ENERGI

Maksimalkan Gas Domestik, Dirjen Migas Resmikan SPBG Kaligawe

Jakarta, FNN - Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Kaligawe, Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat, sebagai upaya meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk domestik sekaligus mendorong transisi energi. SPBG Kaligawe berkapasitas 1 MMSCFD atau setara dengan 30.000 liter setara premium (lsp) per hari ini merupakan bagian program diversifikasi penggunaan BBM ke gas sektor transportasi. "Produksi gas bumi nasional cukup besar, sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk penggunaan dalam negeri dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia," ujar Tutuka saat peresmian SPBG tersebut seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Jumat. Turut mendampingi Dirjen Migas antara lain Sekda Kota Semarang Iswar Aminuddin, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto (secara online), Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Noor Arifin Muhammad, Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha (SPPU) PT Pertamina (Persero) Iman Rachman, dan Direktur Utama PT PGN Tbk M Haryo Yunianto. SPBG ini merupakan SPBG online yang dibangun dengan menggunakan dana APBN Ditjen Migas Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2015, yang kemudian diserahkan ke Pertamina melalui mekanisme penyertaan modal pemerintah. Stasiun Kaligawe telah terhubung dengan sumber gas dari pipa gas transmisi ruas Gresik-Semarang, sehingga siap untuk dioperasikan Pertamina melalui salah satu anak usahanya, subholding gas PT PGN Tbk. Pengoperasian SPBG Kaligawe ini diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan kendaraan berbahan bakar gas yang ramah lingkungan, serta dapat melayani kebutuhan bahan bakar gas untuk kendaraan khususnya di wilayah Kota Semarang, termasuk bus rapid transit (BRT) Trans-Semarang. "Dengan konversi BBM ke BBG akan didapatkan emisi kendaraan lebih rendah sehingga menjadi lebih ramah lingkungan. Beroperasinya SPBG Kaligawe dapat mendorong masyarakat Semarang menggunakan BBG yang ramah lingkungan dan ekonomis. Untuk itu, semoga Pertamina Grup dapat merealisasikan rencana untuk memperluas pemanfaatan SPBG Kaligawe secara berkelanjutan," ujar Tutuka. Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Pembangunan SPBG Noor Arifin Muhammad menambahkan pemerintah dengan dana APBN, sejak 2011 hingga 2016 telah membangun 46 unit SPBG. Ke-46 SPBG itu berlokasi di Kota Palembang, Prabumulih, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, Depok, Cilegon, Merak, Serang, Kabupaten Subang, Purwakarta, Cirebon, Indramayu, Semarang, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, dan Balikpapan. Sampai saat ini SPBG yang telah beroperasi sebanyak 17 unit. Khusus di Kota Semarang, terdapat tiga unit SPBG yang telah dibangun yaitu Kaligawe yang merupakan SPBG online yang terkoneksi dengan pipa distribusi subholding gas dan untuk operasional akan menggunakan gas dari Blok Kangean dan Blok Muria. SPBG lainnya adalah SPBG Mangkang yang merupakan stasiun induk (mother station) yang dibangun dengan APBN 2014, namun hingga saat ini belum terhubung dengan sumber gas, sehingga belum dapat dioperasikan. "Terakhir, SPBG Penggaron merupakan daughter station yang mendapat supply gas dari SPBG Mangkang, sehingga dapat dioperasikan segera setelah SPBG Mangkang telah beroperasi," ujarnya. Lebih lanjut, Arifin menyampaikan pada saat ini, SPBG Kaligawe akan menyuplai kebutuhan bahan bakar bus Trans-Semarang. Pemerintah Kota Semarang juga merencanakan akan menggunakan BBG untuk truk sampah apabila SPBG Semarang beroperasi. Penghematan penggunaan BBG ini bisa mencapai sekitar 13 persen dengan asumsi kebutuhan solar untuk satu unit bus sekitar 50 liter per hari dengan harga Rp5.150 per liter. Jika menggunakan BBG biaya per lsp seharga Rp4.500. Dalam kesempatan yang sama, Direktur SPPU Pertamina Iman Rachman menjelaskan rata-rata pemakaian gas untuk 200 unit bus Trans Semarang sekitar 8.400 lsp. Dari pemanfaatan SPBG Kaligawe yang berkapasitas 30.000 lsp, masih ada sekitar 21.600 lsp yang bisa dipakai untuk 500-600 kendaraan lain. "Diharapkan SPBG Kaligawe ini menjadi salah satu titik suplai penyediaan bahan bakar gas di Jawa Tengah dan pada akhirnya dapat mendorong bisnis gas secara keseluruhan di wilayah tersebut. Nantinya, fasilitas ini juga dapat dioptimalkan untuk layanan compressed natural gas (CNG) sektor komersial sebagai salah satu upaya substitusi elpiji secara bertahap," ujar Iman. Direktur Utama PGN Haryo Yunianto menambahkan, PGN sebagai subholding gas Pertamina akan melakukan penambahan titik suplai bahan bakar gas khususnya sektor transportasi di tempat lain, sehingga dapat semakin mempermudah akses masyarakat. "Lokasi SPBG Kaligawe sudah cukup strategis di dekat ruas jalan nasional. Maka, perlu dilakukan survei lebih mendetail terutama capturing potensi demand transportasi di luar bus Trans-Semarang, seperti angkutan kota yang melewati Jalan Raya Kaligawe," ujar Haryo. Dengan beroperasinya SPBG Kaligawe berarti menambah jumlah outlet penyediaan BBG pada program konversi di sektor transportasi yang dikelola Pertamina Group. Ke depannya, akan dilakukan peningkatan utilisasi pada SPBG Kaligawe agar dapat melayani pelanggan di sektor rumah tangga dan industri ritel di wilayah Semarang dan sekitarnya. SPBG Kaligawe sekaligus menjadi realisasi manfaat dari jumperline Tambak Lorok guna menyediakan fleksibilitas dan keandalan infrastruktur penyaluran gas bumi di Jawa Tengah. (mth)

Tuntaskan Dugaan KKN Samin Tan Pada Kontrak HSD Dengan Pertamina Patra Niaga!

Oleh Marwan Batubara PADA 5 April 2021 KPK berhasil menangkap Samin Tan di sebuah café Jl. MH Thamrin, Jakarta setelah menjadi buron yang masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak Mei 2020. Samin Tan adalah tersangka kasus dugaan suap pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian ESDM. Dalam kasus ini, Samin diduga menyuap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebesar Rp 5 milar. Uang tersebut diduga terkait upaya Samin Tan memperoleh izin perpanjangan kontrak PKP2B bagi AKT. Padahal kontrak sudah berakhir Oktober 2017 sesuai SK Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017. Samin disangka melanggar Pasal 5 atau Pasal 13 UU No.31/1999 yang dirubah menjadi UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Pada 16 Agustus 2021 Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memvonis Samin Tan hukuman pidana penjara 3 tahun potong masa tahanan, dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa penuntut mengatakan dengan telah beralihnya penguasaan uang Rp 5 miliar dari Terdakwa kepada Eni Maulani Saragih melalui Tahta Maharaya, maka unsur memberi atau menjanjikan sesuatu terbukti menurut hukum, sehingga jatuhlah vonis tersebut. Kita tidak yakin apakah Samin akhirnya masuk penjara meski vonis sudah ditetapkan. Kekhawatiran ini berpangkal dari dugaan bahwa jaringan Samin Tan sangat kuat dalam oligarki kekuasaan dan juga statusnya sebagai The Crazy Rich di Indonesia (ke-40 terkaya Indonesia 2011). Hal ini terbukti dalam banyak kasus korupsi yang melibatkan para crazy riches. Samin Tan bisa lolos jerat hukum dan tak kunjung membayar kewajiban dalam kasus KKN berikut. Kasus Samin Tan Memanipulasi Uang Negara Rp 451,66 Miliar Samin Tan terlibat memanipulasi uang negara bernilai Rp451,66 miliar. Perusahaan milik Samin Tan, PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BLEM) berkontrak jual beli BBM jenis solar atau high speed diesel (HSD dengan PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina pada Februari 2009. Setelah kontrak pertama tersebut, terjadi 2 kali perubahan kontrak (yakni pada 2/2010 dan 6/2011) menyangkut perubahan periode pasokan, volume HSD dan nilai discount. Ternyata AKT tidak membayar tagihan sesuai jadwal. Periode 2009-2016, tunggakan AKT mencapai US$ 39,56 juta ditambah Rp 21,34 miliar. Karena itu pada Juli 2012 Patra Niaga menghentikan suplai HSD. Sejak 2012 hingga 2014 Patra Niaga terus melakukan penagihan dan negosiasi utang dengan AKT. Pada akhir 2014, dari total utang US$ 39,56 juta dan Rp 21,34 miliar, dana yang berhasil ditagih Patra Niaga hanya US$ 3,94 juta! Pada 2016, AKT mengajukan voluntary PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke Pengadilan Niaga. Pengadilan mensahkan Putusan Homoligasi 4 April 2016. Jumlah tagihan Patra Niaga yang diakui AKT sebagai utang adalah Rp 451,66 miliar (kurs Rp 13.890 per US$). Dalam putusan, tampaknya Pengadilan Niaga sengaja tidak memuat ketentuan batas waktu dan sanksi hukum jika utang gagal dilunasi. Ternyata sejak Putusan Pengadilan Niaga 2016 hingga saat ini, AKT tidak pernah mencicil utang. Apalagi melunasi. Jelas terlihat bahwa Sang Crazy Rich Samin Tan tidak mempunyai niat baik melunasi utang. Ternyata Pengajuan voluntary PKPU yang dilakukan Samin Tan pada 2016 merupakan rekayasa licik sekaligus manipulatif agar bebas dari utang. Jangan-jangan Pengadilan Niaga yang membuat putusan tanpa batas waktu dan sanksi pun sudah ikut “terpengaruh” oleh Samin Tan dan kawan-kawan, oknum oligarkis. Kasus ini menyangkut uang negara bernilai Rp451,66 miliar. Samin Tan telah membawa kasus utang-piutang ke Pengadilan Niaga. Namun setelah 5 tahun Pengadilan Niaga membuat keputusan, Samin Tan tidak kunjung mengeksekusi keputusan dan membayar utang. Artinya Samin Tan memang sengaja menggunakan modus memanfaatkan Pengadilan Niaga sebagai cara agar bebas dari kewajiban membayar utang. Modus licik Samin Tan ini jelas jelas merupakan rekayasa manipulatif yang harus segera diproses menurut hukum pidana! KPK Jangan Tebang Pilih Samin Tan telah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 250 juta untuk kasus izin tambang PKP2B PT AKT, yang melibatkan uang suap Rp 5 miliar. Kasus perizinan ini belum merugikan keuangan negara. Dalam kasus jual-beli solar AKT dengan Patra Negara, Samin telah memanipulasi uang negara Rp 451,66 miliar. Maka sangat jelas bahwa kasus ini jauh lebih penting dan sangat mendesak untuk dituntaskan dan diproses secara hukum oleh KPK. Saat mengusut kasus suap izin tambang AKT, KPK sampai harus memasukkan Samin Tan sebagai DPO dan menjadikannya sebagai buron sekitar 1 tahun. Untuk kasus manipulasi uang negara, Pertamina Patra Niaga, Rp 451,66 miliar, berlipat-lipat dibanding kasus suap izin Rp 5 miliar, KPK tidak perlu susah payah memburu pelaku, karena Sang Crazy Rich berada dalam tahanan KPK. Asal ada niat baik, concern atas kerugian negara hampir setengah triliun Rp, maka KPK tinggal dalami kasus dan lanjutkan dengan proses penyidikan. Karena itu, IRESS menuntut agar KPK segera mengadili Samin Tan, terutama karena tidak kunjung dan tidak berniat baik melunasi kewajiban, terlibat KKN merekayasa kasus pengadilan (niaga), dan berpotensi merugikan negara Rp 455,66 miliar. Jangan sampai kasus yang sudah terang benderang ini tidak dipilih untuk “ditebang” oleh KPK, karena mungkin Samin Tan dibackup oleh oknum-oknum yang berada dalam jaringan oligarki penguasa-pengusaha. Kita ingatkan agar KPK tidak tunduk pada tekanan oknum-oknum oligarki kekuasaan. Pertamina & Patra Niaga Jangan Membiarkan Kerugian Negara Patra Niaga merupakan anak usaha Pertamina dengan kepemilikan saham penuh, sama seperti negara memiliki saham di Pertamina, yakni 100%. Artinya kalau Pertamina 100% milik negara, maka Patra Niaga juga 100% milik negara. Terserah apakah status Patra Niaga menurut UU BUMN No.19/2003 hanyalah perusahaan swasta, dan bukan BUMN, namun pemiliknya tetap 100% negara. Karena itu, maka kewajiban negara dan setiap warga negara (rakyat) untuk melindungi dan mengamankan Patra Niaga dari berbagai potensi kerugian. Karena menyangkut aset negara, IRESS dan rakyat memiliki legal standing menuntut penuntasan kasus Samin Tan ini. Namun, yang relevan dan paling bertanggungjawab untuk menuntut penyelesaian kasus adalah manajemen Patra Niaga dan Pertamina. Sejauh ini publik tidak melihat upaya intensif Patra Niaga dan Pertamina mengembalikan uang negara Rp 451,66 miliar tersebut. Jika tetap pasif, dapat dianggap terjadi pembiaran potensi kerugian negara, atau malah terlibat dugaan KKN, maka manajemen BUMN dan anak usaha tersebut pantas untuk pula diproses secara hukum.[] *) Direktur Eksekutif IRESS

Menyoal Rencana Perubahn Permen ESDM PLTS Atap

Oleh Marwan Batubara, IRESS DALAM waktu dekat Kementrian ESDM akan menerbitkan aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap, sebagai revisi atas Permen ESDM No.49/2018. Menurut Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana revisi dilakukan antara lain untuk menarik investasi PLTS, menggalakkan PLTS sebagai energi bersih yang semakin murah, menghemat tagihan listrik, dan mengejar target bauran EBT 23% pada 2025. Dikatakan, revisi Permen akan memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar, termasuk penyediaan lapangan kerja. Sejak kebijakan PLTS Atap diterbitkan pemerintah pada 2018 ada 350 pelanggan PLN yang mengoperasikan PLTS Atap di rumah dan kantor-kantor. Saat ini jumlah pelanggan PLTS atap telah mencapai 4.000 atau melonjak lebih dari 1.000% dibanding awal 2018, dengan total kapasitas sekitar 40 MW. Dari total potensi energi surya Indonesia sekitar 208 GW, menurut Dadan, potensi PLTS Atap mencapai 32 GW. Karena itu diharapkan kapasitas PLTS Atap dapat meningkat menjadi 2-3 GW dalam 3 tahun mendatang. Pemerintah menyatakan akan merevisi beberapa ketentuan Permen No.49/2018. Misalnya mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS Atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, perizinan lebih singkat, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS Atap. IRESS mengapresiasi upaya pemerintah merevisi Permen No.49/2018 guna mencapai berbagai tujuan ideal energi nasional. Dengan demikian, masyarakat luas akan tertarik memasang PLTS Atap di rumah atau kantor masing-masing secara massif dan gotong-royong. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Jika berbagai aspek strategis di atas belum terpenuhi secara harmonis dan seimbang, maka revisi Permen harus ditunda. Sejauh ini IRESS menilai rencana revisi Permen ESDM No.49/2018 lebih fokus pada pertimbangan aspek ekonomi dan bisnis. Ditengarai motif investasi, bisnis dan perburuan rente lebih mengemuka dibanding kepentingan keadilan, kebersamaan dan keberlanjutan pelayanan BUMN. Hal ini sangat jelas terlihat dari upaya Kementrian ESDM yang memaksakan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1. Berbagai masukan dari PLN maupun sejumlah akademisi dan pakar sejauh ini cenderung tidak dipertimbangan pemerintah. Saat ini, ketentuan tarif net-metering dalam Permen ESDM No.49/2018 adalah 1:0,65. Artinya, jika saat konsumen mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN adalah X per kWh, maka pada saat konsumen mengekpor listrik dari storage di rumah ke jaringan PLN tarifnya adalah 0,65X. Tarif ekspor listrik konsumen ke PLN memang lebih rendah dibanding tarif impor konsumen dari PLN, karena PLN harus menyediaan berbagai sarana pelayanan. Sebenarnya tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai Permen No.49/2018 sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen, terutama life style sebagai pengguna energi bersih dapat diraih bersamaan dengan tagihan listrik yang lebih murah. Bahkan, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi. Pemerintah dan para promotor revisi Permen mengatakan jika tarif ekspor-impor menjadi 1:1, maka terjadi peningkatan keekonomian PLTS Atap dan waktu pengembalian investasi menjadi lebih singkat (dari 10 menjadi 8 tahun), sehingga penggunaan PLTS Atap akan tumbuh pesat dan target bauran EBT 23% dapat dicapai. Namun di sisi lain, perubahan tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1 akan merugikan konsumen dan BUMN seperti diuraikan berikut. Pertama, tarif ekspor-impor listrik yang berlaku saat ini dan belakangan dihitung ulang pakar-pakar energi, ditinjau dari berbagai aspek terkait, telah cukup layak dan adil. Untuk pelayanan listrik hingga sampai ke konsumen, PLN perlu membangun berbagai fasilitas, minimal berupa jaringan transmisi, distribusi, gardu dan storage. Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN. Dalam hal ini pemilik PLTS Atap sangat diuntungkan dan PLN sebagai pihak yang dirugikan. Kedua, karena memiliki dana berinvestasi di PLTS Atap, para konsumen berkategori mampu dipersilakan untuk memanfaatkan sarana milik negara/BUMN “for free”, tidak peduli bahwa sarana tersebut yang harus dibangun menggunakan uang negara, subsidi energi dan pembayaran tagihan listrik oleh konsumen non PLTS Atap, terutama yang tidak mampu. Secara sangat mendasar, terjadi ketidakadilan sistemik, di mana konsumen tak mampu justru “dipaksa” mensubsidi konsumen “mampu” berdasar aturan legal yang diterbitkan negara. Ketiga, menerapkan tarif ekspot-impor 1:1 dapat dinilai sebagai upaya menggalakkan penggunaan EBT lebih dominan untuk tujuan bisnis dan investasi, dibanding untuk tujuan pencapaian energi bersih, penghematan atau life style. Mengingat PLTS Atap adalah produk mahal yang hanya mampu dibeli pelanggan kapasitas besar yang berpunya, maka skema tarif 1:1 akan membuat indeks Gini meningkat, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin. Keempat, tarif 1:1 akan mendorong masyarakat berpunya untuk berbisnis listrik dengan PLN. Hal ini memicu menjamurnya independent power producer (IPP) mikro yang berbisnis tanpa kaidah dan “term and condition” yang adil dan layak seperti berlaku untuk listrik IPP. Hal ini akan mengancam kelangsungan pelayanan listrik PLN yang berkelanjutan. Kelima, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp 1400/kWh dangan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp 900/kWh. Hal ini jelas semakin memberatkan APBN. Meskipun disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi. Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para “the haves” yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23%! Keenam, tarif liberal 1:1 seolah ingin segera diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi supply-demand listrik PLN yang saat ini sangat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah beban keuangan PLN yang sangat dirugikan oleh skema take or pay (TOP) listrik swasta/IPP dan oleh kesalahan pemerintah merencanakan proyek listrik 35.000 MW. Akibat asumsi pertumbuhan ekonomi (dan kebutuhan listrik) yang berlebihan, pembangkit-pembangkit yang dibangun IPP dapat di-rescheduled atau diundur. Namun sebagian besar sarana transmisi, distribusi dan gardu sebagai pendukung pembangkit IPP tersebut telah terlanjur dibangun PLN, yang menyebabkan naiknya beban biaya. Jika konsep ekspor-impor liberal 1:1 tetap dipaksakan, maka beban keuangan PLN semakin berat. Ketujuh, sejalan dengan butir keenam di atas, saat ini reserve margin atau cadangan pembangkitan daya listrik Jawa-Bali telah mencapai 60%-an, dan Sumatera mencapai 50%-an. Padahal reserve margin ideal yang efektif dan efisien berkisar 20%-30%. Dengan reserve margin yang sangat tinggi tersebut, maka beban biaya operasi PLN akan naik dan sudah sangat tidak efisien. Apalagi jika PLN harus menyerap “pasokan atau ekpor” listrik swasta yang ingin digalakkan melalui tarif liberal 1:1. Beban biaya yang naik berarti BPP/tarif listrik juga naik. Kedelapan, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40%. Sisanya komponen impor, terutama dari China. Jika penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar (photo voltaic, PV) domestik sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri. Selain itu, impor solar PV yang tinggi akan meningkatkan defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD) yang biasanya terjadi saat harga minyak dunia tinggi. Biasanya defisit tinggi karena impor bbm, minyak mentah dan LPG, tetapi akan diperparah oleh penghasil energi jenis lain: solar PV. Kesembilan, saat ini industri solar PV global sedang mengalami over supply, termasuk akibat pandemi Covid-19. Kita tidak ingin Indonesia menjadi tempat sampah kelebihan produk asing yang saat ini diobral, terutama melalui aturan tarif liberal 1:1, tanpa memperhatikan TKDN, pengembangan industri solar PV nasional, keberlanjutan pelayanan PLN dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tulisan ini tidak menolak seluruh ketentuan penting dalam rencana perubahan Permen ESDM No.49/2018. Cukup banyak hal baik yang memang mendesak untuk dirubah. Namun, khusus tarif ekspor-impor 1:1, dengan tegas IRESS menyatakan penolakan. IRESS juga mengajak publik menolak rencana perubahan tarif liberal pro industri asing dan pro pengusaha PLTS domestik, atas nama energi bersih, mitigasi perubahan iklim dan bauran EBT 23%. Pemerintah dapat mempertahankan tarif ekspor-impor yang berlaku saat ini, yakni 0.65:1. Perubahan Permen No.49/2018 dapat pula memuat ketentuan pembatasan kapasitas terpasang dan yang harus dibeli PLN adalah sesuai dengan kebutuhan sistem. Dalam kondisi reserve margin yang saat ini sangat berlebihan, pemerintah pun harus menunda terbit atau berlakunya regulasi baru. Ketentuan dan waktu terbit regulasi baru perlu pula diselaraskan dengan peta jalan industri PLTS domestik guna meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi, sekaligus untuk menjamin pemanfaatan APBN berputar optimal di dalam negeri.[] Penulis Direktur Eksekutif IRESS

Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Semakin Ekonomis

Jakarta, FNN - Pengguna pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap diharapkan terus bertambah menyusul teknologi yang kian mutakhir dan biayanya semakin ekonomis. Direktur Strategi Bisnis dan Portofolio PT Len Industri (Persero) Linus Andor Mulana Sijabat mengatakan, teknologi panel surya sudah semakin mutakhir, sehingga penggunaannya tidak lagi rumit. Menurut dia, panel surya hanya perlu diletakkan di area yang terkena sinar matahari langsung. Misalnya, di atap rumah atau gedung, dan sudah langsung dapat mengalirkan listrik. "Kalau kita lihat, solar cell sebenarnya sudah tidak high tech, dapat langsung dipakai. Tinggal dijemur saja ke (sinar) matahari, langsung keluar listrik. Ini sudah umum," ujarnya pada Peluncuran Program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya) seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Ahad, 15 Agustus 2021. Indonesia memiliki potensi PLTS atap yang cukup besar, yakni mencapai 32.500 MW. Akan tetapi, yang baru dimanfaatkan sebesar 31,32 MW peak (MWp). Hingga Mei 2021, PLTS atap tercatat digunakan oleh 3.781 pelanggan atau meningkat drastis dibandingkan pemanfaatan posisi November 2018 yang hanya 592 pelanggan. Linus mengatakan, teknologi crystalline yang jamak digunakan pada panel surya juga telah memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Teknologi tersebut sudah mutakhir dan terbukti. "Teknologi yang banyak digunakan adalah teknologi crystalline. Secara termodinamik, efisiensinya 30 persen secara teoritis, praktisnya mungkin sekitar 27 persen. Teknologi ini sudah mature, jadi sudah pasti proven. Kalau di segi ekonomi sudah pasti ekonomis," katanya sebagaimana dikutip dari Antara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kapasitas 70 MWp PLTS atap akan terpasang pada akhir tahun 2021. Dengan teknologi yang kian mutakhir dan biaya yang semakin ekonomis, pemerintah pun mendorong pemanfaatan PLTS atap yang lebih luas lagi dengan menerbitkan aturan yang ramah bagi penggunanya. Saat ini, sedang disusun Rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Regulasi tersebut merupakan perluasan dari Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) jo Permen ESDM No. 13/2019 jo Permen ESDM No. 16/2019. "Dengan disusunnya Rancangan Permen ESDM terkait PLTS Atap, diharapkan pemanfaatan PLTS atap akan semakin meningkat. Salah satu yang diatur dalam permen ini adalah memperluas pengguna PLTS atap dan meningkatkan nilai keekonomian PLTS atap," ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi. Selain itu, dalam regulasi tersebut juga akan meningkatkan peran masyarakat dalam penggunaan EBT melalui PLTS atap. Juga diharapkan dapat mencapai target kapasitas PLTS atap dengan memperhatikan sistem ketenagalistrikan pemegang IU PTLU. Kemudian, mempercepat proses persetujuan permohonan, mempermudah kelayakan operasi, mempermudah pengawasan dan pengaduan masyarakat, memfasilitasi perdagangan karbon, dan menjaga kestabilan sistem ketenagalistrikan. (MD).

Masalah PLN, Erick Tohir Mulai Buang Badan

Oleh Ahmad Daryoko MENTERI BUMN Erick Tohir menyampaikan titahnya agar PLN tidak bikin proyek aneh-aneh lagi yang membuang duit. Dengan statemen di atas terkesan Erick Thohir "buang badan" terhadap kesalahan managerial PLN dan seolah dia paling bersih tanpa kesalahan. Bagi rakyat, kesalahan langkah pengelolaan negara itu berdampak pada tingkat kesejahteraan, dalam hal PLN pastilah kenaikan tarif. Kesalahan langkah itu rata- rata karena kerakusan pejabat. Makin tinggi jabatan dampaknya makin luas. Dengan demikian clear bahwa proyek 35.000 MW yang dilaunching Jokowi - atas desakan Wapres JK - pada awal 2015 itu, menurut Erick, adalah proyek "buang buang duit". Karena proyek itu kini mengakibatkan "over supply" 47%. Dua bulan yang lalu COD beberapa PLTU dengan kapasitas total sekitar 6.000 MW tertunda. Tetapi pembangkit-pembangkit swasta tersebut tetap terima duit 70% penjualan stroom per harinya (Top Clause). Artinya terjadi pemborosan ber miliar-miliar uang rakyat untuk bayar stroom yang tidak terpakai yang semuanya dipastikan berasal dari utang luar negeri. Itu semua rakyat yang akhirnya akan mikir pengembalian utang itu, bukan Jokowi. Tetapi saat proyek itu dilaunching hampir semua pejabat di kementerian ESDM, BUMN "ngotot" bahwa proyek 35.000 MW memang harus diwujudkan. Sebab kalau tidak Indonesia akan bangkrut. Menko Rizal Ramli yang menentang pun dicopot. Terus sekarang dengan "enteng" nya Erick bilang PLN jangan bikin proyek gak perlu? Lha kok enak? Terus PLTU Batang 2.000 MW itu milik siapa kalau bukan milik keluarganya? Dan munculnya nafsu serakah itu memang dikondisikan secara "sistemik" dengan terbitnya "The White Paper" Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi pada 25 Agustus 1998. Dan itupun didorong oleh IFIs (WB,ADB,IMF) dengan apa yg dinamakan sebagai "The Power Sector Restructuring Program" (PSRP). Itupun muncul karena adanya Letter Of Intent (LOI) pada 31 Oktober 1997. Intinya dalam grand design "The White Paper" itu PLN Jawa-Bali hanya boleh mengelola Transmisi dan Distribusi. Makanya jangan heran kalau saat ini ada program Holdingisasi PLTP ke Pertamina karena program tersebut untuk "membersihkan" pembangkit PLN yg beroperasi di Jawa-Bali sesuai doktrin "The White Paper" tersebut! Tujuannya agar di Jawa-Bali terjadi kompetisi penuh (MBMS) kelistrikan tanpa ada gangguan dari pembangkit PLN lagi. Sehingga ber pesta pora lah "oknum" yang bisa memanfaatkan "turbulensi" listrik ini seperti Dahlan Iskan, JK, Luhut BP, Erick sendiri. Kemudian ada utang PLN Rp 500 triliun? Itu sebagai akibat doktrin Pemerintah agar PLN memfasilitasi jaringan Transmisi dan Distribusi sesuai "The White Paper" itu. Terutama guna menyalurkan "stroom" dari Power Station yang 35.000 MW itu, yang akhirnya "mangkrak" karena saat ini sudah "over supply" ! Berarti Rp 500 T itu membiayai proyek "mangkrak", atau memproduksi besi tua dalam wujud Transmisi/Distribusi yang gagal tidak jadi dilewati "stroom" 35.000 MW. Kesimpulan Erick Tohir ini rupanya sedang "buying time" menunggu pelaksanaan program Holdingisasi PLTP PLN ke Pertamina. PLTA+PLTA PLN diserahkan ke PUPR, relokasi PLTGU PLN ke luar Jawa. Setelah itu Indonesia Power dan PJB bubar. Sedangkan PLN Holding (yg di Jawa-Bali) akan di "transformasi" (bahasa "keren" nya Direksi PLN) menjadi PTJB (Perusahaan Transmisi Jawa-Bali) dan Perusahaan Distribusi Jawa-Bali (PDJB). P2B (Pusat Pengatur Beban) Jawa- Bali akan dijadikan Lembaga Independen Pengatur Sistem dan Pengatur Pasar. Setelah itu dimulailah pesta MBMS secara murni karena tidak ada lagi instrumen PLN guna menyalurkan subsidi listrik. Paling2-paling nanti dialihkan menjadi KTL (Kartu Tenaga Listrik) yang dibagikan lewat RT/RW itupun kalau ada dananya. Kalau tidak ya rakyat yang tidak mampu terpaksa pakai lilin, teplok, sentir, gembreng dll. Penilis Koordinator INVEST

SKK Migas Laporkan Temuan Cadangan Gas di Sulawesi Tengah

Jakarta, FNN - SKK Migas melaporkan adanya temuan cadangan hidrokarbon berupa gas dari pengeboran sumur eksplorasi, yang dilakukan PT Pertamina (Persero), di Blok West Penyu-001, Desa Samalore, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. "KKKS (Pertamina) akan melakukan evaluasi data hasil lapangan untuk memastikan besaran cadangan di kawasan tersebut," kata Kepala Divisi Pengeboran SKK Migas Surya Widyantoro dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu. Surya mengatakan temuan itu telah meningkatkan rasio keberhasilan pengeboran sumur eksplorasi konvensional di Indonesia pada tahun ini menjadi sebesar 75 persen. SKK Migas mengusulkan evaluasi temuan tersebut merujuk data seismik tiga dimensi Pesut Mas yang diakuisisi pada 2019 lalu, kemudian diusulkan pula untuk mengonfirmasikan keberadaan hidrokarbon pada batu gamping formasi Minahaki berumur Miosen Tengah. Saat ini, sumur West Penyu-001 sedang mempersiapkan proses penutupan sumur dan diperkirakan rig pengeboran akan meninggalkan lokasi pada 17 Agustus 2021. Selanjutnya, sumur tersebut akan dilakukan evaluasi perhitungan sumber daya berdasarkan hasil pengeboran yang dilakukan oleh Pertamina. Secara keseluruhan, sejak Januari hingga pertengahan Agustus 2021, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) telah melakukan 15 pengeboran sumur eksplorasi dengan status sembilan sumur telah menyentuh kedalaman akhir dan enam sumur lainnya masih dalam tahap pengeboran. Terdapat enam sumur yang mendapatkan temuan dari kegiatan pengeboran hingga kedalaman akhir tersebut, yakni sumur Hidayah-1 di Blok North Madura II, yang dikelola Petronas, menemukan cadangan minyak; sumur Fanny di Blok Offshore South East Sumatra, yang dikelola PHE OSES, menemukan cadangan gas; dan sumur MSDE-01 di Blok Malacca Strait oleh MP Malacca, yang menemukan gas. Selanjutnya, sumur Maha-2 di Blok West Ganal, yang dikelola Eni West Ganal, menemukan cadangan gas dan sumur Pakuaji-2 di South Jambi B, yang dikelola oleh Jindi (South Jambi), menemukan cadangan gas. Kemudian, terakhir, temuan, yang dilaporkan Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi, di Blok West Penyu-001. "Pada 2021, kami berencana mengebor 40 sumur eksplorasi. Semoga kami menemukan cadangan-cadangan baru pada kegiatan pengeboran lain," ujar Surya. (mth)

Barata Indonesia - Treehouz Asia Komitmen Bangun Pabrik Biomassa

Jakarta, FNN - PT Barata Indonesia (Persero) bersama Treehouz Asia—perusahaan berbasis di Malaysia—berkomitmen menjalin kemitraan strategis untuk membangun pabrik bahan bakar biomassa melalui pemanfaatan kayu dan limbah pengolahan kayu di Indonesia. “Barata Indonesia terus berupaya melakukan ekspansi dan aliansi dalam rangka penguatan kompetensi dan merespons peluang bisnis baru di industri agro tanah air,” kata Direktur Pemasaran Barata Indonesia Sulistyo Handoko dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Sulistyo menyampaikan perseroan menyambut peluang kerja sama pembangunan pabrik bahan bakar biomassa dalam rangka mendukung program co-firing di dalam negeri, sekaligus peningkatan produksi berbentuk pelet ataupun sawdust baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Barata Indonesia sebagai BUMN manufaktur menaruh komitmen tinggi terhadap peningkatan kandungan lokal dalam setiap produk yang dihasilkan dan pembangunan proyek strategis nasional. Hal ini diwujudkan melalui komitmen dalam menciptakan produk substitusi impor, pemanfaatan material lokal dan penyediaan peluang tenaga kerja lokal yang diharapkan dapat mendongkrak produktivitas dan daya saing industri nasional. Dukungan itu sekaligus merupakan upaya perseroan dalam mendorong program pemulihan ekonomi nasional. “Peluang bisnis ini akan dikembangkan dengan menghadirkan keunggulan teknologi di bidang energi baru dan terbarukan sebagai solusi energi masa depan,” ujar Sulistyo. Dalam inisiasi awal atas kerja sama ini, Barata Indonesia dan TreeHouz akan membangun pellet plants yang berlokasi di Pahang Malaysia dengan kapasitas 40 ton per jam (TPH). Selain menjalin kerja sama di bidang biomassa tersebut, kedua perusahaan juga sepakat berkolaborasi dalam pengembangan co-firing dengan biomassa dalam rangka pengembangan energi alternatif untuk mendukung ketersediaan energi nasional yang bersih dan ramah lingkungan. Managing Director Treehouz Asia Tan Eng Hau mengapresiasi kerja sama itu sebagai ekspansi pasar terkhusus dalam pengembangan bahan bakar biomassa berbasis pelet atau sawdust plant projects di Indonesia. “Dengan berkah sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, kami berharap Barata dan Treehouz dapat bersinergi memanfaatkan kompetensi masing-masing dalam menjalankan pabrik wood, baggase pellet, sawdust baru maupun revitalisasi di Indonesia,” ucap Tan. (mth)

Alih Kelola Blok Rokan (2): Menggugat Rencana Divestasi Saham Pro Oligarki!

Oleh Marwan Batubara, PENGELOLAAN Blok Rokan (BR) resmi beralih dari Chevron (Chevron Pacific Indonesia, CPI) ke Pertamina (Pertamina Hulu Rokan, PHR) pada 9 Agustus 2021. Blok migas di Riau tersebut dikelola perusahaan Amerika hampir satu abad, sejak dari Socal (1924), Socal & Texaco (1936), berubah jadi Caltex (1960) dan Chevron (2005). Minyak yang dihasilkan berasal dari lapangan Duri, Minas, Kotabatak, Bekasap, Bangko, dll. Sebagian besar cadangan minyak telah terkuras dengan total akumulasi (menurut SKK Migas) sekitar 11,69 miliar barel. Pada tulisan pertama dibahas aspek teknis operasional alih kelola Blok Rokan. Karena kontrak PHR menggunakan skema gross split, penerimaan negara sangat potensial turun, terutama karena GCG dan independensi BUMN sangat minimalis. SKK Migas tidak lagi terlibat pengawasan dan pengendalian kontrak. Di sisi lain, intervensi oknum-oknum penguasa partai dan oligarki penguasa-pengusaha sangat dominan. Dalam aspek bisnis finansial, negara pun sangat potensial dirugikan akibat kewajiban divestasi saham (participating Interest, PI). Padahal Blok Rokan telah berproduksi, risiko bisnis rendah, pendapatan kotor rutin sekitar 3,92 miliar/tahun, dan keahlian SDM tersedia, sehingga mitra melalui divestasi sebenarnya tidak diperlukan. Pada tulisan ke-2 ini dibahas aspek-aspek bisnis-finasial dan legal-konstitusional terkait rencana divestasi saham/PI PHR. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa rencana divestasi saham yang diwajibkan Kementrian ESDM tersebut merupakan hal yang harus digugat dan dihentikan, karena melanggar konstitusi/aturan dan berpotensi merugikan negara ratusan triliun rupiah. Proses divestasi saham PHR melibatkan nilai aset negara berorde ribuan triliun. Meski telah diekspolitasi sejak 1936, Rokan masih menyimpan cadangan terbukti dan potensial 1,5 –2,5 miliar barel. Jika diasumsikan harga minyak sama dengan harga rata-rata 10 tahun terakhir (US$ 66 per barel), maka nilai bruto aset cadangan tersebut berkisar US$ 99 miliar hingga US$ 165 miliar. Pada kurs US$/Rp=14.000, maka nilai bruto aset adalah Rp 1.386 triliun –Rp 2.310 triliun. Untuk selanjutnya, aset tersebut diasumsikan 2 miliar barel atau sekitar Rp 1.848 triliun. Disebutkan PI milik PHR yang akan didivestasi 39%. Dari aspek bisnis finansial, maka kita bicara soal pengalihan hak pengelolaan aset negara bernilai 39% x Rp 1.848 triliun = Rp 720 triliun! Publik pantas ragu dan perlu menggugat bahwa ditengarai proses divestasi tidak berjalan sesuai aturan, sarat moral hazard, dan penuh rekayasa kebijakan pro-oligarki. Biaya akuisisi cadangan migas yang berlaku umum secara global minimal sekitar 12,5% dari nilai cadangan (Earst & Young, 2012). Karena itu, dengan cadangan sekitar 2 miliar barel, maka biaya akuisisi 100% cadangan Rokan minimal adalah 12,5% x 2 miliar barel x US$ 66/barel = US$ 1,65 miliar. Karena adanya operasi secondary (injeksi air/gas) maupun tertiary recovery (gas/CO2 atau zat kimia), diasumsikan adanya discount biaya sekitar 10%. Dengan demikian biaya minimal akusisi 100% saham Rokan adalah US$ 1,48 miliar. Pertamina telah membayar signature bonus (SB) sebesar US$ 784 juta kepada Pemerintah RI pada Desember 2018. Tanpa memperhitungkan nilai SB yang telah dibayar Pertamina, maka mitra usaha PHR yang akan mengakuisisi 39% aset cadangan minyak Blok Rokan minimal harus membayar biaya 39% x US$ 1,48 miliar = US$ 579 juta. Jika SB diperhitungkan, biaya akuisisi minimal yang harus dibayar US$ 579 juta + 39% x US$ 784 juta = US$ 884,76 juta. Terlepas divestasi PI Blok Rokan melanggar konstitusi – sehingga harus digugat dan ditolak – maka mitra PHR yang akan mengakuisisi 39% PI saham Rokan harus membayar minimal US$ 579 juta (tanpa memperhitngkan SB) atau US$ 884 juta (jika memperhitungkan SB). Jika tidak, atau membayar jauh lebih rendah, maka patut diduga terjadi korupsi/KKN yang mengakibatkan negara dirugikan puluhan triliun rupiah. Pelanggaran UU Migas & Konstitusi Kementerian ESDM telah menetapkan Pertamina wajib memiliki partner di Blok Rokan seperti tertuang dalam Kemen ESDM No.1923K/10/2018. Pada diktum kelima disebutkan Pertamina wajib mempertahankan, bahkan meningkatkan produksi migas dan wajib bekerja sama dengan mitra yang memiliki kemampuan di bidang hulu migas sesuai kelaziman bisnis. Diktum Kepmen ESDM ini jelas mewajibkan Pertamina mendivestasi sahamnya di PHR. Dirut PHR Jaffee mengatakan pencarian mitra masih terus dilakukan oleh subholding hulu Pertamina (22/7/2021). Wakil Kepala SKK Migas Fatar Y.A mengungkap proses pencarian mitra bersifat business to business, dan SKK tidak intervensi (22/7/2021). Corporate Secretary Subholding Upstream Pertamina Whisnu B. mengatakan Pertamina mencari mitra yang punya kemampuan modal dan teknologi. Hasil pencarian akan disampaikan kepada Menteri ESDM (22/7/21). Sampai akhir acara seremoni pengalihan Blok Rokan pada tengah malam 8 Agustus 2021, Pemerintah atau Pertamina belum juga mengumumkan siapa mitra PHR di Blok Rokan (akan mengakuisisi 39% saham). Sebelum terlambat, proses pencarian tersebut harus segera dihentikan, karena Kepmen No.1923K/2018 bukanlah dasar hukum yang dapat dijadikan oleh Pertamina/Subholding PHE mendivestasi saham PHR, seperti diurai berikut. Pertama, Menteri ESDM tidak memiliki wewenang legal untuk mewajibkan Pertamina mendivestasi saham. Tidak ada satu pasal atau ketentuan pun dalam UU No.22/2001 tentang Migas maupun PP No.35/2004 tentang Hulu Migas yang memberi wewenang kepada Menteri ESDM memaksa BUMN/Pertamina menjual saham (PI). * Kedua, Pertamina memiliki hak konstitusional untuk mengelola Blok Rokan secara penuh 100% sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ketiga, ketentuan dalam Kepmen tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Menurut tata urutan peraturan perundang-undangan (UU P3 No.12/2011), posisi Kepmen jauh di bawah UU, apalagi terhadap UUD 1945. Dengan demikian, kewajiban divestasi sesuai Kepmen No.1923K/2018 batal demi hukum. Keempat, karena Kepmen ESDM No.1923/2018 tidak valid, maka PHE tidak legal melanjutkan proses divestasi yang sedang berlangsung. Kelima, divestasi saham PHR menyangkut transaksi aset negara yang potensi nilainya Rp 1.848 triliun. Nilai aset ini sangat besar untuk diputuskan oleh manajemen sebuah BUMN. Apalagi hanya oleh subholding di BUMN! Proses penawaran dan undangan kepada kepada calon mitra tidak jelas untuk tidak mengatakan tertutup. Hal ini jelas sarat moral hazard! Untuk penjualan saham-saham BUMN yang bernilai puluhan atau ratusan triliun rupiah saja, pemerintah harus mendapat izin DPR. Bagaimana bisa, divestasi saham Blok Rokan menyangkut aset ribuan triliun, pemerintah yang diyakini berada di bawah intervensi oligarki, mengakali DPR dan publik? Pada tulisan pertama diungkap tentang Dirut PHR yang berasal dari SKK Migas, bukan dari Pertamina sebagai pemegang 100% saham. Ternyata Dirut Subholding Upstream Pertamina (PHE) pun berasal dari “luar Pertamina”. Silakan publik berspekulasi terhadap kebijakan bernuansa konspiratif ini. Juga terhadap “penyembunyian” proses divestasi saham PHR melalui subholding PHE yang luput dari pantauan publik. Hal ini merupakan proses bernuansa oligarkis sarat moral hazard guna meraih sebagian potensi untung Rp 242 triliun! Pelanggaran UU BUMN & Konstitusi Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup rakyat mengelola sumber daya alam (SDA) migas, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada 3 aspek penting Pasal 33 UUD 1945 yaitu: 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA di atas telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan oleh Pemerintah dan DPR dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan yang berada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 di atas diimplementasikan dalam peraturan operasional yang termuat dalam UU BUMN No.19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan: Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN. Hak istimewa pengelolaan SDA diberikan negara kepada BUMN hanya karena saham pemerintah di BUMN masih utuh 100%. Jika saham pemerintah di BUMN kurang dari 100%, maka privilege otomatis hilang. Pertamina memperoleh hak mengelola Blok Rokan karena 100% sahamnya masih dikuasai negara. Jika kurang dari 100%, jangankan anak usaha atau subholdingnya, Pertamina sebagai BUMN induk pun tidak eligible memperoleh previlige tersebut. Tujuannya adalah agar manfaat terbesar Blok Rokan dapat dinikmati bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rekayasa kebijakan yang berlangsung adalah, guna meraih hak, Pertamina diajukan sebagai badan usaha pengelola. Setelah hak diperoleh, dalam waktu singkat Pemerintah memaksa Pertamina mendivestasi sebagian saham melalui penjualan PI oleh subholding (PHE). Akibatnya, dengan modus divestasi seperti ini manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal diraih. Namun di sisi lain, sebagian keuntungan justru akan dinikmati oleh mitra usaha yang merupakan bagian dari oligarki kekuasaan. Sebenarnya konstitusi dan peraturan yang ada sudah cukup memadai guna mengamankan kepentingan rakyat. Namun karena lebih memihak kepentingan oligarki, menurut hemat IRESS, pemerintah justru terlibat rekayasa dengan membuat kebijakan dan aturan akal-akalan guna melancarkan proses divestasi PI Blok Rokan. Jika saham/PI PHR tetap didivestasi, maka terjadi rekayasa aturan manipulatif yang berujung pada kerugian negara dan rakyat. Kesimpulan Kepmen ESDM No.1923K/2018 yang mewajibkan Pertamina/PHR mendivestasi saham Blok Rokan jelas melanggar PP No.35/2004, UU No.22/2001, UU No.19/2003 dan Pasal 33 UUD 1945. Kepmen tersebut jelas merupakan aturan yang manipulatif dan konspiratif, serta sarat kepentingan oligarki pemburu rente, yang dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun. Kita tidak paham apakah Presiden Jokowi telah memperoleh informasi yang lengkap tentang hal ini. Namun apa pun itu, jika proses divestasi berlanjut, apalagi tanpa membayar biaya akuisisi cadangan minyak minimal yang berlaku umum dan sharing signature bonus, maka Presiden Jokowi dianggap telah melanggar konstitusi dan menjadi subjek yang layak diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945, untuk segera dimakzulkan! [ Penulis Direktur Eksekutif IRESS.

Pemerintah Ubah Regulasi Pengusahaan Gas Bumi pada Sektor Hilir

Jakarta, FNN - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif telah menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 04 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Perubahan tersebut sebagai langkah strategis meningkatkan pemanfaatan gas bumi dan percepatan pengembangan fasilitas dan penyaluran gas bumi kepada konsumen. "Revisi ini untuk percepatan perizinan niaga gas bumi," kata Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat. Soerjaningsih menegaskan penetapan regulasi bertujuan untuk mempercepat dan memberi kemudahan perizinan serta memberikan kepastian hukum dalam berusaha bagi para badan usaha, serta memberikan keandalan pasokan konsumen gas bumi dan peluang usaha infrastruktur gas bumi. Dia menjelaskan tata kelola gas bumi dalam upaya efisiensi dan efektifitas ada pengaturan terkait alokasi gas bumi yang diberikan langsung kepada pengguna akhir atau sebaliknya badan usaha niaga yang menjual kepada pengguna akhir. Selain itu, pengaturan perizinan berusaha dan harga gas bumi mengenai peran BPH Migas dalam menetapkan hak khusus dan besaran toll fee atas ruas transmisi agar ada kepastian hukum dan berusaha bagi para badan usaha dan terpenuhinya hak-hak konsumen gas bumi. "Tidak ada peran BPH Migas yang ditiadakan dalam perubahan regulasi, melainkan digeser dari yang semula pada pemberian rekomendasi pada setiap badan usaha yang akan mengajukan izin menjadi informasi setiap perencanaan lelang," ujarnya. Soerjaningsih menerangkan bahwa rekomendasi tersebut fungsinya untuk mengonfirmasi rencana lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) yang sudah dimiliki BPH Migas, sehingga dokumen itu dapat dimintakan kepada BPH Migas berdasarkan rencana satu tahun berjalan. Kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa dapat dilakukan oleh badan usaha lain setelah mendapatkan izin usaha niaga migas dari Menteri ESDM, jika wilayah yang dibangun belum masuk dalam penetapan rencana lelang WJD oleh BPH Migas pada tahun berjalan. Dalam regulasi terbaru itu, badan usaha pemegang izin usaha niaga migas dapat melakukan pengembangan fasilitas dan menyalurkan gas bumi kepada konsumen baru setelah melakukan penyesuaian izin usaha niaga migas sampai dengan ditetapkannya badan usaha pemegang hak khusus WJD. "Dengan adanya aturan ini, maka badan usaha dapat mengajukan izin ke pelanggan eksisting badan usaha lain dan pelanggan baru. Hal ini dalam rangka kehandalan pasokan bagi pelanggan," pungkas Soerjaningsih. (mth)

Alih Kelola Blok Rokan (1): Waspadai Oligarki dan Pemburu Rente!

Oleh Marwan Batubara, PADA hari Senin, 9 Agustus 2021 minggu depan, pengelolaan Blok Rokan resmi berpindah dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) kepada Pertamina melalui anak usaha Pertamina Hulu Rokan (PHR). Chevron (sebelumnya Socal, lalu Caltex) menguasai blok migas di Riau tersebut sejak 1936. Kontrak Blok Rokan ditandatangani PHR dengan SKK Migas atas persetujuan Menteri ESDM 9 Mei 2019. Kontrak akan berlangsung 20 tahun, 2021-2041, menggunakan skema gross split. Bulan lalu Dirut PHR Jaffee Arizona Suardin mengatakan proses alih kelola Blok Rokan telah berjalan lancar tanpa kendala. Proses mirroring seluruh kontrak eksisting (dengan CPI) sudah lebih dari 100% dari 291 kontrak. Selain mirroring, juga dilakukan pengadaan baru dan kontrak melalui program pengembangan bisnis lokal yang juga berjalan lancar. Proses alih pekerja pun telah mencapai 98,7% kata Jaffee (13/7/2021). Dari sisi operasional alih kelola Blok Rokan tampaknya akan baik-baik saja. Sehingga target PHR mempertahankan lifting Blok Rokan sekitar 165.000 barel per hari (bph), sama seperti saat dikelola CPI, tampaknya dapat tercapai, terutama karena PHR menempuh pola mirroring kontrak. Kita tidak tahu apakah dalam pola tersebut terkandung pula maksud “mengamankan” kepentingan “para sub-kontraktor lama” yang biasa berkontrak dengan CPI. Yang jelas, untuk bisnis migas sebesar Blok Rokan, pemimpinnya malah berasal dari SKK Migas, bukan dari induknya, yakni Pertamina sebagai pemegang 100% Blok Rokan. Ke depan, seharusnya Pertamina/PHR segera menangani kontrak/sub-kontrak secara mandiri. Sebab, bisa saja kontrak existing CPI (yang di-mirror PHR) bernilai sangat mahal, sehingga agar efisien dan efektif harus direview sesuai kebutuhan rencana pengembangan jangka pendek dan panjang. Dengan demikian akan diperoleh manfaat maksimal bagi BUMN dan negara. Kalau tidak mandiri, apa gunanya Pertamina menjadi operator pengelola Rokan? Selain itu maksimalisasi benefit bisa saja gagal tercapai mengingat kontrak Blok Rokan menggunakan skema gross split, di mana peran pengawasan SKK migas menjadi sangat minimalis untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Kondisi menjadi lebih parah karena fungsi pengawasan dan audit internal BUMN belum berjalan optimal. Manajemen BUMN selama ini pun tidak berjalan independen, prinsip GCG tidak optimal, kepentingan politik penguasa cukup dominan, serta intervensi oligarki dan perburuan rente pun cukup kental. Agar pengelolaan Blok Rokan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah dan DPR harus menangkal atau mengeliminasi intervensi oligarki pemburu rente, GCG ditingkatkan dan fungsi pengawasan internal & ekternal dioptimalkan. Kalau tidak, bukan benefit maksimal yang dicapai, tetapi seberapa besar akhirnya penerimaan negara menurun dibanding sebelumnya! Sebagai catatan, selama pemerintahan Jokowi, kondisi BUMN justru semakin runyam terutama akibat maraknya intervensi oligarki dan perburuan rente. Selain aspek operasional, aspek bisnis pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang berpotensi merugikan negara adalah terkait kewajiban divestasi atau share down pemilikan saham. Dalam hal ini PHR telah diminta melakukan divestasi atau pengalihan saham, participating interest (PI) maksimal 39%. Karena 10% PI sudah menjadi milik Pemda/BUMD terkait, maka saham yang dimiliki Pertamina kelak hanya akan tinggal 51%. Hal yang tak kalah penting adalah, berapa *besar dana yang akan dibayar sang mitra* untuk mengakuisisi saham tersebut (dibahas pada artikel berikut). Sebelum membahas lebih lanjut perlu dipahami tentang volume dan nilai bisnis seputar pengelolaan Blok Rokan. Dengan produksi 165.000 bph dan harga rata-rata minyak mentah (crude oil) dalam 10 tahun terkahir US$ 66 per barel (berfluktuasi antara US$ 39 s.d US 97 per barel), maka kita bicara tentang nilai pendapatan kotor sekitar US$ 10,89 juta per hari atau US$ 3,92 miliar per tahun atau US$ 78,40 miliar selama 20 usia kontrak. Dengan kurs US$/Rp= 14.000, maka pendapatan kotor tersebut setara dengan sekitar Rp 1100 triliun. Merujuk pada pengelolaan Blok Mahakam, IRESS memperoleh informasi bahwa dana pendapatan kotor produksi migas terdistribusi kepada NKRI, kontraktor (Total Indonesie, Prancis) dan Cost Recovery masing-masing dengan perbandingan 60%, 22% dan 18%. Hanya dari perhitungan periode 1997-2012 saja, yakni selama 16 tahun (padahal Total mengelola Blok Mahakam selama 50 tahun, 1967-2017), keuntungan yang diperoleh Total adalah US$ 23 miliar. Karena itu tak heran jika return on investment kontraktor/Total mencapai 105%! Karena beroperasi di darat, maka pembangunan sumur-sumur dan sarana lain jauh lebih murah dibanding Blok Mahakam yang beroperasi di laut, lepas pantai. Selain itu, sebagaimana dipromosikan pemerintah, skema gross split akan lebih menguntungkan bagi kontraktor. Di sisi lain, Blok Rokan memang memerlukan biaya lebih besar karena adanya operasi penyuntikan air, gas atau kelak zat kimia untuk merecover minyak. Namun demikian, secara keseluruhan, diyakini keuntungan PHR minimal sekitar 22% pendapatan kotor (Rp 242 triliun). Dengan cadangan masih miliaran barel (1,5 hingga 2,5 miliar barel), potensi keuntungan bersih minimal sekitar Rp 242 triliun, maka pasti banyak kontraktor asing dan swasta yang bernafsu untuk memiliki saham Blok Rokan, termasuk CPI yang sebelumnya sangat berharap mendapat perpanjangan kontrak. Pemerintah pun telah membuka jalan lebar-lebar bagi investor untuk mengakuisisi sebagian saham PHR. Bahkan Kementrian ESDM telah mewajibkan program divestasi ini. Aspek legal program ini dibahas pada artikel terpisah. IRESS menganggap rencana divestasi atau sharing-down saham tersebut jelas bermasalah dan justru wajib ditolak rakyat. Pertama, karena mengelola saham Rokan secara mandiri merupakan hak konstitusional Pertamina/PHR, Kedua, Rokan merupakan blok yang sudah berproduksi yang minim risiko sebagaimana blok yang masih tahap eksplorasi. Ketiga, PHR tidak butuh suntikan dana dari mitra (akrobat kata-kata manipulatif ini sering diumbar), cukup dengan meminjam, karena Blok Rokan sudah mengahasilkan pemasukan sekitar US$ 10,89 juta setiap hari atau sekitar US$ 3,92 miliar (Rp 55 triliun) setiap tahun. Keempat dengan underlaying bisnis demikian, justru akan banyak bank/lembaga keuangan menawarkan pinjaman termurah pada Pertamina. Dengan demikian untung besar dan maksimal tetap bisa diraih tanpa harus kehilangan saham. (akibat divestasi). Kelima, dengan potensi keuntungan dan ROI yang demikian besar di satu sisi dan risiko yang rendah di sisi lain, maka sulit diterima akal sehat (kecuali ada faktor moral hazard) jika Pertamina masih berminat berbagi keuntungan besar kepada investor lain. Konon Pertamina pun memang tidak berminat untuk sharing down saham. Keenam, ika dikatakan selain dana, calon mitra juga akan membawa keahlian dan teknologi, maka “promotor program divestasi” ini dapat dianggap telah melecehkan kemampuan bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Teknologi pun bisa dibeli/disewa. Faktanya, lebih dari 90% karyawan CPI resmi beralih menjadi karyawan PHR. Dirut PHR Jaffee A. Suardin pun telah mengakui perihal mulusnya transfer alih kelola. Terkait SDM, ke depan Pertamina perlu memperhatikan jalur karir karyawan eks CPI hingga dapat menduduki posisi maksimal secara adil, objektif dan profesional sesuai kompetensi. Setelah dikuasai asing (Caltex & Chevron) selama hampir satu abad (sejak 1936), pengelolaan Blok Rokan oleh bangsa sendiri merupakan dambaan sebagian besar anak bangsa. Dengan demikian akan diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, target tersebut tidak akan tercapai jika muncul “sabotase” melalui kebijakan sarat moral hazard dan perburuan rente, terutama karena besarnya keuntungan yang ingin diraih. Kalau tidak mau jadi pecundang, DPR atau minimal rakyat harus melawan rencana sarat nuansa oligarkis ini.[] Penulis, Direktur Eksekutif IRESS.