investor asing maupun nasional untuk tidak melakukan investasi. Karena penggunaan energi fosil ke depan akan berhadapan dengan dengan pajak karbon yang tinggi. komitmen seluruh perbankkan dan lembaga keuangan global untuk menghentikan pembiayaan energi fosil pada 2030 mendatang. Bagi PLN sebagai perusahaan penyelenggara ketenagalistrikan nasional, akan dapat meningkatkan komitmennya dalam penurunan emisi dengan mengurangi secara progres pembangkit batubara dan minyak. PLN juga dapat diberi kewenangan oleh pemerintah untuk merenegosiasi kembali pembelian listrik swasta dalam skema Take Or Pay (TOP) yang berlaku saat ini. Dengan strategi ini, dirahapkan dapat mengurangi, bahkan menghentikan sistem pembelian listrik wajib dari pembangkit swasta berbahan bakar batubara dan minyak. Semoga tercapai. Penulis dalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Kontroversi Ahok, Pertamina Bukan Milik Penguasa!

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (24/09). Heboh soal pernyataan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) tentang aib Pertamina memang sudah reda. Namun, persoalan belum usai. Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya hal-hal penting yang perlu diproses hukum. Permasalahan bukan hanya berhenti di Ahok. Tetapi juga harus ditindaklanjuti pemerintah dan DPR. Bahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau penegak hukum. Sebab aib yang dibuka Ahok dalam video akun POIN (15/9/2020) antara lain tentang prilaku direksi yang minim koordinasi. Sering langsung melobi menteri, enggan mendengar suara komut, pejabat non-job bergaji besar, suka berutang, doyan akuisisi aset migas di luar negeri, dan kegagalan membangun kilang. Ahok juga bicara tentang komisaris yang rata-rata adalah titipan dari kementerian. Selain itu, mengenai rencana proyek paperless senilai Rp. 500 miliar dengan Peruri. Ahok ikut menyoroti pembentukan super holding (Indonesia Incorporation) dan pembubaran Kementrian BUMN. Heboh yang diungkap Ahok bukan sekedar masalah tata krama komunikasi. Namun gaya bicaranya yang kontroversial, masalah internal korporasi, atau strategi manajemen yang oleh sebagian orang malah diapresiasi. Tetapi ada hal-hal penting dan strategis yang perlu diadvokasi, karena menyangkut sektor hidup rakyat yang dikelola tidak sesuai konstitusi dan aturan. Pertama, dengan pengungkapan tersebut, Ahok telah melanggar prinsip Good Coporate Govemance (GCG). Melanggar etika jabatan dan gagal menjalankan tugas pengawasan. Berbagai kealpaan tersebut, melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN, Selain itu, Ahok melanggar Permen BUMN Nomor 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris dan Permen BUMN Nomor 01/2011 tentang Penerapan GCG. Untuk itu, pemerintah atau Menteri BUMN harus memberikan sanksi tegas kepada Ahok. Kedua, Ahok mengatakan, “saya ini eksekutor, bukan pengawas, sebenarnya. Komisaris di BUMN itu sebetulnya ibarat melewati lewat. Syurga belum masuk. Harusnya Kementerian BUMN itu dibubarkan”. Ini dinilai ketidakpatuhan mengemban tugas sebagai komisaris atau pengawas, dan jumawa dengan klaim kemampuan diri yang justru belum terbukti. Pernyataan Ahok Ini dapat pula diartikan ingin atau sedang menjalankan tugas dan fungsi sebagai direksi. Jimawa merasa diri paling pantas memimpin super holding dengan meminta Kementrian BUMN dibubarkan. Beginilah wujud komisaris yang tidak tau diri. Berprilaku seperti direksi. Ketiga, Ahok membongkar aib itu, dapat dianggap sebagai bukti ketidakmampuan personal. Bukti kalau Ahok lemah secara manajerial atau profesionalitas untuk mengendalikan, meyakinkan atau memaksa direksi menjalankan kebijakan dan perintah Ahok. Dengan membuka aib Pertamina, mungkin diharapkan Ahok akan memperolah dukungan Presiden atau publik, agar kebijakan dan perintah tersebut akhirnya dijalankan. Publik die-hards mungkin saja akan mendukung. Walaupun yang bersangkutan sarat kasus dugaan korupsi. Keempat, di sisi lain, direksi membangkang Ahok bisa disebabkan rasa percaya diri yang tinggi. Karena diback-up oleh oknum-oknum kekuatan besar atau partai lingkar kekuasaan. Mereka bukan saja berani menghadapi Ahok, tetapi juga menteri-menteri atau atasannya. Bisa pula muncul spekulasi, Ahok membuka aib Pertamina setelah konsulasi dengan Presiden. Bahkan bisa pula ada anggapan bahwa Presiden pun tak cukup confident menghadapi oknum-oknum Partai Politik berkekuatan besar tersebut. Karena itu, perlu cara dan dukungan publik untuk menghadapinya. Terkait “kesukaan” berutang dan akuisisi saham migas luar negeri, modus-modus seperti ini lumrah dijalankan oknum-oknum lingkar kekuasaan. Sebab mereka berburu rente besar dalam bisnis Pertamina yang bernilai puluhan miliar dollar Amerika itu. Ada keuntungan besar yang bisa didapat di Pertamina. Oknum penguasa atai Partai Politik ini memanfaatkan BUMN berikut “perangkatnya” untuk berburu rente. Mereka tidak peduli negara, BUMN dan rakyat dirugikan. Jika pro rakyat dan negara, maka berperanlah sebagai The Real President. Jokowi bersama Ahok mestinya berani meredam praktek perburuan rente tersebut. Rakyat butuh pembuktian. Kelima, akibat kebijakan tidak menurunkan harga BBM sejak Maret 2020, selama semester-1 2020, masyarakat konsumen BBM minimal telah dirugikan sekitar Rp 24 triliun. Kerugian ini dihitung berdasarkan Perpres Nomor 191/2014, Perpres Nomor 43/2018 dan sejumlah Kepmen ESDM yang terbit hingga Maret 2020. Sebagai Komisaris Utama, Ahok pun harus ikut bertanggungjawab atas penyelewengan pemerintah yang merugikan konsumen BBM sebesar Rp 24 triliun. Sementara pada kesempatan lain, Ahok mengatakan anggota masyarakat yang dilabel “kadrun” (kadal gurun) akan berdemo jika dia dijadikan Dirut Pertamina. Pernyataan tendensius dan bernuansa permusuhan ini akan dibahas dalam tulisan terpisah. Pemerasan terhadap Pertamina melalui kebijakan signature bonus, energi untuk pencitraan pemilu dan ICP tinggi, serta pemaksaan pada rakyat membeli BBM berharga tinggi saat harga minyak dunia turun, dapat dianggap penyelewengan moral dan hukum yang dilakukan "oknum" (“kubu”) pemerintah. Sementara itu, pembelian lapangan/saham migas luar negeri atau berutang atas nama pengembangan korporasi guna berburu rente juga penyelewengan berkategori sama. Hanya saja, oknum pelakunya berada pada “kubu lain” dalam lingkar kekuasaan. Heboh video Ahok dapat dikatakan sebagai indikator terjadinya “pertarungan” oknum dua kubu untuk memperoleh rente tinggi seputar bisnis besar di Pertamina. Keduanya menjadikan Pertamina sebagai “bancakandan sapi perah”. Seolah badan usaha Pertamina itu milik nenek moyangnya. Mereka menyisakan ironi bagi BUMN dan rakyat. Bahkan rakyat pun harus mensubsidi BUMN yang harusnya mendatangkan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tampak ada persoalan penting dan strategis di balik pengelolaan Pertamina. Bukan hanya sekedar pernyataan tidak pantas yang dilabeli kontroversial dari Ahok. Atas pembukaan aib Pertamina dan melanggar prinsip GCG, serta gagal melindungi kepentingan publik, maka Ahok harus diberi sanksi. Namun demikian, terkait pelanggaran konstitusi, aturan dan GCG, maka Ahok bersama oknum-oknum jajaran pejabat pemerintah terkait dan lingkar kekuasaan harus diaudit BPK. Mereka juga harus diproses secara hukum oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Demi tegaknya hukum dan keadilan, prilaku semena-mena terhadap Pertamina, dan merasa berada di atas hukum harus dihentikan. Seluruh lembaga yang terkait dengan penegakan hukum, antara lain DPR, BPK dan KPK, dituntut memeroses berbagai dugaan penyelewengan yang terjadi di Pertamina. Berbagai isu di Pertamina menyangkut survival BUMN dan kepentingan ratusan juga rakyat Indonesia. Persoalan ini tidak bisa dianggap selesai hanya dengan pertemuan klarifikasi (17/9/2020) Ahok dengan Ercik Thohir, dan komitmen untuk membangun soliditas tim. Pertamina itu bukan milik penguasa, walau sedang berkuasa. Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS dan Deklarator KAMI.

Menuntut Ganti Rugi BBM Mahal Rp 24 Triliun

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Jum'at (11/09). Tak lama setelah dilantik, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Ecerean BBM pada 31 Desember 2014. Perpres Nomor 191/2014 direvisi dengan Perpres Nomor 43/2018 guna menambah wilayah penjualan BBM penugasan (Premium). dan kebijakan tentang penerimaan badan usaha setelah audit BPK. Harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) berubah. Terutama sesuai fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Perpres Nomor 191/2014 menjadi rujukan Kementrian ESDM menetapkan formula harga eceran BBM secara rutin (bulanan) berbentuk Peraturan Menteri (Permen) dan Keputusan Menteru (Kepmen). Permen ESDM yang pernah terbit meliputi Nomor 39/2014, No.4/2015, Nomor 39/2015, Nomor 27/2016, Nomor 21/2018, Nomor 34/2018 dan Nomor 40/2018, Nomor 19K/2019, Nomor 62K/2019, Nomor 187/2019, Nomor 62K/2020 serta Nomor 83K/2020. Implementasi peraturan di atas tercermin pada harga BBM domestik yang berubah-ubah sesuai fluktuasi harga minyak dunia. Misalnya, harga BBM RON-92 (Pertamax) per liter pada Mei 2015 adalah Rp 9.600, turun menjadi Rp 7.550 pada April 2016. Kemudian naik ke Rp 8.400 pada Desember 2017. Naik lagi Rp 9.150 pada Februari 2018 dan Rp 9.850 pada Desember 2019. Setelah itu turun ke Rp 9.200 pada januari 2020 dan Rp 9.000 pada Februari 2020. Harga minyak dunia yang dinamis membuat harga eceran Pertamax pernah lebih rendah dari Rp 8.000 atau lebih mahal dari Rp 9.000 per liter. Artinya, sesuai peraturan yang ada, rakyat harus membeli BBM lebih mahal dari Rp 9.000 per liter saat harga minyak dunia naik. Begitu juga pernah menikmati harga murah lebih rendah dari Rp 8.000 per liter saat harga minyak dunia turun. Ternyata, pada saat harga minyak dunia turun signifikan menjadi sekitar U$ 32 per barel pada Maret 2020 atau sekitar U$ 21 per barel pada April 2020, harga BBM di dalam negeri tidak turun. Kondisi normal harga BBM yang berlangsung empat tahun terakhir, tidak lagi dijalankan. Padahal aturan rujukan masih berlaku efektif. Menteri ESDM Arifin Tasrif beralasan, harga minyak masih belum stabil dan harga BBM Indonesia sudah cukup murah. Sedangkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan harga BBM tidak turun karena biaya crude domestik lebih mahal dibanding impor. Pertamina harus menyerap 100% produksi domestik, menjaga bisnis migas kondusif, mencegah PHK, menjaga operasi kilang, dan mengkompensasi penurunan konsusmsi BBM akibat Covid-19. Apapun pun alasannya, kita tetap tidak dapat menerima jika harga BBM tidak turun. Mengapa? Karena peraturan dan formula harga eceran BBM masih berlaku. Selama ini rakyat rela membayar harga BBM lebih mahal sesuai aturan. Dengan aturan yang sama, wajar rakyat menuntut harga BBM harus diturunkan saat harga minyak turun. Seperti yang terjadi saat harga Pertamax per liter hanya Rp 7.550 pada April 2016 atau Rp 8.400 pada Desember 2017. Rakyat wajar menuntut harga BBM segera turun. Rakyat juga menuntut ganti rugi kemahalan harga BBM. Rakyat menolak kebijakan semau gue dengan melanggar peraturan yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah. Jika pemerintah menghalangi rakyat menikmati harga BBM lebih murah, sementara aturan rujukan masih berlaku, maka dapat dinyatakan pemerintah telah bertindak “semau gue”. Pemerintah melawan hukum dan menzolimi rakyat di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19. Sesuai Kepmen ESDM Nomor 62K/2020, formula harga bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51 adalah MOPS atau Argus + Rp 1800 per liter + margin 10% dari harga dasar. Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari sampai dengan 24 Maret 2020 dan kurs U$ 15.300, maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp 5.500 per liter dan Pertalite RON 90 sekitar Rp 5.250 per liter. Ternyata harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp 9.000 dan Rp 7.650. Dengan demikian, jika dibanding harga sesuai formula, maka konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp 2.000 sampai Rp 3.500 per liter. Hal sama juga terjadi untuk BBM tertentu (Solar) dan Khusus Penugasan (Premium). Namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp 1.250-1.500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp 2.000 per liter. Harga rerata minyak dunia bulan Februari, Maret, April, Mei, dan Juni 2020 masing-masing adalah sekitar U$ 55, U$ 32, U$ 21, U$ 29, dan U$ 39 per barel. Sedangkan nilai tukar merata U$ terhadap rupiah untuk periode yang sama adalah Februari Rp 14.340, Maret dan April Rp 16.300, Mei Rp 14.800, dan Juni Rp 14.600 per dollar. Berdasarkan asumsi-asumsi harga minyak dunia dan nilai tukar di atas, serta merujuk nilai kemahalan atau kelebihan bayar April 2020 sebesar Rp 2.000 per liter, IRESS memperkirakan kelebihan bayar konsumen BBM per liter untuk periode Maret-Juni 2020 adalah Maret Rp sekitar 1.000, April Rp 2.000, Mei Rp 2.600, dan Juni Rp 1.600. Rata-rata konsumsi BBM per hari diasumsikan Maret 120 ribu kiloliter, April 100 ribu kiloliter, Mei 111 ribu kiloliter, dan Juni113 ribu kiloliter. Maka diperoleh perkiraan kelebihan bayar konsumen untuk semester satu 2020 Maret Rp 3,3 triliun, April Rp 6,4 triliun, Mei Rp 8,9 triliun dan Juni Rp 5,5 triliun. Sehingga total kelebihan bayar konsumen semester satu 2020 sekitar Rp 24,1 triliun. Kelebihan bayar konsumen BBM Rp 24,1 triliun di atas adalah subsidi yang dipaksakan oleh pemerintah untuk dibayar oleh rakyat. Padahal saat ini rakyat hidup susah akibat Covid-19. Rakyat justru lebih butuh subsidi negara dibanding mensubsidi perusahaan negara. Merujuk artikel IRESS 2 September 2020, pemerintah telah membebani Pertamina dengan kebijakan inkonstitusional dan melanggar aturan berupa 1) Signature Bonus Blok Rokan Rp 11,3 triliun, 2) Harga Crude Domestic yang dimark-up Rp 9,25 triliun, dan 3) beban bunga bond akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun. Total beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Kebijakan di atas dapat dianggap kejahatan konstitusional bernuansa moral hazard yang secara tidak langsung merugikan rakyat Rp 23.55 triliun. Dampak langsung kebijakan inskosntitusional tersebut adalah rakyat gagal menikmati harga BBM mura. Karena harus mensubsidi Pertamina Rp 24,1 triliun melalui harga BBM yang tidak turun pada semester satu 2020. Karena itu wajar jika rakyat menggugat pemerintah demi tegaknya hukum dan keadilan. Gugatan di atas telah diwujudkan Koalisi Masyarakat Penggugat Harga Bahan Bakar Minyak (KOMPHAK) melalui Surat Somasi kepada Presiden Jokowi. Surat Somasi diterima Setneg sesuai bukti penerimaan No.20MM-YFRC5S 9 Juni 2020. Para anggota KOMPHAK adalah Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Mukhtasor M.Eng., Dr. A. Yani SH, MH, Agung Mozin MSi, Drs. M.H. Taliwang MI.Kom., Dr. Taufan Maulamin, Djoko E. Abdurrahman, Agus M. Maksum SSi, Narliswandi, Bisman Bachtiar SH, MH, Muslim Arbi, A. Syebubakar, M.R. Kamidin, dan Darmayanto. Sampai batas waktu Somasi berkahir, Presiden tidak memberi tanggapan. Karena itu, melalui Tim Advokat, KOMPHAK mengajukan Gugatan Citizen Law Suit (CLS) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Juli 2020, dengan Nomor Perkara 405/Pdt.G/2020. Tim Advokat KOMPHAK adalah Wirawan Adnan, SH, MH, Dr. M. Luthfie Hakim, SH, MH, M. Mahendradatta, SH, MA, MH, A. Michdan, SH, Munarman, SH, Djudju Purwantoro SH, A. Leksono, SH, Ichwan Tony, SH., C.I.L, dan Yushernita, SH. Melalui Gugatan CLS, IRESS bersama KOMPHAK menuntut agar harga BBM segera diturunkan sesuai aturan dan formula yang berlaku. Kami juga menuntut agar subsidi paksa Rp 24,1 triliun berupa kelebihan bayar harga BBM yang telah dikeluarkan para konsumen BBM Pada semester satu 2020, segera dikembalikan untuk dapat dibagikan kepada rakyat miskin korban pandemi Covid-19. IRESS mengajak rakyat yang peduli hukum, kebenaran dan keadilan untuk mendukung dan mengadvokasi gugatan supaya berhasil, dan dikabulkannya tuntutan tersebut. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

Presiden Harus Tanggungjawab Rugi Pertamina Rp 11,33 Triliun

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Rabu 02/09). Situs Pertamina mempublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar U$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun, pada kurs Rp. 14.766 per dollar. Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran yang parah. Karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar U$ 659,96 juta atau setara Rp. 9,7 triliun. Kita maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi korona corona. Kerugian bisa besar atau bisa kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung. Misalnya, Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., dan Petronas. Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Pemerintah harus bertanggungjawab seperti uraian berikut. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR (26/08/2020), Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan, ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina, yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar dan permintaan BBM. Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi. Sedangkan turunnya permintaan akibat korona menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar dollar. Kita paham bahwa ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi. Melanggar aturan dan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$ 784 juta (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan menjadi hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam lagi, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa menerbitkan SB. Berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021. Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesian Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar U$ 8 per barel (Banyu Urip) dan U$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM Nomor 79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama. Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph). Sedangkan lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina sekitar Rp. 9,25 triliun Periciannya, asumsi Rp. 14.500 per dolar selama 1 semester itu 180 hari, maka untuk Banyu Urip U$ 8 per barel x 210.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 302,4 juta. Sedangkan untuk Duri U$ 11 per barel x 170.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina adalah U$ 302,4 ditambah 336,6 juta adalah U$ 639 juta atau setara Rp 9,25 triliun. Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% dari total produksi, maka 35% dari nilai kemahalan tersebut adalah Rp 3,24 triliun malah dinikmati oleh asing Chevron di Duri dan Exxon untuk Banyu Urip. Ketiga, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut sebesar Rp 96,5 triliun, ditambah kompensasi Rp 13 triliun subsidi. Total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun. Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat pandemi korona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default. Akibat utang pemerintah Rp 109,5 triliun tak dilunasi, maka Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai U$ 12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond U$ 750 juta (2018), U$ 1,5 miliar (2019) dan U$ 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%. Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah U$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar U$ 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun. Keempat, selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) BBM satu harga, PSO over quota LPG 3 kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis yang diperkirakan bernuansa moral hazad. Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah juga. Hanya dari tiga kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu, 1). Beban keuangan SB Rokan Rp. 11,3 triliun. 2). Membeli crude domestic mahal Rp. 9,25 triliun dan 3). Biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp. 3 tiriliun. Pertamina harus menanggung total beban keuangan sekitar Rp. 23,55 triliun. Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar triliun Rp12,25 triliun. Rinciannya, total beban keuangan Rp. 23,55 dikurangi rugi Rp. 11,3 riliun. Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, karena pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina. Jika dikaitkan dengan peraturan harga BBM yang berlaku saat ini, pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM, sebenarnya konsumen BBM telah mensubsidi Pertamina minimal Rp 20 triliun. Artinya, rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian yang lebih besar dari rugi Rp 11,3 triliun. Untuk itu IRESS bersama sejumlah tokoh dan aktivis telah mengajukan Somasi kepada Presiden dan Citizen Law Suit kepada Pengadilan Jakarta Pusat menuntut ganti kemahalan harga BBM pada Juni-Juli 2020. Sebagai kesimpulan, kerugian Pertamina sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan GCG. Dalam kondisi harga BBM yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina malah bisa untung Rp 12,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi. Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat SDA migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keuntungan Pertamina hanya dinikmati segelintir orang dalam lingkar kekuasaan. Karena itu, sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resouuces Studies (IRESS).

Rakyat “Subsidi Paksa” Pertamina Puluhan Triliun

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (30/08). Belum lama berselang Pertamina mengumumkan laporan keuangan semester pertama 2020 (1H 2020). Hasilnya membuat masyarakat terkejut bukan kepalang. Pertamina rugi Rp. 11 triliun selama 1H 2020. Setara dengan U$ 761,2 juta dolar. Padahal “subsidi paksa” dari masyarakat yang menderita akibat pandemi corona telah menyelamatkan laporan keuangan Pertamina. Unit Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri mengalami untung besar. Keuntungan itu puluhan triliun rupiah. Sayangnya, dalam laporan keuangan, Pertamina bilang mengalami kerugian. Masyarakat selalu bertanya-tanya. Kenapa Pertamina bisa rugi besar. Padahal Pertamina sudah “disubsidi” oleh rakyat, meskipun itu subsidi terpaksa. “Subsidi paksa” yang dimaksud adalah masyarakat membeli BBM di dalam negeri dengan harga yang sangat mahal sekali. Jauh di atas harga normal, atau harga pantas, atau harga konstitusi. Karena, harga jual eceran BBM di dalam negeri seharusnya sudah turun sejak lama. Baik berdasarkan kepantasan dan moral, maupun berdasarkan peraturan Menteri Enrgi dan Sumberdaya Miniral (ASDM) yang merupakan turunan dari undang-undang (UU). Dimana harga BBM seharusnya disesuaikan setiap bulan dengan formula perhitungan tertentu, yang mengacu pada harga internasional yang sudah mengalami penurunan tajam sejak awal 2020. Apa mau dikata, ternyata tidak ada penyesuaian harga penjualan BBM di dalam negeri. Rakyat harus membayar “subsidi paksa” kepada Pertamina. UU ditabrak? Tidak masalah. Negeri sudah biasa, silemah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi keperkasaan dan kedigjayaan penguasa. Mau menuntut? Silakan. Sikuat memang kuat segalanya. Juga kuat di pengadilan. “Subsidi paksa” yang diberikan masyarakat kepada Pertamina sangat besar sekali. Mungkin mencapai Rp. 28 triliun selama empat bulan. Dari Meret sampai Juni 2020. Atau bahkan bisa juga lebih. Kita tidak tahu secara pasti karena tidak ada data yang detil. Hanya pemerintah (dan Pertamina yang tahu). Mungkin DPR juga tidak tahu, atau memang DPR tidak mau tahu. Tapi kita bisa memperkirakan berapa penurunan harga penjualan BBM yang wajar selama pandemi. Dengan memperhatikan perubahan harga BBM di negara lain. Karena BBM adalah produk universal yang mengacu pada harga internasional yang sama harganya di semua negara. Homogen. Kita bisa tengok harga penjualan BBM di Malaysia. Karena mereka mempublikasi perubahan harga BBM secara mingguan. Berbahagialah rakyat Malaysia. Berbeda antara langit dan bumi dengan yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan Pertamina menyembunyikan rapat-rapat kenuntungan yang diperoleh dari penjualan BBM di dalam negeri yang tinggi dan memeras rakyat tersebut. Malaysia hanya menjual 3 jenis BBM di dalam negeri, yaitu RON95 (sejenis Shell V-power), RON97 (sejenis Pertamax Turbo) dan Diesel. Harga ketiga jenis BBM tersebut semuanya diturunkan sekitar 40 persen pada periode 11 April sampai 15 May 2020. Indonesia tetap bertahan dengan harga penjualan yang mencekik leher rakyatnya sendiri. Dikonversi ke rupiah, harga BBM (RON95) di Malaysia turun rata-rata Rp 1.500 per liter pada Maret 2020, Rp 2.800 per liter pada April 2020, Rp 2.570 per liter pada Mei 2020, dan Rp 1.700 per liter pada Juni 2020. Ini bila dibandingkan dengan harga pada akhir Februari 2020. Penurunan harga di Malaysia ini bila kita adopsi untuk Indonesia, artinya kalau Pertamina seadil Petronas, yang tidak mencekik rakyatnya sendiri, maka ada lebih bayar kepada Pertamina sekitar Rp 5,4 triliun, Rp 8,6 triliun, Rp 8,9 triliun, dan Rp 5,8 triliun pada Maret, April, Mei dan Juni 2020. Totalnya sekitar Rp 28 triliun lebih. Atau hampir U$ 2 miliar dolar. Perhitungan ini diperoleh dari penjualan gasoline dan gasoil bulanan dikali selisih (potensi penurunan) harga rata-rata bulanan. Penjualan pada Maret hingga Juni masing-masing 115,79 ribu kilo liter, 102 ribu kilo liter, 111,9 ribu kilo liter dan 113,81 ribu kilo liter. Tentu saja perhitungan ini hanya perkiraan berdasarkan data dan informasi yang dimuat di berbagai media. Perhitungan rincinya ada pada Pertamina. Semoga saja Pertamina berkenan memberi koreksi. Sehingga masyarakat bisa mengetaui keuntungan sebenarnya yang di dapat Pertamina. Dengan mendapat “subsidi paksa” dari masyarakat, mustahil Pertamina mengalami kerugian. Apalagi untuk Unit Penjualan BBM di dalam negeri. Dari laporan keuangan yang dipublikasi, Pertamina memang secara operasional dapat dibilang tidak rugi selama 1H 2020. Penjualan 1H 2020 tercatat U$ 20,48 miliar dolar, dengan Laba Bruto U$ 1,61 miliar dolar. Beban Usaha dan Umum mencapai U$ 1,67 miliar dolar. Sehingga Laba Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) hanya minus U$ 0,06 miliar dolar AS, atau tepatnya U$ 58,3 juta dolar saja. Anehnya, dalam kondisi rugi seperti ini, Pertamina harus bayar PPh U$ 702,9 juta dolar. Sehingga total Rugi Bersih setelah PPh menjadi U$ 761,2 juta dolar. Ini sangat menarik. Kok bisa, Laba Sebelum PPh hanya U$ 58,3 juta dolar, tetapi dikenakan PPh 702,9 juta dolar AS? Jumlah PPh ini setara dengan laba hampir U$ 3 miliar dolar AS. Artinya, ada unit usaha di Pertamina yang membukukan laba sangat besar sekali. Hanya ada satu kemungkinan untuk itu, yaitu Unit Penjualan BBM yang “disubsidi rakyat” U$ 2 miliar dolar, atau bahkan lebih besar lagi. Keuntungan Unit Penjualan BBM dalam negeri tersebut untuk menutupi kerugian pada unit-unit lainnya, sehingga Pertamina hanya bisa menghasilkan Laba Bruto sebesar U$ 1,61 miliar dolar. Dan Rugi Bersih sebelum PPh U$ 58,3 juta dolar. “Subsidi paksa” dari rakyat yang sedang menderita tekanan ekonomi telah menyelamatkan keuangan Pertamina. Rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian raksasa. Mohon Pertamina, DPR dan Meneg BUMN berkenan memberi koreksi atas angka “subsidi paksa” tersebut di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Pertamina Peras Rakyat Rp. 60 Triliun, Bisa Rugi 11 Triliun?

by M. Rizal Fadillah Bandang FNN – Sabtu (29/08). Sejak awal pengangkatan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Suara sumbang mengaitkan Menteri BUMN Erick Tohir Menteri yang mengangkatnya dan Presiden Jokowi sebagai penanggungjawab tertinggi tata kelola penyelenggara negara. Masyarakat sudah mengingatkan bahwa menunjuk Ahok, yang mantan narapidana dan mantan pejabat yang "emosional" dan "mulut ngebacot seenaknya, karena kurang dicuci" sebagai penentu kebijakan di Pertamina adalah menyakiti rakyat dan tak sangat pantas. Kasus penistaan agama yang membawanya ke penjara bukan masalah kecil. Tetapi masalah serius untuk umat Islam. Ahok bukan seorang ahli di bidang perminyakan dan gas alam (migas). Sekaligus juga pemimpin yang buruk. Bukan pula orang yang mampu untuk melakukan "bersih bersih". Kebersihan dirinya selama ini diragukan. Banyak kasus yang disorot seperti suap reklamasi, kosupsi Rumah Sakit Sumber Waras, lahan Cengkareng, serta kasus-kasus di Bangka Belitung. Kini di bawah Komisaris Utama teman dekat Jokowi tersebut, Pertamina merugi Rp. 11 trilyun. Fakta dan kenyataan ini menjadi sesuatu hal yang aneh. Di tengah harga minyak dunia yang turun, Pertamina tidak menurunkan harga penjualan dalam negeri. “Keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil pemerasan terhadap rakyat selama pandemi corona Rp. 7,5 triliun setiap bulan”, kata Direktur Eksekutif Indonesian Resouces Studies (IRESS) Marwan Batubara. Semua negara di dunia telah menurunkan penjulan konsumsi minyak di dalam negerinya. Hanya Pertamina, perusahaan penjualann minyak di dunia ini yang tidak menurunkan penjualan Bahan Bakar Minya (BBM)di dalam negari. Untuk periode Januari sampai- dengan Agutuss 2020, Partamina diperkirakan telah meraup keuntungan Rp. 60 triliun, hasil dari memeras rakyat melalui penjualan di BBM di dalam negeri. Pertanyaannya, ko Pertamina bisa rugi sampai Rp. 11 triliun? Lalu, kemana dana dan kuntungan dari hasil memeras rakyat melalui penjualana BBM di dalam negeri selama pandemi corona ini mengalir? Inilah yang menjadi tandatanya besar di masyarakat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya sudah mulai melakukan audit terhahadap kerugian yang tidak masuk akal ini. Erick Thohir sudah didesak untuk mencopot Ahok dan Direksi Pertamina, akan tetapi keberaniannya diragukan. Alih-alih bisa mencopot, jangan-janagan Erick yang dicopot oleh "big boss". Karenanya, kasus orang yang sesumbar bahwa “bubar saja Pertamina jika tidak untung “ ini, sebaiknya dibawa ke ranah hukum. Adili segera Ahok dan Direksi Pertamina. Sudah meras rakyat Rp. 60 triliun dalam delapan bulan, ko masih rugi jaga? Ada tiga alasan utama Ahok dan Direksi Pertamina diadili. Pertama, Ahok tidak kapok kapok. Kedua, menjadikan Pertamina menjadi sapi perahan. Ketiga, bebal karena tidak merasa bersalah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidusus) Kejaksaan Agung harus mulai mengusut skandal kerugian Pertamina ini. Bersimultan dengan pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh BPK. Kasus Pertamina menjadi kasus berat dari tumpukan kasus Ahok yang ada selama ini. Ahok tidak boleh diberi nafas bergerak bebas untuk "petantang petenteng". Merasa sukses dengan dipidana salam dua tahun, dengan fasilitasi "menginap" di Rutan Mako Brimob. Tidak ada sejarah seorangpun seperti Ahok ini. Ahok telah menjadi pejabat yang istimewa untuk Presiden Jokowi. Dunia melihat betapa lucu dan amburadul keadaan hukum di Indonesia. Ahok adalah wajah Jokowi di arena kehidupan politik. Tak mungkin menjadi Komisaris Utama Pertamina tanpa "kebaikan" sang Presiden. Sulit difahami lolosnya Ahok berkali-kali dari banyak kasus yang membelitnya. Kekuasaan negeri ini masih menjadi panglima untuk menyelematkan Ahok. Saatnya untuk merubah dan "bersih bersih" dengan membuktikan adanya itikad baik untuk membenahi negara dengan serius. Pertamina bukan perusahaan ecek ecek. Kini diterpa masalah yang tak bisa dilepaskan dari peran Komisaris Utama. Karenanya rakyat dan bangsa Indonesia kini ingin melihat Ahok dan Direksi Pertamina bertanggungjawab. Adili segera Ahok dan Direksi Pertamina. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rencana IPO Anak Usaha Pertamina “Inkonstitusional”

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Pemerintah segera menjual saham. Biasa dikenal dengan Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan untuk mencari dana murah dan memperbaiki Good Corporate Governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas. IPO atau privatisasi perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain. Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan. Karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO. Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai US$ 12,5 miliar dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1% hingga 6,5% (weighted average kupon sekitar 4,3%). Nilai kupon itu ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014). Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30%) yang tidak go public, tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BTN 4,25% (US$ 300 juta, 1/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO. Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%. Jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis juga melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengkases dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO. Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun. GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1% pun. Dengan begitu, GCG-nya menigkat lebih baik. Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar. Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan, “IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG”. Menurut Pasal 33 UUD 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada tiga aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu, 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 itu diimplementasikan dalam peraturan operasional, yang termuat dalam UU BUMN Nomor 19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan, “Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina. Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika saham pemerintah kurang dari 100%, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA. Sebagai contoh, karena 100% sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU. IPO Tidak Berkeadilan Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila kelima Pancasila. Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100% milik negara akan menjamin 100% keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil. Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan. Karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa. Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Untuk itu, rekayasa licik pembentukan sub-holding Pertamina untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

KAMI Terus Melawan

by Mangarahon Dongoran Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah di pasar internasional harga minyak sudah lama turun? Jakarta FNN - Sabtu (22/8). Selasa, 18 Agustus 2020, sejumlah tokoh kritis terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kini morat-marit mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Deklarasi yang dilakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat itu merupakan gerakan moral untuk menggugah kesadaran Presiden dan jajarannya, serta elit politik agar membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk melihat dan mendengarkan keluh-kesah atau kegelisahan yang merebak di tengah masyarakat yang secara ekonomi kian terpuruk di tengah pandemi Corona Virus Deases 2019 (Covid-19) atau Virus China yang belum bisa dipastikan kapan berakhir. Ada mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Ahmad Yani (Ketua Komite Eksekutif KAMI), Refly Harun (pakar hukum tata negara), M.Said Didu, Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan Pembangunan) dan sederet nama lainnya. Total ada 150 deklarator. Mereka mengeluarkan suara dan kritik keras yang terdiri dari delapan poin, yang membuat pembela pemerintah kepanasan. Kehadiran KAMI telah membuat BuzzerRp seperti cacing kepanasan. Berbagai manuver mereka lakukan, termasuk melakukan aksi tandingan yang diikuti puluhan orang di dekat Tugu Proklamasi, tempat KAMI dideklarasikan. Tak hanya aksi demo, BuzzerRp pun memperlihatkan batang hidungnya lewat media sosial. Mereka terus-menerus meng-counter seluruh isi deklarasi itu. Bahkan, mereka tidak malu-malu menyebutkan, para deklarator itu adalah pejabat pecatan, mantan pejabat tidak tahu diri, tidak becus bekerja dan berbagai kalimat lainnya yang asal tuduh. Padahal, tidak ada deklarator yang berasal dari pejabat yang dipecat. Sasaran utama mereka menyebut pejabat pecatan adalah Gatot Nurmantyo. Padahal, tidak ada surat pemecatan kepada Gatot. Yang ada adalah surat pemberhentian dengan hormat, karena memasuki masa pensiun. Jadi, kalau betul dipecat, cobalah tunjukkan surat pemecatannya. Kemudian Din Syamsudin. Mantan Ketua PP Muhammadyah ini sempat diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Utusan Khusus untuk Dialog Antaragama dan Peradaban bulan Oktober 2017. Namun, tidak sampai setahun, Din mengundurkan diri dari jabatannya itu. Ia mengundurkan diri pada September 2018 dengan alasan menjaga neteralitas dalam menghadapi Pileg dan Pilpres 2019, karena ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, dan Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju. Bahkan, ada juga yang menyebut Din radikal. Kalau radikal, kok bisa diangkat jadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antaragama dan Peradaban? Mungkin, para Buzzer bayaran itu belum tahu sepak-terjang Din Syamsudin, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kalau di tingkat nasional, tentu harus tahu sepak-terjang Ketua PP Muhammadiyah dua periode itu ( 2005-2010 dan 2010-2015) itu. Ia banyak melakukan dialog antaragama dan peradaban. Oleh karena itu, ia cukup dekat dengan tokoh-tokoh agama lain, seperti Pastor Beny Susetyo (Katolik), dengan tokoh Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Din adalah salah satu penggagas Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), yang berkantor di Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat. Saya beberapa kali ikut meliput kegiatan di rumah pribadi yang dijadikan kantor itu. Di tempat ini sering dilakukan dialog antaragama, termasuk mendatangkan narasumber dari agama lain dan negara lain. Karena kedekatannya denga tokoh-tokoh agama di dalam negeri dan juga luar negeri, maka Din seringkali menjadi pembicara mengenai agama dan peradaban di dunia internasional. Apa ia, kalau Din yang bernama lengkap Muhammad Sirajuddin Syamsuddin itu radikal, bisa diterima oleh tokoh-tokoh agama lain? Apa ia, seorang radikal bisa diangkat menjadi utusan khusus Presiden? Apa ia, jika seseorang radikal, tapi masih diterima oleh berbagai kalangan? Kemudian Rizal Ramli. Ekonom senior yang dijuluki "Rajawali Ngepret" itu bukan orang yang gila jabatan. Dia pengamat ekonomi yang tetap kritis dan analisanya hampir tidak pernah meleset. Dia aktivis sejati yang tidak diam walaupun sudah diberikan jabatan empuk oleh Joko Widodo. Di dalam kabinet, RR -- demikian ia disapa -- tetap ngepret, terutama menyangkut reklamasi pantai di Jakarta. Akibatnya, tidak cocok dengan Luhut B Panjaitan yang pro reklamasi. Dia diganti, bukan dipecat. Analisa ekonominya yang tajam sehingga membuat pemerintah gerah tidak hanya dilakukannya sekarang. Di masa Orde Baru juga ia sering mengeluarkan kritik tajam. Keberanian mengkritik rezim Orba tidak lain karena ia aktivis sejati, dan berkawan dengan para aktivis yang menyuarakan kebenaran, termasuk berteman dekat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak heran, ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia pun diangkat menjadi Menteri Koordinator bidanh Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) kemudian menjadi Menteri Keuangan, serta Kepala Bulog (Badan Urusan Logistik). Ketika pemerintahan Jokowi-JK, ia mengkritisi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. RR mengatakan, dalam 5 tahun ke depan, Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 megawatt (MW), bukan 35.000 MW. "Kita melihat segala sesuatu dengan faktual dan logis kalau 35.000 MW tercapai 2019, maka pasokan jauh melebihi permintaan, ada idle (kelebihan) 21.000 MW. Di sana ada listrik swasta," jelas Rizal di Jakarta, Senin (7/9/2015). Jika dipaksakan, maka PLN akan bangkrut karena menanggung banyak hal, termasuk utang pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Faktanya, sekarang saja PLN sudah hampir bangkrut karena utang. Nah, sejumlah tokoh lain, seperti Ichsanuddin Noorsy, Ahmad Yani, bukanlah pejabat yang dipecat. Tetapi, tidak terpilih lagi menjadi anggota DPR. Khusus Noorsy, ia didepak dari Golkar karena membongkar kasus Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra buron 11 tahun yang belum lama ini ditangkap. Noorsy didepak dari Golkar karena harus berhadapan dengan tokoh-tokoh kuat di partai tersebut, seperti Baramuli (almarhum), Setia Novanto (yang akhirnya dipenjara dalam kasus E-KTP). Jadi, banyak yang harus dikoreksi jika pemerintahan ini mau berada di jalurnya. Sebab, sudah banyak penyimpangan, tidak sesuai dengan janji-janji kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, pun juga pemerintahan Jokowi-JK lima tahun sebelumnya. Misal, tidak mau menambah utang. Nyatanya, utang bertubi-tubi.Jumlah utang lima tahun pertama Jokowi sudah lebih besar ketimbang 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan infrastruktur yang bersumber dari utang pun terlalu dipaksakan. Apalagi di masa sekarang, saat pandemi Covid-19 masih berjalan, banyak infrastruktur yang tidak dipakai. KAMI oposisi jalanan Rencana pemindahan ibukota pun tidak pernah hilang dari otak pemerintah. Padahal, sekarang stuasi ekonomi sulit, sudah krisis dan selangkah lagi akan resesi. Banyak yang harus dikoreksi dan dikritisi. Jika terus didiamkan, pemerintah bertindak seenaknya. DPR hanya menjadi pajangan yang harus menuruti kemauan pemerintah. Tidak ada lagi oposisi sejati di DPR. Oleh karena itu, bermunculanlah oposisi jalanan, baik yang dibentuk kalangan intelektual, maupun demo masyarakat yang belakangan hampir tiap pekan terjadi. Oh, ia. Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah harga minyak di pasar internasional sudah turun cukup lama? Mengapa harga di dalam negeri tidak turun, sedangkan negara lain sudah melakukannya? Ada pertanyaan di masyarakat. Kalau harga minyak dunia naik, pemerintah (baca Pertamina) buru-buru menaikkan harga. Tetapi, kalau harganya turun di pasar dunia, kok harga minyak anteng saja? Saya memperkirakan demo ke depan akan mulai menyasar ke harga BBM ini. Oleh karena itu, pemerintah sengaja mengalihkan isu, seperti isu RUU Omnibus Law tjipta karya dan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang diganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jika berbagai persoalan bangsa dan negara tidak digubris pemerintah, maka rakyat akan melawan. Perlawanan terus terjadi dari seluruh negeri. Dan KAMI pasti ikut melawan. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.