ENERGI

Pemerintah Ubah Regulasi Pengusahaan Gas Bumi pada Sektor Hilir

Jakarta, FNN - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif telah menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 04 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Perubahan tersebut sebagai langkah strategis meningkatkan pemanfaatan gas bumi dan percepatan pengembangan fasilitas dan penyaluran gas bumi kepada konsumen. "Revisi ini untuk percepatan perizinan niaga gas bumi," kata Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat. Soerjaningsih menegaskan penetapan regulasi bertujuan untuk mempercepat dan memberi kemudahan perizinan serta memberikan kepastian hukum dalam berusaha bagi para badan usaha, serta memberikan keandalan pasokan konsumen gas bumi dan peluang usaha infrastruktur gas bumi. Dia menjelaskan tata kelola gas bumi dalam upaya efisiensi dan efektifitas ada pengaturan terkait alokasi gas bumi yang diberikan langsung kepada pengguna akhir atau sebaliknya badan usaha niaga yang menjual kepada pengguna akhir. Selain itu, pengaturan perizinan berusaha dan harga gas bumi mengenai peran BPH Migas dalam menetapkan hak khusus dan besaran toll fee atas ruas transmisi agar ada kepastian hukum dan berusaha bagi para badan usaha dan terpenuhinya hak-hak konsumen gas bumi. "Tidak ada peran BPH Migas yang ditiadakan dalam perubahan regulasi, melainkan digeser dari yang semula pada pemberian rekomendasi pada setiap badan usaha yang akan mengajukan izin menjadi informasi setiap perencanaan lelang," ujarnya. Soerjaningsih menerangkan bahwa rekomendasi tersebut fungsinya untuk mengonfirmasi rencana lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) yang sudah dimiliki BPH Migas, sehingga dokumen itu dapat dimintakan kepada BPH Migas berdasarkan rencana satu tahun berjalan. Kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa dapat dilakukan oleh badan usaha lain setelah mendapatkan izin usaha niaga migas dari Menteri ESDM, jika wilayah yang dibangun belum masuk dalam penetapan rencana lelang WJD oleh BPH Migas pada tahun berjalan. Dalam regulasi terbaru itu, badan usaha pemegang izin usaha niaga migas dapat melakukan pengembangan fasilitas dan menyalurkan gas bumi kepada konsumen baru setelah melakukan penyesuaian izin usaha niaga migas sampai dengan ditetapkannya badan usaha pemegang hak khusus WJD. "Dengan adanya aturan ini, maka badan usaha dapat mengajukan izin ke pelanggan eksisting badan usaha lain dan pelanggan baru. Hal ini dalam rangka kehandalan pasokan bagi pelanggan," pungkas Soerjaningsih. (mth)

Alih Kelola Blok Rokan (1): Waspadai Oligarki dan Pemburu Rente!

Oleh Marwan Batubara, PADA hari Senin, 9 Agustus 2021 minggu depan, pengelolaan Blok Rokan resmi berpindah dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) kepada Pertamina melalui anak usaha Pertamina Hulu Rokan (PHR). Chevron (sebelumnya Socal, lalu Caltex) menguasai blok migas di Riau tersebut sejak 1936. Kontrak Blok Rokan ditandatangani PHR dengan SKK Migas atas persetujuan Menteri ESDM 9 Mei 2019. Kontrak akan berlangsung 20 tahun, 2021-2041, menggunakan skema gross split. Bulan lalu Dirut PHR Jaffee Arizona Suardin mengatakan proses alih kelola Blok Rokan telah berjalan lancar tanpa kendala. Proses mirroring seluruh kontrak eksisting (dengan CPI) sudah lebih dari 100% dari 291 kontrak. Selain mirroring, juga dilakukan pengadaan baru dan kontrak melalui program pengembangan bisnis lokal yang juga berjalan lancar. Proses alih pekerja pun telah mencapai 98,7% kata Jaffee (13/7/2021). Dari sisi operasional alih kelola Blok Rokan tampaknya akan baik-baik saja. Sehingga target PHR mempertahankan lifting Blok Rokan sekitar 165.000 barel per hari (bph), sama seperti saat dikelola CPI, tampaknya dapat tercapai, terutama karena PHR menempuh pola mirroring kontrak. Kita tidak tahu apakah dalam pola tersebut terkandung pula maksud “mengamankan” kepentingan “para sub-kontraktor lama” yang biasa berkontrak dengan CPI. Yang jelas, untuk bisnis migas sebesar Blok Rokan, pemimpinnya malah berasal dari SKK Migas, bukan dari induknya, yakni Pertamina sebagai pemegang 100% Blok Rokan. Ke depan, seharusnya Pertamina/PHR segera menangani kontrak/sub-kontrak secara mandiri. Sebab, bisa saja kontrak existing CPI (yang di-mirror PHR) bernilai sangat mahal, sehingga agar efisien dan efektif harus direview sesuai kebutuhan rencana pengembangan jangka pendek dan panjang. Dengan demikian akan diperoleh manfaat maksimal bagi BUMN dan negara. Kalau tidak mandiri, apa gunanya Pertamina menjadi operator pengelola Rokan? Selain itu maksimalisasi benefit bisa saja gagal tercapai mengingat kontrak Blok Rokan menggunakan skema gross split, di mana peran pengawasan SKK migas menjadi sangat minimalis untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Kondisi menjadi lebih parah karena fungsi pengawasan dan audit internal BUMN belum berjalan optimal. Manajemen BUMN selama ini pun tidak berjalan independen, prinsip GCG tidak optimal, kepentingan politik penguasa cukup dominan, serta intervensi oligarki dan perburuan rente pun cukup kental. Agar pengelolaan Blok Rokan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah dan DPR harus menangkal atau mengeliminasi intervensi oligarki pemburu rente, GCG ditingkatkan dan fungsi pengawasan internal & ekternal dioptimalkan. Kalau tidak, bukan benefit maksimal yang dicapai, tetapi seberapa besar akhirnya penerimaan negara menurun dibanding sebelumnya! Sebagai catatan, selama pemerintahan Jokowi, kondisi BUMN justru semakin runyam terutama akibat maraknya intervensi oligarki dan perburuan rente. Selain aspek operasional, aspek bisnis pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang berpotensi merugikan negara adalah terkait kewajiban divestasi atau share down pemilikan saham. Dalam hal ini PHR telah diminta melakukan divestasi atau pengalihan saham, participating interest (PI) maksimal 39%. Karena 10% PI sudah menjadi milik Pemda/BUMD terkait, maka saham yang dimiliki Pertamina kelak hanya akan tinggal 51%. Hal yang tak kalah penting adalah, berapa *besar dana yang akan dibayar sang mitra* untuk mengakuisisi saham tersebut (dibahas pada artikel berikut). Sebelum membahas lebih lanjut perlu dipahami tentang volume dan nilai bisnis seputar pengelolaan Blok Rokan. Dengan produksi 165.000 bph dan harga rata-rata minyak mentah (crude oil) dalam 10 tahun terkahir US$ 66 per barel (berfluktuasi antara US$ 39 s.d US 97 per barel), maka kita bicara tentang nilai pendapatan kotor sekitar US$ 10,89 juta per hari atau US$ 3,92 miliar per tahun atau US$ 78,40 miliar selama 20 usia kontrak. Dengan kurs US$/Rp= 14.000, maka pendapatan kotor tersebut setara dengan sekitar Rp 1100 triliun. Merujuk pada pengelolaan Blok Mahakam, IRESS memperoleh informasi bahwa dana pendapatan kotor produksi migas terdistribusi kepada NKRI, kontraktor (Total Indonesie, Prancis) dan Cost Recovery masing-masing dengan perbandingan 60%, 22% dan 18%. Hanya dari perhitungan periode 1997-2012 saja, yakni selama 16 tahun (padahal Total mengelola Blok Mahakam selama 50 tahun, 1967-2017), keuntungan yang diperoleh Total adalah US$ 23 miliar. Karena itu tak heran jika return on investment kontraktor/Total mencapai 105%! Karena beroperasi di darat, maka pembangunan sumur-sumur dan sarana lain jauh lebih murah dibanding Blok Mahakam yang beroperasi di laut, lepas pantai. Selain itu, sebagaimana dipromosikan pemerintah, skema gross split akan lebih menguntungkan bagi kontraktor. Di sisi lain, Blok Rokan memang memerlukan biaya lebih besar karena adanya operasi penyuntikan air, gas atau kelak zat kimia untuk merecover minyak. Namun demikian, secara keseluruhan, diyakini keuntungan PHR minimal sekitar 22% pendapatan kotor (Rp 242 triliun). Dengan cadangan masih miliaran barel (1,5 hingga 2,5 miliar barel), potensi keuntungan bersih minimal sekitar Rp 242 triliun, maka pasti banyak kontraktor asing dan swasta yang bernafsu untuk memiliki saham Blok Rokan, termasuk CPI yang sebelumnya sangat berharap mendapat perpanjangan kontrak. Pemerintah pun telah membuka jalan lebar-lebar bagi investor untuk mengakuisisi sebagian saham PHR. Bahkan Kementrian ESDM telah mewajibkan program divestasi ini. Aspek legal program ini dibahas pada artikel terpisah. IRESS menganggap rencana divestasi atau sharing-down saham tersebut jelas bermasalah dan justru wajib ditolak rakyat. Pertama, karena mengelola saham Rokan secara mandiri merupakan hak konstitusional Pertamina/PHR, Kedua, Rokan merupakan blok yang sudah berproduksi yang minim risiko sebagaimana blok yang masih tahap eksplorasi. Ketiga, PHR tidak butuh suntikan dana dari mitra (akrobat kata-kata manipulatif ini sering diumbar), cukup dengan meminjam, karena Blok Rokan sudah mengahasilkan pemasukan sekitar US$ 10,89 juta setiap hari atau sekitar US$ 3,92 miliar (Rp 55 triliun) setiap tahun. Keempat dengan underlaying bisnis demikian, justru akan banyak bank/lembaga keuangan menawarkan pinjaman termurah pada Pertamina. Dengan demikian untung besar dan maksimal tetap bisa diraih tanpa harus kehilangan saham. (akibat divestasi). Kelima, dengan potensi keuntungan dan ROI yang demikian besar di satu sisi dan risiko yang rendah di sisi lain, maka sulit diterima akal sehat (kecuali ada faktor moral hazard) jika Pertamina masih berminat berbagi keuntungan besar kepada investor lain. Konon Pertamina pun memang tidak berminat untuk sharing down saham. Keenam, ika dikatakan selain dana, calon mitra juga akan membawa keahlian dan teknologi, maka “promotor program divestasi” ini dapat dianggap telah melecehkan kemampuan bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Teknologi pun bisa dibeli/disewa. Faktanya, lebih dari 90% karyawan CPI resmi beralih menjadi karyawan PHR. Dirut PHR Jaffee A. Suardin pun telah mengakui perihal mulusnya transfer alih kelola. Terkait SDM, ke depan Pertamina perlu memperhatikan jalur karir karyawan eks CPI hingga dapat menduduki posisi maksimal secara adil, objektif dan profesional sesuai kompetensi. Setelah dikuasai asing (Caltex & Chevron) selama hampir satu abad (sejak 1936), pengelolaan Blok Rokan oleh bangsa sendiri merupakan dambaan sebagian besar anak bangsa. Dengan demikian akan diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, target tersebut tidak akan tercapai jika muncul “sabotase” melalui kebijakan sarat moral hazard dan perburuan rente, terutama karena besarnya keuntungan yang ingin diraih. Kalau tidak mau jadi pecundang, DPR atau minimal rakyat harus melawan rencana sarat nuansa oligarkis ini.[] Penulis, Direktur Eksekutif IRESS.

Indika Energy Targetkan Separuh Pendapatan Tak Lagi Ditopang Batu Bara

Jakarta, FNN - PT Indika Energy Tbk menargetkan 50 persen pendapatan perseroan tak lagi ditopang dari komoditas batu bara pada 2025. Wakil Direktur Utama dan Group CEO Indika Energy Azis Armand mengatakan sejak tiga tahun lalu pihaknya telah melakukan diversifikasi terhadap proyek-proyek energi terbarukan hingga teknologi. "Investasi diversifikasi Indika Energy meliputi tambang emas, teknologi digital, energi baru dan terbarukan, kendaraan motor listrik, juga solusi berbasis alam atau nature based solutions. Kami menargetkan 50 persen pendapatan dari sektor non-batu bara pada tahun 2025," kata Azis Armand dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Lebih lanjut dia mengungkapkan situasi ekonomi global akibat pandemi masih cukup menantang, sehingga memacu perseroan untuk lebih adaptif dan tangkas dalam melihat peluang usaha. Menurutnya, diversikasi investasi itu merupakan inovasi Indika Energy dalam melihat perubahan tren energi di masa depan yang cenderung memprioritaskan sektor energi baru terbarukan. “Sejak 2018, Indika Energy telah melakukan diversifikasi di luar sektor inti kami di bidang energi dan pertambangan. Hal ini sejalan dengan tujuan eksistensi kami untuk memberi energi pada Indonesia demi masa depan yang berkelanjutan," terang Azin. Perseroan telah menambah utang sebesar 125 juta dolar AS untuk mendanai proyek-proyek diverisifikasi tersebut. Beberapa anak usaha Indika Energy yang terdiversifikasi, antara lain PT Nusantara Resources Limited bergerak dalam bidang pertambangan emas, PT Tripatra Multi Energi dan PT Indika Tenaga Baru merupakan investasi energi terbarukan, hingga PT Electra Mobilitas Indonesia yang menggarap kendaraan motor listrik. Selanjutnya ada juga PT Xapiens Teknologi Indonesia yang bergerak dalam bidang enterprise informasi dan teknologi, PT Zebra Cross Teknologi dalam bidang jasa teknologi digital, PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya yang menggarap bisnis energi terbarukan, serta PT Indika Multi Properti yang melayani proyek properti dan konstruksi bangunan. (mth)

Nawa Cita dan Penghancuran PLN

Oleh Ahmad Daryoko (Koordinator INVEST) DARI siaran pers SP PLN-PP IP- SP PJB , Selasa 27 Juli 2021 lewat zoom, dapat disimpulkan bahwa pemerintah akan "menghabisi" instalasi PLN pembangkitan Jawa -Bali dari sisa 10% yang masih ada sejak 2020. Ini sesuai hasil Seminar pada 22 Juli PP IP dan SP PJB). Sehingga di masa yang akan datang, paling lama tahun depan, PLN hanya menguasai transmisi dan distribusi alias "jaga tower" listrik. Sejak saat itu kawasan Jawa-Bali sudah secara total dikuasai Huadian, GE, Shenhua serta BUMN non-PLN yang otomatis akan berlangsung kompetisi penuh kelistrikan atau apa yang disebut sebagai MBMS (Multi Buyer and Multi Seller) System. Atau mengikuti kemauan pihak penyandang dana seperti WB,ADB, IMF (group IFIs) dan Bank of China dalam konsep yg dinamakan "The Power Sector Restructuring Program" (PSRP). Dengan demikian hilanglah kedaulatan kelistrikan NKRI. Perlu dijelaskan bahwa di kawasan Jawa-Bali yang rata-rata perhari butuh daya 30.000 MW, PLN masih sharing sekitar 3000 MW (atau sekitar 10%) perhari yang berasal dari PLTA dan PLTGU. Sedang sekitar 17.000 MW pembangkit PLN lainnya "mangkrak" karena instruksi Menteri BUMN (Tempo 14 Des 2019, Jawa Pos 16 Mei 2020). Kebijakan lanjut agar PLN tidak memiliki pembangkit di Jawa-Bali maka rencananya, pertama geothermal akan diserahkan ke Pertamina. Kedua, PLTU-PLTU akan dibikin BUMN terpisah dan dilakukan IPO dengan strategic sales. Perlu juga diperhatikan bahwa pertama PLTA akan diserahkan ke perusahaan BUMN Jasa Tirta (PJT) seperti Jatiluhur dan lainnya. Kedua, PLTGU (Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap) akan di relokasi ke luar Jawa-Bali sebagai persiapan "unbundling horisontal" Jawa Bali - Luar Jawa Bali sesuai konsep PSRP. Ketiga, PLN Pusat Pengatur Beban (P2B) di Cinere akan dijadikan lembaga independen yang berfungsi sebagai pengatur sistem dan pengatur pasar kelistrikan. Keempat, akan dibentuk Badan Pengawas Pasar Ketenagalistrikan (BAPETAL). Poin ketiga dan keempat merupakan bagian dari konsep PSRP. Dengan demikian tidak ada lagi pembangkit PLN di Jawa-Bali. PLN selanjutnya hanya sebagai "penjaga tower" dan P2B juga lepas dari PLN menjadi Lembaga Independen. Sehingga Jawa-Bali sudah sepenuhnya "unbundling vertikal". Semua ini melawan putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 ! Dengan fakta-fakta ini maka bisa disimpulkan bahwa Nawa Cita hanya berhenti sebagai "jargon kosong" alias "bullshit". Ini terjadi karena ideologi ethatisme (yang ada di Pancasila dan UUD 1945) sebagai implementasi kehadiran negara di tengah rakyat "diplintir" menjadi "bancakan PLN" di tengah rakyat yang disponsori Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan, Erick Tohir, dan Dahlan Iskan. Ideologi "Ethatisme" sebagai ruh Pancasila dan UUD 1945, berubah menjadi ideologi liberal dengan jargon "siapa kuat dia yang menang " Rakyat cukup nonton, "mlongo" dan harap-harap cemas menunggu kenaikan listrik berlipat. Bagi yang tidak kuat bayar listrik silahkan siap-siap pakai lilin, teplok, oncor, upet dan sejenisnya. Karena negara hanya tinggal nama tanpa makna.

Internet Ubah Pola Operasional Perusahaan Migas

Jakarta, FNN - Tenaga Ahli SKK Migas Heri Margono mengatakan transformasi digital berbagai aspek operasional di lingkungan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah berlangsung sejak tahun 201, mengubah pola operasi perusahaan migas. “Digitalisasi proses di SKK Migas merupakan bagian dari implementasi rencana dan strategi Indonesia Oil and Gas (IOG) 4.0 untuk mewujudkan target jangka panjang 2030, yaitu produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BSCF," kata Heri Margono dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Heri menambahkan berbagai kegiatan perizinan di SKK Migas kini telah dilakukan secara digital melalui kebijakan pelayanan satu pintu (ODS). Bahkan saat ini hampir seluruh operasional utama hulu migas telah terintegrasi dan terpantau melalui pusat operasi terintegrasi (IOC), seperti pengeboran, operasional produksi, monitoring pengapalan, monitoring lifting, hingga inventory. Sedangkan untuk proses pengadaan barang dan jasa juga telah dilakukan secara digital melalui centralized integrated vendor database (CVID). “Peran sumber daya manusia sangat besar dalam setiap proses dan setiap jenjang digitalisasi yang dilaksanakan oleh SKK Migas maupun kontraktor kontrak kerja sama (KKKS)," ujar Heri. Dia mengungkapkan hulu migas sebagai industri yang padat teknologi menjadi salah satu industri yang telah menerapkan konsep Industri 4.0 dalam setiap kegiatan operasional. “Targetnya produktivitas akan meningkat, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan efisiensi dan daya saing industri hulu migas," pungkas Heri. CEO Nusantrics Sharlini Eriza Putri menegaskan meski teknologi memudahkan pekerjaan, namun teknologi bukan jawaban dan bisa menjadi simalakama karena ada berbagai macam teknologi, sehingga manusia harus bisa memilih yang terbaik. “Di hulu migas ada teknologi injeksi uap EOR dan lainnya, namun teknologi tersebut kemungkinan hanya bisa mengambil 30 persen dari potensi hulu migas. Mencari teknologi yang lain tentu harus dilakukan, termasuk teknologi yang berasal dari alam," tegas Sharlini. Lebih lanjut dia mengungkapkan pekerjaan hulu migas di luar negeri telah menggunakan bioteknologi memanfaatkan bakteri dan mikroorganisme untuk dapat mengangkat minyak di dalam tanah. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia membutuhkan minyak dari 1,66 juta barel menjadi sebanyak 3,97 juta barel pada 2050. Sementara saat ini hanya 20 cekungan yang beroperasi dari total 128 cekungan yang ada di Indonesia. Bahkan, masih terdapat 68 cekungan yang belum dieksplorasi. Pemerintah berupaya meningkatkan produksi migas di dalam negeri melalui beberapa strategi, seperti menahan penurunan produksi dari lapangan yang sudah ada, akselerasi pengembangan lapangan, implementasi teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), dan eksplorasi untuk menemukan lapangan migas baru. (mth)

Pertamina Bangun PLTS 1,34 Megawatt di Kilang Cilacap

Jakarta, FNN - PT Pertamina (Persero) membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 1,34 megawatt di Kilang Cilacap, Jawa Tengah sebagai komitmen perusahaan mendorong perluasan program energi baru terbarukan. Pjs SVP Corporate Communications & Investor Relations Pertamina Fajriyah Usman mengatakan keseluruhan nilai proyek pembangkit sebesar 1,3 juta dolar AS yang mencakup fasilitas pendukung di area rumah sakit Pertamina Cilacap, gelanggang olahraga, serta kawasan perumahan di Katilayu dan Gunung Simping. “Kapasitas pembangkit yang sedang dibangun itu akan mengurangi sekitar 13,5 persen energi dari penggunaan daya listrik eksisting bahan bakar fosil,” kata Fajriyah Usman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Fajriyah menjelaskan proyek itu telah menyerap tenaga kerja lokal sekitar 67 persen dari total kebutuhan dan secara kumulatif penyerapan TKDN pada proyek ini mencapai 46,1 persen, belum termasuk untuk pengadaan baterai atau sistem penyimpanan. Dia menambahkan pihaknya saat ini memprioritaskan implementasi energi baru terbarukan seluas-luasnya di wilayah kerja perseroan, termasuk Kilang Cilacap. Pertamina membuka peluang bagi masyarakat sekitar yang berminat untuk menggunakan PLTS di rumah mereka masing-masing melalui skema business to business. "Kami berharap kehadiran PLTS di Kilang Cilacap itu akan menambah kesadaran dan kepedulian masyarakat sekitar area kilang terhadap energi bersih," ujar Fajriah. Pertamina melalui anak usaha PT Pertamina New Renewable Energy (PNRE) telah menyelesaikan sejumlah proyek pembangkit listrik tenaga surya, antara lain PLTS Badak berkapasitas empat megawatt dan fasilitas pembangkit di sejumlah SPBU Pertamina dengan total kapasitas 260 kilowatt. Sedangkan proyek pembangkit listrik tenaga surya lain yang sekarang sedang dibangun adalah PLTS Kilang Dumai berkapasitas dua megawatt dan PLTS KEK Sei Mangkei berkapasitas dua megawatt. Selain PLTS, Pertamina juga memiliki beberapa portofolio energi bersih, yaitu pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan total kapasitas 672 megawatt, pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) berkapasitas dua megawatt di Sei Mangkei, dan PLTBg Pagar Merbau berkapasitas 2 x 1 megawatt. (mth)

PLN Gencar Membangun Infrastruktur Pembangkit Listrik Panas Bumi

Jakarta, FNN - Perusahan Listrik Negara (PLN) berkomitmen mendukung aksi penurunan emisi karbon sektor ketenagalistrikan di Indonesia dengan gencar membangun infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi mengatakan dalam waktu dekat akan ada tiga proyek pembangkit yang akan beroperasi menyuplai listrik bersih bagi masyarakat. "Kami berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor ketenagalistrikan dengan menerapkan dekarbonisasi di sektor energi dengan mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target 23 persen pada 2025," kata Agung Murdifi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Ketiga proyek pembangkit yang akan segera beroperasi adalah PLTP Dieng di Jawa Tengah, PLTP Lahendong di Sulawesi Utara, dan PLTP Ulubelu di Nusa Tenggara Timur. Agung mengungkapkan PLTP Dieng ditargetkan beroperasi secara komersial pada 2023 mendatang. Pembangkit berkapasitas 10 megawatt itu merupakan proyek kerja sama antara PLN Gas & Geothermal dan Geo Dipa Energi. Selanjutnya, PLTP Lahendong dengan kapasitas lima megawatt akan beroperasi pada 2023. Proyek pembangkit itu hasil kerja sama PLN Gas & Geothermal dengan Pertamina Geothermal Energy yang memiliki kapasitas potensial hingga 30 megawatt. Kemudian, PLTP Ulubelu berkapasitas 10 megawatt akan beroperasi secara komersial pada 2024. Proyek pembangkit yang diperkirakan memiliki potensi 100 megawatt itu juga hasil kerja sama antara PLN dengan Pertamina. "Keberhasilan ini merupakan hasil dari sinergi BUMN, antara PLN, Pertamina Geothermal Energy, dan Geodipa Energy," ujar Agung. Beberapa proyek pembangkit listrik panas bumi yang telah beroperasi milik PLN, antara lain PLTP Ulubelu unit I dan II sebesar 110 megawatt, PLTP Mataloko 2,5 megawatt, PLTP Lahendong 80 megawatt, dan PLTP Ulumbu 10 megawatt. Perusahaan setrum negara itu juga memiliki proyek pembangkit yang telah masuk dalam rencana pembangunan, yakni pembangkit di wilayah Kepahiang sebesar 110 megawatt pada 2027, pembangkit di Tangkuban Perahu berkapasitas 40 megawat pada 2026, dan pembangkit di wilayah Ungaran sebesar 55 megawatt pada 2027. Selain itu, ada pula rencana pembangunan pembangkit Oka Ille Ange sebesar 10 megawatt pada 2028, pembangkit Atadei sebesar 10 megawatt pada 2027, pembangkit Tulehu sebesar 20 megawatt pada 2025, dan pembangkit Songa Wayaua 10 megawatt pada 2025. (mth)

ReforMiner: Tekan Impor Migas dengan Pemanfaatan Panas Bumi

Jakarta, FNN - Lembaga riset ekonomi bidang tambang dan energi ReforMiner Institut merilis studi terbaru tentang pemanfaatan panas bumi yang dapat menghemat devisa impor migas. "Pemanfaatan tenaga listrik panas bumi (PLTP) yang digunakan untuk mensubstitusi tenaga listrik dari BBM (PLTD) dapat menghemat kebutuhan devisa impor migas dalam jumlah yang cukup signifikan," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro dalam keterangannya di Jakarta, Minggu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca impor migas meningkat sebanyak 239,38 persen secara year on year (yoy) pada Juni 2021. Kondisi itu menyebabkan peningkatan kebutuhan devisa impor migas untuk bahan bakar PLTD. Kajian terbaru ReforMiner menjelaskan peningkatan kebutuhan devisa impor migas, akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, berpotensi memberikan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Aspek moneter dari impor migas berpotensi menyebabkan defisit neraca dagang dan depresiasi nilai tukar rupiah, sedangkan untuk fiskal berpotensi menambah kebutuhan anggaran subsidi di APBN. Sementara bagi sektor riil berpotensi menurunkan daya saing barang dan jasa yang diproduksi. "Pemanfaatan panas bumi dapat menjadi salah satu instrumen untuk mengurangi kebutuhan devisa impor migas," ujar Komaidi. Dalam kajian terbaru itu disebut bahwa kebutuhan untuk membangkitkan satu megawatt PLTD memerlukan sekitar 47,30 barel BBM per hari, sehingga Indonesia memerlukan sekitar 93,34 juta barel BBM per tahun. Jika PLN mensubstitusi produksi listrik dari PLTD menggunakan pembangkit berbasis panas bumi, maka negara akan menghemat devisa impor migas lebih dari 1,67 miliar dolar AS per tahun. Pembangkit bertenaga panas bumi mampu menghasilkan listrik sekitar tujuh kali lebih besar dibandingkan pembangkit bertenaga diesel. Faktor kapasitas PLTP sekitar 70-76 persen menduduki posisi tertinggi kedua setelah pembangkit listrik tenaga nuklir yang memiliki kapasitas antara 87,94 persen. "Selain dapat mengurangi kebutuhan devisa impor migas, pemanfaatan dan pengusahaan panas bumi juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP) di APBN," pungkas Komaidi. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) komponen PNBP panas bumi yang disetorkan kepada negara meliputi pendapatan pengusahaan panas bumi, pendapatan iuran tetap eksplorasi, pendapatan iuran tetap operasi, dan pendapatan iuran produksi atau royalti. Saat ini pengusahaan panas bumi merupakan satu-satunya pengusahaan di sub-sektor energi baru terbarukan yang telah memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara. Selain memberikan kontribusi bagi keuangan pemerintah pusat, pengusahaan panas bumi juga memberikan kontribusi terhadap keuangan daerah. Kontribusi sub-sektor panas bumi terhadap keuangan daerah melalui transfer dana bagi hasil sumber daya alam panas bumi dan bonus produksi panas bumi. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, bonus produksi panas bumi diberikan kepada wilayah administratif di mana panas bumi tersebut diusahakan yang dilakukan sejak unit pertama PLTP beroperasi secara komersial. "Bonus produksi panas bumi ditetapkan sebesar 0,5 persen untuk perjanjian jual beli listrik dan satu persen untuk perjanjian jual beli uap," pungkas Komaidi. (mth)

Fanshurullah Asa Luncurkan Dua Buku Migas

Pontianak, FNN - Kepala BPH Migas periode 2017-2021 Fanshurullah Asa mempertahankan tradisi dengan menerbitkan dua buku yang diberi judul "Energi untuk Kemandirian" dan "Talang Emas Hilir Migas" di penghujung masa bhaktinya. "Sebagai sebuah periode, Komite BPH Migas 2017-2021 selain memiliki pencapaian, tentu juga memiliki catatan-catatan yang umumnya akan dituangkan dalam rekomendasi agar bisa menjadi perhatian Komite berikutnya," kata Fanshurullah Asa saat dihubungi di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu. Ia menjelaskan isi buku yang berjudul Energi untuk Kemandirian berisi refleksi 10 tahun berkiprah sebagai Komite BPH Migas, juga sebagai Kepala BPH Migas dan pengalaman hampir 30 tahun di sektor migas. Sedangkan buku yang berjudul Talang Emas Hilir Migas berisi testimoni para tokoh nasional terhadap sosok Ifan, panggilan akrabnya. "Dua buku ini adalah pertanggungjawaban secara intelektual dan leadership tentang visi dan capaian selama bertugas di BPH Migas dan di sektor hilir migas," ujar Fanshurullah Asa. Pada ilustrasi isi buku menggambarkan di antaranya Indonesia pernah menjadi primadona khususnya minyak. Produksi melimpah dan berhak menjadi anggota organisasi produsen minyak mentah dunia, OPEC. Namun catatan sejarah emas itu telah pupus ketika Indonesia menjadi importir minyak untuk memenuhi kebutuhan konsumen domestik. Sementara itu produksi gas alam yang melimpah lebih banyak dinikmati negara lain ketimbang anak bangsanya sendiri. "Pada saat ini, muncul keinginan untuk mengembalikan kejayaan sektor migas di Tanah Air. Sejumlah regulasi terus dibenahi guna menarik investasi," kata dia. Aspek kelembagaan terus ditata untuk memastikan semua lapisan masyarakat menikmati manfaat dari sektor migas, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. "Manfaat langsung tentunya dapat berupa kemudahan mendapatkan BBM dan gas alam, harga yang terjangkau, pasokan yang terjamin, dan lain-lain," katanya. Manfaat tidak langsung bisa dirasakan dengan bergeraknya roda perekonomian nasional maupun daerah, yang salah satunya didorong sumbangan sektor migas, yang menjadikan masyarakat lebih makmur dan sejahtera. "Aspek kemanfaatan energi secara langsung kepada masyarakat itulah yang ditangani BPH Migas. Badan ini bertugas menata, mengatur, dan mengawasi hilir migas dengan baik agar penyediaan dan distribusi energi, terutama BBM dan gas alam, lancar hingga ke seluruh wilayah Indonesia," katanya. UU Migas, kata dia, secara eksplisit menyebutkan bahwa BPH Migas adalah sebuah badan independen untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga. BPH Migas Berusia 18 Tahun "Sejauh ini, BPH Migas masih berkutat pada persoalan distribusi BBM dan gas bumi. Itu pun hanya yang dilaksanakan melalui pipa. BPH Migas sama sekali belum hadir dalam aspek pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan migas," ungkap dia. Banyak gagasan untuk mengantarkan BPH Migas memasuki ceruk bisnis tersebut. Misalnya, dengan menggunakan dana Iuran Badan Usaha (IBU) untuk membangun depo-depo penyimpanan BBM, pembangunan SPBU skala kecil di pedesaan dan daerah 3T, dan lain-lain. "Sayangnya, langkah BPH Migas untuk merealisasikan gagasan ini masih terkendala berbagai soal, terutama aspek legalitas. Distribusi BBM ke seluruh pelosok negeri bukan hanya sekedar persoalan niaga," kata dia. Ia melanjutkan komoditas ini tidak bisa dilepaskan begitu saja kepada mekanisme pasar karena akan menimbulkan disparitas harga yang lebar. "Harga BBM di Pulau Jawa pasti akan murah karena pasokannya lancar dan infrastrukturnya mumpuni. Tetapi, masyarakat di luar Pulau Jawa akan tercekik harga BBM yang mahal. Di sini, BPH Migas hadir untuk memberikan keadilan energi dengan mendukung kebijakan BBM Satu Harga," kata Fanshurullah Asa. Ia berharap melalui buku tersebut dengan bahasa penyajian tulisan lugas dan efektif, menjadi lebih enak dibaca dan mudah dipahami terlebih bagi kalangan yang berkecimpung dan menaruh perhatian pada sektor migas. Selain itu, memperluas cakrawala pemahaman khususnya hilir migas, urgensi maupun kompetensi diri sebab yang dituangkan adalah pemikiran terukur berdasarkan pengalaman yang lebih dari cukup, saling berkaitan dan komprehensif. Peluncuran buku akan dilangsungkan secara hibrid, online dan offline, tentu dengan mengetatkan protokol kesehatan. Buku dicetak dan diterbitkan oleh Kompas Gramedia, dijual dalam bentuk cetakan dan e book. Di dalamnya tertuang kata pengantar dari Wantimpres RI, Dr. (HC) Habib Luthfi bin Ali bin Yahya.  (mth)

SKK Migas Setujui Pengembangan Blok Madura Strait Rp1,7 triliun

Jakarta, FNN - SKK Migas memberikan persetujuan rencana pengambangan Blok Madura Strait di Jawa Timur yang dioperasikan Husky CNOOC Madura Limited (HCML) dengan menggarap potensi cadangan gas sebanyak 38,04 BSCF. HCML mengajukan permohonan rencana pembangunan pada 24 Juni 2021. Kemudian, SKK Migas memberikan persetujuan atas usulan tersebut pada 19 Juli 2021. "Persetujuan ini menghasilkan komitmen dari operator Husky-CNOOC Madura Limited untuk mengembangkan Lapangan MBF di wilayah kerja Madura Strait dengan investasi sekitar 88 juta dolar AS atau sekitar Rp1,3 triliun," kata Pelaksana Tugas Deputi Perencanaan SKK Migas Julius Wiratno dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Julius menambahkan bahwa investasi itu akan ikut menggerakkan ekonomi nasional, terkhusus Jawa Timur karena mendapatkan tambahan sumber gas untuk kebutuhan di masa depan. Dia juga merinci investasi tersebut akan digunakan untuk pengeboran deepening dua sumur pengembangan MBF-A1 dan MBF-A2. Kemudian, pembangunan well head platform, pembangunan pipeline menuju fasilitas produksi MDA-MBH, serta modifikasi fasilitas lapangan produksi MDA-MBH (install riser balcony and re-arrange or modification top side sesuai spesifikasi pipeline MBF). Persetujuan rencana pembangunan Blok Madura Strait akan memberikan peningkatan capaian reserve replacement ratio pada Juli 2021. Berdasarkan data SKK Migas tambahan cadangan terbukti hulu minyak dan gas sejak Januari hingga Juni 2021 sebanyak 131,2 juta BOEPD, sehingga reserve replacement ratio menjadi 21 persen. “Dengan persetujuan plan of development Blok Madura Strait, maka reserve replacement ratio meningkat menjadi 22 persen," kata Julius. Lapangan MBF di Blok Madura Strait diproyeksikan akan onstream pada kuartal III 2023. Laju produksi awal akan mencapai 10,05 juta kaki kubik (MMSCFD) dengan laju produksi puncak sebesar 24 MMSCFD pada tahun 2024. Lapangan itu diperkirakan dapat berproduksi selama 10 tahun dan menjadi salah satu lapangan untuk menutup kebutuhan Jawa Timur dan berkontribusi pada upaya peningkatan produksi gas nasional sebesar 12 BSCFD pada tahun 2030. (mth)