ENERGI

Mana Lebih Heroik: Turun Harga BBM atau Turun ke Gang Sempit dan Gelap?

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono Jakarta, FNN - Harga minyak dunia kembali berbalik arah ke zona negatif pada penutupan perdagangan Jumat (8/5/20), yakni US$ 23,55 per barel. Pelemahan harga minyak ini karena optimisme pelaku pasar mulai memudar yang berakibat pada pengurangan produksi beberapa perusahaan di Amerika Serikat (AS). Penurunan harga minyak di pasar global langsung diikuti oleh penurunan harga minyak di berbagai negara, termasuk negara-negara ASEAN. Delapan dari 10 negara anggota ASEAN sudah beberapa kali menurunkan harga bahan bakar minyak dalam dua bulan terakhir. Indonesia belum sama sekali. Kedelapan negara itu adalah Malaysia, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Filipina, Thailand, Laos dan Singapura. Sementara untuk Brunei Darussalam, globalpetrolprices.com tidak menyajikan data harga BBM di negara itu. Negeri makmur Singapura sudah memangkas harga BBM sebanyak enam kali sejak Maret hingga Mei 2020. Jika dihitung dari awal tahun hingga 4 Mei 2020, harga bensin di Singapura sudah menyusut 12,18% menjadi US$ 1,37 per liter. Malaysia sudah enam kali menurunkan harga BBM, sejak dua bulan terakhir. Per 13 April 2020, harga bensin dengan kadar oktan 95 di Malaysia di level US$ 0,29 per liter atau Rp 4.387 per liter (kurs Rp 15.127 per dollar AS). Harga tersebut sudah melorot 39,58% sejak Januari 2020. Demikian juga dengan Myanmar, yang sudah sembilan kali menurunkan harga BBM selama dua bulan terakhir. Per 4 Mei 2020, harga bensin di Myanmar di posisi US$ 0,36 per liter, atau sudah menyusut 46,27% sejak awal tahun ini. Kemudian Kamboja sudah lima kali mengubah harga bensin dalam dua bulan terakhir. Per awal Mei 2020, harga BBM di Kamboja senilai US$ 0,66 per liter, atau sudah menyusut 34,65% ketimbang posisi awal tahun ini. Di Turki, pemerintah lebih fair dalam menentukan harga BBM. Dikutip dari turkinesia.net harga bahan bakar minyak di Turki telah berubah hampir setiap hari sejak awal krisis harga minyak di pasar internasional yang disebabkan oleh berkurangnya permintaan global karena virus corona. Secara keseluruhan, harga bensin dan solar di negara itu telah berubah 36 kali dalam 51 hari. Sejak 10 Maret, harga bensin berubah 24 kali, sementara harga solar berubah 12 kali. Selama periode 51 hari ini, harga bensin turun 14 kali sementara harga solar turun delapan kali. Sedangkan Indonesia belum juga memangkas harga BBM sejak Februari 2020. Ketika itu harga bensin RON 95 Indonesia pernah turun per 3 Februari 2020. Jenis BBM ini adalah Pertamax yang konsumennya sedikit. Harga itu menurun 10,45% dibandingkan posisi Januari 2020. Sementara BBM yang paling banyak dikonsumsi rakyat Indonesia yakni Pertalite dan Premium belum pernah turun hingga Mei tahun ini. Pemerintah bukannya merespons tuntutan masyarakat agar menurunkan harga BBM, tetapi justru membangun polemik baru. Menteri ESDM Arifin Tasrif terus berteori untuk mempertahankan harga BBM agar tidak turun. Tasrif mengatakan penurunan harga BBM saat ini tidak mudah dilakukan karena harga minyak dunia yang masih bakal bergejolak hingga Juni 2020. Ia bilang OPEC bahkan sudah setuju untuk memotong produksi harian minyak dunia mulai Mei sampai Juni-Juli 2020 nanti. Ia bilang akhir tahun harga minyak Indonesia atau ICP bisa kembali di angka 40 dolar AS per barel minyak. Di samping itu, Arifin juga mengaku tidak bisa mengikuti formula dalam Kepmen ESDM No 62K/MEM/2020 yang ia teken sendiri pada 28 Februari 2020. Dalam Kepmen, harga BBM Indonesia memperhitungkan harga trading minyak dan harga produk olahan BBM Singapura atau Mean Of Platts Singapore (MOPS). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tampaknya tak ada niat untuk menyesuaikan harga BBM sesuai pasar internasional. Nicke berkilah bahwa penurunan harga BBM agar berdampak pada perusahaan. Biaya pengeboran tidak bisa disetop, begitu juga kilang tak dapat dihentikan operasionalnya. “Kami tetap bayar (nilainya) besar juga. Sama saja. Karyawan jumlahnya 62 ribu, tidak mungkin tak kami bayar," kata Nicke. Pemerintah agaknya hoby curang. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia, langsung dilakukan penyesuaian, tetapi ketika terjadi penurunun harga minyak, teori dan ngeles yang dikedepankan. Padahal, penyesuaian harga BBM bukan dilakukan saat harga minyak dunia naik. Penyesuaian wajib dilakukan saat harga minyak dunia turun, karena itu perintah undang-undang. Penurunan harga BBM juga bukan semata karena harga minyak dunia turun, tetapi ada nilai kemanusiaan dalam situasi sulit seperti saat ini, di mana wabah Covid-19 belum menunjukkan grafik menurun yang berdampak pada kehidupan masyarakat yang makin sulit. Setelah Kementerian ESDM dan Pertamina yang menyajikan teori pembenaran soal harga BBM, agaknya kita perlu mengetuk hati “panutan” bangsa ini. Kita rindu tausiyah Ma'ruf Amin tentang keikhlasan dan keterbukaan. Kita tahu, ia terbiasa memberikan pesan-pesan moral yang baik. Pun demikian ia seharusnya bisa meminta MUI untuk menerbitkan fatwa haram menunda kenaikan BBM, sebagaimana ia meminta MUI bikin fatwa haram mudik. Kita telah lama kehilangan suara lantang dan lugas Mahfud MD tentang pentingnya menegakkan aturan dan konsisten serta sportif dalam bernegara. Kita paham, Mahfud kalau ngomong tanpa tedeng aling-aling. Kita kangen pesan Puan Maharani tentang pembelaan terhadap kaum marhaen, tentang wong cilik yang harus selalu dilindungi dan dibela hak-haknya. Tausiyah dan pesan dari para “panutan” itu, kini tak terdengar lagi. Entah apa yang menyebabkannya. Mungkin mereka sedang menyeleksi mana yang penting dan mana yang mubazir. Semakin menunda penurunan harga BBM, maka argo dosa pemerintah ini jalan terus. Ini bukan menggunjingkan pemerintah yang berpotensi dosa seperti tuduhan Luhut Panjaitan yang meminta umat muslim tidak bergunjing di bulan puasa. Justru pemerintahlah yang berdosa pada rakyat karena menyembunyikan kebenaran. Kebenaran bahwa harga BBM hari ini masih sama dengan harga BBM saat harga minyak dunia US$70 per barel. Kita tahu hari ini harga minyak dunia hanya 23,55 US$ per barel. Ada berapa ratus miliar selisih harga yang seharusnya dinikmati rakyat. Lagi lagi saya terkesan ceramah Kyai Ma'ruf dulu saat menjadi ustadz, "Bersegerlah menuju pintu pertobatan". Inilah saatnya pemerintah untuk meratapi kekeliruannya kemudian menuju pertobatan yang nyata. Hentikan berbohong, tak hanya urusan harga BBM, tetapi di segala bidang. Rakyat butuh kejujuran pemerintah, bukan butuh bingkisan sembako yang nyatanya tak memberi solusi. Rakyat butuh konsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan harga BBM, naik ya naik, turun ya turun, bukan reality show berdurasi pendek bagi-bagi duit di gang sempit yang gelap pada malam hari, lalu diviralkan. Ini tidak heroik. Yang diminta oleh masyarakat adalah harga BBM turun sesuai harga internasional, bukan bukan pemberian cash back dan lotre bagi ojek yang beruntung. Bagaimana negeri ini akan ditaburi keberkahan jika setiap hari dipertontonkan kebohongan dan kemunafikan? Turunkan harga BBM segera, ini baru heroik. Penulis Wartawan Senior.

DPR Lagi Siapkan Mahkota Untuk Perusahaan Minerba?

By Margarito Kamis Jakarta FNN – Kamis (30/04). Presiden, telah mengambil sikap atas isu ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Sikapnya jelas. Klaster tenaga kerja ditangguhkan pembahasannya. Bagus? Boleh jadi iya. Bagaimana realisasinya? Apakah Presiden telah mengirim surat resmi ke DPR memberitahukan sikapnya itu? Wallahu a’alam. Hanya Presiden, DPR dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Pada saat yang sama, DPR juga sedang membahas RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Entah mengapa harus diubah? Tetapi dapat diperkirakan perubahan ini dimaksudkan untuk diselaraskan dengan konsep-konsep baru. Entah bagaimana konsepnya? Apakah ada di dalam RUU Cipta Kerja? Ubah Konsep Dua RUU telah teridentifikasi memberikan karpet mereh untuk korporasi. Terlihat di sini, hidupnya tabiat lama. Negara selalu kedodoran berhadapan dengan korporasi. Kalau negara terlihat tangguh, itu dicapai dengan susah payah. Entah kedodoran atau tangguh, tetapi perubahan konsep penguasaan PT. Freeport di Papua dan Newmon di NTB, menarik. Tetapi artikel ini tidak diorientasikan untuk berbicara tentang divestasi dan persentase saham dari kedua korporasi itu. Point artikel ini adalah adanya kenyataan “divestasi” kedua korporasi, yang menghasilkan pemerintah dan pemerintah daerah “dapat memiliki saham” pada kedua korporasi itu. Itu point besarnya. Apakah konsep ini dapat dikonsolidasi secara lebih exprecif verbis dalam kerangka konstitusi, dan diatur dalam kedua RUU itu? Saya berpendapat harus dikonsolidasi. Kerangka dasarnya pasal 33 UUD 1945. Pasal ini harus diberi makna kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi seperti “nikel, batubara, biji besi, emas, dan uranium” sudah dengan sendirinya atau demi hukum bernilai dan bersifat sebagai modal, saham. Mengapa harus diberi nilai dan sifat sebagai modal? Nickel, batu bara, biji besi, uranium dan emas, itulah duit yang sebenarnya. Nilainya meningkat berkali lipat setelah diolah, diekplorasi dan diproduksi, dalam arti diubah dengan sentuhan teknologi. Nalarnya, penanaman modal korporasi untuk menambang semua itu, tidak lebih dari sekedar melipatgandakan nilai modal itu. Politisi senayan harus ingat, bahwa nickel, batubara, biji besi, uranium, tembaga dan emas itu meskipun masih tependam di dalam tanah. Belum disentuh oleh tekonoligi. Namun telah dihitung oleh korporasi sebagai kekayaan dari perusahaan. Otomatis nilai kekyaan perusahaan sudah naik berlipat-lipat kali. Ratusan kali, bahkan ada yang sampai ribuan kali naiknya. Setelah mengantongi izin dari negara, korporasi segara melakukan rekayasa pembukuan untuk menjual sebagain sahamnya. Biasanya antara 15% - 35% ke pasar saham di berbagai belahan dunia. Tambangnya belom diproduksi, namun korporasi sudah mendapatkan duit besar. Bisa sampai triliunan rupiah dari pasar saham. Konsekuensinya, pemerintah dan pemerintahn daerah tidak perlu mengeluarkan uang untuk dijadikan saham pada korporasi yang berinventasi di tambang. Sebab nickel, batu bara, biji besi, emas, tembaga dan uranium itu, harus dinilai secara pars pro toto sebagai modal atau saham. Modal ini yang menjadi dasar negara untuk ikut dalam menejemen korporasi. Jumlah saham dan bidang menejemen dapat dinegosiasikan. Ini bukan perkara yang susah. Membelakangi dunia atau apapun yang sama. Ini perkara sederhana. Tinggal mau atau tidak mau saja. Ini soal kepercayaan diri. Agar kepercayaan diri muncul dan meningkat dalam memahami landscap politik investasi. Politisi senayan hanya perlu sedikit lelah memupuk kemauan mendalami pengetahuan sejarah perebutan sumberdaya alam. Khususnya minyak di berbagai belahan dunia. Tidak lebih. Memang lebih mudah memanjat gunung berbatu rijang dan terjal daripada meminta politisi menyelami sejarah. Tetapi sesulit itu sekalipun, politisi senayan disarankan bersedia mengambil langkah berisiko. Di puncak gunung itu tersedia panorama sikap investor yang mati-matian membela konsep “royalty”. Konsep itu berinduk pada “keserakahan.” Bukan efisiensi, dan bukan pula efektifitas. Sama sekali bukan. Tabiat Corporasi Bagaimana menemukan “keserakahan” sebagai fundasi konsep royalti itu? Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa Inggris dan Perancis membagi-bagi kekuasaan Turki Utsmania? Dan setelah dibagi-bagi, semua negara baru pecahan Turki itu berada dibawah Kendali mereka. Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa ada “Kesepakatan San Marino” pada tahun 1919”? Kesepakatan yang mengatur Turkis Petrolium harus mendapat 20% ditiadakan, setelah Mesoptamia berubah menajdi Irak. Tipikal yang seperti itulah yang menandai sejarah Grup Standard Oil, milik Rockeffeller. Satu kalimat pendek dan menarik Rockeffeler yang dikutip Anthony Sampson pada saat menghadapi protes terbuka masyarakat terhadap konsep “trust” yan diprakarsainya. Rockeffeler berkata “semakin kami maju sambil terus meraih keberhasilan dan terus membisu, semakin kami dikecam”. Saya, kata Rockeffeler selanjutnya, “tidak akan pernah berhenti menyesali sewaktu mengenag kembali serangan besar pertama terhadap perusahaan milik saya tahun 1872”. Hebat, Rockeffeler yang diserang, justru memprakasai gerakan anti-trust. Taktik ini tercium oleh Pemerintah Federal. Akibatnya, pemerintah meningkatkan serangan. Ini tonggak penting yang bersejarah sebagai serangan beralasan besar pertama oleh Pemerintah Federal terhadap monopoli korporat. Kenyataannya korporasi kelompok Standar Oil terlanjur besar. Kekuataan mereka hampir melampaui kekuasaan pemerintah negara berdaulat. Inilah yang dilukiskan oleh Charles Francis Adam bahwa pada tahun 1871 korporasi-korporasi menyatakan perang, mengisolasi perdamaian, mengerdilkan pengadilan, badan legislatif dan negara berdaulat. Semuanya patuh pada keinginan mereka. Lalu tibalah Amerika tahun 1890. Pada tahun ini melalui prakasa Senator John Sherman dibentuklah UU Anti-Trust. Disambut dan ditandangani oleh Presiden Horison. Tetapi materi sengaj dibuat samar. Melarang “setiap kontrak, penggabungan atau konspirasi untuk menghalangi perdagangan. Kenyataannya, kata Antony Sampson UU ini dirancang lebih untuk menenangkan publik daripada untuk mengambil tindakan efektif. Dan penetapannya diikuti periode panjang tanpa tindakan federal. Anti-trus, kata Sampson lebih jauh, sedari awal memiliki gonggongan yang lebih buruk daripada gigitannya. Kelompok Standard Oil, terus merajelela. Mereka ada di hampir seluruh dunia. Caranya macam-macam. Tetapi kartel muncul sebagai bentuk intinya. Mereka tidak segan menekan pesaing. Itulah makna kesediaan Inggris memberi jalan kepada Standar Oil memperoleh kesempatan memasuki Arab Saudi. Mengapa mereka harus membentuk kartel? Persoalan kartel ini akan memberi informasi berharga dalam memahami kapitalisme praktis. Tahun 1949 Federal Trade Commission menyelidiki kesepakatan-kesepakatan Internasional yang dibuat perusahaan-perusahaan minyak. Investigasi berlangsung selama satu tahun, 1951-1952. Temuannya jelas. Tetapi menariknya laporan itu tidak diumumkan oleh Federal Trade Commission, melainkan Senator John Sparkman. Laporan itu, seperti diungkapkan oleh Sampson menyediakan tuturan lengkap pertama tentang kesepakatan-kesepakatan kartel yang dibuat tujuh saudari, sejak kesepakatan Achnacarry 1928. Laporan itu juga memaparkan detail garis merah dan analisis terperinci pengaturan pembagian harga yang pelik di seluruh dunia. Intinya ketujuh perusahaan itu menguasai semua daerah penghasil minyak utama di luar Amerika. Semua kilang di luar negeri, paten dan teknologi penyulingan. Mereka juga membagi-bagi pasar dunia diantara mereka. Juga berbagi jalur pipa dan tanker di seluruh dunia. Laporan ini akhirnya akan ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung James McGranery. Tetapi menariknya, muncul perdebatan sengit mengenai rencana itu. Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri berada dibalik perdebatan, dalam arti mendukung operasi ketujuh perusahaan yang diivestigasi Jaksa Agung itu. Inti argumentasi mereka adalah satu, tuntutan pidana kepada ketujuh perusahaan itu akan jauh lebih merusak. Menurut mereka, hal itu dapat mendorong negara-negara lain, untuk percaya bahwa “kapitalisme bersinonim dengan eksploitasi yang buas.” Argumentasi ini jelas berseberangan dengan argumentasi Jaksa Agung. Sebab menurut Jaksa Agung ketujuh perusahaan itu jauh dari kepentingan keamanan nasional. Mereka, kata Jaksa Agung selanjutnya, sangat merusak keamanan nasional. Namun kasus ini berakhir manis bagi ketujuh perusahaan, seiring naiknya Eishenhower sebagai Presiden, dan John Foster Dulles sebagai Menlu. Naiknya mereka mengubah haluan politik Amerika. Amerika mengalihkan politik luar negerinya ke persoalan komunisme Internasional. Korporasi mengatur dunia, bahkan perang sebagaimana dijelaskan oleh Charles di atas, beralasan. Mengapa? Pernyataan yang mirip muncul disisi lain secara signifikan oleh Charlote Dennet. Charlote Dennet, Jurnalis investigative dan Pengacara, putri Daniel C. Dennet (aparat OSS dan Center of Inteligent Group) yang ditugaskan di Timur Tengah, mengidentifikasi bahwa menurut Depertemen Pertahanan Amerika, perang dunia kedua pada dasarnya adalah perang dengan dan untuk minyak. Menurut opini mereka minyak adalah salah satu senjata terpenting dalam konflik militer modern. Lebih jauh Denet menulis, dengan gaya yang lebih menyentak di hadapan para anggota kongres, Presiden American Petroleum Institute menyatakan pada November 1943 “Minyak adalah amunisi”. Dialah rahasia di belakang senjata-senjata rahasia dalam perang ini. Kita, katanya, tidak akan terbang menuju kemenangan dalam perang ini. Kita secara harfiah berperang dalam setiap jengkal dengan minyak. Begitulah sekelumit sepak terjang korporasi mengelabui banyak pihak. Sayangnya, kenyataan ini terlalu sering dikesampingkan banyak ilmuan, sehingga mereka ikut menari mengikuti irama tipu-tipu korporasi. Itulah pulalah salah satu penyebab kegagalan mengenali mozaik kecil yang tertera dalam perjanjian “San Morino” yang mengatur Turkish Oil Petrolium semasa Turki Usmania memperoleh jatah 20% saham. Perburuan Tambang Nickel Minyak adalah satu hal. Sedangkan nikel, batubara, uranium, biji besi, tembaga dan emas adalah hal lain. Tetapi soalnya mengapa korporasi di berbagai belahan berlomba tancap gas memperoleh konsesi untuk isi bumi non minyak itu? Mengapa ratu Victoria harus mengirim 400.000 pasukannya, terbanyak pada waktunya menyukeskan perang Boer di Afrika Selatan? Sekadar untuk kolonisasi? John Coleman memberi uraian tentang kenyataan jauh sesudah Ratu Victoria. Orang yang dari gerakan jarinya melahirkan hak hukum Royal Virginia Company dan East India Comopany, saudara kembarnya Vereenigde Oostindische Compagnie. Dalam kasus Afrika Selatan, dia menunjuk Ernes Oppenheimer dan De Beers. Ernest Oppenhenimer pada tahun 1919 telah membentuk Consolidated Diamon Mines (CDM) Afrika Barat Daya, degan mula-mula membentuk Anglo-American Corporation of South Africa di London. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, Oppenheimer telah menjadi kekuatan besar monopoli intan. Oppehenimer lalu memasukan De Beers ke dalam Anglo American Company, setelah dia menyetor sejumlah persen saham. Tahun 1937, De Beers sudah menimbun sekitar 40 juta karat. Pasokan untuk waktu 20 tahun. Karena terancam pailit, dia memutuskan menciptakan pasar tersendiri. Dia mengutus anaknya ke Amerika dan memulai kampanye empat C (Cut, Color, Clarity and Carat). Sukses. Dan muncullah sebuah kebiasaan baru, cincin pertunangan dari intan, dengan slogan “sebutir intan bertahan selamanya”. Mengapa batubara dan nickel terus ramai ditambang di Indonesia? Tidakkah semuanya penting untuk berbagai keperluan strategis? Kalaupun mobil listrik belum menggila di jalanan, apakah nickel-nickel itu tidak bermanfaat untuk, misalnya baterei alat komunikasi dan sejenisnya? Tidakkah itu, bermakna bahwa nickel, kini dan akan datang, menjadi komoditas strategis untuk berbagai industri? Bila ya, siapa yang memiliki keberanian untuk memastikan bahwa “sekarang korporasi telah menyepelekan isi perut bumi itu?” Bila tak berfaedah, mengapa korporasi-korporasi bergairah menambang? Korporasi-korporasi itu adalah PT. Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Thingsan dari Tiongkok muncul sebagai salah satu investornya. Nama Thingsan juga muncul pada PT. Indonesia Weda Industrial Park di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pola ini juga muncul pada PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Tetapi nama Thingsan sebagai investor tidak muncul pada PT. Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP) di Konawe Sulawesi Tenggara. Politisi di DPR yang sedang mengurusi RUU Cipta Kerja dan RUU Perubahan UU Minerba, memang bukan bangsawan khas Inggris abad ke-17. Mereka tidak bisa dicurigai memiliki tabiat seperti Nelson Aldrich, senator yang menjadi kaki tangan kelompok Wall Street yang menggolkan The Federal Reserve Act. Juga tak punya tabiat seperti John Sherman yang merancang Anti-Trus Act, yang tak bergigi itu. Para politisi senayan dapat dititipi rindu dari bumi peertiwi ini untuk agar tidak usah mengubah konsep IUP yang telah ada. Tetapi pada saat yang bersamaan, diatur agar bangsa Indonesia memiliki saham pada setiap korporasi yang diberi IUP tersebut. Itu saja sudah lebih dari cukup. Negara taidk usah menyetorkan uang untuk tujuan mendapatkan saham di perusahaan tambang. Cukup dengan nickel, tembaga, emas, biji besi, uranium dan batubara yang ada di dalam perut bumi negeri ini yang dikonversi menjadi saham. Tanpa konsep ini, dua RUU itu akan menjadi “mahkota kejayaan untuk korporasi”. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

PLN Berani Buka Kondisi Keuangan, Kapan BUMN Lain?

By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Kita semua perlu angkat topi dan memberikan apresiasi buat Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tanpa beban, akhirnya Direksi PLN mengakui gagal bayar utang perusahaan untuk tahun ini. Untuk itu, PLN meminta kepada bank agar pembayaran utang untuk tahun 2020 dilakukan tahun depan. Mengakui gagal bayar bukan hal mudah bagi sebuah perusahaan. Langkah ini akan menjadi reputasi bagi PLN di mata pemberi pinjaman, dan investor di masa mendatang. Gagal bayar berarti jatuh peringkat utang perusahaan. Jatuh juga kepercayaan banker kepada perusahaan. Namun suatu kenyataan. Harus mengatakan apa adanya. Ini juga hebat, dan luar biasa. Langkah Berani Tahun ini PLN memotong target pendapatan. Perusahaan listrik negra ini memotong target pendapatan hampir 15%. Ini disebabkan penurunan penjualan listrik akibat pelemahan konsumsi, terutama untuk kelompok industry, cafee, restoran dan lain sebagainya yang terkena dampak covid 19. Pada saat yang sama PLN dituntut menjalankan aksi kemanusiaan dengan mengratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan memberikan discount 50% untuk 900 VA. Langkah yang tepat. Tentu publik sangat berterima kasih. Meskipun ini memberi konsekuensi. Namun Dirut PLN Zulkifli Zaini kepada media menyatakan, pendapatannya akan turun menjadi Rp. 257 triliun rupiah atau setara U$ 16,7 miliar tahun ini. Turun sekitar 14,6% dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp. 301 triliun rupiah. Setiap penurunan 1% dalam permintaan listrik memotong pendapatan PLN sebesar Rp 2,8 triliun. Memang, PLN kehilangan kesempatan untuk memotong biaya dikarenakan kontrak dalam pembelian listrik swasta. Begitu juga kontrak dalam pembelian energy primer, batubara dan gas. Sementara pemerintah tidak menghendaki revisi penurunan harga bahan bakar di tengah jatuhnya harga minyak dan batubara secara global ke posisi paling rendah sepanjang sejarah. Pemerintah bahkan menolak merevisi rumus harga BBM bagi konsumen dalam negeri saat ini. Hasilnya, harga BBM tidak berubah. Memang secara alami konsumsi listrik Indonesia mengalami penurunan. Kondisi ini seiring dengan pelemahan pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga akibat bangkrutnya Industri dan melemahnya daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir. Namun, pada saat yang bersamaan, PLN telah terikat tugas dari pemerintah untuk mensukseskan project listrik 35.000 MW. Ada juga kewajiban untuk membeli listrik swasta dengan skema Take Or Pay. Sementara produksi listrik Indonesia telah berlebih di Jawa Bali sejak tahun 2014 lalu. Perusahaan meminta bank apakah pembayaran utang yang jatuh tempo tahun ini dapat ditunda sampai tahun depan? Data PLN menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sekitar Rp. 161 triliun kewajiban jangka pendek pada akhir Juni nanti, termasuk pinjaman bank jangka pendek. PLN dan Pertamina adalah dua BUMN dengan utang paling besar, terutama dalam valuta asing. Bagaimana BUMN Lain ? Bagaimana dengan BUMN lain? Apakah Direksi BUMN lain secara kesatria akan mengakui gagal bayar juga dalam tahun ini? Diketahui bahwa beberapa BUMN mengalami masalah dengan utangnya. PT Krakatau Steel misalnya, mengatakan pada bulan Januari akan merestrukturisasi utang sebesar U$ 2 miliar, karena terhuyung-huyung di ambang kebangkrutan. Kondisi PT Krakatau Steel, juga dialami oleh dua perusahaan asuransi milik negara, yaitu PT Jiwasraya dan PT Asabri yang mengalami default. Masalah Jiwasraya terungkap sepenuhnya bulan lalu. Pihak berwenang mengatakan total kerugian negara lebih dari 16 triliun rupiah. Selain itu, dua dari BUMN yang merupakan kunci untuk membangun infrastruktur telah mendorong pinjaman dalam beberapa tahun terakhir. PT Waskita Karya misalnya, yang membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan bangunan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia di Jakarta, terlihat kalau utangnya melambung tinggi lebih dari 10 kali menjadi Rp. 82,8 triliun. September 2015 lalu, utangnya PT Waskita Karya hanya sebesar Rp. 7,7 triliun. Kondisi yang sasma juga dialami oleh PT Wijaya Karya. Perusahaan yang banyak membangun apartemen komersial dan residensial serta sistem transportasi kereta api dan jembatan itu, hutangnya melonjak tajam. Pada September 2015 hanya Rp. 3,7 triliun, kini melonjak menjadi Rp 21,7 triliun. Jokowi telah berusaha membersihkan perusahaan-perusahaan milik negara sejak memenangkan masa jabatan kedua tahun lalu, dengan menunjuk Erik Thohir, mantan pemilik tim sepak bola Inter Milan Italia sebagai menteri BUMN. Thohir telah berjanji melikuidasi perusahaan yang gagal bayar kewajibanya. Selama lima tahun terakhir, BUMN juga telah menimbun utang luar negeri yang besar. Kebijakan ini berakibat pada meningkatnya biaya pendanaan mereka saat dolar melonjak. Resiko-resiko tersebut tercermin di pasar keuangan. Misalnya, obligasi PT Garuda Indonesia, yang menghadapi kemerosotan. Menurut Bloomberg, kemerosotan obligasi Garuda yang jatuh tempo 3 Juni nanti sebesar U$ 500 juta. Sola utang obligasi ini, PT Pertamina tercatat sebagai perusahaan BUMN yang menimbun utang paling besar. Sampai dengan tahun 2018, utang Pertamina tercatat sebesar Rp 508,4 triliun. Sepanjang 2019-2020 Pertamina juga menambah global bond sebesar U$ 3 miliar, atau setara dsengan Rp 46 triliun. Jumlah itu belum termasuk utang dalam bentuk lainnya. Meskipun gagal dalam membangun kilang-kilang minyak baru. Akusisi perusahaan asing yang habis masa kontrak dengan biaya yang mahal sekarang menjadi masalah tersendiri bagi Pertamina. Pertamina harus berhadapan dengan harga minyak mentah dunia yang paling buruk sepanjang sejarah migas ini. Padahal 70% usaha Pertamina itu adanya di hulu. Kilang-kilang yang dibaiayai mahalpun harus ditutup. Karena lebih mnguntungkan dengan melakukan impor BBM. Privatisasi atau Ditalangi Pemerintah ? Direktur pelaksana Penida Capital Advisors Ltd. Edward Gustely kepada Bloomberg di Jakarta mengatakan, pemerintah harus membuang perusahaan yang berkinerja terburuk . Yang non-strategis dan tidak menguntungkan. Caranya, melalui privatisasi, alias Jual. Namun siapa yang akan membeli ? Cara lain adalah pemerintah menalangi utang seluruh BUMN tersebut, darimana uangnya? Dengan menggunakan dana stimulus yang sekarang tengah digolkan melalui Perpu No 1 Tahun 2020 dan perpres nomor 54 tahun 2020 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Pemerintah telah menargetkan utang baru senilai Rp. 1006 Triliun dan sebanyak 420 triliun akan dialokasikan sebagai stumulus menghadapi Covid-19. Kementerian Keuangan mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mendukung PLN. Pemerintah juga berencana mengumpulkan Rp. 150 triliun untuk membantu perusahaan pulih dari dampak ekonomi dan wabah koronavirus, namun rinciannya belum jelas. Sementara buat Pertamina, belum jelas berapa bantuan dari pemerintah untuk mengatasi penurunan penjualan saat ini. Namun semua akan berjalan lancar jika targer pembiayaan (utang) tercapai. Jika tidak tercapai, maka kemungkinan besar aka ada privatisasi. Ini pilihan yang buruk bagi rakyat, dan pekerja BUMN. Tetapi tampaknya ini cukup menyenangkan hati pemerintah yang tengah membutuhkan uang banyak. Saat ini utang pemerintah dan BUMN berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) general government debt mencapai Rp. 11.250 trilun. Utang ini untuk membiayai berbagai proyek ambisus pemerintah. Mulai dari proyek infrstruktur listrik, kilang minyak, jalan tol, pelabuhan dan bandara yang sebagian besar sekarang telah menjadi beban karena tidak memberikan cashflow yang baik. Tragisnya, infrastruktur yang dibangun untuk mudik lebaran tahun ini, telah kehilangan momentum. Tidak lagi untuk menyedot daya beli masyarakat, sesuai perintah larangan mudik atau bukan pulang kampung saat lebaran Idul Fitri nanti. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Giliran Pertamina Berpotensi Gagal Bayar Obligasi

By Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (23/04). Pertamina baru saja mempromosikan kebijakan harga BBM khusus bagi pengendara Ojek Online (Ojol). Promosi berlaku 14 April-12 Juli 2020 memakai aplikasi MyPertamina (13/4/2020). Sehari kemudian Komut Pertamina, Ahok ikut promosi via twitter yang banyak dikritik. Para pengeritik mempertanyakan mengapa Komut terlibat ranah operasional. Ada yang menganggap kebijakan tidak adil karena hanya berlaku bagi Ojol. Tidak berlaku kepada pengemudi moda transportasi lain yang terdampak korona. Ada yang curiga, kalau program ini terkait kepentingan politik atau bisnis pemegang saham aplikasi Ojol. Kita tidak paham apakah berbagai kritik tersebut valid atau bias. Namun jika promosi dicetuskan pertama kali oleh marketing Pertamina, maka ikut sertanya Ahok bisa untuk memperluas penyebaran promo. Mau menunjukkan andil atau peran Ahok, atau karena para die-hards ingin terus mempromo Ahok yang secara legal sebenarnya tidak qualified menjadi Komut. Kita maklum jika Pertamina mungkin ingin berempati dengan kondisi ekonomi rakyat. Disamping itu, bisa pula ada motif bisnis bersifat strategis dan berjangka panjang yang tidak utuh terpahami. Namun karena dampak pandemi sangat luas, maka keadilan dan empati jadi penting. Namun, jika tidak terkendala dana, diharapkan ada program susulan yang lebih adil dan merata. Bersamaan dengan isu “BBM Ojol”, akhir-akhir ini publik pun mempertanyakan kebijakan harga BBM yang tak kunjung turun. Padahal harga minyak dunia sudah turun cukup rendah. Sesuai formula harga berdasar Perpres No.191/2014 dan No.43/2018, serta sejumlah Permen ESDM yang merujuk Perpres, maka harga BBM seharusnya sudah turun. Mengapa tidak turun? Terlepas apakah Pertamina kelak akan meluncurkan program susulan atas promo BBM Ojol? Apakah pemerintah pada akhirnya menurunkan harga BBM? Sebenarnya publik perlu paham dan concern terhadap hal yang jauh lebih penting. Bahwa keuangan Pertamina sekarang ini berpotensi sangat bermasalah. Kondisi ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah selama ini yang bermasalah. Semakin bermasalah akibat dampak korona. Hal ini menyangkut survival korporasi dan nasib pelayanan energi untuk publik ke depan. Profitabilitas perusahaan yang bergerak pada bisnis hulu dan hilir migas tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Dalam kondisi normal, bagi perusahaan terintegrasi dari hulu ke hilir (bundled), saat harga minyak di hulu naik, maka profitabilitas akan naik. Penerimaan perusahaan di sisi hulu pasti naik. Juga masih mendapatkan keuntungan pada sisi hilir. Begitu pula, saat harga di hulu turun, dan sisi hulu merugi, namun secara keseluruhan perusahaan masih untung, karena bisnis hilir bisa untung lebih besar. Namun dalam kondisi pandemi Covid-19, situasinya berbeda. Akibat pandemi korona, penurunan konsumsi BBM/minyak di sektor transportasi, industri dan komersial, membuat demand minyak turun 16-20 juta barel per hari (bph). Biasanya konsumsi minyak global sekitar 100 juta bph. Seimbang dengan produksi pada level 100 juta bph. Dengan pandemi korona, maka rata-rata over supply minyak dunia sekitar 20 juta bph. Kondisi ini menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 20-an per barel. Harga terendah dalam 20 tahun terakhir. Untuk “memulihkan” harga yang rendah ini, negara-negara penghasil minyak OPEC dan non-OPEC, (disebut OPEC+) telah melakukan negosiasi penurunan produksi melalui teleconference. Pada perundingan OPEC+ pertama pada 6 Maret 2020 antara Arab Saudi (pordusen terbesar OPEC) dan Rusia (produsen terbesar ke-2 non-OPEC setelah AS) tidak menghasilkan kesepakan penurunan produksi. Negosiasi gagal. Pada perudingan OPEC+ kedua 9 April 2020, para pihak berhasil sepakat mengurangi produksi hingga 9,7 juta bph. Mulai berlaku pada Mei 2020. Ternyata pada 17 April 2020 harga minyak kembali turun menjadi US$ 18-an per barel, terutama karena pemangkasan produksi OPEC+ yang disepakati sebelumnya tidak cukup besar mengimbangi penurunan konsumsi akibat korona. Tangki-tangki penyimpanan negara-negara yang ingin menimbun sudah penuh. Dampak over supply ini pulalah yang dirasakan oleh Pertamina. Dalam rapat dengar pendapat via teleconference dengan Komisi VII DPR (16/4/2020) Dirut Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan penjualan retail BBM turun sekitar 16,78%. Aviasi turun rata-rata harian 45%. Nicke mengatakan, akibat permintaan yang turun tersebut, Pertamina akan menghentikan operasi kilang Balikpapan pada Mei 2020. Dalam satu simulasi harga minyak dan kurs dollar pada level tertentu, pendapatan korporasi bisa turun hingga 45%. Penjelasan Nicke menunjukkan kedua lini bisnis Pertamina menurun. Keuntungan sisi hilir dengan penjualan yang anjlok signifikan tidak cukup besar menutup kerugian di hulu dan beban operasi. Pertamina bepotensi mendatangkan kerugian. Kondisi keuangan menjadi lebih bermasalah. Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah pada Pertamina yang berlangsung selama ini. Pertama, pemerintah memaksa Pertamina membayar signature bonus (SB) sekitar Rp. 11 triliun agar dapat mengelola blok Rokan yang sekarang masih dikelola Chevron. Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, Pertamina berhak mengelola blok tersebut tanpa membayar SB. Ternyata, meski baru mulai mengelola Agustus 2021, Pertamina dipaksa membayar SB pada Desember 2018. Untuk itu, Pertamina harus menerbitkan surat utang U$ 750 juta. Kedua, akibat kebijakan populis Jokowi untuk menangkan Pilpres 2019. Pertamina harus menanggung beban subsidi BBM. Akibat program pencitraan ini, ditambah subsidi LPG 3 kg yang sebagian tidak tepat sasaran, Pertamina harus menanggung beban subsidi yang terakumulasi sejak April 2016/2017 hingga 2019 sekitar Rp 85 triliun lebih. Kebijakan ini pun telah menyebabkan Pertamina berutang. Pembebanan subsidi puluhan triliun rupiah pada Pertamina yang harusnya ditanggung APBN merupakan pelanggaran Pasal 66 UU BUMN No.19/2003. Setelah diprotes publik, pemerintah menyatakan akan menyicil piutang Pertamina tersebut. Namun dalam kondisi APBN defisit ratusan triliun rupiah akibat korona, cicilan tersebut bisa saja tidak segera terbayar. Akibat harus menanggung beban signature bonus dan subsidi untuk pencitraan, hingga Januari 2020, utang (obligasi) Pertamina telah mencapai U$ 12,5 miliar atau Rp. 187,5 triliun pada kurs Rp. 15.000 per dollar. Rata-rata tingkat bunga utang itu sekitar 5-6%. Dengan demikian, diperkirakan Pertamina harus menanggung beban bunga obligasi sekitar Rp 11-12 triliun per tahun. Masalah Pertamina yang lain, terkait harga jual minyak mentah Indonesian Crude Price (ICP) yang harus dibayar Pertamina kepada pemerintah yang dinilai tidak wajar. Nilai ICP diterbitkan setiap bulan melalui SK Menteri ESDM sesuai formula “Harga Minyak Brent (Dated Brent) plus/minus Alpha”. Dalam SK tersebut, terdapat nilai Alpha bulan Januari-Maret 2020 yang sangat tinggi, yaitu untuk minyak Duri U$ 11-15 dan Banyu Urip U$ 7-9 per barel. Padahal untuk minyak jenis-jenis lain, nilai Alpha hanya berkisar antara U$ 2-3 per barel. Produksi minyak Duri dan Banyu Urip bisa mencapai 500 ribuan bph terhadap 730 ribuan bph total produksi nasional. Dengan nilai Alpha yang besar, berarti meskipun harga minyak dunia turun, Pertamina tetap membayar harga crude yang cukup tinggi kepada pemerintah. Ujungnya, harga ICP ber-Alpha tinggi ini akan ditanggung konsumen BBM juga. Anomali nilai Alpha ini patut dipertanyakan. Pemerintah bisa berdalih ini untuk menarik investasi di sektor hulu. Namun bisa muncul spekulasi, pemerintah ingin menjaga penerimaan PNBP di APBN, atau bisa juga karena moral hazard. Apapun itu, konsumen tidak akan mendapat BBM yang harganya turun sebanding dengan turunnya harga minyak dunia. Ini karena adanya “beban dana siluman” yang diambil pemerintah melalui nilai Alpha pada ICP. Harga BBM Harus Turun Terkait harga BBM, Dirut Nicke Widyawati menyatakan pada rapat dengar pendapat virtual dengan Komisi VII DPR (16/4/2020) bahwa penetapan harga BBM merupakan wewenang pemerintah. “Jadi kami tiap bulan mengikuti formula harga yang ditetapkan Kementerian ESDM. Sebetulnya penetapan harga dilakukan pemerintah” kata Nicke. Pada rapat virtual dengan Komisi VII DPR berikut (21/4/2020), Nicke mengatakan harga BBM Pertamina juga tergantung keharusan menyerap crude domestik, harga ICP (pemerintah) lebih mahal, kurs U$ yang naik dan kepentingan survival bisnis. Karena itu, Nicke mengatakan harga BBM belum dapat diturunkan. ICP mahal terjadi akibat anomali nilai Alpha. Jika merujuk Permen ESDM No.34/2018 tanggal 7 Juni 2018, harga jual BBM umum ditetapkan badan usaha dan dilaporkan kepada Dirjen Migas. Karena itu, apapun alasannya, jika merujuk Perpres No.191/2014, Perpres No.43/2018 dan formula harga sesuai Kepmen ESDM N.62 K/10/2020 tertanggal 27 Febuari 2020, maka mulai 1 April 2020, harga BBM RON 92 (pertamax) misalnya, harus turun dari Rp. 9.000 menjadi Rp. 5.500-60.00 per liter. Jika harga BBM tidak turun setelah tiga minggu dari jadwal, maka pemerintah telah membiarkan terjadinya pelanggaran oleh Pertamina. Pembiaran ini memang sejalan dengan pernyataan Nicke (16/4/2020) bahwa meskipun hak penetapan harga BBM berada di tangan Pertamina, implementasinya tetap teragantung persetujuan pemerintah. Karena itu, pemerintahlah yang menjadi aktor penyebab tidak kunjung turunnya harga jual BBM kepada masyarakat. Ternyata selisih harga BBM ribuan rupiah per liter, sekitar Rp 3.000 untuk pertamax dan jenis BBM lain, bukan saja dinikmati Pertamina. Juga dinikmati oleh badan usaha pemilik SPBU swasta/asing. Korbannya adalah rakyat Indonesia para konsumen BBM. Karena itu, rakyat pantas menggugat pemerintah atas pelanggaran ini dan meminta ganti rugi atas harga berlebihan yang sudah dibayarkan. Blunder marketing BBM Ojol. Karena tidak dipahami publik secara utuh. Pada saat tengah krisis mungkin bisa dimaklumi. Begitu pula, jika ada personal yang tidak qualified menumpangi promo demi pengakuan atau unjuk prestasi, bisa saja diperbaiki jika ada keberanian untuk segera mengganti. Namun, kebijakan yang melanggar konstitusi, peraturan dan prinsip GCG, sehingga akibat pendemi korona justru dapat membuat Pertamina gagal bayar dan mengancam survival usaha, maka rakyat pantas menggugat dan meminta pertanggungjawaban Jokowi. Akhirnya kita menuntut pemerintah untuk menjamin Pertamina tidak sampai gagal bayar. Pemerintah juga dituntut segera mengklarifikasi anomali nilai Alpha ICP yang membuat harga crude lebih tinggi. Segera turunkan harga BBM sebanding dengan turunnya harga minyak dunia, dan memberi ganti rugi atas selisih harga yang sudah dikeluarkan sejak 1 April 2020. Terkait harga BBM ini, rakyat bisa saja melakukan gugatan class action. Selain itu, praktek sapi perah terhadap BUMN bagi kepentingan sempit harus dihentikan, karena seperti kata Menteri BUMN Erick Thohir (26/2/2020), BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Lu”. Penulis adalah Managing Director Indonesian Resources Studies (IRESS)

Habis Diskon Tarif Listrik Naik?

Pemberian diskon harus merata dan adil. Sebab, tidak sedikit pelanggan 900VA yang secara ekonomi mampu berlangganan 1300VA dan bahkan 2200VA. Misalnya, mempunyai kontrakan rumah puluhan pintu. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - KEPUTUSAN pemerintah yang akan meringankan tagihan listrik untuk pelanggan 450VA dan 909VA harus diapresiasi, meskipun belum adil. Diapresiasi karena keputusan itu jelas membantu ekonomi rakyat yang semakin sulit akibat virus China atau virus corona (Covid-19). Ekonom senior Rizal Ramli yang selama ini dianggap "musuh" pemerintah terutama pendukung Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) bahkan memuji langkah pemerintah tersebut. Ia menyebutkan keputusan pemerintah itu diharapakan dapat membantu golongan masyarakat menengah ke bawah. Sebagaimana diumumkan Presiden Joko Widodo, 24 juta pelanggan listrik 450VA akan gratis alias tidak bayar selama tiga bulan ke depan. Sedangkan 7 juta pelanggan 900VA akan mendapatkan diskon 50 persen. RR cukup fair dalam menyikapi keputusan pemerintah tersebut, meski tetap dibumbui kritiknya dari sisi defisit APBN. Bagi saya, kritik RR itu wajar saja, mengingat dia adalah ekonom senior yang setiap waktu berkutat dengan angka-angka yang berkaitan dengan ekonomi, pembangunan dan sosial. Meski memuji langkah pemerintah dalam hal tarif listrik golongan 450VA dan 900VA, RR kecewa karena pemerintah lebih memilih defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi 5,07 persen ketimbang mengalihkan dana infrastruktur untuk menanggulangi dampak corona. Sebab, dengan defisif dari 3% menjadi 5,07 persen itu sama saja artinya akan menambah utang dan 'cetak uang' dengan bungkus recovery bond. "Nilai rupiah akan semakin jatuh," kata RR. Jika RR kecewa seperti itu, saya juga dan mungkin Anda kecewa karen pelanggan 1300VA dan 2200VA sama sekali tidak tersentuh dalam keputusan pemerintah itu. Saya adalah salah satu dari pelanggan 2200VA. Mestinya kebijakan pemerintah harus adil dengan memberikan diskon yang merata. Menurut yang saya baca, pelanggan 1300 VA dan 2200 VA dikategorikan rumah tangga kecil. Mungkin pelanggan golongan ini rata-rata masuk ekonomi menengah. Tidak menutup kemungkinan secara ekonomi sekarang dan ke depan, atau mungkin juga sebelumnya, sudah masuk kategori golongan masyarakat bawah. Mengapa golongan pelanggan 1300VA dan 2200VA banyak yang masuk ke golongan ekonomi bawah dan belum menurunkannya ke 900VA? Tentu banyak faktor. Pertama, banyak pelanggan 1300VA dan 2200VA yang pensiun atau pun kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kedua, banyak kegiatan usaha rumah tangga yang gulung tikar. Ketiga, kegiatan ekonomi dalam lima tahun terakhir, terutama dua tahun terakhir (2018 dan 2019) turun drastis (pertumbuhan ekonomi nasional pun stagnan pada kisaran lima persen). Mengapa tidak menurunkan daya? Mungkin dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan hanya satu persen baru banyak yang akan menurunkannya. Bahkan, jika skenario terburuk pertumbuhan ekononi menjadi 0% (nol persen), mudah-mudahan tidak sampai minus, akan banyak pelanggan 1300VA dan 2200VA yang selain menurunkan dayanya, juga mungkin menunggak dan malah listriknya dicabut oleh PLN. Mestinya, dalam keputusan pemerintah itu merata. Merata dalam arti paling tidak sampai golongan 2200VA mendapatkan diskon atau potongan tarif. Jika golongan 900VA mendapatkan diskon 50 persen, alangkah adilnya golongan 1300VA mendapatkan diskon 40 persen dan golongan 2200VA mendapatkan diskon 30 persen. Juga golongan di atas 2200VA yang masuk kategori rumah tangga supaya mendapatkan diskon yang pantas dan wajar, sehingga ada unsur pemerataan yang adil. Bisa juga mendapatkan diskon 50 persen walau hanya dua0 bulan atau bahkan satu bulan. Mengapa saya minta seperti itu? Mohon maaf kepada pelanggan 900VA yang jujur ya. Banyak juga pelanggan golongan ini yang tidak jujur. Punya penghasilan melebihi pelanggan golongan 1300VA dan bahkan 2200VA, tapi tidak mau menaikkannya. Tarif Listrik Naik? Bahkan, ada yang memiliki kontrakan puluhan pintu, tapi di rumahnya tetap 900VA. Tidak hanya itu, ada juga yang tadinya memiliki rumah satu atau dua saat membeli dari developer. Akan tetapi, berusaha tetap 900VA dengan cara membuat dua meteran. Selain meminta pemberian diskon yang adil, saya juga meminta ketegasan dari pemerintah agar tidak menaikkan tarif listrik. Sebab, selama ini, yang menjadi inceran kenaikan tarif listrik adalah golongan 1300VA ke atas. Saya khawatir, kebijakan memberikan gratis bagi pelanggan 450VA dan diskon 50 persen bagi pelanggan 900VA akan disusul dengan kenaikan tarif di atas 1300VA setelah empat bulan, lima bulan, enam bulan dan seterusnya sejak masa gratis dan diskon berakhir. Saya sangat khawatir kenaikan itu terjadi mengingat keuangan PLN yang terus merugi dan banyàk utang. Utangnya akan semakin berat ketika rupiah terus terpuruk, karena banyak pinjaman perusahaan plat merah itu dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Tentu kita berharap masalah yang dihadapi PLN tidak dibebankan kepada pelanggannya. Akan tetapi, yang dihadapinya benar-benar berat. Di satu sisi tidak bisa menaikkan tarif listrik, sementara di sisi lain kebutuhan pendanaan terus meningkat. Sedangkan pemerintah akan menghadapi kesulitan fiskal jika harus menambah subsidi. Kecuali, menambah utang lagi...utang lagi dan utang lagi. ** Penulis adalah Wartawan Senior.

RUU Omnibuslaw Minerba, Balas Jasa Kepada Bandar Tambang Batubara

By Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Membaca draf UU Omnibuslaws terkait dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba), disana tampak bahwa Omnibuslaws ini adalah UU untuk menciptakan pekerjaan bagi para bandar batubara. Mereka itu yang ditenggarai menjadi penyandang dana utama dalam Pilpres 2019 lalu. Draf Omnibuslaws UU Minerba memperlihatkan ambisi para taipan tambang, terutama tambang batubara. Mereka berambisi untuk mengeruk keuntungan dengan sangat efektif dan efisien. Untuk itu, mereka sangat berharap berbagai kemudahan yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat dalam hal ini oleh Presiden, melalui : Pertama, menghapus semua kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam UU Minerba. Yang paling utama adalah bagian perijinan. Pengusaha pertambangan berharap Pemda menyerahkan semua hak dan keweangan terkait pertambangan kepada pemerintah pusat yakni presiden. Rencana ini termuat dalam sebagian besar pasal Omnibuslaws. Bahkan menjadi maksud dan tujuan utama penghapusan banyak pasal dalam UU minerba. Pintu masuknya adalah Pasal 4 ayat (2) RUU Omnibuslaw, yaitu “penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan Pemerintah Pusat”. Pada ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penguasaan mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, penyediakan pintu ijin pertambangan khsus bagi pihak-pihak yang diangap pemerintah harus diberi kehususan. Misalnya, “pertambang milik oligarki penguasa sendiri, teman-temannya penguasa sendiri, atau asing yang biasanya selalu dihkususkan oleh penguasa”. Ketentuan mengenai masalah ini termuat dalam pasal 36 ayat (1) “kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan pertambangan khusus terdiri atas dua tahap kegiatan, yaitu eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Berikutnya adalah operasi produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta reklamasi dan pasca tambang. Sedangkan ayat (2)​RUU ini menyatakan “pelaku usaha yang memenuhi perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara”. Pada ayat (3) berbunyi “pelayanan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah. Ketiga, melepaskan kewajiban perusahaan pertambangan batubara dari kegiatan pengolahan di dalam negeri. Selama ini kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dianggap telah menghambat ijin, ekspor, dan lain sebagainya. Maksud ini termuat dalam RUU ini pasal 102 ayat (1), yaitu “pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau Batubara melalui a). pengolahan dan Pemurnian Mineral logam, b). pengolahan mineral bukan logam, c). pengolahan batuan, dan/atau d). pengembangan dan pemanfatan batubara”. Sementara pada (2) menyatakan “pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri”. Keempat, pemberian hak lebih luas kepada pemegang ijin pertambangan khsus untuk bermitra dengan yang tidak khusus. Jadi, dengan demikian ijin bersifat kusus, namun pemanfaatan bahan tambangnya bersifat umum atau seperti pertambangan lainnya. Maksud ini termuat dalam pasal 104 yakni (1) RUU ini adalah Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan, dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengolahan dan/atau pemurnian dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengolahan dan/atau pemurnian. Pada ayat (2) menyatakan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengembangan pemanfaatan batubara dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengembangan dan pemanfaatan batubara. Kelima, pemberian fasilitas tambahan kepada perusahaan tambang batubara berupa pembebasan kewajiban royalty menjadi nol persen (0%). Padahal selama ini royalty pertambangan batubara hanyalah secuil dibandingkan dengan nilai batubara yang dikeruk dari bumi Indonesia. Maksud ini tertuang dalam Pasal 128 dan 129. Yang disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut (1) pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan b/JHC batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128. Sementara pada ayat (2) ​pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalty sebesar 0%. Keenam, memberikan hak perpanjangan otomatis kepada perusahaan yang berakhir masa kontraknya, tanpa melalui lelang. Ketentuan ini dipastikan berkaitan dengan tambang batubara raksasa yang akan berakhir masa kontraknya sampai dengan tahun dalam tahun 2020-2021. Maksud ini termuat didalam Pasal 169 dan Pasal 170. Juga disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A pada ayat 91) yang berbunyi “Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara: a). yang belum memperoleh perpanjangan, dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara”. Sedangkan pada huruf berikutnya b). menyatakan “yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara”. Jadi luar biasa hasil pemilihan presiden langsung di Indonesia kakli ini. Telah mengasilkan politik balas jasa dari para penyelenggara negara kepada para bandar yang menjadikan mereka sebagai pejabat negara, dan menjadi orang hebat. Ini sungguh pengabdian para pejabat negara ini kepada para taipan yang mengkhianati amanat Pancasila dan UUD 1945. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (EPI)

Produksi Blok Rokan Turun, SKK Migas Bertanggungjawab?

By Marwan Batubara Jakarta FNN - Pengelolaan Blok Rokan akan beralih ke Pertamina pada Agustus 2021. Sebelumnya dikuasai oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) lebih dari setengah abad. Blok Rokan adalah penghasil minyak terbesar Indonesia. Puncak produksi sekitar satu juta barel per hari (bph) pada 1980-an. Saat ini, produksi Blok Rokan hanya sekitar 160.000-an bph. Blok Rokan hanya berpotensi menghasilkan minyak sekitar 140.000-an bph pada 2021. Penurunan produksi tersebut sebagai akibat kelalaian dan pelanggaran peraturan oleh CPI dan pemerintah, terutama SKK Migas. Dalam kondisi produksi migas nasional yang terus menurun pada 6-7 tahun terakhir, Indonesia harus mengimpor minyak (BBM) lebih banyak dari yang mampu diproduksi. Saat harga minyak dunia naik, meningkatnya impor minyak berdampak pada naiknya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (current account deficit). Itu sebabnya Presiden Jokowi sangat concern dan berulang-ulang mengingatkan isu defisit kepada jajaran kabinetnya dalam dua tahun terakhir. Saat ini masalah defisit sedikit tertolong karena turunnya harga minyak dunia akibat membanjirnya supply dan melemahnya demand. Akibat lain karena merebaknya wabah Covid-19. Namun jika penurunan kuota produksi minyak OPEC dan Rusia akhirnya disepkati (Jumat 6/3/2020 kesepakatan gagal tercapai), maka harga minyak dapat kembali pulih. Bagi Indonesia, pulihnya harga minya akan menjadi runyam. Sebagai akibat terus turunnya produksi minyak, termasuk dari Blok Rokan. Apalagi jika nilai tukar dollar terus menguat terhadap rupiah. Khusus untuk Blok Rokan, siapa pihak yang pantas dituntut untuk bertanggungjawab? Sebaiknya, mari kita telusuri dan teliti bersama. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR (20/1/2020), Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak menerangkan bahwa CPI sudah tidak melakukan pengeboran lagi di Blok Rokan sejak 2019. Karena menilai investasinya tidak lagi ekonomis. Untuk mempertahankan tingkat produksi, Albert mengatakan ada tiga opsi yang dapat diambil. Opsi Pertama, CPI yang mendanai dan membor. Opsi Kedua, CPI yang membor dan Pertamina yang mendanai. Opsi Ketiga, Pertamina yang membor dan mendanai. Namun opsi pertama sudah tidak berlaku lagi. CPI telah menghentikan investasi, karena menganggap tidak lagi ekonomis. Saat RDP tersebut, Albert mengaku telah melakukan proses rencana alih kelola Blok Rokan di bawah koordinasi SKK Migas. Untuk itu, telah dibentuk tim koordinasi. Diakui bahwa proses tersebut sudah memiliki jadwal yang disepakati, dan berjalan dengan baik. Namun ternyata hingga saat ini, ketiga opsi semuanya belum ada yang terlaksana. Berkaitan dengan itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan (26/1/2020), pemerintah terus mendorong proses transisi di Blok Rokan. Harapannya, dapat berjalan mulus supaya Pertamina segera berinvestasi, sehingga penurunan laju produksi di Blok Rokan dapat ditekan. Guna mengantisipasi dan menjamin tingkat produksi terjaga, pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No.26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 2 Permen tersebut menyatakan: Pertama, kontraktor wajib menjaga kewajaran tingkat produksi migas sampai berakhirnya masa Kontrak Kerja Sama (KKS). Kedua, dalam rangka menjaga tingkat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kontraktor wajib melakukan investasi pada wilayah kerjanya. Selain itu, Permen ESDM No.26/2017 lebih telah direvisi dengan terbitnya Permen ESDM No.24/2018 yang menjamin pengembalian investasi CPI segera dibayar Pertamina sebelum KKS berkahir. Pasal 8 Permen ESDM No.24/2018 antara lain menyatakan bahwa Kontraktor baru (maksudnya Pertamina) wajib melakukan penyelesaian atas nilai pengembalian biaya investasi yang dikeluarkan CPI paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum penandatanganan KKS oleh Pertamina. Hingga saat ini kesepakatan antara CPI dan Pertamina belum juga tercapai. Akibatnya, produksi minyak berpotensi terus turun. Dalam hal ini, kita pantas mempertanyakan atau menggugat CPI dan SKK Migas bertanggungjawab atas potensi kegagalan lifting. Terkait CPI, pertama dinyatakan pada RDP Komisi VII DPR bahwa CPI siap bekerjasama dengan SKK Migas dan Pertamina untuk menciptakan alih kelola yang lancar. Namun, pada prakteknya, CPI tampaknya justru bersikap tidak kooperatif. Kedua, CPI dapat dianggap membuat pernyataan yang tidak benar di hadapan DPR. CPI menyebutkan bahwa investasi di Rokan sudah tidak ekonomis, sehingga CPI tidak melakukan pengeboran. Namun saat yang sama CPI menghalangi Pertamina menjalankan opsi ketiga, di mana Pertamina yang melakukan pemboran sekaligus berinvestasi, dengan berbagai alasan yang lebih bersifat administratif. Ketiga, CPI telah sengaja mengabaikan kewajiban, serta melecehkan peraturan dan kedaulatan negara dengan melanggar pasal 2 Permen ESDM No.26/2017. Peraturan tersebut mewajibkan Kontraktor KKS melakukan investasi guna menjaga tingkat produksi, karena pada prinsipnya seluruh investasi yang dilakukan akan segera dibayarkan kembali oleh Pertamina sebelum KKS berakhir, sebagaiman diatur dalam pasal 8 Permen ESDM No.24/2018. Keempat, terkait dengan butir ketiga, pada prakteknya CPI mengakui telah menghentikan pemboran sejak 2019. Dalam hal ini, rencana tersebut mestinya telah termuat dalam Work Program & Budget (WP & B) yang disepakati dengan SKK Migas pada akhir 2018 atau awal 2019. Dengan kondisi seperti ini, tampak bahwa sebelum negosiasi alih-kelola berlangsung. CPI telah menunujukkan iktikad tidak baik tanpa peduli kepentingan nasional untuk mempertahankan produksi melalui pengelolaan Blok Rokan yang optimal. Terkait dengan SKK Migas, kita perlu mengungkap dan menggugat berbagai kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan. SKK Migas dapat dicurigai bernuansa moral hazard dalam pengelolaan Blok Rokan. Pertama, SKK Migas telah lalai menjalankan tugas dan fungsi sesuai Permen ESDM No.17/2017, yang antara lain memberikan persetujuan rencana WP&B, serta memonitor dan melaporkan pelaksanaan KKS kepada Dewan Pengawas, agar lifting tetap terjaga. Kedua, terkait dengan butir pertama, sesuai Perpres No.9/2013, Menteri ESDM sebagai Kepala Dewan Pengawas SKK Migas juga dituntut ikut bertanggungjawab atas penurunan lifting tersebut. Karena membiarkan sikap tidak kooperatif CPI dan kelalaian SKK Migas mengendalikan pelaksanaan KKS dan WP & B Blok Rokan. Menteri ESDM Arifin Tasrif (dan yang sebelumnya Ignatius Jonan) tidak cukup hanya bersikap “mendorong” penyelesaian proses alih-kelola, tanpa menggunakan kekuasaan untuk memaksa dijalankannya peraturan. Ketiga, sebagai pengawas pelaksanaan WP & B berdasarkan SK Kepala SKK Migas No.0154/SKKO/2015 tentang Pedoman Tata Kerja WP&B, SKK Migas telah lalai atau sengaja membiarkan CPI tidak melakukan pemboran pada 2019, sehingga lifting terancam. Ada dua kemungkinan sebagai sumber masalah. Pertama, SKK Migas membiarkan CPI yang sejak semula tidak merencanakan pemboran pada 2019, tanpa memaksa untuk melakukan revisi WP & B sesuai ketentuan PTK No.0154/2015. Kedua, SKK Migas membiarkan saja CPI tidak merealisasikan pemboran meskipun pada awalnya CPI telah membuat rencana dalam WP & B. Keempat, berangkat dari pengalaman alih kelola Blok WMO dan Mahakam, tanpa adanya peraturan pendukung dan peran aktif SKK/BP Migas, maka lifting migas telah menurun drastis saat pengelolaan berpindah tangan. Untuk kasus Blok Rokan, peraturan pendukung telah tersedia, yakni Permen ESDM No.26/2017 dan No.24/2018. Namun, karena ketidakpedulian SKK Migas, yang seharusnya berperan aktif dan antisipatif, malah terkesan enggan melakukan koreksi. Dengan demikian, penurunan produksi seperti kasus WMO dan Mahakam akan kembali terulang. Uraian di atas menunjukkan mengapa dan siapa yang telah bersikap abai atau melanggar aturan? Dampaknya, tingkat produksi Blok Rokan akhirnya menurun lebih cepat dari tingkat penurunan alaminya (karena telah berumur tua). CPI sebagai Kontraktor jelas telah menyatakan sikap tidak berminat berinvestasi karena hal itu sudah tidak ekonomis. Namun CPI tidak pantas berbuat sesuka hati, karena ada peraturan yang membatasi. Masalahnya, SKK Migas yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian. Setelah itu menjamin dilaksanakannya seluruh peraturan oleh Kontraktor KKS. Namun pada prakteknya pun ikut-ikutan tidak peduli atau membiarkan pelanggaran terjadi. IRESS ikut terlibat aktif bersama Serikat Pekerja dan berbagai elemen masayarakat guna mengadvokasi agar Blok WMO dan Blok Mahakam dikelola BUMN. Saat itu barisan rakyat justru berhadapan dengan Kementerian ESDM dan/atau BP/SKK Migas yang memihak asing. Untuk Blok Rokan, memang keputusan pengelolaan oleh Pertamina telah ditetapkan pada Juli 2018. Meskipun untuk hak yang dijamin konstitusi tersebut, Pertamina harus membayar sekitar Rp 11 triliun. Namun, untuk proses alih kelola yang smooth tampak SKK belum bekerja optimal dan terkesan “lebih dekat” dengan CPI. Semoga saja kesan IRESS di atas salah. Walau indikasi kedekatan tersebut cukup terasa. Sekarang, terserah Presiden Jokowi. Apakah akan bersikap konsisten dengan kebijakan dan program untuk menekan defisit melalui peningkatan lifting migas, terutama menahan laju penurunan lifting Blok Rokan. Bisa juga sabliknya, membiarkan SKK Migas dan CPI mengulur-ulur waktu, entah untuk kepentingan apa? Namun rakyat tidak butuh retorika. Apalagi sandiwara yang melecehkan akal sehat dan dapat dicurigai bernuansa moral hazard. Penulis adalah Managing Director IRESS

Pertamina di Blok Rokan, "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula"

Jadi, walaupun Pertamina mengambil alih ladang migas Blok Reokan dengan harga Rp 10,5 triliun. Jumlah tersebut hanya untuk membeli dari doang. Belom termasuk operasional nantinya. Pertamina bakal merogok kantong lagi. Paling kurang cari uatang baru lagi. Sebab masih butuh uang lagi untuk membiayai operasinal ladang migas Blok Rokan setelah tahun 2021. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN- Sebetulnya Pertamina tidak mempunyai kemampuan keuangan untuk membeli ladang Migas Blok Rokan kepada Pemerintah pada akhir tahun 2018 lalu. Posisi keuangan Pertamina sedang payah. Kondisi ini sebagai akibat begitu banyak beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Pertamina. Perusahaan BUMN terlalu banyak menjalankan kebijakan-kebijakan populis pemerintah menuju Pilpres 2019 lalu. Pertamina terpaksa harus melipatgandakan utang baru untuk menjaga keuangan perusahaan. Caranya, Pertamina menerbitkan global bond senilai U$ 750 juta atau setara dengan Rp 10,5 triliun. Hasil yang didapat dari global bond tersebut untuk dapat membayar lading Blok Migas Rokan kepada pemerintah melalui pembayaran signature bonus. Nilai pembelian lading minyak Blok Rokan yang terbilang sangat sangat besar. Lelang lading Migas Blok Rokan dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Daya Mineral (ESDM). Hasilnya, Pertamina yang dimenangkan. Pertamina mengalahkan peserta pesaing lainnya termasuk Chevron. Meskipun sudah membayar dengan nilai sangat pantastis dan besar, ternyata Pertamina tidak bisa langsung dapat memasuki Blok Rokan. Pertamina juga tidak bisa melakukan aktvitas pengeboran minyak dan gas di Blok Rokan. Pertamina baru dapat masuk secara penuh ke ladang Migas Blok Rokan, dan melakukan kegiatan setelah kontrak Blok Rokan berakhir tahun 2021 nanti. Sementara proses secara bertahap menuju ke tahun akhir 2021 atau tinggal 21 bulan lebih lagi itu, tidak bisa berlangung dalam tahap yang normal. Padahal Pertamina berharap bisa masuk ke Blok Rokan dari sekarang. Namun tampaknya, Satuan Khusus Kerja (SKK) Migas gagal memfasilitasi proses peralihan secara bertahap ladang Migas Blok Rokan, dari tangan Chevron kepada Pertamina. Kondisi ini sangatlah membahyakan bagi Pertamina. Karena apabila Pertamina tidak masuk secara bertahap ke dalam pengeloaan ladang Migas Blok Rokan dari sekarang, maka dapat dipastikan produksi migas tahun 2021 akan berada dalam kondisi yang sangat bahaya. Sebagaimana diketahui bahwa ladang Migas Blok Rokan di Provinsi Riau, merupakan blok migas dengan produksi migas terbesar di Indonesia. Ladang migas tersebut telah yang dikelola oleh perusahaan AS Chevron Oil selama kurang lebih 100 tahun. Mengapa mau dilepas oleh Chevron? Karena produksi di ladang Migas Blok Rokan terus menerus berada dalam kondisi penurunan. Tanpa adanya pengeboran dan sumur-sumur migas baru, maka produksi Blok Rokan akan menurun dratis. Sementara Chevron tidak mungkin diharapkan melakukan investasi baru, karena akan segera meninggalkan lapangan tersebut. Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Pertamina harus berhadapan dengan harga minyak mentah di pasaran dunia yang semakin merosot. Tidak ada harapan harga minyak akan pulih dalam dua atau tiga tahun mendatang. Jadi, walaupun Pertamina mengambil alih ladang migas Blok Rokan dengan harga Rp 10,5 triliun. Jumlah tersebut hanya untuk membeli dari doang dari pemerintah. Belum termasuk biaya operasional nantinya. Pertamina bakal merogok kantong lagi. Paling kurang Pertamina perlu cari utang baru lagi. Sebab masih butuh uang lagi untuk membiayai operasinal ladang migas Blok Rokan setelah tahun 2021 nanti. Uang yang dikeluarkan Pertamina untuk urusan ladang migas Blok Rokan tentu tidak kecil. Namun uang yang didapat kelak darin Blok Rokan, tidak cukup untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan Pertamina. Bahasa kampongnya “Untung Nama Bilang Belanja” atau "Gali Lobang Untuk Tutup Goa". Selain produksi Blok Rokan ini akan menurun secara alamiah, harga jual minyak mentah yang dihasilkan tidak akan menutupi biaya-biaya produksi nanti. Apalagi untuk menutupi utang Pertamina yang sudah terlanjur besar dan menggunung sekarang. Berdasarkan laporan Pertamina, utang dalam bentuk global bond Pertamina sekarang senilai U$ 12,5 milliar atau dengan Rp 175 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk utang kepada bank, baik itu bank dalam maupun luar negeri. Jadi nasib usaha hulu migas Pertamina dan blok-blok migas dalam negeri yang baru dibeli Pertamina tampaknya akan bernasib suram. Semoga ada jalan keluarnya. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Amburadulnya Sektor Migas & BUMN Migas

Sementara itu, pembangunan kilang-kilang migas yang menjadi prioritas utama pemerintah dalam sektor ini hanya bisa melangkah di tempat. Tidak mempelihatkan kemajuan yang berarti di lapangan. Bahkan presiden menyebut bahwa pembangunan kilang tidak mengalami perkembangan, meskipun hanya persen saja. Itu berarti Pertamina hanya bisa bertahan dengan kilang-kilang lama yang sudah sangat tua. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN - Sektor migas dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas memperlihatkan keadaan yang sangat amburadul. Kenyataan itu ditemukan dalam tahun tahun belakangan ini. Mulai dari lingkungan makro yang tidak kondusif, hingga kinerja perusahaan-perusahaan BUMN xsektor migas yang semakin buruk. Sektor migas adalah salah sektor kunci bagi pertumbuhan ekonomi. Penerimaan negara, terutama pajak dan stabilitas moneter mendapat kontribusi besar dari sektor ini. Sektor migas adalah kunci bagi defisit tidaknya neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan juga defisit APBN. Bayangkan saja. Dalam dua tahun terakhir, tidak ada investasi baru di sektor migas. Semua ini karena sektor migas menghadapi lingkungan regulasi yang sangat buruk. Misalnya, ketidakpastian hukum, dan merajalelanya praktek KKN serta mafia migas. Semua kondisi ini tidak hanya membuat investor ngeri menghadapi oligarki Indonesia. Namun investor juga mengakhiri kegiatan mereka di Indonesia. Mafiamigas disinyalir menguasai rantai ekonomi migas mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari produksi minyak, kilang hingga ijin pendirian SPBU dan SPBG. Sementara itu perusahaan BUMN migas hanya punya prestasi menumpuk utang. Utang yang ditumpuk melalui global bond oleh Pertamina misalnya, mencapai dua kali lipat dalam dua tahun terakhir sejak era teformasi 1998. Setengah utang dalam global bond yang bertumpuk di Pertamina tersebut, dibuat hanya dalam dua tahun, yakni tahun 2018 dan 2019. Kondisi paling mengkuatirkan adalah produksi minyak terus merosot. Lifting minyak juga merosot. Pendapatan perusahaan BUMN Pertamina juga menurun drastis. Perusahaan BUMN tidak dapat meningkatkan penanaman modal mereka di dalam usaha mereka di hulu migas. Kenyataan ini juga mengakibatkan blok-blok migas yang dikuasai Pertamina tidak dapat berproduksi secara optimal. Tentu saja ini memperparah impor BBM dan LPG. Juga memperparah defisit perdagangan, dan defisit transaksi. Pada akhirnya akan menguras dana subsidi dari APBN. Sementara itu, pembangunan kilang-kilang migas yang menjadi prioritas utama pemerintah dalam sektor ini hanya bisa melangkah di tempat. Tidak mempelihatkan kemajuan yang berarti di lapangan. Bahkan presiden menyebut bahwa pembangunan kilang tidak mengalami perkembangan, meskipun hanya persen saja. Itu berarti Pertamina hanya bisa bertahan dengan kilang-kilang lama. Pertamina yang ditugaskan membangun kilang tidak melakukan apa apa. Padahal Pertamina sudah membuat satu Direktur Mega Proyek untuk mengurusi pembangunan kilang, mencari mitra dalam dan luar negeri. Namun hasilnya tidak ada satu persenpun. Sengaja atau tidak sengaja, kondisi inilah yang melestarikan mafia impor BBM sebagaimana yang disinggung Presiden Jokowi. Pada bagian lain subsidi malah membengkak atau jebol. Kemampuan kontrol perusahaan Pertamina dalam pelaksanaan distribusi BBM bersubsidi tidak efektif dan efisien. Subsidi BBM masih merupakan kelompok subsidi paling besar dalam dalam APBN, yakni untuk LPG dan solar. Tidak terlihat adanya kemajuan dari manejemen Pertamina dalam mengatasi permasalahan subsidi LPG yang samakin membengkak tersebut. Faktanya juga semakin tidak masuk akal. Sebab nilai subsidi LPG sekarang semakin membengkak, dan sudah mencapai Rp 70 triliun lebih setahun. Pertamina juga telah menjalin kerjasama dengan Telkom. Kerjasama ini gembar-gembor tentang program digitalisasi. Suatu mega proyek untuk menghubungkan rantai produksi Pertamina dengan ICT, dunia digital hingga fintech. Namun program ini ternyata tidak membuahkan hasil apa apa. Kerjsama Pertamina dengan Telkom juga tidak mendukung adanya peningkatan produksi, produktifitas, efesisnsi. Tidak juga terjadi optimalisasi pada seluruh lini bisnis Pertamina, terutama bidang pemasaran. Tragisnya lagi, Pertamina harus membayar ke PT Telkom Rp 800 miliar setahun sebagai fee atas fasilitas digitalisasi yang konon dibangun bersama oleh Telkom di Pertamina. Nilai yang dibayar Pertamina ke Telkom tersebut, setara dengan dua kali gaji seluruh pekerja Pertamina. Jika uang itu dibagikan kepada 14.000 karyawan Pertamina, maka masing-masing karyawan akan mendapatkan tambahan sedikitnya Rp 50-60 juta setahun. Ternyata gawat juga kaadaan yang terjadi di Pertamina ya? Keadaan ini harus bisa diakhir oleh Presiden Jokowi. Mudah-mudahan saja berhasil. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

PLN Group Selektif-lah Kualitas Supply Batu Bara

Hal itu, mengisyaratkan bahwa kualitas batu bara yang dipasok oleh PLN Batubara akan sangat selektif, agar terhindar dari berbagai gangguan, bila pemasok batubara menggunakan cara manipulasi standart bahan yang tidak sesuai, misalnya, nilai kalor batubara ˂ 4.220 kCal/kg. Oleh Muhammad Hasan Jakarta, FNN – PT PLN (Persero) meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 tahap I dengan kapasitas 1.000 megawatt, sementara tahap II, juga berkapasitas 1.000 Megawatt yang ditargetkan pada bulan Februari hingga April 2020 baru resmi beroperasi. Publik tentu menghitung, dengan jumlah yang akan di produksikan, di internal dermaga pembangkit listrik jenis batu bara terbesar Indonesia itu, bila dua-duanya dioperasikan tahun depan. Publik juga telah mengetahui, bahwa, pembangkit listrik jenis batu bara yang di pasok oleh PLN Grup jauh sebelum PLTU Jawa 7 itu, ialah sebesar 51%. Sisi lain, pengusaha batu bara merasa diuntungkan dengan target tersebut. Tahun depan, PLN Grup akan meningkatkan jumlah kebutuhan pemasok dari pembangkit listrik milik PLN Grup, yaitu sebesar 60%. besarnya porsi itu sudah pasti membawa dampak positif bagi pengusaha batu bara, juga secara khusus dampak postif itu terjadi pada PLN sebagai pemain tunggal persediaan batu bara. Berkaca pada, penetapan target Domestic Market Obligation (DMO) tercatat tahun 2019 sebesar 128 juta ton, sementara 115 juta ton di tahun 2018. Diwacanakan juga 2020 mendatang target DMO dinaikan ke level 155 juta ton. Selain taget DMO. Sikap pemerintah dalam menetapkan harga batu bara sesuai yang dikutip ialah sebesar U$D 70 juta per ton pada pengusaha batu bara dan PLN Batubara sebagai perusahaan pemasok bahan utama ke unit pembangkit yang dimiliki oleh PLN tentu merasa diuntungkan dengan nilai jual itu. PT PLN Batubara dikabarkan bahwa pencapaian pasokan batu bara hingga akhir 2018 mencapai 22,1 juta metric ton. Jumlah yang fantastis alias tidak sedikit, bila dikalkulasikan dalam Rupiah bisa mencapai laba senilai 284,4 miliyar. Selain itu, PLN Grup sebagai pemain tunggal di sektor persediaan batubara, dan berhak mengatur distribusi pasokan batu bara ke unit Pembangkit PLN sesuai kebutuhan masing-masing unit. Fluktuatif dan Kualitas Supply Besarnya jumlah kebutuhan produksi batu bara dan"fluctuating supply", yang sering terjadi, jelas menimbulkan kerawanan pada penambang, maka quality supply batu bara harus punya standart khusus yang siap digunakannya. Perlu dipahami, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7, 2.000 Megawatt itu, menggunakan teknologi Boiler Ultra Super Critical (USC), dengan bahan bakar batu bara Low Rank yang memiliki nilai kalor 4000 hingga 4600 kCal/kg. Hal itu, mengisyaratkan bahwa kualitas batu bara yang dipasok oleh PLN Batubara akan sangat selektif, agar terhindar dari berbagai gangguan, bila pemasok batubara menggunakan cara manipulasi standart bahan yang tidak sesuai, misalnya, nilai kalor batubara ˂ 4.220 kCal/kg. Belum juga, kalau misalkan divisi quality control lalai bahkan tergiur fee yang besar kemudian kurang memaksimalkan kepastian kualitas suplai batu bara ke unit pembangkit, agar tetap pada posisi steril. Itulah tanda bahaya yang bisa saja terjadi. Bila, nonfluctuating supply bisa diterapkan dengan standart kebutuhan terseleksi secara baik, mesin pembangit cenderung lebih tahan lama (awet) dan mengurangi cost perawatan pada tiap-tiap unit mesin pembangkit itu sendiri. Menghindari penurunan efisiensi penukar kalor, pada boiler, slagging di daerah radiasi akan baik-baik saja, dan fouling di daerah konveksi pun sama baiknya. Dengan begitu, secara pasti mengurangi biaya yang terjadi slagging dan fouling pada boiler. Itulah sikap selektif dan tidak fluktuatif yang menguntungkan pada pengusaha batu bara sekaligus pembangkit listrik.