Presiden Harus Tanggungjawab Rugi Pertamina Rp 11,33 Triliun

by Dr. Marwan Batubara

Jakarta FNN – Rabu 02/09). Situs Pertamina mempublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar U$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun, pada kurs Rp. 14.766 per dollar. Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran yang parah. Karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar U$ 659,96 juta atau setara Rp. 9,7 triliun.

Kita maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi korona corona. Kerugian bisa besar atau bisa kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung. Misalnya, Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., dan Petronas. Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Pemerintah harus bertanggungjawab seperti uraian berikut.

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR (26/08/2020), Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan, ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina, yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar dan permintaan BBM.

Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi. Sedangkan turunnya permintaan akibat korona menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar dollar.

Kita paham bahwa ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi. Melanggar aturan dan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$ 784 juta (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan menjadi hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam lagi, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa menerbitkan SB. Berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021.

Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesian Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar U$ 8 per barel (Banyu Urip) dan U$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM Nomor 79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama.

Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph). Sedangkan lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina sekitar Rp. 9,25 triliun

Periciannya, asumsi Rp. 14.500 per dolar selama 1 semester itu 180 hari, maka untuk Banyu Urip U$ 8 per barel x 210.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 302,4 juta. Sedangkan untuk Duri U$ 11 per barel x 170.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina adalah U$ 302,4 ditambah 336,6 juta adalah U$ 639 juta atau setara Rp 9,25 triliun.

Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% dari total produksi, maka 35% dari nilai kemahalan tersebut adalah Rp 3,24 triliun malah dinikmati oleh asing Chevron di Duri dan Exxon untuk Banyu Urip.

Ketiga, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut sebesar Rp 96,5 triliun, ditambah kompensasi Rp 13 triliun subsidi.

Total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun. Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat pandemi korona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default.

Akibat utang pemerintah Rp 109,5 triliun tak dilunasi, maka Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai U$ 12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond U$ 750 juta (2018), U$ 1,5 miliar (2019) dan U$ 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%.

Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah U$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar U$ 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun.

Keempat, selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) BBM satu harga, PSO over quota LPG 3 kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis yang diperkirakan bernuansa moral hazad. Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah juga.

Hanya dari tiga kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu, 1). Beban keuangan SB Rokan Rp. 11,3 triliun. 2). Membeli crude domestic mahal Rp. 9,25 triliun dan 3). Biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp. 3 tiriliun. Pertamina harus menanggung total beban keuangan sekitar Rp. 23,55 triliun. Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar triliun Rp12,25 triliun. Rinciannya, total beban keuangan Rp. 23,55 dikurangi rugi Rp. 11,3 riliun.

Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, karena pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina.

Jika dikaitkan dengan peraturan harga BBM yang berlaku saat ini, pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM, sebenarnya konsumen BBM telah mensubsidi Pertamina minimal Rp 20 triliun. Artinya, rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian yang lebih besar dari rugi Rp 11,3 triliun. Untuk itu IRESS bersama sejumlah tokoh dan aktivis telah mengajukan Somasi kepada Presiden dan Citizen Law Suit kepada Pengadilan Jakarta Pusat menuntut ganti kemahalan harga BBM pada Juni-Juli 2020.

Sebagai kesimpulan, kerugian Pertamina sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan GCG. Dalam kondisi harga BBM yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina malah bisa untung Rp 12,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi. Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat SDA migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keuntungan Pertamina hanya dinikmati segelintir orang dalam lingkar kekuasaan. Karena itu, sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resouuces Studies (IRESS).

785

Related Post