ENERGI

Adanya Dugaan Pesanan Oligarki Terhadap RUU EBT

Jakarta, FNN – Bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) adalah undang-undang yang mendukung energi bersih dan terbarukan, tetapi ada satu masalah dengan dimasukkannya skema power wheeling. RUU Inisiatif Komisi VII DPR RI tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan tersebut dinilai sudah komprehensif dan bagus oleh Fahmi Radhi (Dosen FEB Universitas Gadjah Mada). Namun, Fahmi menolak power wheeling pada pasal 47A, butir 3b RUU EBT. Adapun power wheeling adalah mekanisme pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN melalui open source. Sedangkan Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR berpendapat agar menimbang betul berdasarkan kebutuhan karena energi bersih yang tidak dikelola, itu menjadi energi yang mahal. Dalam acara diskusi publik daring, Rabu (14/12/2022) juga menghadirkan tiga tokoh lain, Mulyanto mengatakan, pemerintah belum serius membahas regulasi EBT. Dan dengan adanya power wheeling itu, Mulyanto menegaskan agar tarif tidak membebankan rakyat. “Undang-undang ini harus konstitusional, dan UU ini harus memihak rakyat, jangan menghasilkan tarif yang mahal, apalagi melanggengkan impor dengan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang rendah,” tegas Mulyanto. Melihat masalah tersebut, Fahmi menduga adanya keterlibatan pihak oligarki tentang power wheeling yang diusulkan oleh pemerintah dan bukannya DPR. “Jangan-jangan ini usulan dari oligarki yang mencari keuntungan,” ucap Fahmi. Fahmi menilai mekanisme power wheeling melanggar amanah konstitusi karena liberalisasi dengan kelistrikan dan akan memberikan kerugian besar terhadap negara dan rakyat. “Padahal konstitusi UUD 45 itu tidak boleh melakukan liberalisasi untuk produk publik yang penting seperti listrik tadi,” tukas Fahmi. “Dan kedua tidak pro rakyat. Dalam power wheeling liberalisasi tadi, tarif itu ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, kalau sebelumnya oleh pemerintah bersama DPR. Maka dengan masuknya power wheeling itu akan menentukan mekanisme pasar,” jelasnya melanjutkan. Fahmi menyampaikan bahwa EBT tertunda pengesahannya karena adanya penolakan dari Kementerian Keuangan yang melihat adanya power wheeling yang akan membebani APBN. “Jadi, ini saya kira sangat bahaya sekali liberalisasi kelistrikan. Ini sudah beberapa kali dicoba, baik melalui undang-undang atau wacana-wacana publik,” pungkasnya. Penolakan terhadap power wheeling tersebut juga dilontarkan oleh Marwan Batubara, Direktur IRESS. Marwan menjelaskan bahwa liberalisasi kelistrikan sebenarnya sudah terjadi, dan upaya mengurangi atau menghilangkan yang dia sarankan adalah dengan melarang swasta untuk menjual listrik langsung kepada konsumen, melainkan harus melalui PT PLN. “Kita tidak mau bahwa Indonesia itu akhirnya rakyatnya menjadi objek yang dihisap terus-menerus oleh pengusaha oligarki, oleh asing melalui pelayanan listrik,” ucap Marwan. Menurut dia penambahan biaya listrik telah terjadi karena besarnya cadangan listrik yang melebihi kebutuhan. “Cadangan listrik kita di pulau Jawa saja, cadangannya atau namanya reserve margin-nya itu sampai 60 persen, padahal di mana-mana di seluruh dunia, itu angkanya 15-20,” jelas Marwan. Pasokan listrik yang berlebih tersebut disebabkan rencana program 35.000 Megawatt di tahun 2015 yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo yang belum selesai. “Tapi faktanya, PLN tidak butuh sampai segitu banyak. Sehingga ini menjadi biaya operasi (pengeluaran) bagi PLN dan biaya operasi ini dimasukkan ke dalam perhitungan biaya pokok penyediaan listrik IPP (Independent Power Producers) listrik,” tegas Marwan. Marwan juga berpesan kepada pemerintah dan DPR agar membuat regulasi yang pro terhadap rakyat. “Jika anda memperhatikan kepentingan negara dan rakyat, maka hentikanlah penghisapan dan cegahlah Undang-undang EBT ini yang saat ini berpotensi inkonstitusional dan tidak pro rakyat menjadi undang-undang yang sesuai konstitusi dan pro rakyat,” ujarnya. Di sisi lain, Akhmad Akbar Susamto (Ekonom CORE Indonesia) berpendapat dengan Undang-undang ini jangan sampai mengorbankan PLN. Akbar juga menyampaikan yang hal belum dibahas dalam RUU EBT adalah bagaimana membuat masyarakat sadar untuk pro energi terbarukan dan ramah lingkungan. (Rac)

Jangan Eksploitasi Rakyat dengan Penghapusan Daya Listrik 450 VA dan Batalkan Konversi Kompor Listrik!

Jakarta, FNN – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menyerukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Jangan malah membebani rakyat dengan biaya hidup yang semakin berat. Jangan eksploitasi rakyat karena tugas Pemerintah seharusnya adalah untuk mensejahterakan rakyat. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam keterangan pers tertulis Selasa (27/09/2022). Sikap ASPEK Indonesia ini untuk menyikapi rencana Badan Anggaran DPR bersama Pemerintah yang sepakat menghapus daya listrik 450 volt ampere (VA) untuk kelompok rumah tangga miskin, dan dinaikkan menjadi 900 VA. Juga terkait rencana Pemerintah yang bakal mengurangi konsumsi gas LPG 3 kg dan menggantinya dengan kompor listrik secara bertahap. Mirah Sumirat mempertanyakan, mengapa Pemerintah dan DPR saat ini seperti kehilangan empati kepada nasib rakyatnya sendiri? Setelah memaksakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal atau investor. Dilanjutkan dengan keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat membebani rakyat. Masih ditambah lagi dengan rencana menghapus daya listrik 450 VA untuk kelompok rumah tangga miskin. Serta kebijakan mengurangi konsumsi gas LPG 3 kg dan menggantinya dengan kompor listrik. “Pemerintah jangan terus membebani rakyat! Saat ini rakyat dipaksa untuk membeli BBM dengan harga tinggi,” tegas Mirah Sumirat.   Menurutnya, rakyat akan dipaksa juga untuk menaikkan daya listrik menjadi 900 VA. Masih akan ditambah lagi bebannya dengan dipaksa untuk beralih ke kompor listrik? Mirah Sumirat mengingatkan Pemerintah dan DPR, berbagai kebijakan yang tidak pro kepada rakyat dan cenderung eksploitatif, selain akan membebani ekonomi rakyat juga berpotensi memicu kemarahan rakyat. “Pemerintah dan DPR jangan memaksakan rakyat miskin untuk bermigrasi dari listrik 450 VA ke 900 VA. Pemerintah juga jangan mengurangi konsumsi gas LPG tiga kilogram untuk kemudian diganti dengan kompor listrik,” lanjut Mirah Sumirat. Pemaksaan penggunaan kompor listrik sama saja memaksakan masyarakat untuk menaikkan daya listrik menjadi 900 VA. Karena daya listrik 450 VA yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat, pasti tidak akan kuat jika harus dipaksakan dengan tambahan penggunaan kompor listrik. “Apalagi masih banyak daerah di Indonesia yang kondisi listriknya masih memprihatinkan karena sering mati listrik. Biarlah rakyat memutuskan sendiri penggunaan listriknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing,” tegas Mirah Sumirat. ASPEK Indonesia menuntut Pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM dan tidak menghapus daya listrik 450 VA serta tidak memaksakan konversi LPG tiga kilogram dengan kompor gas. “Dalam tuntutannya, ASPEK Indonesia juga tetap meminta pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja,” pungkas Mirah Sumirat, Presiden DPP ASPEK Indonesia. (mth/*)

Gde Siriana: PLN Yang Rugi, Rakyat Yang Bayar, Curang

 PT PLN (Persero) saat ini sedang melakukan uji coba konversi kompor elpiji ke kompor listrik atau kompor induksi di berbagai kota. Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo menyebut dalam program konversi kompor elpiji ke kompor listrik, masyarakat bisa hemat hingga Rp 8.000 per kilogram elpiji. Pandangan Darmawan dibantah oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf. Berikut wawancara Sri Widodo Soetardjowijono dari FNN dengan Gde Siriana Yusuf.  Petikannya: Menurut Anda apakah kebijakan itu tepat untuk saat ini? Seperti masyarakat umumnya, ya saya juga bingung kenapa tiba-tiba pemerintah ngurusi cara masak rakyat. Tapi kan ketahuan juga bahwa kebijakan ini gak jelas asal-usulnya, misalnya sebagai kampanye green energy atau apa, kampanye cara hidup sehat atau apa, atau kampanye cara masak yang lebih aman dari kompor gas, misalnya. Tau2 masyarakat disuruh ganti kompor gas ke kompor listrik. Belakangan kita tahu bahwa rencana konversi gas LPG 3 kg ke kompor listrik kan karena ada kelebihan pasokan/oversupply listrik PT PLN (Persero). Nah ini koq jadi rakyat yang harus dibebani? Padahal ini kan salah perhitungan di PLN. Maksud salah perhitungan? Begini, kontrak listrik PLN kan dengan skema take or pay. Artinya, PLN harus tetap bayar sesuai kontrak meski listrik yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP) dipakai atau tidak. Nah, ini kan kelemahan kontrak yang PLN bikin sendiri dengan swasta. Lalau kalau sekarang rakyat dipaksa serap kelebihan listrik tersebut dengan cara ganti kompor gas ke listrik, apakah itu fair buat rakyat? Sama aja rakyat dipaksa nolong PLN dari kerugian. Cara pandang seperti ini berbahaya sebagai dasar dibuatnya kebijakan publik. Kesalahan atau kelemahan yang dibuat pemerintah tapi rakyat yang harus menanggung. Apakah ini akan berjalan diterima masyarakat? Ini kan 300 paket kompor listrik akan dibagikan tahun ini ke masyarakat menengah-bawah. Setahu saya belum ada sosialisasi atau survei atau feasibility studies di masyarakat. Bagaimana penerimaan masyarakat kan bergantung pada penyesuaian kebiasaan di awalnya, lalu setelah jalan dihitung biaya yang ditanggung lebih murah atau justru lebih mahal. Biaya ini kan bukan soal konsumsi listriknya saja, tetapi ketika daya ditambah abondemennya kan naik, juga biaya per kwh nya apakah tetap atau naik dibandingkan sebelum daya ditambah. Masyarakat biasanya sederhana aja, setiap bulannya nanti pengeluaran nya naik atau tetap. Kedua, beban rakyat kan semakin berat setelah harga BBM naik, masa tega sih rakyat dipaksa konsumsi kelebihan listrik PLN? Jadi menurut Anda, kenapa pemerintah tetap paksakan kebijakan ini? Yaitu tadi pemerintah hanya berpikir dari perspektif nya saja, yaitu apa yang mungkin. Artinya yang paling mungkin untuk selamatkan keuangan pemerintah. Tapi rakyat kan perspektifnya apa yang harus, yaitu seharusnya rakyat dapat energi yang termurah. Ini juga sama dengan kebijakan harga BBM naik. Jadi siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini? Pertama ya direksi dan komisaris PLN. Karena kalau kelebihan listrik ini tidak terserap, PLN kan potensi merugi. Lalu gaji dan bonus Direksi dan Komisaris PLN gimana? Kedua ya produsen kompor listrik. Rencananya kan akan diproduksi 5juta unit kompor listrik tahun depan. Sudah bisa dihitung dong untungnya berapa. Nah tinggal dilihat siapa aja produsennya. (sws)

Bedah Harga, Kenaikan BBM untuk Siapa?

Jakarta, FNN - Kenaikan harga bahan bakar minyak yang mencapai 30 persen jelas berdampak serius terhadap perekonomian rakyat. Gelombang protes terus terjadi baik demonstrasi di lapangan maupun di ruang-ruang diskusi. Pada Senin, 19 September 2022 telah diadakan acara diskusi publik yang digelar di Hotel Amaris Tebet, Jakarta Selatan. Acara ini diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) dalam rangka respon menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Diskusi publik ini mengangkat judul \"Bedah Harga dan Dampak Kenaikan BBM\" dengan menghadirkan pakar di bidangnya. Para pembicara pada acara ini adalah Dr. Anthony Budiawan selaku Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Dr. Marwan Batubara selaku Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) dan juga Dr. Mulyanto selaku Anggota DPR RI Fraksi PKS. Selain para pembicara, acara ini juga dihadiri oleh Edy Mulyadi, Ketua FPI Ahmad Shabri Lubis, Ketua GNPR Yusuf Martak, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan juga Aliansi Rakyat Menggugat (ARM). Anthony Budiawan mengkritisi sikap pemerintah yang tidak transparan dalam menyampaikan hitung-hitungan kenaikan harga BBM ini membuat rakyat tidak dapat mengetahui harga yang pas untuk kenaikan harga BBM yang seharusnya. \"Pemerintah ini hitung-hitungannya bagaimana? Kenapa BBM subsidi Pertalite dinaikkan sampai 30% menjadi Rp10.000 per liter dan solar menjadi Rp6.800 per liter. Apabila dihitung, kenaikan harga BBM yang tinggi ini hanya akan membuat pendapatan pemerintah sebesar Rp31,75 triliun sampai akhir tahun nanti. Dengan perkiraan sisa konsumsi Pertalite sebesar 10 juta KL dan solar sebesar 5 juta KL,\" ujarnya menyampaikan Tidak hanya itu, Anthony juga menambahkan bahwa pemerintah menaikkan harga BBM ini tanpa pemikiran panjang yang jadinya hanya memberikan solusi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Sedangkan permasalahan BBM yang paling dekat adalah masalah transportasi, distribusi dan produksi. \"Apabila BBM ini dinaikkan maka mobilitas kita akan terbatas, karena mayoritas penduduk Indonesia menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini dikarenakan transportasi publik milik kita saja belum memadai secara penuh, masih jelek. Kalau kita ada pilihan alternatif kendaraan maka tidak apa. Jangan bandingkan dengan Singapura, mereka itu transportasi publiknya sudah menjangkau semua dan pendapatan per kapita mereka $70.000 USD per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang masih kisaran $4.000 USD per tahun. Maka dari itu jangan kaget apabila harga BBM di Singapura mencapai Rp30.000 per liter karena mereka memiliki alternatif dan pemasukkan yang tinggi.\" tambahnya menegaskan. Ditambah lagi kebutuhan sosial masyarakat yang tinggi diiringi naiknya harga BBM akan membuat inflasi menjadi lebih tinggi. Terlebih lagi gaji buruh yang relatif kecil dan daya beli masyarakat menengah ke bawah yang semakin anjlok. \"Bagaimana dengan 31,75 triliun jadi naik mereka, APBN mendapatkan uang dari masyarakat Rp31,75 triliun bagaimana bisa membantu APBN yang akan membengkak. Uang ini sangat tidak berarti bagi pemerintah, akan tetapi sangat berarti bagi masyarakat kelompok bawah. Luar biasa, mereka sudah tertimpa dengan inflasi pangan yang lebih dari 11% ditambah lagi dengan kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%. Dan ini bertubi-tubi padahal negara mendapatkan kenaikan pendapatan harga komoditas yang begitu luar biasa,\" ucapnya menambahkan. Dilanjutkan dengan Dr. Mulyanto yang juga menambahkan pendapatnya tentang kenaikan harga BBM yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia sekarang ini. \"Apa benar harga minyak dunia naik setelah kita revisi APBN? Sebelumnya memang pada bulan Juni, asumsi harga minyak APBN 2022 dari $63 menjadi $100 untuk mengantisipasi terus naiknya harga minyak dunia. harga minyak dunia naik, hingga pada puncaknya yakni menyentuh harga $120 per barel. Akan tetapi, mulai menurun pada akhir Juni hingga akhirnya memasuki bulan September di mana harga menyentuh sekitar $90-$100 per barel. Hal ini menyebabkan meningkatnya APBN yang semula Rp152 triliun menjadi Rp502 triliun karena dibutuhkan untuk subsidi BBM ketika dilihat harga minya dunia naik menyentuh $120 per barel. Akan tetapi saat harga minyak dunia sudah turun, lantas mengapa pemerintah masih tetap menaikkan harga BBM Pertalite bersubsidi menjadi Rp10.000 per liter?\" ucapnya. \"Kemudian saat memasuki bulan September, banyak dari perusahaan BBM swasta yang menurunkan harga jual mereka per liternya, seperti Shell, Vivo, dan BP-AKR (PT AKR Corporindo). Salah satunya yang juga menjadi pilihan masyarakat ketika BBM Pertalite subsidi naik ke Rp10.000 adalah Vivo. Vivo beberapa waktu lalu masih menjual BBM Revvo 89 dengan RON 89 yang harga sebelumnya Rp8.900 namun sekarang juga diwajibkan untuk ikut naik menjadi Rp10.900 per liter. Kalau tidak ikut menaikkan, bisa dicabut mereka izin perusahaannya,\" ujarnya menambahkan. Marwan Batubara selaku pembicara juga menambahkan, bahwa mengapa banyak rakyat yang menolak kenaikan BBM ini dikarenakan harusnya subsidi energi sudah cukup besar dalam APBN, walaupun memang subsidi tersebut tidak tepat sasaran. \"Kita harus pahami harga BBM bisa saja dinaikkan, terutama karena memang subsidi energi sudah cukup besar dalam APBN. Akan tetapi, subsidi tersebut mayoritas tidak tepat sasaran. Selain itu, harga BBM yang bersubsidi pun sudah tidak relevan lagi, tidak sebanding (cukup rendah) dengan harga-harga barang dan jasa lain. Karena banyak pertimbangan, maka dari itu kita harus tolak kenaikan harga BBM ini dengan tegas,\" ucapnya. \"Banyak faktor pertimbangan untuk menolak kenaikan harga BBM ini. Yang pertama, bertambahnya kesulitan hidup rakyat yang masih terpuruk akibat pandemi. Lalu naiknya harga barang dan jasa, termasuk pangan, bahan pokok, dan transportasi yang memicu naiknya inflasi pada 2022 ini yang mencapai 8%. Kemudian terpangkasnya daya beli masyarakat dan meningkatnya kemiskinan yang naik dari 484.000 jiwa menjadi 505.000 jiwa. Hal ini diperburuk dengan turunnya angka tingkat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran, menjadi sekitar 6%,\"kata Marwan menambahkan. Marwan Batubara juga mengatakan bahwa adanya manipulasi oleh pemerintah terhadap subsidi BBM dalam dan APBN ini yang telah melonjak sampai Rp502 triliun. Hal ini dikarenakan adanya dari pemerintah yang mengatakan dana Rp502 triliun dalam APBN itu adalah subsidi energi yang di dalamnya bukan hanya BBM saja. Namun, Marwan menjelaskan bahwa mereka pada awalnya berkata bahwa subsidi tersebut adalah untuk BBM. \"Padahal hal ini sebelumnya dibilang oleh Jokowi (Joko Widodo) pada saat jumpa pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Kepresidenan. Di situ Jokowi berkata \'anggaran subsidi dan komparasi BBM tahun 2022 telah meningkat 3 kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Lalu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) juga mengatakan hal yang sama, dalam akun Instagram-nya dia kalau konsumsi Pertalite dan solar subsidi yang melebihi kuota, anggaran subsidi dan kompensasi akan melewati Rp502,4 triliun. Nah sedangkan mereka sekarang berkata bahwa dalam subsidi Rp502 triliun tersebut terkandung subsidi BBM, listrik dan LPG 3kg. Mereke dengan sadar dan sengaja loh (bukan salah ucap) bilang seperti itu. Maka wajaar apabila Menkeu dan Presiden Jokowi sangat wajar dituntut bertanggungjawab dalam melakukan kebohongan publik, juga membesar-besarkan angka subsidi BBM guna menjustifikasi kebijakan dan meraih dukungan publik,\" ujarnya sembari menunjuk Powerpoint miliknya. (Fik)

Pemerintah Dinilai Malas Cari Solusi Pengelolaan Energi Berkelanjutan

Jakarta, FNN – Pengamat kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, pemerintah malas dan tidak kreatif mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan untuk pengelolaan energi. Hal itu terlihat dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang mengajukan anggaran subsidi tambahan ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang sekaligus menunjukkan tidak ada langkah baru dari pemerintah. “Pemerintah sepertinya tidak belajar akan beranjak dari pola yang sama dalam mengatasi BBM. Subsidi energi 2023 dirancang dengan ketidakakuratan asumsi penentuan ICP, penentuan kurs dan penentuan volume bahan bakar minyak (BBM) subsidi,” kata Hidayat, di Jakarta, Rabu (14/9/2022). Sri Mulyani, lanjut Hidayat, meminta tambahan belanja negara pada subsidi energi di 2023 sebesar Rp 1,3 triliun dengan alasan karena target penerimaan negara dari Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2023 juga meningkat Rp 19,4 triliun. Padahal alokasi anggaran tersebut belum dilaksanakan, namun pemerintah sudah meminta koreksi hitung-hitungan subsidi energi 2023 ke Bangar DPR RI. “Besaran subsidi energi yang dimasukkan ke dalam RUU APBN 2023 sebesar Rp 210,7 triliun. Besaran itu belum ditambahkan dengan kompensasi energi,” katanya. Jika dirinci dari mulai subsidi BBM dan LPG naik dari Rp138,3 triliun menjadi Rp139,4 triliun atau Rp1,1 triliun. Kemudian ada penambahan Rp600 miliar untuk jenis BBM Tertentu (JBT) dan Rp400 miliar untuk LPG 3 kg. Subsidi listrik naik 0,3 triliun. Sehingga total subsidi energi Rp212 triliun naik dari Rp210,7 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp1,3 triliun. Menurut Hidayat, untuk hitungan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) masih tetap sama dari RAPBN 2022 dengan asumsi di 90 Dollar AS per barel. Namun, nilai tukar rupiah mengalami koreksi atau kenaikan dari semula Rp14.750 menjadi Rp 14.800 per Dollar AS “Selain itu, subsidi energi naik menjadi Rp 212 triliun tahun 2023 tidak disertai rencana menyelesaikan subsidi yang salah sasaran dan juga rencana kemandirian energi sebagai dua sumber kenaikan BBM subsidi selama ini,” kata Hidayat. Pemerintah, lanjut Hidayat, seharusnya bisa menempuh langkah-langkah jangka panjang seperti mengefisiensikan PT Pertamina (Persero), termasuk dalam pengolahan dari minyak mentah hingga menjadi BBM. Kemudian, menjadikan subsidi tidak salah sasaran, mencari sumber minyak baru yang lebih murah seperti dari Rusia dan negara-negara pantai Afrika, serta membangun produsen minyak nabati yang dikonversi menjadi BioFuell yang bisa dipakai untuk berbagai jenis kendaraan. “Semestinya pemerintah bisa mengoptimalkan BRIN sebagai leading dalam riset untuk bisa difungsikan peranannya untuk mencari invoasi-inovasi energi baru sehingga masa depan swasembada energi nasional bisa terwujud dalam kurun waktu yang lebih cepat,” kata Hidayat. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, menurut Hidayat, Indonesia akan terjebak dengan isu dan perdebatan yang sama dan terus berulang selama lebih dari 20 tahun. Selain subsidi tidak tepat sasaran, APBN akan terus jeblok. “Pemerintah harusnya ingat dengan pepatah ‘keledai tidak masuk ke lubang yang sama dua kali’,” kata dia. (mth/*)

Seharusnya Biaya Minyak Mentah untuk BBM Bisa 500 Perak Seliter

Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menteri Keuangan masa iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) HARGA minyak mentah seharusnya tidak perlu ditakutkan oleh pemerintah, asal pemerintah serius menjaga nilai tukar dan menguatkannya terhadap mata uang asing, terutama terhadap US Dolar. Caranya banyak. Asal berani saja. Pada masa Pemerintahan SBY rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.000 per US dolar. Kalau harga minyak sekarang 90 US dolar, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM Rp 4.500 per liter BBM. Waktu itu Menteri Keuangan SBY adalah Sri Mulyani. Karena kepotong kasus Century jadi Sri Mulyani tidak menjadi menteri lagi. Sri Mulyani kembali di jaman Jokowi tapi nilai tukar rupiah terhadap US dolar ambruk menjadi Rp 14.750 per dolar AS. Meski harga minyak mentah sama 90 US dolar per barel seperti saat SBY dulu, tapi biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM naik jadi dua kali lipat menjadi Rp 10.000 per liter BBM. Jadi, kepada Presiden Jokowi, cobalah perintahkan pada Sri Mulyani sebagai Menkeu, supaya diskusi dengan Gubernur BI bagaimana cara menguatkan kembali nilai tukar rupiah terhadap USD. Karena sekarang ini Indonesia itu beli minyak menggunakan dolar. Bukan menggunakan Yuan atau Rubel. Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menteri Keuangan masa iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Sekali-kali Sri Mulyani tunjukkanlah kepintarannya dengan menaikkan nilai tukar rupiah ini. Kalau bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Jadi, demikian jika nilai tukar Rp 1.000 per dolar maka biaya pokok produksi bisa jadi Rp 500 per liter, ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, biaya pokok BBM hanya Rp 650-750 per liter. Pertamina bisa jual pertalite Rp 5.000 per liter untungnya bisa segaban. Kalau sekarang dengan biaya pokok BBM Rp 10.000 per liter (harga minyak mentah x kurs 14.750/159 liter sebarel) maka ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, ditambah lagi pungutan lain-lain, maka biaya pokok BBM mencapai 12 ribu sampai 13 ribu rupiah. Pertamina jual 10 ribu ya lama-lama Pertamina Pecok. Ngono lo... (*)

Harga Minyak Bangkit Dari Terendah, Saat Rusia Ancam Setop Ekspor

New York, FNN – Harga minyak menguat pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), bangkit dari level terendah tujuh bulan dan merebut kembali beberapa kerugian besar yang mereka derita di sesi sebelumnya setelah Rusia mengancam akan menghentikan ekspor minyak dan gas ke beberapa pembeli.Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober terangkat 1,6 dolar AS atau hampir 2,0 persen, menjadi menetap di 83,54 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November bertambah 1,15 dolar atau 1,3 persen, menjadi ditutup di 89,15 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.Harga minyak mendapat dukungan dari ancaman Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan ekspor minyak dan gas jika batas harga diberlakukan oleh pembeli Eropa.Uni Eropa mengusulkan pembatasan harga gas Rusia, meningkatkan risiko penjatahan musim dingin ini jika Moskow melakukan ancamannya. Gazprom Rusia telah menghentikan aliran dari pipa gas Nord Stream 1.Harga minyak naik meskipun ada peningkatan mengejutkan dalam persediaan minyak mentah AS, berita bahwa Amerika Serikat menimbang perlunya lebih banyak pelepasan minyak mentah dari cadangan strategis, kekhawatiran perpanjangan penguncian COVID-19 China dan kenaikan suku bunga global akan memperlambat aktivitas ekonomi dan menekan permintaan bahan bakar.Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan pada Kamis (8/9/2022) bahwa persediaan minyak mentah komersial negara itu meningkat sebesar 8,8 juta barel selama pekan yang berakhir 2 September. Analis yang disurvei oleh S&P Global Commodity Insights memperkirakan pasokan minyak mentah AS menunjukkan penurunan 1,8 juta barel.Menurut EIA, total persediaan bensin motor naik 0,4 juta barel dari minggu lalu, sementara persediaan bahan bakar sulingan naik 0,1 juta barel.\"Sebagian besar minyak dalam penimbunan itu berasal dari Cadangan Minyak Strategis (SPR). Semakin cepat kita mengosongkan SPR, semakin besar penarikan yang akan terjadi di masa depan,\" kata Analis Price Futures Group, Phil Flynn.Pada Rabu (7/9/2022), kedua kontrak acuan turun lebih dari 5,0 persen menjadi ditutup pada level terendah sejak pertengahan hingga akhir Januari karena kekhawatiran permintaan meningkat,menempatkan WTI ke wilayah oversold secara teknis untuk pertama kalinya dalam sebulan. (mth/Antara)

Soal Kenaikan Harga BBM, Pemerintah Harusnya Bela Rakyat, Bukan Ikuti Protokol Kaum Kapitalis

Jakarta, FNN - Pemerintah telah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) per hari, Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 WIB. Adapun BBM yang dinaikkan di siang hari bolong secara mendadak itu adalah jenis Pertalite, Solar dan Pertamax. Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan, kenaikan harga BBM saat ini, akan semakin menyusahkan kehidupan rakyat, yang sudah susah akibat dampak pandemi dan ketidakpastian global. \"Argumentasi terkait subsidi sebagai beban ekonomi yang salah sasaran, itu hanya retorika belaka pemerintah saja. Kenaikan harga BBM justru akan semakin menyusahkan masyarakat,\" kata Fahri dalam keterangannya, Ahad (4/9/2022). Menurut Fahri, argumentasi pemerintah yang menganggap, bahwa subsidi hanya dinikmati oleh pengguna mobil pribadi, bukan rakyat miskin sehingga pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga BBM, sebagai alasan yang tidak pernah bisa diterima rakyat sampai kapanpun. Sebab, pencabutan subsidi itu, kata Fahri, merugikan kepentingan rakyat, dan menambah beban hidup masyarakat yang sudah sulit saat ini. \"Hal itu tidak akan pernah diterima rakyat sampai kiamat. Rakyat menganggap pencabutan subsidi akan menambah kesulitan hidup mereka,\" tegas Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini. Fahri menegaskan, sesuai konstitusi, maka tugas pemerintah adalah membantu dan membela rakyat di dalam kesulitan hidup. Oleh sebab itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini berharap pemerintah tidak perlu mengikuti protokol kaum kapitalis, yang tidak menghendaki adanya dukungan kepada rakyat melalui pemberian subsidi. \"Mereka (kaum kapitalis, red) ingin kompetisi berlangsung secara sempurna, tidak ingin ada subsidi-subsidi, semua harus diserahkan ke mekanisme pasar,\" tandas Fahri. Seperti diketahui, pemerintah telah mengumumkan kenaikan harga BBM pada Sabtu (3/9/2022). Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10 ribu/liter. Kemudian harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 jadi Rp 6.800/liter. Pertamax juga ikut naik dari Rp 12.500 jadi Rp 14.500/liter. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 Triliun menjadi Rp502, Triliun, dan angka ini diprediksi akan meningkat terus. Sehingga pemerintah membuat keputusan dalam situasi yang sulit dengan melakukan penyesuaian harga beberapa jenis BBM. Keputusan menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar dan Pertamax, kata Jokowi merupakan pilihan terakhir yang dilakukan pemerintah, karena pemerintah tidak mungkin lagi menanggung beban subsidi yang semakin besar. Untuk mengatasi dampak tersebut, pemerintah telah menyiapkan Bantalan Sosial sebesar Rp24,17 triliun. Namun, bantalan sosial tersebut, dianggap tidak akan mampu mengatasi efek domino dari kenaikan harga BBM. Daya beli masyarakat dikwatirkan justru akan semakin menurun dan memincu inflasi semakin tinggi. Masyarakat bakal semakin susah dalam menjalani kehidupannya pada hari-hari ke depan. Sebab, kabar soal kenaikan harga BBM beberapa pekan terakhir saja, telah menyebabkan kenaikan harga-harga barang dan memicu panic buying di sejumlah lokasi, apalagi BBM telah dinaikkan sekarang. (*)

Covid Baru Mereda, Masyarakat Diteror Lagi dengan Kenaikan BBM

Jakarta, FNN - Hitung-hitungan harga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya subsidi pertalite dan solar sudah banyak diangkat bicara oleh beberapa pihak. Mulai dari pengamat yang berpendapat harga pertalite seharusnya Rp10.000 sampai Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati bilang harga BBM subsidi seharusnya Rp17.200 per liter. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengaku masih banyak pertimbangan dan perhitungan yang harus dilakukan secara detail oleh para menteri ekonomi yang sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kenaikan harga BBM ini membuat beberapa pihak menyampaikan fakta-fakta menarik terkait hitungan keekonomian mereka dalam berapa besar kenaikan harga BBM ini. Salah satunya adalah Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati yang mengatakan bahwa harga Pertalite dijual dengan harga yang jauh dari harga keekonomian. Nicke juga menyampaikan bahwa harga Pertalite saat ini sebesar Rp7.650 per liter yang seharusnya dijual Rp17.200. Nicke juga menyayangkan selisih dari harga penjualan Pertalite sebesar Rp9.550 per liter ini tentu saja akan sangat membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena Pertalite masuk ke kategori BBM subsidi. Sedangkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan perhitungannya bahwa harga keekonomian Pertalite seharusnya dijual di kisaran Rp14.450 per liter. Sedangkan untuk harga keekonomian solar senilai Rp13.950 per liter. \"Saya akan melakukan beberapa penjelasan maupun kemarin di DPD mengenai kondisi dari APBN terkait subsidi BBM. Jadi supaya bisa lebih menjelaskan dan sekaligus memberikan juga transparansi mengenai desain dari kebijakan pemerintah dari subsidi BBM yang jadi perhatian masyarakat luas,\" papar Sri Mulyani. \"Subsidi dan kompensasi itu identik, tapi poinnya membayar untuk komoditas energi yang harganya tidak berubah walaupun harga di luar sudah berubah,\" tambahnya. Dengan demikian, maka pemerintah harus memberikan subsidi dan kompensasi melalui Pertamina dan PLN untuk rakyat. Alhasil, belanja negara akan naik menjadi Rp3. 106,4 triliun atau naik sebesar Rp392 triliun. Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengutarakan dukungannya terhadap rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurut Said, beban subsidi energi ini memang sudah terlalu berat bagi keuangan negara. \"Tata kelola BBM bersubsidi kita tahun ini menghadapi tekanan karena migrasi pembeli dari Pertamax ke Pertalite,\" ucap Said dalam keterangannya, Rabu (32/8/2022). Said Abdullah juga menyarankan untuk kenaikan harga BBM jenis Pertalite sebaiknya maksimal sebesar 30% dari harga yang berlaku, atau menjadi sekitar Rp10.000 per liternya. \"Kenaikan harga BBM maksimal 30% sudah mempertimbangkan dampak inflasi agar tak terlalu tinggi,\" kata Said. Selain itu, Said juga mendorong pemerintah untuk dapat membatasi akses untuk Pertalite. Said menyarankan opsinya bisa dengan menyalurkan subsidi langsung kepada penerima yang datanya diintegrasikan dengan data keluarga miskin ataupun membatasi penyaluran dengan berdasarkan jenis kendaraan. Ungkapan Said Abdullah, juga serupa dengan Josua Pardede, _Chief Economist Bank Permata_ yang mengatakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi lebih banyak oleh kalangan mampu. \"Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan,\" ujar Josua, Selasa (30/8/2022). Menurut Josua, dengan pola subsidi yang selama ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat cukup besar, maka perlu dilakukan penyesuaian harga secara bertahap agar gejolak sosial yang ditimbulkan dapat tertangani. \"Sebagai langkah awal, pemerintah dapat menaikkan harga BBM (Pertalite) ke level Rp10.000 per liter untuk mengurangi beban anggaran negara saat ini dan kuota BBM bersubsidi tahun mencukupi,\" jelas Josua. Josua berpendapat dengan hal ini maka, jika melihat dari kondisi psikologis masyarakat saat ini, harga BBM berada di level Rp10.000 ini dapat mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi APBN tidak membengkak ke angka Rp700 triliun, atau tetap di Rp502,6 triliun. Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan juga beropini dalam kenaikan harga BBM ini. Melalui cuitan akun Twitter pribadinya @AnthonyBudiawan, mengatakan bahwa rencana kenaikan harga BBM ini walaupun belum resmi dari pemerintah, akan tetapi hampir seluruh fraksi di DPR yang menolak kenaikan harga BBM tersebut. \"Wacana kenaikan harga BBM: 6 menolak, 2 abstain, 1 setuju. Hanya Nasdem yang setuju BBM naik. Alasannya, 70%-80% dikonsumsi orang kaya? Jadi, rakyat kurang mampu, paling sedikit 138,9 juta penduduk, selama ini konsumsi BBM apa?\" tulis Anthony (1/9/2022). Anthony juga menambahkan data dari Bank Dunia tentang jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 138,9 juta jiwa dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp31.086,7/orang/hari. \"Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia 138,9 (2021), dengan pendapatan di bawah Rp31.086,7/orang/hari ($5,5 kurs PPP 2011): di bawah Rp1 juta/orang/bulan. Mereka antara lain terdiri dari petani, nelayan, buruh, tenaga honorer, usaha mikro, sektor informal, etc,\" ujar Anthony. Selain itu, dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hampir seluruhnya menolak kenaikan harga BBM, enam fraksi yang menolak kenaikan ini antara lain Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lalu ada dua dari mereka yang abstain yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan satu yang menyetujui dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ketua Komisi VII DPR fraksi Nasdem Sugeng Suparwoto menyatakan kalau selama ini menurutnya subsidi BBM tidak tepat sasaran dan malah banyak dinikmati oleh kalangan mampu, maka dari itu perlu dialihkan. \"Maka dari itu harga BBM harus disesuaikan. Karena subsidi yang selama ini dikeluarkan tidak tepat sasaran atau orang mampu, sehingga perlu dialihkan. Sebab kan tidak adil, bagaimana dengan mereka yang tidak punya kendaraan? Jadi, subsidi dikurangi dan direlokasi untuk yang tidak punya kendaraan,\" ujar Sugeng. Selain itu, menurut Sugeng harga BBM yang sekarang ini sangat jauh dari harga keekonomian. \"Keuangan negara harus kita akui jebol. Hari ini dengan kuota 23 juta kiloliter itu asumsinya semua meleset. Indonesian Crude Price (ICP) yang semula dipatok 63 dolar AS/barel meleset menjadi rata-rata 104,9 dolar AS/barel,\" tambah Sugeng, selaku politisi Partai Nasdem. Dalam perkembangannya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menteri selalu menyampaikan perhitungan harga riil bila BBM (Pertalite maupun solar) tidak disubsidi pemerintah. Akan tetapi, memang perhitungannya berbeda-beda. Jokowi juga menyampaikan bahwa harga murni Pertalite apabila tidak disubsidi maka akan mencapai Rp17.100 per liternya. Pernyataan ini disampaikan Kepala Negara saat Silahturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat, 5 Agustus 2022 silam. \"Coba di negara kita bayangkan, kalau Pertalite naik Rp7.650 harga sekarang ini kemudian naik jadi, harga yang benar adalah Rp17.100, demonya berapa bulan? Naik 10% saja demonya dulu tiga bulan,\" ujar Jokowi. (Fik)

BBM Dipaksa Naik, Masyarakat Mulai Bereaksi Kepung Kantor Pemerintah

Jakarta, FNN – Masyarakat mulai gerah dengan kasak-kusuk pemerintah yang memaksakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Organisasi buruh, mahasiwa sampai pedagang ikan bereaksi mengenai kebijakan pemerintah yang akan dilaksanakan pada Kamis (1/9/2022). Seluruh lapisan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia terlihat melakukan aksi akibat akan naiknya harga BBM nanti. Gibran Rakabuming Raka yang menjabat sebagai Wali Kota Solo dan sekaligus putra sulung Presiden Jokowi didatangi oleh puluhan mahasiswa. Mereka menyuarakan pendapat untuk menolak kenaikan BBM. Pada Rabu (31/8/2022) Himpunan Mahasiswa Indonesia Solo Raya berkumpul di Balai Kota untuk beraspirasi di depan Wali Kota Solo. Mahasiwa paham betul bahwa Solo adalah kota yang punya hak istimewa lebih karena dipimpin oleh anak seorang Presiden. Menurut Fierdha Abdullah Ali yang menjabat sebagai Ketua Umum HMI cabang Sukoharjo, ia mengatakan bahwa menyampaikan aspirasi di Balai Kota merupakan bentuk simbolisasi yang baik. Tempat yang dulu pernah dipimpin Jokowi, sekarang dilanjutkan oleh putra sulungnya. Sementara itu di Kabupaten Subang, masyarakat menolak kenaikan harga BBM dan mengeluhkan kebijakan pemerintah tersebut. Salah satu pekerjaan seperti kurir yang mengirim paket ke pelosok akan dipersulit. SPBU sangat jauh dan harga Pertamax eceran di Kabupaten Sabang bisa menyentuh Rp 20.000 per liternya. Rosad, seorang aktivis pemuda asal Desa Mulyasari Cibinong mengatakan bahwa kenaikan harga BBM justru akan mempersulit hidup. Saat ini barang kebutuhan tengah naik dan harga bahan mentah juga naik. Menurutnya, pemerintah hanya perlu memberantas koruptor jika memang menginginkan solusi, “Yang perlu dilakukan pemerintah sekarang ini adalah berantas koruptor, karena itu yang sebenarnya menyebabkan rakyat di Indonesia miskin”. Di Jakarta, Organisasi Buruh akan melakukan demo pada 6 September 2022. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan akan mengorganisir 5 juta buruh untuk mogok kerja dan mendatangi gedung DPR untuk menolak kenaikan BBM. Menurutnya buruh yang hanya mendapatkan 1 persen kenaikan gaji setiap tahunnya akan terancam. Kenaikan BBM akan memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat, tegasnya. Seorang Pengamat Ekonomi bernama Frits Fanggidae mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat agar tidak merosot adalah dengan menggunakan Bansos. Namun yang menjadi masalah adalah Bansos itu jangka waktunya sementara dan bersifat darurat. Menurutnya, masyarakat perlu waktu lama untuk beradaptasi agar bisa menyesuaikan pendapatan dan kenaikan harga di pasar. Jadi, jangka waktu pemberian Bansos akan sangat penting menurutnya. “Perlu disesuaikan dengan waktu yang diperlukan masyarakat atau rumah tangga untuk menyesuaikan pendapatannya”, Pungkasnya. (Fer/ANTARA)