Menyoal Rencana Revisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan PLTS Atap

Jakarta, FNN - Sejumlah profesional dan pengamat energi membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo agar menunda revisi Permen tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Jika revisi tetap dilakukan, maka kerugian PLN akan semakin besar.

Tembusan Surat Terbuka yang diterima FNN, dikirim pada 1 September 2021 dan ditandatangani oleh 9 orang, mendesak Presiden sebagai Ketua Dewan Energi Nasional untuk menghentikan proses revisi Permen ESDM tersebut.

Seperti diketahui Kementrian ESDM saat ini sedang dalam proses merevisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap oleh Konsumen Perusahaan Listrik Negara untuk yang ketiga. Revisi sebagian ketentuan dalam peraturan tersebut memang akan bermanfaat. Namun ada pula perubahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara, PLN dan rakyat.

Berbagai perubahan yang akan dilakukan meliputi: (1) peningkatan tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100%, (2) kelebihan tabungan listrik dinihilkan diperpanjang, (3) permohonan izin PLTS Atap dipercepat, (4) pelanggan PLTS Atap dapat melakukan perdagangan karbon, (5) sistem operasi menggunakan aplikasi digital, (6) pelayanan berlaku bagi pelanggan non PLN, dan (7) PLN akan menyediakan pusat pengaduan. Dengan revisi tersebut Kementrian ESDM berharap pencapaian target penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23% dapat dipercepat.

Menurut hemat kami, percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23% bukanlah target yang harus dicapai “at any cost”, tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan timbul. Negara, PLN dan rakyat berpotensi mengalami kerugian, terutama akibat perubahan tarif ekspor listrik dari semula 65% menjadi 100%, seperti diuraikan berikut:

1. Bisnis PLN akan dirugikan karena ketentuan tersebut tidak memperhitungkan susut jaringan dalam proses ekspor (distribusi) listrik. Selain itu, ketentuan tersebut tidak memperhitungkan nilai ekonomi dari fasilitas/infrastruktur yang dibangun oleh PLN dan juga didanai oleh APBN.

2. Motif pemasangan PLTS Atap akan berubah dari semula berdasar green lifestyle menjadi berburu keuntungan bisnis (dalam IPP mikro) tanpa mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang berlaku umum.

3. Kewajiban untuk membeli listrik EBT PLTS Atap berpotensi mengganggu cash flow PLN dan menambah beban subsidi listrik di APBN. Masuknya listrik PLTS Atap pada sistem PLN akan meningkatkan BPP listrik secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan meningkatkan anggaran subsidi listrik di APBN untuk setiap tahun anggaran.

4. Neraca daya kelistrikan nasional menjadi tidak stabil, terutama karena tidak adanya batasan kapasitas terpasang PLTS Atap. Sehingga hal ini menimbulkan tambahan biaya operasi dan menurunkan efisiensi sistem kelistrikan nasional.

5. Beban keuangan PLN berpotensi bertambah dan semakin memberatkan. Berdasarkan data yang ada, saat ini sistem kelistrikan Jawa-Bali dan Sumatera sedang mengalami kelebihan produksi/oversupply yang cukup besar. Masuknya ekspor listrik PLTS Atap pada kedua sistem kelistrikan tersebut akan meningkatkan oversupply.

6. Beban biaya yang ditanggung PLN akibat oversupply dan kebijakan Take or Pay (TOP) dari proyek pembangkit listrik 35.000 MW yang saat ini sudah mencapai kisaran puluhan atau bahkan ratusan triliun rupiah akan semakin bertambah jika listrik PLTS Atap masuk dalam sistem kelistrikan.

7. Alokasi subsidi listrik di APBN menjadi tidak tepat sasaran. Data KESDM menyebutkan mayoritas pelanggan PLN adalan Non Subsidi 2.200 – 6.600 VA. Pembelian listrik ekspor PLTS Atap akan menambah anggaran subsidi listrik di APBN, namun yang menikmati pelanggan Non Subsidi.

8. Nilai tambah dan manfaat ekonomi PLTS Atap terhadap perekonomian nasional masih relatif kecil. Saat ini TKDN PLTS Atap masih cukup rendah dan belum memenuhi ketentuan regulasi TKDN pemerintah. Manfaat ekonomi pengembangan PLTS Atap akan lebih banyak dinikmati negara produsen solar panel. Sementara Indonesia berpotensi terjebak menjadi pasar dan konsumen teknologi PLTS yang pada akhirnya tidak dapat memanfaatkan potensi green economy yang semestinya dapat menjadi instrumen menuju pencapain Indonesia Emas 2045.

Berdasarkan sejumlah catatan di atas, terhadap rencana revisi ketiga Permen ESDM No.49/2018 kami merekomendasikan hal- hal sebagai berikut:

1. Untuk keadilan bagi seluruh pihak terkait, maka ketentuan mengenai tarif ekspor listrik harus dipertahankan pada nilai 65%.

2. Untuk memudahkan perencanaan dan menjaga stabilitas sistem kelistrikan, maka perlu dilakukan pembatasan kapasitas terpasang dan pembelian listrik PLTS Atap sesuai kebutuhan sistem kelistrikan nasional.

3. Mempertimbangkan manfaat dan nilai tambah ekonomi nasional masih rendah, maka pemerintah perlu menunda revisi regulasi sampai industri PLTS di dalam negeri telah siap atau telah dapat memenuhi ketentuan TKDN yang ditetapkan pemerintah.

Adapun 9 orang yang menandatangani Surat Terbuka tersebut antara lain:

1. Sofyano Zakaria - Puskepi;

2. Marwan Batubara - IRESS ;

3. Komaidi Notonegoro - Reforminer;

4. Ferdinan Hutahaean - Energy Watch Indonesia ;

5. Defiyan Cory - Ekonom Konstitusi

6. Mamit Setiawan - Energiy Watch ;

7. Salamudin Daeng - AEPI

8. M Kholid Syeirazi - ISNU

9. Abra Talattov - INDEF (sws)

389

Related Post