ENERGI

Amburadulnya Sektor Migas & BUMN Migas

Sementara itu, pembangunan kilang-kilang migas yang menjadi prioritas utama pemerintah dalam sektor ini hanya bisa melangkah di tempat. Tidak mempelihatkan kemajuan yang berarti di lapangan. Bahkan presiden menyebut bahwa pembangunan kilang tidak mengalami perkembangan, meskipun hanya persen saja. Itu berarti Pertamina hanya bisa bertahan dengan kilang-kilang lama yang sudah sangat tua. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN - Sektor migas dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas memperlihatkan keadaan yang sangat amburadul. Kenyataan itu ditemukan dalam tahun tahun belakangan ini. Mulai dari lingkungan makro yang tidak kondusif, hingga kinerja perusahaan-perusahaan BUMN xsektor migas yang semakin buruk. Sektor migas adalah salah sektor kunci bagi pertumbuhan ekonomi. Penerimaan negara, terutama pajak dan stabilitas moneter mendapat kontribusi besar dari sektor ini. Sektor migas adalah kunci bagi defisit tidaknya neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan juga defisit APBN. Bayangkan saja. Dalam dua tahun terakhir, tidak ada investasi baru di sektor migas. Semua ini karena sektor migas menghadapi lingkungan regulasi yang sangat buruk. Misalnya, ketidakpastian hukum, dan merajalelanya praktek KKN serta mafia migas. Semua kondisi ini tidak hanya membuat investor ngeri menghadapi oligarki Indonesia. Namun investor juga mengakhiri kegiatan mereka di Indonesia. Mafiamigas disinyalir menguasai rantai ekonomi migas mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari produksi minyak, kilang hingga ijin pendirian SPBU dan SPBG. Sementara itu perusahaan BUMN migas hanya punya prestasi menumpuk utang. Utang yang ditumpuk melalui global bond oleh Pertamina misalnya, mencapai dua kali lipat dalam dua tahun terakhir sejak era teformasi 1998. Setengah utang dalam global bond yang bertumpuk di Pertamina tersebut, dibuat hanya dalam dua tahun, yakni tahun 2018 dan 2019. Kondisi paling mengkuatirkan adalah produksi minyak terus merosot. Lifting minyak juga merosot. Pendapatan perusahaan BUMN Pertamina juga menurun drastis. Perusahaan BUMN tidak dapat meningkatkan penanaman modal mereka di dalam usaha mereka di hulu migas. Kenyataan ini juga mengakibatkan blok-blok migas yang dikuasai Pertamina tidak dapat berproduksi secara optimal. Tentu saja ini memperparah impor BBM dan LPG. Juga memperparah defisit perdagangan, dan defisit transaksi. Pada akhirnya akan menguras dana subsidi dari APBN. Sementara itu, pembangunan kilang-kilang migas yang menjadi prioritas utama pemerintah dalam sektor ini hanya bisa melangkah di tempat. Tidak mempelihatkan kemajuan yang berarti di lapangan. Bahkan presiden menyebut bahwa pembangunan kilang tidak mengalami perkembangan, meskipun hanya persen saja. Itu berarti Pertamina hanya bisa bertahan dengan kilang-kilang lama. Pertamina yang ditugaskan membangun kilang tidak melakukan apa apa. Padahal Pertamina sudah membuat satu Direktur Mega Proyek untuk mengurusi pembangunan kilang, mencari mitra dalam dan luar negeri. Namun hasilnya tidak ada satu persenpun. Sengaja atau tidak sengaja, kondisi inilah yang melestarikan mafia impor BBM sebagaimana yang disinggung Presiden Jokowi. Pada bagian lain subsidi malah membengkak atau jebol. Kemampuan kontrol perusahaan Pertamina dalam pelaksanaan distribusi BBM bersubsidi tidak efektif dan efisien. Subsidi BBM masih merupakan kelompok subsidi paling besar dalam dalam APBN, yakni untuk LPG dan solar. Tidak terlihat adanya kemajuan dari manejemen Pertamina dalam mengatasi permasalahan subsidi LPG yang samakin membengkak tersebut. Faktanya juga semakin tidak masuk akal. Sebab nilai subsidi LPG sekarang semakin membengkak, dan sudah mencapai Rp 70 triliun lebih setahun. Pertamina juga telah menjalin kerjasama dengan Telkom. Kerjasama ini gembar-gembor tentang program digitalisasi. Suatu mega proyek untuk menghubungkan rantai produksi Pertamina dengan ICT, dunia digital hingga fintech. Namun program ini ternyata tidak membuahkan hasil apa apa. Kerjsama Pertamina dengan Telkom juga tidak mendukung adanya peningkatan produksi, produktifitas, efesisnsi. Tidak juga terjadi optimalisasi pada seluruh lini bisnis Pertamina, terutama bidang pemasaran. Tragisnya lagi, Pertamina harus membayar ke PT Telkom Rp 800 miliar setahun sebagai fee atas fasilitas digitalisasi yang konon dibangun bersama oleh Telkom di Pertamina. Nilai yang dibayar Pertamina ke Telkom tersebut, setara dengan dua kali gaji seluruh pekerja Pertamina. Jika uang itu dibagikan kepada 14.000 karyawan Pertamina, maka masing-masing karyawan akan mendapatkan tambahan sedikitnya Rp 50-60 juta setahun. Ternyata gawat juga kaadaan yang terjadi di Pertamina ya? Keadaan ini harus bisa diakhir oleh Presiden Jokowi. Mudah-mudahan saja berhasil. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

PLN Group Selektif-lah Kualitas Supply Batu Bara

Hal itu, mengisyaratkan bahwa kualitas batu bara yang dipasok oleh PLN Batubara akan sangat selektif, agar terhindar dari berbagai gangguan, bila pemasok batubara menggunakan cara manipulasi standart bahan yang tidak sesuai, misalnya, nilai kalor batubara ˂ 4.220 kCal/kg. Oleh Muhammad Hasan Jakarta, FNN – PT PLN (Persero) meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 tahap I dengan kapasitas 1.000 megawatt, sementara tahap II, juga berkapasitas 1.000 Megawatt yang ditargetkan pada bulan Februari hingga April 2020 baru resmi beroperasi. Publik tentu menghitung, dengan jumlah yang akan di produksikan, di internal dermaga pembangkit listrik jenis batu bara terbesar Indonesia itu, bila dua-duanya dioperasikan tahun depan. Publik juga telah mengetahui, bahwa, pembangkit listrik jenis batu bara yang di pasok oleh PLN Grup jauh sebelum PLTU Jawa 7 itu, ialah sebesar 51%. Sisi lain, pengusaha batu bara merasa diuntungkan dengan target tersebut. Tahun depan, PLN Grup akan meningkatkan jumlah kebutuhan pemasok dari pembangkit listrik milik PLN Grup, yaitu sebesar 60%. besarnya porsi itu sudah pasti membawa dampak positif bagi pengusaha batu bara, juga secara khusus dampak postif itu terjadi pada PLN sebagai pemain tunggal persediaan batu bara. Berkaca pada, penetapan target Domestic Market Obligation (DMO) tercatat tahun 2019 sebesar 128 juta ton, sementara 115 juta ton di tahun 2018. Diwacanakan juga 2020 mendatang target DMO dinaikan ke level 155 juta ton. Selain taget DMO. Sikap pemerintah dalam menetapkan harga batu bara sesuai yang dikutip ialah sebesar U$D 70 juta per ton pada pengusaha batu bara dan PLN Batubara sebagai perusahaan pemasok bahan utama ke unit pembangkit yang dimiliki oleh PLN tentu merasa diuntungkan dengan nilai jual itu. PT PLN Batubara dikabarkan bahwa pencapaian pasokan batu bara hingga akhir 2018 mencapai 22,1 juta metric ton. Jumlah yang fantastis alias tidak sedikit, bila dikalkulasikan dalam Rupiah bisa mencapai laba senilai 284,4 miliyar. Selain itu, PLN Grup sebagai pemain tunggal di sektor persediaan batubara, dan berhak mengatur distribusi pasokan batu bara ke unit Pembangkit PLN sesuai kebutuhan masing-masing unit. Fluktuatif dan Kualitas Supply Besarnya jumlah kebutuhan produksi batu bara dan"fluctuating supply", yang sering terjadi, jelas menimbulkan kerawanan pada penambang, maka quality supply batu bara harus punya standart khusus yang siap digunakannya. Perlu dipahami, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7, 2.000 Megawatt itu, menggunakan teknologi Boiler Ultra Super Critical (USC), dengan bahan bakar batu bara Low Rank yang memiliki nilai kalor 4000 hingga 4600 kCal/kg. Hal itu, mengisyaratkan bahwa kualitas batu bara yang dipasok oleh PLN Batubara akan sangat selektif, agar terhindar dari berbagai gangguan, bila pemasok batubara menggunakan cara manipulasi standart bahan yang tidak sesuai, misalnya, nilai kalor batubara ˂ 4.220 kCal/kg. Belum juga, kalau misalkan divisi quality control lalai bahkan tergiur fee yang besar kemudian kurang memaksimalkan kepastian kualitas suplai batu bara ke unit pembangkit, agar tetap pada posisi steril. Itulah tanda bahaya yang bisa saja terjadi. Bila, nonfluctuating supply bisa diterapkan dengan standart kebutuhan terseleksi secara baik, mesin pembangit cenderung lebih tahan lama (awet) dan mengurangi cost perawatan pada tiap-tiap unit mesin pembangkit itu sendiri. Menghindari penurunan efisiensi penukar kalor, pada boiler, slagging di daerah radiasi akan baik-baik saja, dan fouling di daerah konveksi pun sama baiknya. Dengan begitu, secara pasti mengurangi biaya yang terjadi slagging dan fouling pada boiler. Itulah sikap selektif dan tidak fluktuatif yang menguntungkan pada pengusaha batu bara sekaligus pembangkit listrik.

Mafia Migas Operasi Hambat Pertamina Bangun Kilang Baru

Oleh Salamuddin Daeng Jakarta, FNN – Presiden Jokowi berkali-kali meminta Pertamina untuk membangun kilang minyak baru. Tentu saja yang diminta Presiden Jokowi untuk membangun kilang adalah Pertamina. Mengapa harus Pertamina ? Karena sebagai BUMN, Pertamina lah merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk membangun kilang minyak. Pemerintah tidak dibolehkan untuk membangun kilang sendiri. Karena kilang adalah usaha bisnis. Sedangkan regulasi melarang pemerintah tidak boleh berbisnis. Kalau pemerintah boleh berbisnis, maka pemerintah bisa saja disalahkan atas masalah ini. Setelah lima tahun pemerintahan Jokowi periode pertama berlalu, tidak ada satupun kilang baru yang dibangun. Bahkan sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kilang bakal dibangun, meski hanya 1% realisasinya. Ternyata permintaan Presiden Jokowi tak didengar oleh Pertamina. Sungguh sangat tragis sekali. Pihak-pihak yang diserahkan tanggung jawab untuk mambangun kilang ini, tidak melakukan langkah langkah sama sekali. Aneh bin ajaib. Perintah Presiden hanya dianggap angin lalu. Patut diduga ada pihak-pihak yang tidak menghendaki pembangunan kilang baru. Kerjasama Orang Dalam Bagaimana dengan upaya Pertamina ke arah pembangunan kilang baru? Sampai sekarang hasilnya masih nihil. Padahal seharusnya Pertamina yang paling kompeten bangun kilang baru. Pertamina adalah BUMN migas satu-satunya di tanah air. Sampai sekarang, Pertamina adalah satu dinatara perusahaan dengan asset terbesar di Indonesia. Belanja minyak Pertamina sangat bdesar. Bisa mencapai Rp 1.000 triliun setiap tahun. Masa iya sih Pertamina tidak sanggup membangun kilang minyak baru? Kenyataannya memang Pertamina tidak sanggup. Tidak bisa membangun kilang baru. Wajar saja kalau dipertanyakkan oleh Presiden Jokowi. Sebab kilang minyak yang ada sekarang sudah tua semuanya. Entah sampai berapa lama lagi kilang-kilang yang sudah tua itu sanggup beroperasi untuk memenuhi kebutuhan migas nasional? Sementara tuntutan zaman semakin beragam. Tuntutan terhadap isue-isue energi yang ramah terhadap lingkungan menjadi kebubutan yang mendesak. Masyarakat internasional sangat peduli dan bersikap antipati terhadap produk-produk tidak ramah lingkungan atau mencemari lingkungan. Patut diduga ada mafia migas bekerja. Sengaja menghalang-halangi setiap upaya Pertamina untuk membangun kilang baru. Mafia migas bekerjasama dengan orang dalam Pertamina. Tujuannya, agar Pertamina tetap tergantung kepada impor migas. Targetnya solar dan elpiji tetap bisa diimpor. Sebab keuntungan yang didapat dari impor migas lebih gampang dari pada membangun kilang minyak sendiri. Bisa juga patut diduga ada setoran besar dari importir migas. Meraka inilah yang berusaha dengan cara menghalangi pembangunan kilang minyak baru. Untuk itu, Presiden Jokowi harus mengecek keberadaan mafia impor ini dan memberantasnya sampai tuntas. Pertamina sendiri sudah membuat dua direksi, yang ada kaitannya dengan pembangunan kilang baru. Kedua direksi itu adalah direktur mega proyek, yang didukung oleh direktur infrastruktur. Kalau tidak ada pembangunan kilang baru, patut dipertanyakan apa saja pekerjaan dua direksi itu selama ini? Kok bisa ya, satu persen pembangunan kilang baru tidak jalan? Dengan demikian, wajar saja kalau Presiden Jokowi murka melihat kenyataan ini. Mengapa Direktur Utama seolah-olah cuek saja. Sepertinya menganggap omongan Presiden Jokowi sebagai dagelan belaka? Kalau alasannya Pertamina tidak punya uang? Maka faktanya Pertamina sangat pandai cari uang. Pertamina juga pandai mencari mitra usaha untuk membangun kilang baru. Perusahaan sebesar Pertamina pasti gampang mencari uang mitra usaha untuk membangun kilang baru. Lain halnya kalau direksi Pertamina tidak mau mencari uang. Lain halnya kalau Pertamina kini telah menjadi perpanjangan tangan dari mafia migas yang tidak menghendaki Pertamina membangun kilang baru. Kalau begitu adanya, maka direksi tinggal menerima nasib. Tunggu Presiden Jokowi murka. Global Bond Menumpuk Meskipun sampai sekarang Pertamina belom membangun kilang minyak baru. Namun Pertamina telah menumpuk banyak utang dalam besar untuk menjalankan kegiatan usahanya. Pertanyaan publik yang mungkin sama dengan pertanyaan Presiden Jokowi adalah untuk apa uang dari hasil utang itu digunakan oleh direksi Pertamina ? Setelah libur panjang beberap tahun membuat global bond, pada akhir Tahun 2018, tepatnya tanggal 7 November 2018, tiga bulan setelah Dirut Pertamina yang baru dilantik, Pertamina kembali mengambil utang global bond senilai U$D 750 juta dollar. Tercatat Nicke Widyawati menjabat sebagau pelaksana tugas Dirut Pertamina sejak April 2018. Selanjutnya Tahun 2019 Pertamina membuat global bond dua kali USD 750 juta. Tepatnya pada bulan Juni 2019 senilai U$ 1,5 miliar dollar. Dengan demikian jumlah utang global bond yang dibuat Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sejak menjabat April 2019 sudah mencapai Rp. 31,5 triliun. Hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Dengan bunga rata-rata 6 persen. Global bond yang baru, ditambah dengan akumulasi utang global bond yang dibuat sebelumnya telah sekitar mencapai U$ 11 miliar dollar. Setara dengan Rp 154 triliun pada kusr Rp 14.000 per dollar. Tahun 2011 Pertamina membuat global bond senilai U$ 1,5 miliar dollar, tahun 2012 U$ 2,5 miliar dollar, tahun 2013 U$ 3,25 miliar dollar, dan tahun 2014 U$ 1,5 miliar dollar. Utang Pertamina terus menumpuk dari tahun ke tahun. Belum termasuk utang utang kepada bank. Anehnya, produksi migas juga tidak meningkat secara significant. Justru yang paling tragis adalah impor migas, terutama LPG yang justru semakin meningkat. Yang lebih tragis lagi, karena tidak ada satu kilang baru yang dibangun oleh Pertamina. Pertanyaan, untuk keperluan apa pengadaan utang sebanyak itu? Sementara keuntungan Pertamina juga makin mengecil, bahkan cenderung merugi. Kinerja keuangan yang kurang baik ini akan menjadi masalah besar kepada Pertamina di masa mendatang. Dengan kemampuan mendapatkan laba kecil saat ini, mustahil bagi Pertamina untuk bisa membayar utang- utangnya. Berbeda kalau Pertamina mengambil utang, namun berhasil membangun kilang pengolahan migas baru. Produktifitas utang tersebut akan dapat membantu Pertamina membayar kewajiban di masa medatang. Namun jika perintah Presiden Jokowi masih dianggap sebagai angin lalu, maka suatu saat Pertamina bisa gagal bayar utang. Dan itu menjadi beban bagi pemerintah. Wajar Pak Jokowi Marah Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Mantan Wamen ESDM. Archandra, "Eksploitasi Migas Skema Gross Split"

Menurunya produksi minyak dalam negeri ini pertanda bahwa ada persoalan serius dalam pengelolaan sektor migas entah itu di "Pertamina, SKK Migas dan BPH Migas” yang pasti, ketiga elemen dibawah Dirjen Migas Kementrian ESDM ini. Tau, apa penyebabnya? Oleh. M. Hassan Minanan Jakarta, FNN– Sebelum kita mulai, “boleh tidak kita sepakat bahwa forum ini hanya dalam rangka edukasi”. Bukan dalam rangka mempertentangkan polemik internal kabinet Pak Jokowi-Maaruf yang lagi ramai diperbincangkan. Begitulah kalimat penegasan yang santun oleh Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra menyampaikan hal tersebut, ketika menjadi pembicara pada talk-show bidang Pengembangan Sumber Daya Alam (PSDA) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) yang diselenggarakan, di sekeretariat PB HMI Jalan Sultan agung No.25A Jakarta. Rabu, 4 Desember 2019 kemarin. Arcandra yang juga konseptor gross split ini mengingatkan sampai hari ini Tuhan hanya memberi ilmu kepada manusia yang sangat terbatas, sehingga kemampuan “teknologi” manusia untuk menghasil minyak itu baru 40 - 50%. Kapan mencapai 100% ? hanya Tuhan-lah yang tahu. Kapan ilmunya diturunkan hingga bisa mencapai 100% Catatan risert dunia cadangan minyak Indonesia sebanyak 3,2 miliar barel atau 0,2%” yang paling besar itu Venezuela 302,8 miliar barel. Sementara cadangan gas Indonesia sebanyak satu setengah dari total cadangan dunia, Itulah data yang dikutip oleh Arcandra. "Dalam pandangan Arcandra Tahar, kebutuhan energy Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari, sementara produksi Indonesia sekitar 750 ribu barel per hari untuk memnuhi kebutuhan tersebur maka Inport Indonesia antara 600 ribu". Pungkasnya. Skema Gross Split Pada kesempatan tersebut, Archandra juga mengingatkan tentang skema lelang migas oleh pemerintah sejak 2015-2019. Terkait efisiensi biaya eksploitasi migas. Pertama cost recovery dan kedua gross split. Targetnya, mendatangkan investor untuk berinvestasi pada blok migas dalam negeri. Skema Gross Split sendiri pertama kali diusulkan melalui Permen ESDM No.8 Tahun 2017 yang diterbitkan pada tanggal 13 Januari 2017. Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) antara Pemerintah dan Kontraktor Migas yang di perhitungkan di muka. Melalui skema gross split, Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara menjadi lebih pasti. Perlu diketahui pada tahun 2015-2016, skema cost recovery sama sekali sepi dari peminat. Blok migas yang dilelang pada 2015 nol 2016 nol, tidak laku. Baru di 2017, berkat dukungan dari Komisi VII DPR RI Pemerintah mengganti skema kontrak bagi hasil menjadi gross split baru ada lima wilayah kerja yang laku untuk dikelola. Jumlah wilayah kerja yang laku itu kemudian bertambah lagi menjadi sembilan blok pada 2018 seiring dengan tetap digunakannya skema gross split hingga oktober 2019 laku tiga blok. “jadi kalau ada yang menanyakan skema gross split begini hasilnya (2015, 0. 2016, 0. 2017, 5. 2018, 9. 2019, 3)” Prosentase pembagian antara PSC Gross Split dan PSC Cost Recovery sebenarnya memiliki sifat yang sama yaitu dua-duanya berfluktuasi. Tidak tetap dan sama sepanjang kontrak 30 tahun. Hanya yang membedakan adalah variabel yang berpengaruh. Dalam PSC Gross Split jauh lebih banyak variabel yang mempengaruhi dibandingkan dengan PSC Cost Recovery (Katadata.co.id) Dua skema pemerintah ini, merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi. Prinsipnya kerjasama untuk saling dukung-mendukung, bergotong royong demi mencari manfaat bersama dan bukan mencari kelemahan apalagi menunggangi. Pemerintah jangan lemah dan lengah menuju tujuan kesejahteraan rakyat, mensejahterakan rakyat itu adalah mimpi Negara yang merdeka.

Solusi Solar Langka, Percepat Pembangunan Kilang Tuban!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar beberapa hari lalu membuat pengusaha angkutan kelimpungan. Tidak tanggung-tanggung, kerugian yang dialami mencapai miliaran rupiah. “Langkanya solar di Jatim yang hanya beberapa hari membuat pengusaha angkutan rugi Rp 6,4 miliar,” ungkap Ketua Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Khusus Tanjung Perak Surabaya Kody Lamahayu Freddy. Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan semua pengiriman baik di dalam negeri maupun luar negeri mengalami keterlambatan. Kody sendiri memiliki 8.000 unit di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Nah, kerugian per unitnya mencapai Rp 800 ribu. “Kami tidak bisa apa-apa kalau pasokan solar telat. Banyak truk yang tidak bisa beroperasi karena harus antri solar. Akibatnya, banyak barang yang tidak terkirim,” ungkapnya, seperti dilansir Radarsurabaya.jawapos.com, Kamis (21/11/2019, 14: 12: 36 WIB). Menurut General Manager PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) V Werry Prayogi, kelangkaan solar pekan lalu terjadi karena adanya panic buying. Sehingga, kuota yang semestinya cukup ternyata habis terjual. Jika konsumsi solar biasanya 10 ribu liter per hari, tiba-tiba naik menjadi 12 ribu hingga 15 ribu liter per hari. “Kebutuhan stabil rata-rata 200-216 ribu kiloliter per bulan. Angkanya sedikit naik bulan Oktober,” ujarnya. Dia menyebut panic buying ini berawal dari informasi di masyarakat tentang kelangkaan solar. Akibatnya, masyarakat khususnya sopir angkutan mulai panik dan membeli solar dalam jumlah banyak. Antrean pun mengular dan tidak terhindarkan. “Jadi begini, panic buying itu pembelian yang dipicu rasa khawatir terbatasnya barang yang akan dibeli. Ini berasal dari informasi yang beredar dan untuk mengamankan diri. Para sopir truk membeli solar dari yang tidak seperti biasanya,” ungkapnya. Biasanya truk jika isi 200 liter ini jadi 300 liter. Karena terpicu informasi akhirnya dipenuhi saja biar aman. Selain itu, Werry menyebut panic buying ini mengakibatkan pasokan solar di beberapa SPBU habis. Misalnya, saat hari biasa, SPBU menjual hanya 10 ribu liter solar, namun beberapa hari ini mencapai 15 ribu liter solar. “Kami mengamati dari kejadian itu yang tadinya menjual solar 10 ribu liter jadi 15 ribu dan ini dipicu panic buying. Efeknya dengan barang yang selama ini cukup, menjadi seperti ini. Itu maksudnya panic buying menciptakan distorsi informasi,” ujar Werry. “Hari ini Insya Allah sudah normal. Kasus kelangkaan dipicu dari satu SPBU, berita menjadi muncul dan terjadi panic buying,” kata Kepala Dinas ESDM Jatim Setiajit saat konferensi pers di Kantor Gubernur Jatim Jl. Pahlawan Surabaya, Senin (18/11/2019). Sementara saat disinggung adanya surat edaran terkait pembatasan penjualan solar, Setiajit menyebut edaran ini telah dicabut. Sebelumnya, edaran ini dikeluarkan untuk membatasi truk-truk industri dan truk yang mengangkut barang-barang tambang. “Pada akhir bulan Oktober kuota untuk bahan bakar premium maupun solar subsidi telah melebihi kuota yang ada. Namun demikian BPH Migas dengan Pertamina sepakat melayani sesuai kebutuhan masyarakat,” ujarnya. “Jadi tidak benar kalau ada pembatasan dari tanggal 14. Surat edaran sudah dibatalkan. Tadi sudah dijelaskan solar dan premium bersubsidi sudah jelas penggunanya,” tambah Setiajit. Menurut Unit Manager Communication Relation dan CSR MOR V Pertamina Rustam Aji, secara umum kuota solar yang disalurkan ke seluruh wilayah kabupaten/kota di Jatim sudah sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Rustam mencontohkan, 4 kota/kabupaten di Madura mendapat kuota tidak sampai 100 ribu kiloliter tiap tahunnya. Tapi, sampai awal November ini kuota sudah melebihi 10 persen dari ketentuannya. “Kalau mau tegas-tegasan, sebenarnya kalau jatahnya habis ya sudah. Tapi, kami berusaha memahami bahwa solar ini menjadi kebutuhan masyarakat. Termasuk kendaraan angkutan barang yang menggerakkan perekonomian,” ungkap Rustam. “Kami tetap salurkan tapi agar lebihnya tidak membesar kami tetap kendalikan,” lanjutnya pada Radio Suara Surabaya. Dengan kelangkaan ini, kata Rustam, khusus wilayah Madura sudah diputuskan untuk menambah kuota solar sampai 20 persen. Ini berlaku mulai Kamis (14/11/2019) sampai 2-3 hari ke depan. “Diharapkan 1-2 hari ke depan sudah mulai recovery. Kami imbau pada masyarakat untuk tidak panik karena stok aman. Tapi kuotanya diatur agar kelebihannya tidak makin banyak,” ujarnya. Menurut Rustam, kuota solar year on year di Jatim sampai November ini pada umumnya sudah melebihi 10 persen. “Setiap daerah berbeda-beda dan yang termasuk paling besar di Madura. Kalau secara bulan per bulan, kuota memang sudah berlebih,” katanya. Meskipun ada beberapa daerah yang belum sampai batas kuota yang ditentukan. “Kita atur, jika ada kuota di kabupaten/kota lain yang pengendaliannya lebih selektif dengan daerah yang rawan dengan penyalahgunaan solar,” lanjut Rustam. Pengendaliannya, tidak kaku dan sesuai dengan laporan di lapangan. “Perak Surabaya dan Madura kita kembalikan penyaluran rata-rata 340-350 kiloliter per hari. Mulai hari ini kita kembalikan tambah 20 persen di atas normal,” ungkap Rustam. “Harapannya hari ini atau besok sudah mulai normal lagi pasokannya,” ujar Rustam. Karena, jika ada kuota berlebih dan tidak diganti pemerintah jadi Pertamina yang memberi subsidi. Di satu sisi, Pertamina akan melaporkan ke pemerintah terkait kondisi di lapangan. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menjamin tidak akan ada kelangkaan BBM jenis solar di Jatim. Ia mengaku untuk memastikan ketersediaan stok BBM di Jatim, termasuk jenis solar, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pertamina dan BPH Migas. “Untuk Jawa Timur, Insya’ Allah aman. Masyarakat diminta tenang dan jangan ada Panic Buying,” kata Khofifah, seperti dilansir Kompas.com, Selasa (19/11/2019). Untuk mengatasi kelangkaan solar, beberapa daerah lalu berkirim surat ke BPH Migas atau Kementerian ESDM untuk minta tambahan kuota solar. “Tapi, posisi Pertamina itu sebagai operator bukan untuk meminta tapi kami hanya menerima penugasan pendistribusian. Jadi tinggal menunggu jawaban dari pihak terkait apa dikabulkan atau kuota tetap tapi dikendalikan,” kata Rustam. Kilang Tuban Pembangunan Kilang Tuban yang sedang berlangsung diharapkan bisa membantu pengadaan dan cadangan BBM di Jatim. Apalagi, PT Pertamina dan Rosneft PJSC telah menandatangani perjanjian proyek pembangunan kompleks kilang minyak dan petrokimia Tuban di Moskow, Rusia pada Senin (28/10/2019) lalu. Dari sekitar 800 ha lebih lahan yang dibutuhkan untuk kilang Tuban, baru sekitar 349 ha yang sudah dibebaskan. Sisanya, sekitar 500 ha milik masyarakat dan Perhutani sedang dalam proses pembebasan. Proses pembebasan lahan ini melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban dan nanti melibatkan tim independen. ”Ya proses pembebasan lahan,” ujar Sekda Tuban Budi Wiyana, seperti dilansir Tempo.co, Kamis (31 Oktober 2019 10:54 WIB). Lahan yang telah dibebaskan adalah milik pemerintah, sebagian berada di Desa Wadung, Desa Mentoso dan Desa Rawasan, ketiganya berada di Kecamatan Jenu, Tuban. Sedangkan sisanya yang tengah dalam proses pembebasan berada di Desa Sumur Geneng, Desa Kali Untu, dan sebagian di Desa Wadung, juga di Kecamatan Jenu, Tuban. Pihak PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia yang merupakan joint venture yang telah dibentuk sejak Oktober 2016. Dalam perusahaan patungan ini, porsi kepemilikan saham Pertamina sebanyak 55 persen dan Rosneft 45 persen. Usaha patungan dua perusahaan migas ini dibentuk dengan melihat kondisi pasar dan prospek pertumbuhan Indonesia yang menjanjikan. Hal ini yang mendorong Pertamina dan Rosneft sepakat mengembangkan konsep komplek kilang dan petrokimia yang memiliki daya saing tinggi. “Pabrik diprediksi menjadi salah satu kilang dengan teknologi tercanggih di dunia,” ujar Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR V Rustam Aji, sebagaimana dalam release yang diterima Tempo, Kamis (31/10/2019). Kilang Tuban didesain memiliki kapasitas pengolahan utama hingga 15 mmta. Sebagian di antaranya akan mengolah Petrokimia seperti produk etilen sebanyak 1 mmta dan hidrokarbon aromatik sebanyak 1,3 mmta. Kilang Tuban rencananya akan mulai berjalan pada 2025. Dengan adanya tambahan kilang Tuban, maka Indonesia diprediksi tak perlu lagi mengimpor BBM setelah semua proyek kilang selesai. Bahkan, Pertamina diharapkan juga bisa memasok produk hasil olahannya yang berlebih ke pasar komersial. Dengan melihat peristiwa “solar langka” di beberapa daerah di Jatim beberapa waktu lalu, Kilang Tuban bisa menjadi solusi atasi kelangkaan BBM. Penulis wartawan senior.

Soal Perkebunan Kruwuk, Warga Apresiasi Wakapolres Blitar (1)

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Dengan dimediasi Wakapolres Blitar Kompol Arief Kristanto, SH, SIK, MSi, akhirnya pada Senin, 25 November 2019, diadakan Rakor Permasalahan PT Rotorejo Kruwuk di Ruang Rupatama Polres Blitar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar. Rakor berdasarkan atas undangan Polres Blitar bernomor B/3355/XI/IPP.1.2.6/2019/Polres tertanggal 21 November 2019 yang ditandatangani oleh Wakapolres Blitar Kompol Arief Kristanto, SH, SIK, MSi, NRP: 81051414. Adapun undangan rakor disampaikan kepada: Kepala BPN Kabupaten Blitar, Kakanwil BPN Jati, Kakesbangpol Kabupaten Blitar, Kadis Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kabupaten Blitar, Kadis Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar; Juga, Pimpinan PT Rotorejo Kruwuk, Kapolsek Gandusari, Camat Gandusari, Danramil Gandusari, Kades Gadungan Kecamatan Gandusari, dan Ketua Paguyuban Petani Kelud Makmur (PPKM). Dari sejumlah undangan yang hadir, hanya Kepala Kanwil BPN Jatim yang berhalangan. Sedangkan instansi Pemerintah lainnya mengirimkan perwakilannya, kecuali Kapolsek Gandusari dan jajarannya (mengikutsertakan Kanit Intel dan Kanit Reskrim); Danramil Gandusari, Camat Gandusari, dan Kepala Desa Gadungan Kecamatan Gandusari. Sementara Pimpinan PT Rotorejo Kruwuk mengirimkan utusan ET Wibowo (kuasa hukum), Suratmi (Sekretaris Perusahaan PT Rotorejo Kruwuk), dan Widjianto (Manager Operasional PT Rotorejo Kruwuk). Dari pihak PPKM dihadiri oleh Pitoyo Hariyadi, Yudiono, Fahrurrozi, H. Didik (tokoh masyarakat Kecamatan Gandusari), dan Aryo Purboyo (advokat, pendamping PPKM). Adapun dari pihak Polres Blitar dipimpin oleh Arief Kristanto (Wakapolres Blitar), Sodiq Effendi (Kasat Reskrim Polres Blitar) beserta jajaran. Dan, hadir pula tim akademisi yang diundang oleh Polres Blitar sebagai ahli. Rakor dibuka dengan mendengarkan pendapat dari PPKM yang diwakili Pitoyo Hariyadi yang pada intinya menyampaikan permasalahan konflik antara warga dengan pengelola Perkebunan PT Rotorejo Kruwuk yang berlangsung sejak HGU dinyatakan habis masa belakunya. Pitoyo Hariyadi juga menyampaikan betapa resahnya warga sekitar perkebunan yang kerap mengalami intimidasi dan “kriminalisasi” serta terjadi ketidakadilan aparat penegak hukum di dalam menyikapi laporan dari warga atas kezaliman yang dilakukan pengelola perkebunan pasca-tidak berlakunya HGU. Giliran berikutnya, ET Wibowo yang mewakili PT Rotorejo Kruwuk menyampaikan bahwa pada 13 Mei 2008, PT Rotorejo Kruwuk sudah mengajukan pembaharuan perpanjangan HGU. PT Rotorejo Kruwuk juga mengklaim bahwa pada 22 Januari 2010, Kanwil BPN Jatim menyampaikan persyaratan yang diajukan telah lengkap; dan pada tanggal permohonan telah ditindaklanjuti hingga di tingkat terbawah: Kantor ATR/BPN Kabupaten Blitar. Ihwal redistribusi, PT Rotorejo Kruwuk mengklaim sudah melakukannya pada 1991 seluas 10,43 ha, pada 2006 seluas 0,45 ha, dan pada 2007 seluas 241,45 ha. Utusan Kesbangpol Kabupaten Blitar pada giliran berikutnya menegaskan bahwa segera ada keputusan dari instansi terkait ihwal status perkebunan, mengingat sudah seringnya diadakan rakor, tapi tak ada keputusan apa pun di dalamnya dan memohon tidak ada lagi kriminalisasi warga seperti yang selama ini terjadi. Sementara itu, utusan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kabupaten Blitar menyampaikan, instansinya tidak dapat merealisasikan program daerah sebelum adanya eksekusi lahan perkebunan. Penegasan juga disampaikan oleh utusan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar bahwa PPKM bukanlah binaan instansinya. Namun tetap akan menyambut dengan tangan terbuka jika PPKM mau menjadi binaan mereka. Ihwal penetapan status perkebunan juga disampaikan oleh Kapolsek Gandusari, Camat Gandusari, dan Danramil Gandusari. Sebab, di dalam pandangan mereka, tanpa ada kejelasan status perkebunan, konflik yang terjadi diantara warga dengan PT Rotorejo Kruwuk tak akan bisa terselesaikan. Utusan Kantor BPN Kabupaten Blitar membenarkan, PT Rotorejo Kruwuk telah mengajukan perpanjangan HGU. Tapi, menurutnya, ada 2 permasalahan yang menyebabkan HGU belum bisa diterbitkan. Permasalahan pertama adalah dimasukkannya perkebunan Rotorejo Kruwuk sebagai lahan terindikasi terlantar, tapi dengan adanya surat dari Kementerian ATR/BPN RI status terlantar tersebut telah dicabut beberapa waktu lalu. Permasalahan lainnya yang menyebabkan HGU belum bisa diterbitkan adalah karena masih adanya konflik dengan warga sekitar. Oleh karena itu, BPN Kabupaten Blitar berharap agar masalah ini bisa segera diselesaikan, agar SK HGU yang sedang diproses di Kanwil BPN Jatim dengan memecah beberapa bagian dari luasan yang ada menjadi di bawah 200 ha semua bisa segera diterbitkan. Tim akademisi memandang bahwa BPN bisa segera menentukan keputusan berkaitan dengan perpanjangan HGU itu. Jika memang sudah tidak bisa harus segera ditegaskan, dan sebaliknya, jika memang HGU bisa diperpanjang, BPN dapat menyampaikannya di dalam forum. Sanggahan pertama muncul dari PPKM yang diwakili Aryo Purboyo. Menurutnya, warga sekitar PPKM merasa mendapat perlakuan tak adil. Penebangan tanam keras yang dilakukan PT Rotorejo Kruwuk secara masif selama ini seakan mendapatkan pembiaran. Untuk itu, “Atas tindakan Polres Blitar yang menghentikan penebangan sengon dan jabon beberapa waktu lalu, PPKM memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya,” ungkapnya. Untuk hal lain, kezaliman yang dilakukan PT Rotorejo Kruwuk kepada warga, haruslah ikut menjadi perhatian instansi yang berwenang. Kezaliman lainnya yang dilakukan PT Rotorejo Kruwuk seperti intimidasi kepada warga, penelantaran lahan, pengalihfungsian lahan, dan tindakan melawan hukum, harus pula menjadi perhatian instansi yang berwenang untuk ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Aryo Purboyo berharap, Kepada BPN Kabupaten Blitar diharapkan ketegasannya untuk menegakkan peraturan yang berlaku dan menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, termasuk menghapus HGU yang telah habis masa berlakunya atas nama PT Rotorejo Kruwuk. Faktor-faktor tidak dapatnya terjalin kerja sama antara warga dengan PT Rotorejo Kruwuk harus dijadikan pertimbangan utama, mengingat masih melekat trauma yang dialami warga karena penzaliman PT Rotorejo Kruwuk terhadap mereka. Kepada PT Rotorejo Kruwuk ditegaskan Aryo untuk mengikuti peraturan yang ada, karena di dalam peraturan undang-undang yang mengatur soal pertanahan dan perkebunan, tak ada satu pun frase yang menyebutkan, satu tahun pasca-tidak berlakunya HGU masih bisa diajukan perpanjangan HGU. “Justru seharusnya PT Rotorejo Kruwuk, dalam hal ini Direktur Utama-nya, bisa dijerat tindak pidana sesuai dengan yang diisyaratkan di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” tegas Aryo Purboyo. “Atas dasar hal ini pula, warga dengan tegas bersepakat tidak menghendaki PT Rotorejo Kruwuk kembali mengelola lahan perkebunan,” lanjutnya. Bahkan, jika memang dipercaya, PPKM melalui koperasi yang didirikan sanggup dan mampu mengelola seluruh lahan perkebunan tersebut. Semua pernyataan PPKM tersebut tertuang di dalam tulisan Rakyat Kruwuk Menuntut Keadilan! yang dibagikan di dalam rakor tersebut. Menyampaikan pula menyayangkan sikap tim akademisi yang dihadirkan tidak memberikan pencerahan dan hanya meminta BPN untuk tegas. (Bersambung) Penulis wartawan senior.

Sofyan Basir Bebas, Jabatan Dirut Pun Lepas

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Bak petir di siang bolong, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis bebas mantan Dirut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir atas tuduhan memfasilitas pemberian suap atas proyek PLTU Riau-1. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Sofyan telah memfasilitasi pemberian suap terhadap pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo dan mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih serta mantan Menteri Sosial Idrus Marham. "Majelis menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, kemarin. Sofyan dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP. Sofyan disebut hakim tidak terlibat dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan proses kesepakatan proyek Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (IPP PLTU MT) Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd. Sofyan disebut tidak berperan membantu Eni dalam menerima suap, bahkan dia juga diyakini tidak mengetahui pemberian suap Kotjo kepada Eni. Dan oleh karenanya segala haknya harus dikembalikan, yakni jabatan Dirut PLN. Jika dirunut ke belakang, sebenarnya ini adalah kekalahan keempat KPK di Pengadilan Tipikor. Pertama, kasus dugaan korupsi Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dalam perkara penyuapan anggota DPRD sebesar Rp1,6 miliar, menyuap pegawai BPK Rp400 juta, menyalahgunakan anggaran makan-minum Rp639 juta, dan memberikan suap untuk mendapatkan Piala Adipura 2010. Oleh Pengadilan Tipikor Bandung di Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Oktober 2011, Mochtar Mohamad dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi, membebaskan Mochtar Mohamad dari seluruh dakwaan dan memulihkan Harkat dan martabat serta kedudukan Mochtar Mohamad. Kedua, KPK kalau dalam perkara Bupati Kabupaten Rokan Hulu Suparman dalam kasus tindak pidana korupsi pembahasan APBD Perubahan provinsi Riau 2014 dan APBD 2015. Pada 23 Februari 2017, Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang bertempat di Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Suparman. Ketiga, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi Sjafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas atas BLBI Sjamsul Nursalim senilai Rp4,58 triliun di Bang Dagang Nasional Indonesia. Keempat, Sofyan Basir divonis bebas oleh majelis pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 November 2019 dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1). Pembebasan itu sendiri karena Majelis Hakim memandang alat bukti atas tuntutan JPU KPK sangat lemah. Terkait kasus Sofyan, majelis hakim telah meminta agar haknya menduduki kembali jabatan Dirut PLN dikembalikan. Tetapi permintaan majelis hakim yang secara yuridis formil adalah sah, dalam kenyataannya tak semudah membalik telapak tangan. Sofyan Basir sebelumnya dinonaktifkan dari jabatan Dirut PLN oleh Kementerian BUMN sebagai tindak lanjut atas langkah KPK dalam menetapkannya sebagai tersangka kasus suap pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Dengan vonis Pengadilan Tipikor itu apakah Sofyan Basir akan kembali menjadi Dirut PLN dengan mudah? Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan dirinya tidak bisa memastikan apakah vonis bebas tersebut nantinya akan membuat Sofyan bisa mendapatkan jabatan direktur utama PLN yang pernah dicopot dari 'pundaknya' kembali. Menurutnya, pengisian jabatan direktur utama PLN tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Pengisian jabatan dilakukan melalui Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Presiden Jokowi. "Pertanyaan mengenai apakah Pak Sofyan akan kembali memimpin PLN, ini bergantung pada keputusan Tim Penilai Akhir. Karena penentuan direksi PLN harus melalui TPA," demikian penjelasan Erick. Tentu saja pernyataan Erick bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. Penjelasannya, perkara ini masih diajukan banding oleh KPK yang hasilnya masih fifty-fifty. Kalau jabatan Dirut PLN itu dikembalikan ke Sofyan Basir, sementara di pengadilan banding nanti Sofyan belum tentu menang. Alasan lain, mungkin saja Presiden Jokowi selaku Ketua TPA memiliki pandangan lain, seperti citra Sofyan Basir yang telah jatuh meskipun dinyatakan bebas, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu jalanannya kepemimpinan dia di PLN nati. Dan yang paling penting, ketika posisi Dirut PLN dinonaktifkan, tentu saja jabtan itu sudah diisi, walaupun oleh pejabat pelaksana tugas (Plt) Dirut PLN. Perlu diketahui, sejak dinonaktifkannya Sofyan Basir dari posisi Dirut PLN, sudah terjadi pergantian Plt Dirut PLN dua kali. Pada 29 Mei 2019, Djoko Rahardjo Abumanan ditunjuk dalam sebuah RUPS. Lalu posisi Djoko pun digantikan oleh Sripeni Inten Cahyani dalam RUPS pada 2 Agustus 2019. Dengan demikian, makin jauh harapan bagi Sofyan Basir untuk kembali ke kursi empuknya sebagai Dirut PLN. Boleh dia akan memanfaatkannya di Kementerian BUMN sebagai Deputi, Konsultan atau apa pun. Atau boleh jadi Sofyan sudah lelah menjabat dan memilih pensiun setelah lelah menjalani proses sidang. Yang jelas agak sulit bagi Sofyan untuk kembali sebagai Dirut PLN. Wallahu a’lam! Penulis adalah Wartawan Senior.

Membangun Pembangkit Dengan Manfaat Yang Berbukit-Bukit

Ada cara lain untuk PLN, yaitu dengan menjaring utang. Tapi masalahnya, debt service coverage ratio (DSCR) PLN hanya mencapai 1,1 kali. Padahal, DCSR ini menjadi salah satu ukuran kesehatan keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban terhadap kreditor. Akibatnya, ruang yang dimiliki oleh pabrik setrum pelat merah ini untuk menambah pinjaman baru juga kian terbatas. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Pembangkit : PLN dan Swasta Siapa Lebih Dominan?” saya menekankan pentingnya penguasaan PLN atas pembangkit listrik secara dominan. Dengan penguasaan kepemilikan yang dominan, peluang swasta produsen listrik alias Independent Power Producer (IPP) untuk mengendalikan harga jual listrik bisa dihindari. Rakyat dan Negara juga tidak dirugikan Sampai tahun 2016, komposisi kepemilikan pembangkit tenaga listrik, yang produksinya dijual melalui PLN adalah 36.973 MW (79%) dimiliki oleh PLN Grup. Sisanya 10.121 MW (21%) dimiliki oleh swasta. Namun entah apa yang ada di benak para pemangku otoritas perlistrikan, komposisi itu diubah melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025. Berdasarkan ketentuan ini, PLN dapat alokasi membangun 10.559 MW. Selebihnya yang 25.068 MW dikerjakan oleh IPP melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik. Anda perhatikan komposisinya? Swasta punya porsi dominan, 25.000 MW lebih! Dengan demikian, jika program ini selesai, komposisi kepemilikan pembangkit oleh PLN Grup tinggal 57%. Jika ini terjadi, risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta bakal terbuka lebar. Ujung-ujungnya mereka bakal mengerek harga listrik setinggi-tingginya. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama? Nah, pentingnya dominasi PLN atas penguasaan pembangkit ini ternyata disadari betul oleh jajaran direksi yang dinahkodai oleh Sofyan Basir. Masalahnya, membangun pembangkit plus infrastruktur kelistrikan memerlukan dana raksasa. Berharap pada kas PLN, sudah pasti mustahil. Untuk keperluan ini, PLN hanya bisa merogoh kocek sendiri maksimal Rp20 triliun/tahun. Ada cara lain, yaitu menjaring utang. Tapi masalahnya, debt service coverage ratio (DSCR) PLN hanya mencapai 1,1 kali. Padahal, DCSR ini menjadi salah satu ukuran kesehatan keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban terhadap kreditor. Akibatnya, ruang yang dimiliki oleh pabrik setrum pelat merah ini untuk menambah pinjaman baru juga kian terbatas. Out The Box Sebagai mantan bankir kawakan, SB, begitu Sofyan biasa disapa, harus pandai-pandai menyiasatinya. Alhamdulillah, kombinasi tangan dingin dan otaknya yang encer, akhirnya jajaran Direksi PLN di bawah komandonya menemukan jurus terobosan, yang out the box. Ada skema pendanaan baru dalam pembangunan sebagian pembangkit tenaga listrik yang merupakan porsi IPP (proyek). Caranya, PLN menugaskan anak perusahaannya untuk bermitra dengan pihak lain dalam mengembangkan pembangkit yang kelak akan terikat dalam Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN. PLN menugaskan anak perusahaannya mencari mitra untuk membentuk Joint Venture Company (JVC). Perusahaan patungan inilah yang akan membangun pembangkit tenaga listrik. Untuk keperluan ini, SB minta saham anak perusahaan harus sebesar 51%. Selanjutnya, bukan Sofyan kalau tidak canggih dalam urusan saham. Pasalnya, kendati memegang saham pengendali, dia mengharuskan anak perusahaan PLN tadi maksimal hanya menyetor modal 20% dari jumlah yang menjadi kewajibannya sesuai dengan komposisi kepemilikan saham dan struktur pendanaan proyek. Misalnya, struktur pendanaan proyek adalah 30% ekuitas dan 70% pinjaman, maka anak perusahaan PLN hanya berkewajiban menyetorkan ekuitas secara tunai sebesar 20%x 51% x 30% x nilai proyek. Dengan hitung-hitungan macam begini, jumlah modal yang disetorkan anak perusahaan PLN hanya 3,06% dari nilai proyek. Ulangi, hanya 3,06% dari nilai proyek! Canggih, kan? Lalu, dari mana sisa setoran modal 80% yang jadi kewajiban anak perusahaan PLN? Sebentar, jawabnya ada di bagian berikut tulisan ini. Berdasarkan skema ini, kandidat mitra pemilik 49% saham dalam JVC wajib mencarikan pendanaan proyek. Kewajiban tersebut meliputi ; Pertama, menyediakan porsi pinjaman (senior debt) dari proyek sesuai dengan struktur pendanaan yang disepakati (ekuivalen dengan 70% dari nilai proyek). Kedua, menyediakan setoran ekuitas yang menjadi kewajibannya sesuai dengan komposisi kepemilikan saham dan struktur pendanaan proyek. Ini artinya, mitra anak perusahaan PLN tadi menyediakan dana 100% x 49% x 30% x nilai proyek, atau ekuivalen dengan 14,7% dari nilai proyek. Ketiga, menyediakan shareholder loan (junior debt) sebesar 80% dari nilai setoran ekuitas yang menjadi kewajiban anak perusahaan PLN (80%x 51% x 30% x nilai proyek, ekuivalen dengan 12,24% dari nilai proyek). Pola ini menjawab pertanyaan dari mana atau siapa yang berkewajiban menutup 80% sisa setoran anak perusahaan PLN dalam JVC tadi. Keempat, tingkat bunga shareholder loan (junior debt) tidak boleh mahal, melainkan harus merefleksikan cost of debt PLN. Kelima, tingkat bunga pinjaman dari senior debt harus favourable. Dengan cara ini ada ‘jaminan’ bahwa perusahaan patungan tersebut mampu mendapatkan laba profitabilitas yang wajar. Frasa ‘wajar’ di sini menjadi penting. Pertama, perusahaan tidak didera rugi selama beroperasi. Kedua, ini yang tidak kalah penting, keuntungan perusahaan tidak kelewat gede sebagaimana yang terjadi selama puluhan tahun belakangan. Bukan rahasia lagi, selama ini PLN membeli listrik produksi swasta dengan harga kemahalan karena mark up dan KKN antara swasta dan pejabat di belakang mereka. Akibatnya, rakyat membayar listrik dengan harga tinggi. Negara juga rugi karena harus mengalokasikan subsidi energi lebih besar. Jika urusan pendanaan ini sudah beres, baru PLN akan menandatangani kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) dengan JVC untuk masa perjanjian selama 25 tahun. Dalam konteks ini, ada aturan sampai dengan akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial, berlaku ketentuan Take or Pay (TOP). Maksudnya begini. Misalnya, disepakati PLN membeli 100. PLN tetap harus membayar 100, kendati praktiknya pemakaian ternyata kurang dari 100. Setelah itu berlaku ketentuan TAP. Misalnya, dalam perjanjian disepakati PLN membeli maksimal 100. Namun pratiknya yang dipakai 90. Maka PLN hanya membayar 90 sesuai pemakaian. Sebaliknya, bila ternyata pemakaian mencapai 102, maka PLN membayar 2 yang jadi kelebihan pemakaian dengan harga lebih mahal. Dengan ketentuan ini, tarif PPA lebih murah ketimbang tarif PPA IPP existing. Sebagai contoh, untuk PLTU Mulut Tambang maksimal 75% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) setempat atau BPP nasional, mana yang lebih rendah. Ujung-ujungnya, PLN diuntungkan karena efisiensi biaya produksi listrik. Keenam, selama masa kontrak jual beli tenaga listrik antara JVC dan PLN berlakukan ketentuan pengendalian JVC sebagai berikut, misalnya join control dengan reserve matter. Di sini mitra diberikan kewenangan sebagai leader sampai dengan akhir tahun ke-15 setelah proyek beroperasi komersial. Selain itu, join control dengan reserve matter. Pada tahap ini anak perusahaan PLN gantian menjadi leader dari akhir tahun ke-15 sampai dengan akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial. Pengendalian JVC juga mengikuti ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) dari akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial, sampai dengan berakhirnya masa kontrak jual beli tenaga listrik dengan PLN. Manfaat Berbukit-Bukit Berdasarkan skema ciamik racikan Sofyan dan para koleganya itu, PLN bakal memperoleh serenceng manfaat. Antara lain, PLN bisa melaksanakan penugasan Pemerintah untuk membangun pembangkit tenaga listrik. PLN juga bisa tetap menjaga dominasi kepemilikan dalam portofolio pembangkit tenaga listrik nasional. Poin ini penting, karena PLN dapat memitigasi risiko pengendalian pasokan dan risiko pengendalian harga tenaga listrik oleh IPP. PLN bisa memperoleh harga pembelian tenaga listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan harga IPP lainnya. Swasta tidak bisa lagi seenaknya mengerek harga, karena anak perusahaan PLN yang menjadi mitra kongsinya tahu persis struktur biaya investasi dan operasi pembangkit. Itu karena anak perusahaan PLN terlibat dalam negosiasi harga antara JVC dengan PLN. PLN juga tidak perlu menggunakan balance sheet untuk mendapatkan pendanaan proyek. Pasalnya, sebagian besar kebutuhan dana proyek disediakan oleh mitra dari anak perusahaan. Skema join control dengan reserve matter juga membuat pinjaman dari JVC tidak perlu dikonsolidasikan ke dalam pembukuan PLN. Artinya, neraca PLN jadi lebih cantik. Tingkat bunga pinjaman dari JVC kepada shareholder (mitra) tetap kompetitif. Selain itu, sebanding dengan tingkat bunga pinjaman PLN lainnya. PLN dan Pemerintah tidak perlu memberikan jaminan atas pinjaman proyek, karena pendanaan proyek sepenuhnya menggunakan balance sheet dan kredibilitas mitra. PLN Grup bakal memperoleh pendapatan tambahan dari kepemilikan saham anak perusahaan pada proyek berupa pembagian dividen atas laba JVC. Anak perusahaan PLN berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi tenaga kerjanya melalui keterlibatan dalam operation dan maintenance pembangkit. Pada saat yang sama juga terjadi transfer of technology and knowledge dari mitra. Setelah berakhirnya masa kontrak jual beli tenaga listrik, maka seluruh aset pembangkit akan ditransfer kepada PLN tanpa pembayaran tambahan apapun. Kalau sudah begini, neraca PLN pun jadi makin bergizi dan berotot. Skema racikan SB ini tentu saja sangat ciamik buat PLN. Inilah yang disebut value creation. Membangun pembangkit sekalgus meraup manfaat berbukit-bukit. Pada konteks ini, manfaat bukan melulu dinikmati PLN sebagai entitas bisnis. Tapi juga menguntungkan rakyat dan negara. Tapi sayangnya, tidak semua pihak sepakat. Skema ini sama saja mengakhiri pesta-pora para rent seeker dan pelaku KKN dari bisnis PLN. Mereka adalah para pengusaha dan penguasa yang berada di balik layar. Jadi, wajar saja bila para peselingkuh ini melakukan perlawanan. Hasilnya, SB harus mondar-mandir hadir di sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai tardakwa. [*]

Pembangkit: PLN dan Swasta Siapa Lebih Dominan?

Penguasaan pembangkit yang hanya 51% oleh PLN Grup berpotensi menimbulkan risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta. Kalau pasokan sudah dikendalikan, mereka pasti juga akan mengendalikan harga. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Urusan setrum menyetrum ternyata tidak sesederhana yang diperkirakan banyak orang. yang dimaksud ‘orang’ di sini bukan melulu rakyat awam, lho. Ternyata, para pejabat publik, bahkan termasuk orang-orang yang diamanahi dan atau punya otoritas urusan setrum pun, banyak yang tidak paham. Tidak percaya? Coba tengok Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerinta berambisi membangun pembangkit listrik 35 GW. Dalam pelaksanaannya, PLN dapat alokasi membangun 10.559 MW. Selebihnya yang 25.068 MW dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP) melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik. Anda perhatikan komposisinya? Swasta punya porsi dominan, 25.000 MW lebih! Dalam soal penyediaan tenaga listrik, ada Peraturan Presiden RI nomor 4/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Di Perpres ini jelas-jelas Pemerintah menugaskan PLN membangun pembangkit tenaga listrik sebanyak 35 GW, gardu induk sebanyak 103 GVA, dan jaringan transmisi sebanyak 46.000 kms. Tidak ada pembagian komposisi rigit antara PLN dan swasta. Dalam pelaksanaannya, PLN bisa melakukannya dengan cara swakelola atau kerjasama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PLN. Cara lain, bisa juga menggandeng Pengembang Pembangkit Listrik (PPL). Memangkas PLN Bisa dikatakan RUPTL ini merupakan ‘turunan’ dari Perpres 14/2017. Tapi, dengan lahirnya RUPTL porsi PLN dalam pembangunan pembangkit dipangkas menjadi hanya 10.000an MW. Asal tahu saja, komposisi kepemilikan pembangkit tenaga listrik yang produksinya dijual melalui PLN Grup sebelum PIK adalah 36.973 MW (79%) dimiliki oleh PLN Grup dan 10.121 MW (21%) dimiliki oleh swasta. Ulangi, 79% PLN dan 21% swasta! Pentingkah soal komposisi pembangunan pembangkit antara PLN dan swasta? Tentu. Sangat penting. Bayangkan, jika 25.068 MW pembangkit dibangun oleh IPP, maka persentase kepemilikan pembangkit PLN Grup usai berakhirnya program PIK bakal melorot jadi 57%. Sampai di sini paham? Belum juga? Ok, begini konsekwensinya. Penguasaan pembangkit yang hanya 51% oleh PLN Grup berpotensi menimbulkan risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta. Kalau pasokan sudah dikendalikan, mereka pasti juga akan mengendalikan harga. Harga listrik bakal swasta kerek tinggi-tinggi. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama? Mungkin dengan naif anda akan berkata, Pemerintah bisa menegur bahkan menjatuhkan sanksi kepada swasta yang menaikkan harga listrik seenak udelnya. Hohoho... kita sudah lama tidak punya Pemerintah yang bisa berbuat begitu. Coba tengok, apa yang Pemerintah lakukan saat harga beras mahal? Rakyat baiknya diet. Harga daging mahal? Rakyat ganti makan bekicot. Harga cabai mahal? Sebaiknya rakyat tanam cabai sendiri. Dan seterusnya, dan seterusnya... Oya, satu lagi yang sangat perlu anda ketahui. Bisnis setrum teramat menggiurkan. Itulah sebabnya banyak pejabat yang berada di balik layar perusahaan swasta sebagai pemillik. Kalau pun mereka tidak punya selembar pun saham, dengan kekuasaan dan otoritas di tangan, pundi-pundi mereka bakal penuh dialiri uang sogok para swasta yang membeli kebijakan para pejabat culas tadi. Anda bisa bayangkan, apa jadinya kalau swasta mengendalikan pasokan dan harga listrik? Ujung-ujungnya bisa mengganggu ketahanan dan kedaulatan listrik nasional. Sudah terbayang kengerian yang bakal terjadi? Listrik berada di bawah kendali para mafia. Kembali ke soal RUPTL tadi, ternyata memang tidak semua pejabat publik, bahkan yang punya otoritas di kelistrikan, memahami dengan baik seluk-beluk persetruman. Yang dimaksud pejabat publik di sini bukan cuma di Kementerian ESDM, tapi juga mereka yang duduk sebagai anggota DPR di Senayan sana. Dan, yang lebih seram lagi, para pejabat publik tadi bukan cuma level dirjen apalagi cuma direktur. Mereka justru ada yang menteri bahkan Menko. Ngeri, kan? Bisnis Ratusan Triliun Bisa jadi, mereka memang tidak paham. Tapi, maaf, bukan tidak mungkin justru karena mereka sangat paham sampai ke tataran ini, maka aturan sengaja dibuat untuk memuluskan lahirnya dominasi swasta dalam pengadaan listrik dan pengendalian harganya. Ingat, bisnis setrum dan yang terkait (batubara, BBM, pelumas, dan lainnya) adalah bisnis skala superjumbo. Per kontrak nilainya bukan cuma semiliar-dua miliar perak. Tapi ratusan miliar hingga triliunan bahkan ratusan triliun rupiah. Siapa yang tidak ngiler? Mau contoh? Pada 2018 saja, pembelian listrik dari swasta oleh PLN tercatat Rp84,3 triliun. Ini belum seberapa. Pada periode yang sama, belanja bahan bakar dan pelumas pabrik setrum pelat merah ini mencapai Rp137,3 triliun. Siapa bilang bisnis setrum tidak legit bin gurih? Mungkin kita yang waras meragukan teori ini. Mosok ada pejabat publik yang gaji dan seabrek fasilitasnya dibayari rakyat tapi kebijakannya justru menyengsarakan rakyat. Harusnya memang hal seperti ini tidak (boleh) terjadi. Tapi, iming-iming komisi yang menggiurkan dari para pemilik pembangkit swasta terlalu sulit untuk ditampik. Soal komisi ini berlaku bagi para pejabat yang tidak punya pembangkit. Sebaliknya, bukan rahasia banyak juga yang menjadi penguasaha alias penguasa sekaligus pengusaha. Menko Ekuin era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, menyebut makhluk jenis ini dengan Pengpeng. “Menjadi penguasa itu mulia. Jadi pengusaha juga mulia. Tapi kalau menjadi Pengpeng sekaligus, ini akan menimbulkan keserakahan dan ketidakadilan. Dengan kekuasaan di genggaman, para Pengpeng merebut bisnis dari pengusaha murni yang tidak punya akses ke lingkar kekuasaan. Para Pengpeng mengendalikan harga untuk meraih keuntungan sangat tidak wajar. Akibatnya, terjadi distorsi ekonomi yang ujung-ujungnya merugikan negara dan memberatkan rakyat,” papar Rizal Ramli dalam banyak kesempatan. Dominasi Negara, Penting! Sampai di sini semestinya menjadi keharusan jika negara harus punya kendali penuh atas pasokan dan harga listrik. Itulah sebabnya komposisi kepemilikan pembangkit oleh PLN seharusnya jauh lebih dominan dibandingkan swasta. Kendati sama-sama entitas usaha, watak keduanya tentu berbeda. Swasta menjadikan laba sebagai tujuan utama. Untuk itu segala cara bisa dan akan mereka lakukan untuk mewujudkannya. Sedangkan PLN, walau harus menghasilkan laba, sebagai BUMN ia juga punya kewajiban melayani rakyat dan negara. Kepada rakyat PLN wajib menyediakan listrik yang andal, berkesinambunga, dan terjangkau harganya. Buat negara selaku pemegang saham, PLN musti menyetor sebagian labanya sebagai dividen. Tentu saja, semua pasal ini sama sekali tidak berlaku bagi swasta. Jadi, sekali lagi perkara komposisi kepemilikan pembangkit menjadi amat sangat penting. Sebagai rakyat, kita memang mustahil bisa tahu dengan detil. Meski begitu kita tetap bisa ‘bunyi’ bahkan berteriak saat mengendus adanya tangan-tangan kotor yang berusaha menelikung aturan main guna memuaskan syahwat para Pengpeng dan atau swasta yang berselingkuh. End.

PLTU, Swasta Kemaruk PLN Terpuruk

Mereka adalah yang selama belasan bahkan puluhan tahun berpesta pora dari proyek-proyek PLN. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - "Ya udah kita bilang, satu kalau saya bilang supaya lebih efisienlah. Kalian (PLN) jangan terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, power, biarin aja private sector masuk. Seperti 51% harus untuk Indonesia Power waste to energy, lupain dulu lah itu. Konsolidasi aja dulu saja biarkan private sector main,” papar Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan kepada Plt Dirut PT PLN, Sripeni Inten Cahyani, seperti dikutip satu media daring, Rabu pekan silam (14/8). Entah ada atau tidak hubungan antara ‘nasehat’ Luhut kepada bos PLN itu dan black out yang melanda sebagian Jawa beberapa hari sebelumnya. Yang pasti, ucapan seorang Luhut tersebut mengundang banyak tafsir. Tapi karena sepak terjang pensiunan jenderal ini di ranah bisnis yang menggurita, maka publik langsung menyebutnya ada konflik kepentingan. Adalah Muhammad Said Didu antara lain yang punya pendapat seperti itu. Dalam kicauannya di @msaid_didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini menulis, “Ini jelas konflik kepentingan karena setahu saya beliau memiliki banyak pembangkit listrik.” Said Didu benar. Luhut punya banyak perusahaan di bawah bendera PT Toba Sejahtera. Gurita perusahaan ini merambah ke berbagai jenis usaha. Di antaranya, batubara dan pertambangan, Migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit. Bisnisnya di bidang batubara, dia berkibar dengan bendera PT Kutai Energi dan PT Toba Bara Sejahtera (Toba). Luhut setidaknya punya empat perusahaan yang bermain di pembangkit listrik. Masing-masing PT Pusaka Jaya Palu, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Minahasa Cahaya Lestari, dan PT Gorontalo Listrik Perdana. Dua perusahaan yang disebut terakhir adalah anak-anak perusahaan Toba. So, tidak bisa tidak, permintaan (‘perintah’?) Luhut kepada Sripeni sarat dengan konflik kepentingan. Sebagai menteri, dia jelas bukan pejabat tinggi biasa. Dia adalah pembantu Presiden. Ucapannya bisa bermakna atau dimaknai sebagai titah bagi direksi BUMN. Dengan PLN tidak lagi terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, artinya, swasta akan kebanjiran kerjaan membangun pembangkit listrik. Ini pas betul dengan permintaan yang dengan eksplisit disampaikan Luhut kepada Sripeni. Saham 51% Secara khusus, pensiunan jenderal ini juga minta agar PLN melupakan konsep kepemilikan 51% saham di pembangkit-pembangkit listrik yang dibangun swasta. Pertanyannya, mengapa Luhut menaruh perhatian khusus atas perkara kepemilikan saham ini? Sejak Sofyan Basir didapuk menjadi Dirut PLN, mantan bankir ini memang melakukan sejumlah terobosan penting. Antara lain, melalui anak perusahaan PLN (PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali), dia menghendaki PLN mengantongi saham sebesar 51%. Tapi meski mayoritas, SB, begitu Sofyan biasa disapa, hanya mau menyetor dana 10% saja. Sisanya yang 41% diperoleh hasil pinjaman dari swasta yang menjadi mitra membangun pembangkit. Oya, ada satu syarat lain. Yaitu, pinjaman tadi harus berbunga murah, sekitar 4,125% alias sama dengan global bond yang biasa PLN terbitkan. Belum lagi soal kepemilikan saham tuntas, SB juga menyodorkan persyaratan lain yang tidak kalah memusingkan swasta. Dia mau masa kontrol pembangkit hanya sekitar 15 tahun. Selanjutnya, pada tahun ke-16 PLTU yang dibangun sepenuhnya jadi milik PLN. Kalang kabut Tentu saja, permintaan SB ini membuat para pengusaha swasta kalang kabut dan mangkel. Mereka seperti disudutkan pada ketiadaan pilihan. Bersedia, silakan penuhi syarat-syarat tersebut. Jika tidak mau, masih banyak swasta lain yang ngiler dan antre membangun pembangkit listrik. Asal tahu saja, Undang Undang tidak mengizinkan swasta menjual listriknya secara langsung kepada konsumen. Sebagai gantinya, peraturan yang ada mewajibkan PLN membeli minimal 72% listrik yang dihasilkan swasta. Pada laporan keuangan 2018, sampai Desember pembelian listrik PLN tercatat senilai Rp84,3 triliun. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang Rp72,4 tiliun. Itu baru dari pembelian listrik swasta. Masih ada sumber gizi lain dari belanja PLN yang bisa dikunyah swasta. Biasanya, swasta yang membangun PLTU juga pemilik tambang batubara. Nah, untuk soal ini, sampai semester pertama 2018 saja, PLN harus merogoh kocek hingga Rp16,8 triliun. Dengan asumsi sederhana, dikali dua untuk sampai akhir tahun, artinya, ada dana sekitar Rp34 triliun hanya untuk pembelian batubara. Gurih bin legit, kan? Tapi, ya itu tadi, SB menyorongkan beragam persyaratan bagi swasta yang akan membangun pembangkit. Dengan persyaratan seperti itu, PLN memang banyak diuntungkan. Pertama, saham yang dikantongi mayoritas, yaitu 51%. Sebagai pemegang saham, apalagi mayoritas, PLN berhak menempatkan direksi untuk mengontrol. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Yang sudah-sudah, PLN benar-benar hanya berfungsi sebagai pembeli alias off taker dari listrik yang dihasilkan Independent Power Producer (IPP). Keuntungan kedua, jumlah dana yang disetor PLN untuk penguasaan saham 51% hanya 10%. Ini jelas sangat menguntungkan bagi arus kas perusahaan. Ketiga, PLN dapat pinjaman dana murah untuk menutup 49% saham sisanya. Keempat, PLN punyak hak penuh atas PLTU setelah 15 tahun beroperasi. Keruan saja SB jadi punya banyak musuh. Siapa? Mereka adalah yang selama belasan bahkan puluhan tahun berpesta pora dari proyek-proyek PLN. Pola bisnis yang disorongkan Sofyan sama artinya mengakhiri pesta dengan paksa. Dia ingin mengerem syahwat swasta yang kemaruk bisnis PLTU dan yang terkait. Sebab, jika hal ini dibiarkan terus berlanjut bukan mustahil PLN bisa terpuruk. Sampai di sini, tidak heran kalau dia menjadi sasaran bidik. Barangkali, tidak terlalu aneh jika kini Sofyan harus mondar-mandir menghadiri sidang di Pengadilan Tipikor sebagai terdakwa pada kasus pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1. Beberapa aktor ikut terseret dalam pusaran kasus ini. Mereka adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI Eny Maulani Saragih, mantan Bendahara Umum Partai Golkar yang juga mantan Mensos Idrus Marham, dan pemilik PT Blackgold Natural Resources, mitra PLN dalam PLTU Riau-1. _Wallahu a’lam_... Jakarta, 21 Agustus 2019 *Edy Mulyadi*, wartawan senior